Sore itu langit begitu cerah, tidak menunjukan hujan
dan tidak pula matahari menyengat. Mang Mung semakin mantap melangkahkan
kakinya untuk membuka warung. Setelah sampai di depan Cirebon Superblock Mall,
Dia segera menggelar daganganya di pinggir jalan. Aneka makanan disajikan,
adapula sambal goreng khas Cirebonan, Dia saat itu menjajakan sarapan yang
orang Cirebon mengenalnya dengan Sega
Jamblang. Dengan kondisi Cirebon yang bersahabat, Dia berharap dagangannya
laku. Itulah cerita Mang Mung 8 (delapan) tahun yang lalu.
Kondisi Mang Mung saat itu tidaklah sama dengan
kondisi Mang Mung saat ini. Cirebon telah berubah, aromanya tak lagi ramah
dengan masyarakat kecil seperti Mang Mung. Hanya butuh waktu 3 (tiga) tahun
(dari 2010 sampai 2013), Cirebon berhasil menciptakan perubahan besar.
Mall-mall, restoran siap saji dan hotel telah berdiri tegak di Kota dimana Mang
Mung mempertaruhkan nasibnya. Hal itupun kemudian mulai mengganggu Mang Mung,
jajanya tak seramai dulu, masakanya menjadi basi karena tak laku dan keluarga
terbengkalai tak tentu arah.
Sore ini, ya sore dimana biasa Mang Mung bersiap
untuk menggerakan roda ekonomi, terlihat begitu mendung. Namun Mang Mung tak
pantang arah, dengan keyakinan “rezeky sudah di atur Allah”, Dia tetap
berangkat untuk mencari nafkah. Dia memasang tendanya, mempersiapkan meja dan
menaruh kursi tepat dihadapan hidangan yang Dia sajikan. Sesekali Dia mengipasi
masakanya yang dikerumuni lalat, barulah 30 (tiga puluh menit) kemudian
pengunjung datang. Legalah hati Mang Mung sore itu.
Baru satu jam Mang Mung telah berhasil melayani 3
(tiga) konsumen makananya. Luar biasa dan syukur Alhamdulillah terlihat dari
wajahnya. Mang Mung sumringah karena semenjak perubahan besar, mendapatkan 3
(tiga) customer dalam jangka waktu
satu jam sudahlah bagus. Akan tetapi ternyata masalah belumlah selesai,
penurunan pengunjung hanya menjadi satu diantara begitu banyak masalah yang
Mang Mung hadapi semenjak perubahan besar. Mang Mung sore itu pun kemudian
gelisah, rintikan hujan mulai turun menutup ceria wajahnya. Dia semakin takut
ketika petir mulai menyambar-nyambar dan hujan deras pun datang. Kedatangan
hujan itu adalah mimpi buruk kedua yang dilahirkan oleh perubahan besar bagi
Mang Mung.
Cirebon dulu, tentunya Cirebon yang dikenal oleh
Mang Mung adalah Cirebon yang ramah. Hujanya pun justru membawa rezeky bagi
Mang Mung karena banyak orang berteduh dan lapar mengunjungi tempat makannya.
Tetapi Cirebon saat ini, yang datang menyapa Mang Mung tanpa salam, adalah
Cirebon yang justru keras baginya. Hujanya tidak datang beriringan dengan
pengunjung, akan tetapi hujanya datang diiringi banjir yang menyalip mata kaki
hingga menyentuh dengkul. Itulah alasan mengapa Mang Mung kemudian saat ini
murung menyaksikan hujan.
Cerita Mang Mung adalah cerita ilustrasi yang
digambarkan sesuai dengan keadaan sosial yang saat ini dirasakan oleh
masyarakat, utamanya masyarakat Cirebon. Cirebon memang telah berubah, telah
banyak hal yang dicapai dan modernitas mulai menghampiri secara perlahan. Akan
tetapi hukum utama dari perubahan itu selalu memiliki jawaban bahwasanya
perubahan tidaklah hanya membuat kehidupan lebih baik, tetapi juga kadang
(apabila tidak dikelola
dengan baik) membuat kerusakan . Dan untuk mengetahui
dampak perubahan, maka jawaban yang paling tulus hanya ada pada rakyat kecil
atau masyarakat di luar lingkaran birokrasi.
Baru-baru ini, dengan bantuan informasi yang lebih
cepat, Saya mendengar beberapa ocehan kawan
melalui twitter yang mengatakan “CIREBON BANJIR”. Ungkapan yang dibatasi oleh
140 karakter itu bukanlah hal baru yang saya dengar, karena setahun bahkan dua
tahun sebelumnya saya pun mendengar kata-kata itu. Perbedaanya, dulu saya belum
berada di Cirebon dan saat ini setelah menyelesaikan studi , Saya lebih sering
di Cirebon. Untuk membuktikan kalimat tahunan itu, maka Saya menyempatkan diri
untuk menengoknya lebih dekat, Saya mengunjungi titik-titik banjir di Cirebon.
Ternyata, yang membuat Saya terkejut adalah, ungkapan itu benar adanya, Cirebon
banjir !!
Bukan ingin mengumpat atau mungkin mencaci maki
tetapi Saya hanya hendak mengatakan apa yang Nabi Muhammad SAW katakan. Nabi
bersabda bahwa ada dua tipe manusia. Manusia yang pertama menurut nabi adalah
manusia yang beruntung. Siapakah manusia beruntung itu? Dia adalah manusia yang
hari ini lebih baik dari hari kemarin. Sementara itu nabi melanjutkan, bahwa
ada pula manusia yang merugi, yaitu manusia yang hari ini lebih buruk dari hari
kemarin. Dan bila dilihat dari kenyataan satu dan dua tahun sebelumnya, artinya
Cirebon termasuk kategori yang Nabi sebut dengan merugi.
Bila membaca artikel Bagus Purnama dalam blognya,
maka arti dari pembangunan atau development
adalah serangkaian upaya atau langkah untuk memajukan kondisi masyarakat
sebuah kawasan atau negara, dengan konsep pembangunan tertentu. Dilihat secara arti maka ditemukan suatu
benang merah dari tujuan pembangunan, yaitu memajukan kondisi, memperbaiki
kondisi, dari hal yang buruk menuju kearah yang lebih baik. Oleh karena itu,
apabila ada sebuah pembangunan yang kemudian menimbulkan efek negatif maka itu
bukan “pembangunan” tetapi perusakan.
Masyarakat dan tentu pula Saya, seringkali terjebak
pada kata-kata pembangunan ini. Setelah terjebak, Saya kemudian pun
mengamini bahwa gedung-gedung yang
berdiri tegak itu adalah sebuah pembangunan. Kita seolah merasa bahwa
pembangunan itu adalah pendirian gedung-gedung tinggi, rumah yang kemudian
berdiri dan hotel yang dengan jelas bentuk tingkatnya. Nyatanya, pembangunan
bukanlah seremeh itu, pembangunan haruslah memiliki efek dan tujuan perbaikan
terhadap keadaan sebelumnya.
Cirebon saat ini, mungkin adalah Cirebon seperti
dimana Saya dulu belum begitu mengenal arti dari pembangunan. Oleh karena itu
tidak heran apabila bentuk fisik menjadi berhala dari apa yang disebut dengan
pembangunan. Oleh karenanya kesejahteraan dan kebaikan bersama yang justru
menjadi tulang punggung pembangunan kemudian diabaikan. Oleh sebab itu pula,
kebanjiran dan pedagang pinggiran yang kalah saing tidak dinilai sebagai
kegagalan pembangunan. Justru gedung yang belum rampunglah yang disebut dengan
kegagalan pembangunan. Bisa jadi ini pun menjadi alasan mengapa kebanjiran
tidak kunjung ditanggulangi.
Kenyataan ini bisa kita lihat dari apa yang dialami
oleh Mang Mung diatas. Tatapanya yang sayu mengenai Cirebon dan harapanya yang
terhenti karena kesalahkaprahan pembangunan. Ini adalah suatu ironi, suatu
kenyataan yang mencekam, mengingat keberlanjutan bencana banjir tidak
ditanggulangi dengan baik. Perlu berapa banyak Mang Mung yang harus hadir di
Cirebon agar Pemerintah Kota Cirebon membuka kamus mencari arti dari pembangunan.
Maka tidak heran pula, tulisan dengan kritik yang tidak pedas ini seolah
mengatakan bahwa “Mang Mung menyaksikan Cirebon”. Ya mangmung yang dalam pemahaman masyarakat Cirebon berarti bingung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar