Oleh : Bakhrul Amal MS
Kaum muda adalah senjata amunisi
yang paling ampuh dalam membangun suatu negara atau daerah menuju
perubahan yang lebih baik. Tetapi akhir-akhir ini peranan pemuda itu
mulai hilang dengan hadirnya era yang di sebut globalisasi dan cenderung
kapitalis. Namun artian hilang dalam arti bukan tidak ada tetapi dalam
artian “zero but not empty”, ada tetapi tidak bisa menempatkan
posisinya dengan baik.
Pemuda dalam masa kemerdekaan
tentunya memiliki tempat yang begitu istimewa bagi seorang Soekarno
dimana Soekarno berkata “berikan aku sepuluh anak muda maka akan ku
taklukan dunia”. Jargon yang di lontarkan Sokarno pada saat itu bukanlah
tidak beralasan tetapi sangatlah memiliki arti filosofi tersendiri.
Dimana anak muda masih memiliki tenaga, otak yang fresh dan kekuatan
yang dalam harapanya bisa ia bawa untuk merubah dunia.
Kata
‘berikanlah’ itu adalah sebuah kata harapan, keinginan atau kasarnya
berharap di beri. Anak muda yang Soekarno harapkan adalah anak muda yang
siap ‘menaklukan dunia’, dia memerlukan seribu orang tua untuk mencabut
gunung semeru tetapi hanya perlu sepuluh anak muda untuk menaklukan
dunia. Kata-kata ini agaknya kurang di perhatikan bahkan di renungkan
filosofinya oleh anak-anak muda sekarang.
Pergaulan anak
muda kita dari dulu hingga sekarang, terdiri oleh klassen atau strata
sosial, yakni strata sosial dari tinggi, tengah dan rendah atau yang
biasa kita kenal dengan istilah proletar dan borjuis. Di dalam bukunya
Das Kapital Karl Marx berpandangan, adanya kasta-kasta itulah yang pada
akhirnya menimbulkan politik, Agama dan adat. Selain itu Marx
beranggapan bahwa sejarah dari semua bangsa adalah perebutan eksistensi
antara kasta rendah dan tinggi yang saling ‘membunuh’ antara yang
menginjak dan terinjak.
Dalam sejarah bangsa Indonesia
perbandingan klassen itu banyak menimbulkan cerita perjuangan mendobrak
strata sosial, seperti kisah keberanian Ken Arok, ketulusan Jaka Tingkir
hingga kedermawanan Sunan Kalijaga. Mereka adalah tokoh yang mencoba
untuk meratakan kebahagiaan bagi orang-orang sekitarnya yang akhirnya
menjadi rakyatnya. Pembagian kebahagiaan itu di lakukan dengan cara
mencuri hartawan yang lalu menempatkan mereka menjadi dermawan bagi kaum
kelas bawah karena harta yang mereka dapatkan akhirnya di bagi-bagikan
bagi mereka yang tidak mampu pada masanya.
Jika kita
perhatikan Ken Arok, Jaka Tingkir dan Sunan Kalijaga melakukan tindakan
‘Zorro’nya ketika mereka menginjak masa muda atau sebelum menjadi orang
yang benar-benar bijaksana dalam memahami kehidupan. Mereka pada saat
itu melakukanya tanpa rasa bersalah kecewa ataupun menyesal. Tetapi
itulah semangat kaum muda, kaum yang menjunjung tinggi idealism dimana
kebaikan dan kejahatan masih menjadi sorotan yang penting di dalam
hatinya. Apapun yang mereka lakukan adalah untuk kepuasan dan kebenaran
tanpa memikirkan esensi kebaikan. Imam Al-Ghazali pernah berkata bahwa
“amar ma’ruf nahi munkar dalam pengaplikasianya untuk mengajak ma’ruf
haruslah dengan cara yang ma’ruf juga, bukan dengan munkar”.
Masalah
klassen pula yang membawa rakyat Indonesia terbawa oleh budaya suatu
bangsa yang menyiksa Indonesia selama 350 tahun, tidak lain adalah
Belanda. Budaya yang mereka bawa yaitu budaya yang bersifat demogogisch, ialah sifat berdalih,
sifat yang suka mempertentangkan permasalahan-permasalahan kecil dan
cenderung melupakan pokok permasalahan yang besar. Fakta itu bisa di
lihat pada tahun 1940 negara sekecil Belanda memiliki partai politik
sebanyak lima puluh dua. Coba perhatikan dan bandingkan dengan Indonesia
dewasa ini tentunya tidak berbeda bukan.
Memang sangatlah
sulit untuk membawa perbedaan pikiran yang sedang dalam transformasi
kepada satu cita-cita yang sama yang saling membangun dan tak berubah.
Karena itu pekerjaan yang berat ini di harapkan dapat membawa kaum muda
seluruh Indonesia pada umumnya dan Cirebon pada khususnya kepada
garis-garis perjuangan yang sesuai dan selaras. Perjuangan kaum muda
jangalah mudah terpropaganda menjadi tindakan untuk mencari keuntungan,
kerusuhan dan mempercayai hal-hal yang bersifat ilusi.
WILL
Dalam
bahasa inggris kita mengenal kata ‘will’ yang berarti kamauan, will
bila kita kembangkan dapat menjadikan tekun dan bekerja dengan sepenuh
hati. Saya mencoba mengambil ‘will’ dalam arti bekerja dengan sepenuh
hati karena kemauan.
Kita bisa ambil kisah masa lalu,
dahulu rakyat majapahit bercocok tanam, berternak, memahat batu dan
membangun daerah siang malam tanpa rasa lelah bahkan tidak memikirkan
gaji atau dalam istilah majapahit di sebut genduk. Mungkin
bila itu terjadi pada masa-masa ini, orang lain akan menganggapnya
sebagai suatu penyiksaan raja terhadap rakyatnya. Tetapi bagi rakyat
majapahit itulah yang di sebut dengan semangat ‘will’. Mereka
melakukanya dengan ikhlas dan penuh semangat demi kemajuan bangsanya.
Kita
juga bisa contohkan ‘will’ itu seperti seorang anak yang hobi bermain
game online, siang malam di depan komputer. Mungkin orang lain memandang
“orang itu membuang waktu, melakukan hal percuma dan menyiksa diri”.
Padahal anak itu melakukanya dengan ‘will’, dengan senang hati dan
penuh kebahagiaan tanpa kesengsaraan sedikitpun.
Tony Buzan dalam bukunya Gunakan Kepala Anda pernah
mengabadikan seorang bernama Edward Hughes. Seorang siswa dengan
prestasi minim, tidak memiliki kelebihan dalam pelajaran apapun pada
tahun 1982 dan pemegang tetap nilai C dan B. Hughes seperti anak muda
pada umumnya yang memiliki keinginan untuk melanjutkan kuliah di tempat
terbaik dan dia bermipi dapat melanjutkan study ke Cambridge University.
Dia
mencoba dan terus berusaha melakukan yang terbaik karena dia sadar
apabila nilainya tetap seperti ini, dia tidak mempunyai peluang menuju
Cambridge University. Akhirnya semangat itu menuntunya kepada buku Gunakan Kepala Anda yang
di berikan ayahnya kepadanya. Buku itu telah memberikan semangat ‘will’
kedalam hidupnya dan membangkitkan kembali keinginanya. Tanpa lelah dia
membaca dan belajar siang dan malam.
Kebangkitan Hughes ini awalnya di ragukan oleh guru-gurunya, apalagi dia tidak hanya ingin mengikuti ujian menuju
Cambridge
tetapi dia juga ingin menulis makalah untuk mendapatkan beasiswa.
Hughes terus berjanji dan meyakinkan keraguan guru-gurunya yang bahkan
mengatakan padanya “Jangan maca-macam! Kamu mungkin dapat memperoleh
nilai B, tetapi peluangmu lebih besar kea rah nilai C”.
Akhirnya
Hughes pada waktu yang telah di tentukan Hughes mengikuti empat macam
ujian: Geografi, makalah Beasiswa Geografi, Studi Bisnis dan Sejarah.
Secara mengejutkan seorang siswa yang memiliki predikat buruk dan sangat
di ragukan guru-gurunya justru mendapatkan nilai terbaik. Hughes lulus
tes beasiswa dengan mengantongi keseluruhan nilai A, peringkat siswa top
dan berhak mendapat beasiswa menuju Cambridge University.
Kisah
Edward Hughes ini setidaknya memiliki dua hikmah yang dapat kita ambil.
Pertama optimis, sikap optimis akan sebuah keberhasilan akan membawa
kita kepada hasil yang memuaskan. Kedua kemauan atau ‘will’, dengan
kemauan Hughes dapat merubah hal yang tidak mungkin (siswa dengan
predikat nilai C dan B mengikuti tes beasiswa) menjadi mungkin (lulus
dengan pringkat siswa terbaik dan nilai A).
Bayangkan bila
semangat ‘will’ dan kisah Edward Hughes ini kita transfers ke zaman
globalisasi yang menghamba kapitalis saat ini untuk membangun bangsa.
Bukan tidak mungkin pada akhirnya anak muda mampu bangkit, berjuang dan
berkarya tanpa lagi berpikir pada uang. Berjuang secara ‘will’ demi
kebaikan bersama dan kemajuan bangsa atau dalam lingkup kecil daerah
yang selalu di inginkan foundingfathers bangsa ini.
Dan
saya berpikir sudah saatnya anak muda saat ini mengambil peranya dalam
membangun daerahnya masing-masing, berjuang itu tidak hanya dengan
melakukan tuntutan. Tetapi ada banyak cara untuk berjuang contohnya
dengan disiplin kerja atau arbeiddiscipline, karya dan perjuangan yang lebih nyata.
Dengan
semangat ‘will’ tentunya kita berharap supaya mendapat kepercayaan dari
manapun, bahwa kita betul-betul memiliki semangat perjuangan. Itulah
cara yang harus kita lakukan agat kita dapat berkomonukasi dengan baik
dengan siapapun dan bisa mengajak siapapun kepada aksi yang teratur
sesuai ide kita.
Kita harus cerdas membaca situasi seperti
apa yang di lakukan Sunan Gunung Djati, kita tidak bisa mengadakan atau
memaksakan kehendak untuk menentukan sikap sebelum semua tanda-tanda
itu keluar. Kita perlu ketenangan, ‘will’ dan pengetahuan luas tentang
ekonomi, politik serta pengetahuan yang dalam sekali atas psikologi atau
tabiat masyarakat kita. Agar peranan pemuda ini dapat terasa kembali
secara positif dan menyeluruh di masyarakat maupun birokrasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar