Jumat, 24 Februari 2012

Sosialis Hal Kecil

Dengan langkah tegak dan penuh percaya diri pria itu berjalan di hadapan tentara yang berbaris dengan rapi. Helm hitam dan celana mengembang seolah menjadi ciri khas pada masa itu. Kejadian itu tertanggal 5 juni 1944 atau dimana ketegangan perang dunia ke dua sedang begitu memuncak. Hitler yang menjadi tokoh utama menolak menyerah dan berikrar untuk berjuang sampai akhir.

Suasana begitu tegang dan terlihat semakin sepi, pria itu ternyata memiliki hak di hormati oleh tentara-tentara yang berbaris di depanya. Ketika kondisi semakin kondusif, dia akhirnya mulai berbicara panjang membakar semangat. Dia katakan "Pahlawan sejati adalah orang yang bertempur sekalipun ia takut", kata-kata itu membuat wajah-wajah tentara di hadapanya semakin bersemangat.

Ya, pria tua itu tidak lain adalah Jendran Goerge S.Patton, Jr dan suasana itu terjadi ketika dia Berpidato di depan Pasukan Ketiga Amerika menjelang Hari Peperangan besar. Dengan kebulatan tekadnya untuk berperang diapun menambahkan "Lelaki sejati tidak akan membiarkan rasa takutnya terhadap kematian akan mengalahkan kehormatanya, kewajibanya kepada negara dan sesama manusia".

Pidato itu terkenal begitu fantastis dan bahkan diabadikan sebagai suatu pidato yang berpengaruh. Betapa tidak, kata-kata magis Patton ternyata mampu membuat pasukan Amerika berperang dengan gagah berani membantai musuh-musuhnya. Meski Jepang bahkan Hitlerpun takluk, tetapi kemangan itu ternyata haruslah di bayar mahal dengan kerusakan dan jutaan tangisan korban perang tak berdosa.

Hitler tewas dalam bunker yang terpojok dan tanpa sempat meninggal pesan penting. Sementara Kaisar Hirohito menyerah di Agustus 1945, dalam kesempatanya dia berkata bahwa "Musuh telah mulai menggunakan bom baru yang sangatlah kejam". Dia pun berpesan damai bahwasanya "jika perang di teruskan, maka tidak hanya bangsa Jepang yang hancur tetapi seluruh peradaban manusia akan musnah".

Fakta sejarah ini, cukuplah menjadi pelajaran jikalau peperangan tidak akan menimbulkan kebaikan melaikan hanyalah kerusakan-kerusakan baru. Apapun bentuknya baik dalam bentuk gencatan senjata ataupun tidak. Jika perjuangan itu di tunggani niat busuk dan perasaan benci, justru yang timbul adalah kerusakan. Tahrir Square di Mesir menjadi bukti, niatnya berperang demi revolusi justru menimbulkan kerusakan baru. Ribuan nyawa melayang percuma hanya demi perubahan yang semu.

Lebih parah lagi di Lapangan Benghazi Libya, lapangan yang seolah menjadi saksi bisu awal pergerakan kudeta Khadafi. Terlalu banyaknya aktifis yang 'sangtlah pintar' membuat akhirnya Libya menuju revolusi. Revolusi dari bangsa yang independen dan menghargai hak-haknya menjadi bangsa yang minyaknya di blok-blok oleh Amerika dan Prancis serta bangsa barat yang berkepentingan lainya. Aktifis yang 'sangatlah pintar' itu bahagiakah dengan perjuanganya yang katanya mencetak sejarah baru?

Kembali lagi kebelakang, anak dari pasangan Nikola dan Drane Bojaxhiu yang lahir pada tanggal 26 Agustus 1910 ternyata mampu memberikan solusi terbaik. Tak lain di adalah Bunda Taresa, seorang Kristen terkenal yang memberikan hatinya kepada rakyat miskin India. Perjuangannya demi kemanusian tidak di ragukan lagi, dia selalu berpandangan bahwa Tuhan tidak pernah menciptakan manusia untuk berjuang sendirian.

Karena konsistensinya terhadap kemanusiaan, kesejahteraan dan perdamaian akhirnya dia di anugrahi Nobel Perdamain dunia di Oslo, Norwegia, 11 Desember 1979. Dalam kesempatan itu dia berpesan bahwa perubahan atau kasih di mulai dari hal kecil seperti rumah. Jika kita berniat melakukan perubahan, menurutnya adalah seperti apa yang di kutip dari pidatonya

"Dengan hadiah perdamaian yang baru saya terima ini, saya akan membuat rumah untuk orang yang tidak memiliki rumah. Karena saya percaya kasih itu di mulai dari rumah. Dan jika kita bisa membangun rumah untuk kaum miskin, saya rasa akan semakin banyak kasih yang tersebar. Kita akan mampu menjadi kabar baik bagi kaum miskin dengan adanya cinta yang memahami ini untuk membawa perdamaian. Orang miskin di dalam keluarga kita dulu, lalu di negara kita dan setelah itu seluruh dunia"

Apa yang di lakukan oleh Bunda Taresa adalah cerminan seorang sosialis sejati. Sosialis yang berjuang dengan jiwa dan raganya bahkan hartanya demi membahagiakan orang lain. Sosialisnya bukan sosialis yang sempat memikirkan hanya untuk demontrasi lalu selesai. Demontrasi tanpa aksi membantu rakyat miskin di sekitarnya. Sosialis itu bukan perkara membela, bukan perkara bicara, tapi aksi nyata membantu, memberikan sumbangsih, ronda bersama, kerja bakti desa, membantu mengangkat pasir warga lain yang ingin membangun rumah.

Mari aktifis yang mengaku sosialis sejati, berjuanglah dari hal-hal kecil dulu. Tidak mungkin anda melakukan hal-hal yang besar jika anda tidak melakukan hal-hal kecil. Keinginan untuk langsung melakukan hal-hal besar hanyalah omong kosong, jika ingin berjuang, berjuanglah dari lingkup keluarga, teman rumah, RT bahkan RW saja dulu, baru anda memikirkan kota setelah itu terserahlah kemana kaki anda akan melangkah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar