Rabu, 29 Februari 2012

Bushido

Robert N. Bellah, Rambutnya putih tipis tersipu angin taktala dia berjalan untuk memberikan materi di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah. Setiap kali di tanya, dia pasti menyertakan senyum khasnya begitupun sebaliknya. Namanya mungkin belum dikenal saat itu tetapi auranya mulai sedikit muncul. Religi Tokugawa, ya, mungkin itulah awal dimana penulis itu merajut ketenaranya.

Dia adalah "Max Weber saat ini", julukan itu muncul mengalir berkat bukunya yang berjudul Religi Tokugawa. Dalam bukunya, Profesor lulusan Harvard University itu mencoba menjelaskan bahwa agama berperan dalam rasionalisasi politik dan ekonomi. Bukan hanya kompas yang mewancarai dan menerbitkanya pada edisi Jum'at, 4 Desember 1992 tetapi sayapun terglitik untuk membaca karyanya.

Setiap kata-kata dan penjelasanya memang menarik, menginspirasi dan membakar semangat. Setelah memutar balik, akhirnya saya terhenti di halaman 121. Di situ di jelaskan mengenai 'Bushido', 'Bushido' dalam masanya dikenal sebagai bentuk kelas sosial bagi kaum samurai atau jalan prajurit. Istilah ini berkembang pada masa Tokugawa dan sebagian besar telah menganggapnya sebagi etika nasional.

Tokugawa Mitsukuni (1628-1700) adalah pangeran ketiga dari Mito. Tokugawa menganggap bila kelas samurai adalah perwujudan dan penjagaan moralitas. "Jika tidak ada samurai, kebenaran (giri) akan musnah dari masyarakat manusia, rasa malu akan hilang, dan kesalahan serta ketidakadilan akan merajalela" tulisnya dalam pemerintah untuk para pengikutnya.

Ketika semua orang lari dan berusaha untuk tidak memikirkan kematian, 'Bushido' justru sebaliknya. Mengingat kematian dari pagi, siang, sore hingga hendak tidur bagi 'Bushido' adalah suatu kewajiban. Kematian bukanlah tombak menaktukan tetapi justru inspirasi dan sumber motivasi bagi sebuah kesetiaan dan tanggung jawab (Hagekure).

Dalam buku peganganya Budho Shoshinshu yang disusun pada abad 17, pandangan akan kematian sebagai samurai sejati sungguh terasa melekat. Budhisme Zen mungkin adalah sumbangsih terbesar dalam buku itu, dijelaskan bahwa "selalu merindukan kematian akan membuatnya (Bushido) memberi jarak dari benda dan tidak akan bersifat tamak, dan akan menjadi, seperti yang telah saya katakan, pribadi yang baik!".

Tapi rasanya itu menjadi berarti, dimana saat ini jepang berubah menjadi kuat dan disiplin. Paradigma terhadap kematian membangkitkan rasa untuk melakukan yang terbaik semasa hidup. Dalam kemasan modern munculah istilah baru yang menjadi manifestasi 'Budisho' yaitu mungkin 'Harakiri'. Ketika tidak berguna maka mati adalah jalan satu-satunya untuk menjadi terhormat. Kematian yang agung, kematian yang di hormati......

Kepercayaan mistis akan cinta terhadap budaya 'Bushido' tidak hanya di aplikasikan dengan Harakiri tetapi pun jadwal-jadwal kerja yang baik. Konfusian terkenal Muro Kyuso adalah salah satunya, dia menjadwal bangun (06.00) dan tidur (00.00) bahkan dalam khayalnya ketika roh malas muncul dia akan memanggil roh baik yang bisa membuatnya rajin kembali. Mungkin ada ribuan Kyuso-kyuso lain di Jepang yang membuat Jepang tetap kokoh meski Hiroshima dan Nagasaki hancur.

Apakah 'Bushido' pun menjadi perlu ketika rasa rindu akan kematian tidaklah menjadi barang mewah lagi di Indonesia?. Pemikiran akan kehidupan yang panjang sudah tidak lagi relevan dimana leha-leha, ktamakan yang lupa akan kewajiban bahkan justru saling menghancurkan. Yusidho Shoin berkata "Istirahat itu setelah mati. Ini suatu motto, pendek tetapi sarat dengan arti. Ketekunan, kemauan keras. Tidak ada jalan lain".

Haik Bushido.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar