"Kemanapun kau hadapkan wajahmu kau akan melihatku"
Pria itu dengan lugas mengatakan apa yang menurutnya di kutip dalam
Qur'an. Kata-katanya memang manis dan sudah pasti karena itu adalah
kata-kata Tuhan. Ke kiri Tuhan, ke tumbuhan Tuhan, ke depan Tuhan dan
kemanapun Tuhan. Tetapi mengapa dunia ini tak seindah nama-namanya yang
dalam Qur'an sampai berjumlah 99?.
Kemajuan zaman membuat orang begitu mudah berinteraksi. Tak hanya
mengirim surat tetapi juga bertelepon menggunakan suara hingga chatting
secara visual bertatap muka. Begitu cepat berlalu hingga jarakpun tak
terlalu memisahkan waktu. Wajah-wajah Tuhan terlihat dalam sebuah
senyuman audio dalam sumringahnya visual.
Tetapi apakah itu?, ternyata tidak lantas pula seperti itu. "Lalu
bila begitu kita adalah jelmaan Tuhan" "Bukan, tetapi kita adalah bentuk
eksistensi dari Tuhan" jawabnya. Hubunganya bukan seperti mix dengan
kabelnya yang apabila di colokan lalu menyala. Tetapi seperti cahaya
lampu yang apabila lampu itu kita tutup maka gelaplah yang kita temukan.
Bagian-bagian itu menunjuk pada pertanyaan-pertanyaan selanjutnya
tentang mengapa?. "Jika memang kita ini adalah bagianya yang tentunya
sifat baik terkumpul kepadanya, mengapa masih banyak penjahat, apakah
penjata itu adalah bentuk eksistensi dari sifat-sifatnya juga?". Rumit
memang pertanyaanya, tetapi sungguh mengglitik dan nyaris merobohkan
argumentasi Mohammad Nor, sahabat saya.
Ada satu contoh lagi, air itu bersih (dalam konteks air putih yang
biasa kita kenal). Kita dan Tuhan adalah ibarat air dengan ombaknya.
Ombak bukan lautan dan lautanpun bukan ombak. Ombak dan lautan adalah
contoh relasi sekunder, ombak itu adalah bagian dari lautan yang
notabene air dan air itu putih, bersih.
Jika kita adalah bagianya tentunya kita seharunya menjadi baik. "Air
memang selalu bersih, selalu bening tetapi yang kotor adalah gelasnya".
Wuiih, mantapnya argument itu mengingatkan kita pada argumen Ibn Aribi.
"Bukan tuhan yang memiliki keburukan tetapi wadah kitalah yang buruk
sehingga beningnya air itu tak terlihat" paparnya.
Tuhan selalu berada di dalam jiwa kita, Tuhan pemaaf, bersih dan
segala kebaikan lainya. Pikiran dan sifat adalah wadah dari sebuah jiwa.
Manusia adalah manifestasi dari Tuhan dan karena itu manusia satu dalam
jiwa. "Mahuw al insan?, Al insan Hayawanun nathiq", manusia adalah
makhluk yang berpikir. Pernahkah kita memikirkan ini?
Dalam buku Niels Murdet tentang kebatinan jawa dia menjelaskan
bilamana di jawa dikenal istilah "Sepi ing pamrih, rame ing gawe, Mamayu
hayuning buwono" yang artinya "Tidak mementingkan diri sendiri, selalu
giat bekerja, Menjaga keindahan dunia". Setidaknya kata-kata ini menjadi
etika kebatinan yang di rumuskan bersama-sama oleh BKKI (Badan Kongres
Kebatinan seluruh Indonesia) di Semarang pada tahun 1955.
Djojodigoeno seorang penafsir dan mistikawan menjelaskan jika
kebaikan itu tidak lain akibat dari sikap 'sepi ing pamrih'. Kondisi di
dunia bisa menjadi baik karena sikap ini karena manusia mempunyai sikap
yang benar menurutnya. Dengan tidak mementingkan diri, manusia akan
mampu mengamalkan Ar-rahman dan Ar-rohim "pengasih dan penyayang".
Setelahnya adalah "rame ing gawe", menurut Sosrosudigdo "rame ing
gawe" berarti "bekerja sepenuh hati untuk kepentingan umum".
Implikasinya sama dengan tidak mementingkan diri sendiri tetapi dalam
konteks yang luas. Setelah semuanya barulah "Mamayu Hanung buwono" atau
yang menurut De Jong "menghiasi dunia"
Bukan manusia bila tak lelah bertanya, bukan manusia pula bila iya
tak penasaran. Muncul kembali di benaknya sebuah ayat "Kebaikan itu
adalah aku sedangkan keburukan itu adalah kamu". Menurutnya ini tidak
sesuai dengan Mohammad Nor bila Kita ada manifestasi dari Tuhan. Dengan
santainya "Aku memberikanmu cahaya (ilmu adalah cahaya) tetapi mengapa
engkau menutup pintumu" balasnya, memang luar biasa sekali Dr lulusan
Iran ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar