Rabu, 29 Februari 2012

Semangat Kaum Muda (Will)

Oleh : Bakhrul Amal MS

Kaum muda adalah senjata amunisi yang paling ampuh dalam membangun suatu negara atau daerah menuju perubahan yang lebih baik. Tetapi akhir-akhir ini peranan pemuda itu mulai hilang dengan hadirnya era yang di sebut globalisasi dan cenderung kapitalis. Namun artian  hilang dalam arti bukan tidak ada tetapi dalam artian “zero but not empty”, ada tetapi tidak bisa menempatkan posisinya dengan baik.

Pemuda dalam masa kemerdekaan tentunya memiliki tempat yang begitu istimewa bagi seorang Soekarno dimana Soekarno berkata “berikan aku sepuluh anak muda maka akan ku taklukan dunia”. Jargon yang di lontarkan Sokarno pada saat itu bukanlah tidak beralasan tetapi sangatlah memiliki arti filosofi tersendiri. Dimana anak muda masih memiliki tenaga, otak yang fresh dan kekuatan yang dalam harapanya bisa ia bawa untuk merubah dunia.

Kata ‘berikanlah’ itu adalah sebuah kata harapan, keinginan atau kasarnya berharap di beri. Anak muda yang Soekarno harapkan adalah anak muda yang siap ‘menaklukan dunia’, dia memerlukan seribu orang tua untuk mencabut gunung semeru tetapi hanya perlu sepuluh anak muda untuk menaklukan dunia. Kata-kata ini agaknya kurang di perhatikan bahkan di renungkan filosofinya oleh anak-anak muda sekarang.

Pergaulan anak muda kita dari dulu hingga sekarang, terdiri oleh klassen atau strata sosial, yakni strata sosial dari tinggi, tengah dan rendah atau yang biasa kita kenal dengan istilah proletar dan borjuis.  Di dalam bukunya Das Kapital Karl Marx berpandangan, adanya kasta-kasta itulah yang pada akhirnya menimbulkan politik, Agama dan adat. Selain itu Marx beranggapan bahwa sejarah dari semua bangsa adalah perebutan eksistensi antara kasta rendah dan tinggi yang saling ‘membunuh’ antara yang menginjak dan terinjak.

Dalam sejarah bangsa Indonesia perbandingan klassen itu banyak menimbulkan cerita perjuangan mendobrak strata sosial, seperti kisah keberanian Ken Arok, ketulusan Jaka Tingkir hingga kedermawanan Sunan Kalijaga. Mereka adalah tokoh yang mencoba untuk meratakan kebahagiaan bagi orang-orang sekitarnya yang akhirnya menjadi rakyatnya. Pembagian kebahagiaan  itu di lakukan dengan cara mencuri hartawan yang lalu menempatkan mereka menjadi dermawan bagi kaum kelas bawah karena harta yang mereka dapatkan akhirnya di bagi-bagikan bagi mereka yang tidak mampu pada masanya.

Jika kita perhatikan Ken Arok, Jaka Tingkir dan Sunan Kalijaga melakukan tindakan ‘Zorro’nya ketika mereka menginjak masa muda atau sebelum menjadi orang yang benar-benar bijaksana dalam memahami kehidupan. Mereka pada saat itu melakukanya tanpa rasa bersalah kecewa ataupun menyesal.  Tetapi itulah semangat kaum muda, kaum yang menjunjung tinggi idealism dimana kebaikan dan kejahatan masih menjadi sorotan yang penting di dalam hatinya. Apapun yang mereka lakukan adalah untuk kepuasan dan kebenaran tanpa memikirkan esensi kebaikan. Imam Al-Ghazali pernah berkata bahwa “amar ma’ruf nahi munkar dalam pengaplikasianya untuk mengajak ma’ruf haruslah dengan cara yang ma’ruf juga, bukan dengan munkar”.

Masalah klassen pula yang membawa rakyat Indonesia terbawa oleh budaya suatu bangsa yang menyiksa Indonesia selama 350 tahun, tidak lain adalah  Belanda. Budaya yang mereka bawa yaitu budaya yang bersifat demogogisch, ialah sifat berdalih, sifat yang suka mempertentangkan permasalahan-permasalahan kecil dan cenderung melupakan pokok permasalahan yang besar. Fakta itu bisa di lihat pada tahun 1940 negara sekecil Belanda memiliki partai politik sebanyak lima puluh dua. Coba perhatikan dan bandingkan dengan Indonesia dewasa ini tentunya tidak berbeda bukan.

Memang sangatlah sulit untuk membawa perbedaan pikiran yang sedang dalam transformasi kepada satu cita-cita yang sama yang saling membangun dan tak berubah. Karena itu pekerjaan yang berat ini di harapkan dapat membawa kaum muda seluruh Indonesia pada umumnya dan Cirebon pada khususnya kepada garis-garis perjuangan yang sesuai dan selaras. Perjuangan  kaum muda jangalah mudah terpropaganda menjadi tindakan untuk mencari keuntungan, kerusuhan dan mempercayai hal-hal yang bersifat ilusi. 

WILL

Dalam bahasa inggris kita mengenal kata ‘will’ yang berarti kamauan, will bila kita kembangkan dapat menjadikan tekun dan bekerja dengan sepenuh hati. Saya mencoba mengambil ‘will’ dalam arti bekerja dengan sepenuh hati karena kemauan.

Kita bisa ambil kisah masa lalu, dahulu rakyat majapahit bercocok tanam, berternak, memahat batu dan membangun daerah siang malam tanpa rasa lelah bahkan tidak memikirkan gaji atau  dalam istilah majapahit di sebut genduk. Mungkin bila itu terjadi pada masa-masa ini, orang lain akan menganggapnya sebagai suatu penyiksaan raja terhadap rakyatnya. Tetapi bagi rakyat majapahit itulah yang di sebut dengan semangat ‘will’. Mereka melakukanya dengan ikhlas dan penuh semangat demi kemajuan bangsanya.

Kita juga bisa contohkan ‘will’ itu seperti seorang anak yang hobi bermain game online, siang malam di depan komputer. Mungkin orang lain memandang “orang itu membuang waktu, melakukan hal percuma dan menyiksa diri”. Padahal anak itu melakukanya dengan ‘will’,  dengan senang hati dan penuh kebahagiaan tanpa kesengsaraan sedikitpun.

Tony Buzan dalam bukunya Gunakan Kepala Anda pernah mengabadikan seorang bernama Edward Hughes. Seorang siswa dengan prestasi minim, tidak memiliki kelebihan dalam pelajaran apapun pada tahun 1982 dan pemegang tetap nilai C dan B. Hughes seperti anak muda pada umumnya yang memiliki keinginan untuk melanjutkan kuliah di tempat terbaik dan dia bermipi dapat melanjutkan study ke Cambridge University.

Dia mencoba dan terus berusaha melakukan yang terbaik karena dia sadar apabila nilainya tetap seperti ini, dia tidak mempunyai peluang menuju Cambridge University. Akhirnya semangat itu menuntunya kepada buku Gunakan Kepala Anda yang di berikan ayahnya kepadanya. Buku itu telah memberikan semangat ‘will’ kedalam hidupnya dan membangkitkan kembali keinginanya. Tanpa lelah dia membaca dan belajar siang dan malam.

Kebangkitan Hughes ini awalnya di ragukan oleh guru-gurunya, apalagi dia tidak hanya ingin mengikuti ujian menuju
Cambridge tetapi dia juga ingin menulis makalah untuk mendapatkan beasiswa. Hughes terus berjanji dan meyakinkan keraguan guru-gurunya yang bahkan mengatakan padanya “Jangan maca-macam! Kamu mungkin dapat memperoleh nilai B, tetapi peluangmu lebih besar kea rah nilai C”.

Akhirnya Hughes pada waktu yang telah di tentukan Hughes mengikuti empat macam ujian: Geografi, makalah Beasiswa Geografi, Studi Bisnis dan Sejarah. Secara mengejutkan seorang siswa yang memiliki predikat buruk dan sangat di ragukan guru-gurunya justru mendapatkan nilai terbaik. Hughes lulus tes beasiswa dengan mengantongi keseluruhan nilai A, peringkat siswa top dan berhak mendapat beasiswa menuju Cambridge University.

Kisah Edward Hughes ini setidaknya memiliki dua hikmah yang dapat kita ambil. Pertama optimis, sikap optimis akan sebuah keberhasilan akan membawa kita kepada hasil yang memuaskan. Kedua kemauan atau ‘will’, dengan kemauan Hughes dapat merubah hal yang tidak mungkin (siswa dengan predikat nilai C dan B mengikuti tes beasiswa) menjadi mungkin (lulus dengan pringkat siswa terbaik dan nilai A).

Bayangkan bila semangat ‘will’ dan kisah Edward Hughes ini kita transfers ke zaman globalisasi yang menghamba kapitalis saat ini untuk membangun bangsa. Bukan tidak mungkin pada akhirnya anak muda mampu bangkit, berjuang dan berkarya tanpa lagi berpikir pada uang. Berjuang secara ‘will’ demi kebaikan bersama dan kemajuan bangsa atau dalam lingkup kecil daerah yang selalu di inginkan foundingfathers bangsa ini.

Dan saya berpikir sudah saatnya anak muda saat ini mengambil peranya dalam membangun daerahnya masing-masing, berjuang itu tidak hanya dengan melakukan tuntutan. Tetapi ada banyak cara untuk berjuang contohnya dengan disiplin kerja atau arbeid­discipline, karya dan perjuangan yang lebih nyata.

Dengan semangat ‘will’ tentunya kita berharap supaya mendapat kepercayaan dari manapun, bahwa kita betul-betul memiliki semangat perjuangan. Itulah cara yang harus kita lakukan agat kita dapat berkomonukasi dengan baik dengan siapapun dan bisa mengajak siapapun kepada aksi yang teratur sesuai ide kita.

Kita harus cerdas membaca situasi seperti apa yang di lakukan Sunan Gunung Djati, kita tidak bisa mengadakan atau memaksakan kehendak untuk menentukan sikap sebelum semua tanda-tanda itu keluar. Kita perlu ketenangan, ‘will’ dan pengetahuan luas tentang ekonomi, politik serta pengetahuan yang dalam sekali atas psikologi atau tabiat masyarakat kita. Agar peranan pemuda ini dapat terasa kembali secara positif dan  menyeluruh di masyarakat maupun birokrasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar