Dengan langkah tegak dan penuh percaya diri pria itu berjalan di hadapan
tentara yang berbaris dengan rapi. Helm hitam dan celana mengembang
seolah menjadi ciri khas pada masa itu. Kejadian itu tertanggal 5 juni
1944 atau dimana ketegangan perang dunia ke dua sedang begitu memuncak.
Hitler yang menjadi tokoh utama menolak menyerah dan berikrar untuk
berjuang sampai akhir.
Suasana begitu tegang dan terlihat semakin sepi, pria itu ternyata
memiliki hak di hormati oleh tentara-tentara yang berbaris di depanya.
Ketika kondisi semakin kondusif, dia akhirnya mulai berbicara panjang
membakar semangat. Dia katakan "Pahlawan sejati adalah orang yang
bertempur sekalipun ia takut", kata-kata itu membuat wajah-wajah tentara
di hadapanya semakin bersemangat.
Ya, pria tua itu tidak lain adalah Jendran Goerge S.Patton, Jr dan
suasana itu terjadi ketika dia Berpidato di depan Pasukan Ketiga Amerika
menjelang Hari Peperangan besar. Dengan kebulatan tekadnya untuk
berperang diapun menambahkan "Lelaki sejati tidak akan membiarkan rasa
takutnya terhadap kematian akan mengalahkan kehormatanya, kewajibanya
kepada negara dan sesama manusia".
Pidato itu terkenal begitu fantastis dan bahkan diabadikan sebagai
suatu pidato yang berpengaruh. Betapa tidak, kata-kata magis Patton
ternyata mampu membuat pasukan Amerika berperang dengan gagah berani
membantai musuh-musuhnya. Meski Jepang bahkan Hitlerpun takluk, tetapi
kemangan itu ternyata haruslah di bayar mahal dengan kerusakan dan
jutaan tangisan korban perang tak berdosa.
Hitler tewas dalam bunker yang terpojok dan tanpa sempat meninggal
pesan penting. Sementara Kaisar Hirohito menyerah di Agustus 1945, dalam
kesempatanya dia berkata bahwa "Musuh telah mulai menggunakan bom baru
yang sangatlah kejam". Dia pun berpesan damai bahwasanya "jika perang di
teruskan, maka tidak hanya bangsa Jepang yang hancur tetapi seluruh
peradaban manusia akan musnah".
Fakta sejarah ini, cukuplah menjadi pelajaran jikalau peperangan
tidak akan menimbulkan kebaikan melaikan hanyalah kerusakan-kerusakan
baru. Apapun bentuknya baik dalam bentuk gencatan senjata ataupun tidak.
Jika perjuangan itu di tunggani niat busuk dan perasaan benci, justru
yang timbul adalah kerusakan. Tahrir Square di Mesir menjadi bukti,
niatnya berperang demi revolusi justru menimbulkan kerusakan baru.
Ribuan nyawa melayang percuma hanya demi perubahan yang semu.
Lebih parah lagi di Lapangan Benghazi Libya, lapangan yang seolah
menjadi saksi bisu awal pergerakan kudeta Khadafi. Terlalu banyaknya
aktifis yang 'sangtlah pintar' membuat akhirnya Libya menuju revolusi.
Revolusi dari bangsa yang independen dan menghargai hak-haknya menjadi
bangsa yang minyaknya di blok-blok oleh Amerika dan Prancis serta bangsa
barat yang berkepentingan lainya. Aktifis yang 'sangatlah pintar' itu
bahagiakah dengan perjuanganya yang katanya mencetak sejarah baru?
Kembali lagi kebelakang, anak dari pasangan Nikola dan Drane
Bojaxhiu yang lahir pada tanggal 26 Agustus 1910 ternyata mampu
memberikan solusi terbaik. Tak lain di adalah Bunda Taresa, seorang
Kristen terkenal yang memberikan hatinya kepada rakyat miskin India.
Perjuangannya demi kemanusian tidak di ragukan lagi, dia selalu
berpandangan bahwa Tuhan tidak pernah menciptakan manusia untuk berjuang
sendirian.
Karena konsistensinya terhadap kemanusiaan, kesejahteraan dan
perdamaian akhirnya dia di anugrahi Nobel Perdamain dunia di Oslo,
Norwegia, 11 Desember 1979. Dalam kesempatan itu dia berpesan bahwa
perubahan atau kasih di mulai dari hal kecil seperti rumah. Jika kita
berniat melakukan perubahan, menurutnya adalah seperti apa yang di kutip
dari pidatonya
"Dengan hadiah perdamaian yang baru saya terima ini, saya akan
membuat rumah untuk orang yang tidak memiliki rumah. Karena saya percaya
kasih itu di mulai dari rumah. Dan jika kita bisa membangun rumah untuk
kaum miskin, saya rasa akan semakin banyak kasih yang tersebar. Kita
akan mampu menjadi kabar baik bagi kaum miskin dengan adanya cinta yang
memahami ini untuk membawa perdamaian. Orang miskin di dalam keluarga
kita dulu, lalu di negara kita dan setelah itu seluruh dunia"
Apa yang di lakukan oleh Bunda Taresa adalah cerminan seorang
sosialis sejati. Sosialis yang berjuang dengan jiwa dan raganya bahkan
hartanya demi membahagiakan orang lain. Sosialisnya bukan sosialis yang
sempat memikirkan hanya untuk demontrasi lalu selesai. Demontrasi tanpa
aksi membantu rakyat miskin di sekitarnya. Sosialis itu bukan perkara
membela, bukan perkara bicara, tapi aksi nyata membantu, memberikan
sumbangsih, ronda bersama, kerja bakti desa, membantu mengangkat pasir
warga lain yang ingin membangun rumah.
Mari aktifis yang mengaku sosialis sejati, berjuanglah dari hal-hal
kecil dulu. Tidak mungkin anda melakukan hal-hal yang besar jika anda
tidak melakukan hal-hal kecil. Keinginan untuk langsung melakukan
hal-hal besar hanyalah omong kosong, jika ingin berjuang, berjuanglah
dari lingkup keluarga, teman rumah, RT bahkan RW saja dulu, baru anda
memikirkan kota setelah itu terserahlah kemana kaki anda akan melangkah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar