Jumat, 24 Februari 2012

Keadilan

Kita bayangkan Indonesia dulu, dimana saat manusia masih menggunakan batu untuk memasak dan mengerjakan segalanya bergantung batu. Ribuan tahun lalu di Mojokerto sana tepatnya di desa Trinil. Hiduplah manusia setengah kera yang kemudian di beri nama Pythecantropus Erectus.

Sebagaimana di daerah lain di seluruh belahan dunia 'manusia kera' inipun di temukan jua di negeri ramayana ini. Adalah Darwin, seorang profesor kenamaan Amerika yang mengabadikan fenomena ini. Darwin menganggap bahwa 'manusi kera' itu adalah wajah manusia ribuan tahun yang lalu.

Asumsi Darwin mengenai 'Pythecantropus Erectus' adalah manusia dalam masa zaman batu ternyata tidak mendogma begitu larut. Teori Darwin ini pada perjalananya menimbulkan banyak penolakan dan sejauh ini agama adalah garda terdepan dari seluruh penolakan-penolakan terhadap teori ini. Contohnya dalam Islam, disitu di jelaskan jikalau nenek moyang kita di mahkotakan kepada Adam, begitupun Kristen dan Yahudi.

Semakin cerah, Indonesia mulai menemukan jalanya. Muncul satu persatu kerajaan dari Majapahit, Sriwijaya hingga kerajaan Islam Mataram. Kehidupan manusia saat ini tentulah tidak dapat di pisahkan dari kehidupan manusia sebelumnya. Satu tujuan yang bahkan menimbulkan peperangan itu pada dasarnya adalah keinginan menegakan keadilan. Dimana satu dengan yang lainya memiliki hak yang sama dan sesuai.

Kekuasaan serta wacana tentang perubahan bahkan agama semua terpusat pada keadilan yang merata. Dimana hukum dan ekonomi menjadi palang pintu pertama menuju keselarasan itu. Lalu apakah itu keadilan?. Diawali dari agama, dalam teori Kristen seperti apa yang di kemukakan Harvey, keadilan adalah suatu bentuk peraturan untuk alam bahkan tuhan, untuk hak manusia dapat hilang mengingat dosa yang manusia itu lakukan, dan pada hubungan social. Hampir sama dengan Kristen, Budhapun berpendapat jika keadilan haruslah di berlakukan kepada semua makhluk hidup, budha mengajarkan tentang kesabaran dan haram menyakiti makhluk lain.

Dalam Islam keadilan menjadi suatu pokok yang sangat di junjung tinggi. Seperti salah satunya yang terdapat dalam surat Q.S.al-Maidah:8. Di jelaskan jika keadilan adalah tentang menyampingkan kebencian, menyama ratakan hak dan mencintai sesama. Satu petikanya yaitu "janganlah karena kebencianmu terhadap suatu kaum sehingga kamu berbuat tidak adil". Hematnya dalam prespektif Islam keadilan adalah sesuatu yang membawa kedamaian dan ketenteraman dalam masyarakat.

Selain itu adapula beberapa tokoh, salah satunya yang paling giat mengoreksi keadilan adalah Plato. Plato mengungkapkan bahwa keadilan adalah salah satu dari empat pilar kebaikan pokok yang harus dimiliki oleh setiap individu yang bertujuan untuk negara ideal. Plato menolak jika keadilan itu di hubungkan dengan hukum. Plato tidak sependapat dengan Polemarchos yang mengatakan bahwa keadilan ialah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Plato pun tidak setuju dengan definisi Cephalos tentang keadilan ialah kejujuran, tidak menipu dan membayar hutang kepada dewa yang di sebut persembahan.

Plato sang juru bicara Socrates menganggap bahwa keadilan itu debadakan menjadi dua. Ada keadilan individual adapula keadilan dalam negara. Dalam memahami keadilan individual, Plato menganggap haruslah ditemukan dulu kesepakan keadilan menurut definisi negara. Karena negara dan manusia memiliki persamaan tetapi ukuran negara lebih besar dari manusia. Dalam ukuran yang besar itu segalanya lebih mudah terlihat dan dipahami.

Untuk menentukan keadilan negara Plato atau si lebar ini membahas terbentuknya negara terlebih dahulu. Dalam membahas ini Plato terlihat tidak menggunakan teori historis melainkan dengan analitikal ekonomis. Plato memulai itu dengan melihat keinginan serta kebutuhan masyrakat pada umumnya dengan kemampuan yang dimilikinya. Sehingga munculah teori kedilan Plato yang ber asumsi pada pembagian kerja yang sesuai dengan bekat, keahlian serta ketrampilan masing-masing.

Dalam konsep keIndonesian, corak menuju bangsa yang barupun tidak lepas dari keinginan keadilan. Dengan gagah Tan Malaka berpendapat jika keadilan sosial sejatinya dapat tercapai dengan cara membangkitkan kesadaran melalui ilmu pengetahuan dan membebaskan diri dari cara berpikir onservatif yang justru memupuk sikap mental yang kacau. Berbeda dengan Tan Malaka, Soekarno justru berpendapat cara tradisionalah yang seharusnya dipakai, karena segi historis sangatlah penting guna membentuk peradaban yang seimbang.

Tetapi memang keadilan adalah sesuatu yang abstrak dan tidak dapat di aplikasikan melalui kesepakatan. Menurut saya keadilan adalah suatu teori mengenai kesepakatan, konsistensi serta kesadaran. Dimana semua setuju tentang haknya masing-masing dan saling menghargai. Sepakat dengan apa yang menjadi miliknya dan menerapkan keadilan itu dengan tulus. Dan kesadaran tentang dirinya guna menyadari kapasitasnya untuk dapat menghargai dan saling mencintai sesama manusia.

Pendapat saya mengenai keadilan bukanlah suatu hipotesis atau paham yang sementara dipakai dalam belum teruji kebenaranya. Tetapi pendapat mengenai suatu teori, Teori yang dalam bahasa Inggris di artikan satu hipotesis yang sudah di uji. Artinya kebenaran itu dilihat dari tinjuan filsafatis, historis dan sosiologis yang benar-benar terjadi di kehidupan. Kebenaran berdasarkan pengalaman, dimana ada kesepakatan di situ ada keadilan, kesepakatan adalah suatu bentuk yang mengharuskan konsistensi memulai suatu persetujuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar