Rabu, 29 Februari 2012

Noer

"Kemanapun kau hadapkan wajahmu kau akan melihatku"

Pria itu dengan lugas mengatakan apa yang menurutnya di kutip dalam Qur'an. Kata-katanya memang manis dan sudah pasti karena itu adalah kata-kata Tuhan. Ke kiri Tuhan, ke tumbuhan Tuhan, ke depan Tuhan dan kemanapun Tuhan. Tetapi mengapa dunia ini tak seindah nama-namanya yang dalam Qur'an sampai berjumlah 99?.

Kemajuan zaman membuat orang begitu mudah berinteraksi. Tak hanya mengirim surat tetapi juga bertelepon menggunakan suara hingga chatting secara visual bertatap muka. Begitu cepat berlalu hingga jarakpun tak terlalu memisahkan waktu. Wajah-wajah Tuhan terlihat dalam sebuah senyuman audio dalam sumringahnya visual.

Tetapi apakah itu?, ternyata tidak lantas pula seperti itu. "Lalu bila begitu kita adalah jelmaan Tuhan" "Bukan, tetapi kita adalah bentuk eksistensi dari Tuhan" jawabnya. Hubunganya bukan seperti mix dengan kabelnya yang apabila di colokan lalu menyala. Tetapi seperti cahaya lampu yang apabila lampu itu kita tutup maka gelaplah yang kita temukan.

Bagian-bagian itu menunjuk pada pertanyaan-pertanyaan selanjutnya tentang mengapa?. "Jika memang kita ini adalah bagianya yang tentunya sifat baik terkumpul kepadanya, mengapa masih banyak penjahat, apakah penjata itu adalah bentuk eksistensi dari sifat-sifatnya juga?". Rumit memang pertanyaanya, tetapi sungguh mengglitik dan nyaris merobohkan argumentasi Mohammad Nor, sahabat saya.

Ada satu contoh lagi, air itu bersih (dalam konteks air putih yang biasa kita kenal). Kita dan Tuhan adalah ibarat air dengan ombaknya. Ombak bukan lautan dan lautanpun bukan ombak. Ombak dan lautan adalah contoh relasi sekunder, ombak itu adalah bagian dari lautan yang notabene air dan air itu putih, bersih.

Jika kita adalah bagianya tentunya kita seharunya menjadi baik. "Air memang selalu bersih, selalu bening tetapi yang kotor adalah gelasnya". Wuiih, mantapnya argument itu mengingatkan kita pada argumen Ibn Aribi. "Bukan tuhan yang memiliki keburukan tetapi wadah kitalah yang buruk sehingga beningnya air itu tak terlihat" paparnya.

Tuhan selalu berada di dalam jiwa kita, Tuhan pemaaf, bersih dan segala kebaikan lainya. Pikiran dan sifat adalah wadah dari sebuah jiwa. Manusia adalah manifestasi dari Tuhan dan karena itu manusia satu dalam jiwa. "Mahuw al insan?, Al insan Hayawanun nathiq", manusia adalah makhluk yang berpikir. Pernahkah kita memikirkan ini?

Dalam buku Niels Murdet tentang kebatinan jawa dia menjelaskan bilamana di jawa dikenal istilah "Sepi ing pamrih, rame ing gawe, Mamayu hayuning buwono" yang artinya "Tidak mementingkan diri sendiri, selalu giat bekerja, Menjaga keindahan dunia". Setidaknya kata-kata ini menjadi etika kebatinan yang di rumuskan bersama-sama oleh BKKI (Badan Kongres Kebatinan seluruh Indonesia) di Semarang pada tahun 1955.

Djojodigoeno seorang penafsir dan mistikawan menjelaskan jika kebaikan itu tidak lain akibat dari sikap 'sepi ing pamrih'. Kondisi di dunia bisa menjadi baik karena sikap ini karena manusia mempunyai sikap yang benar menurutnya. Dengan tidak mementingkan diri, manusia akan mampu mengamalkan Ar-rahman dan Ar-rohim "pengasih dan penyayang".

Setelahnya adalah "rame ing gawe", menurut Sosrosudigdo "rame ing gawe" berarti "bekerja sepenuh hati untuk kepentingan umum". Implikasinya sama dengan tidak mementingkan diri sendiri tetapi dalam konteks yang luas. Setelah semuanya barulah "Mamayu Hanung buwono" atau yang menurut De Jong "menghiasi dunia"

Bukan manusia bila tak lelah bertanya, bukan manusia pula bila iya tak penasaran. Muncul kembali di benaknya sebuah ayat "Kebaikan itu adalah aku sedangkan keburukan itu adalah kamu". Menurutnya ini tidak sesuai dengan Mohammad Nor bila Kita ada manifestasi dari Tuhan. Dengan santainya "Aku memberikanmu cahaya (ilmu adalah cahaya) tetapi mengapa engkau menutup pintumu" balasnya, memang luar biasa sekali Dr lulusan Iran ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar