Minggu, 05 Januari 2014

Soekarno dan Logika Timur





Soekarno, bukan hanya hidupnya, gerak politiknya bahkan filmnya pun mengandung pro dan kontra. Pria yang lahir di Surabaya pada tanggal 6 Juni 1901 adalah Presiden sekaligus proklamator kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam perjalanan politiknya, Dia begitu dikenal sebagai sosok sosialis yang dulu begitu familiar dikalangan rakyat Indonesia, sehingga label komunis melekat padanya. Dari sisi kehidupanya, Dia memiliki begitu banyak pendamping hidup, sehingga orang yang belum paham betul akan menilainya sebagai pria hidung belang. Sementara filmnya, yang menunjukan bagaimana seolah Dia hidup kembali pun menjadi obrolan hangat antara setuju dan tak setuju. Tetapi terlepas dari itu semua, Soekarno adalah pemikir besar yang memang perlu pengkhayatan untuk memahaminya.

Mungkin banyak yang belum tahu atau bahkan tidak terpikir sedikit pun tentang hal ini. Soekarno besar bukan karena penjara, bukan pula wanita tetapi Soekarno menjadi tumbuh dan memiliki semangat kemanusiaan karena air mata. Jiwanya Soekarno kata Im Yang Tjo “telah menjadi semakin matang karena kedukaan”. Kemudian Im Yang Tjoe melanjutkan “kedukaan telah membuka pikiranya buat mencari ketenangan dari Tuhan”. Masa pergerakan yang sulit dan ditambah penangkapan Tjokroaminoto, adalah masa dimana Soekarno pertama kali dibentuk oleh keadaan untuk menjadi pemikir yang besar.[i]



Beruntunglah Soekarno, hidup dan lahir di Jawa, sehingga secara terang benderang Tuhanya tampak pada agama yang dianutnya yaitu Islam. Sehingga tidak pernah ada sedikitpun kegelisahan dalam hatinya dan menanggap agama sebagai apa yang disebut dengan Derrida taut autre (sang asing). [ii]Dia (Soekarno) tentu bukan agnostik, Dia juga bukan atheis tetapi Dia murni Islam. Dan prinsip mutlak utama kayakinan dari timur adalah menolak logika binner. Soekarno, sebagai seorang Islam yang pemikir tentu paham tentang yin yang, tentu tahu pula tentang adanya sunah diantara halal dan haram dan pepatah jawab ngono yo ngono tapi ojo ngono.

Kedukaan yang membawa Soekarno kembali pada Tuhan dari agamanya Islam telah membawa segala sikap berpikirnya. Dia selalu berada diantara kemungkinan, baik diantara kebaikan dan kejahatan. Gerak-gerik politiknya pun tidak binner (benar dan salah) tetapi selalu memberi ruang pada kebaikan diantara kejahatan dan kejahatan diantara kebaikan. Kedukaan telah menyadarkan dirinya pada Tuhan yang secara tidak langsung juga membawa pengaruh budaya timur. Ciri khas itu pula yang membawanya menjadi pemikir yang disegani dunia.

Hal itu Dia perlihatkan ketika Dia diberi kesempatan untuk berbicara dihadapan peserta kursus Pancasila tahun 1958. Saat itu Dia mencoba menjelaskan pandangan dua tokoh yang memiliki jalan perjuangan berbeda. Tokoh yang Dia jelaskan pada saat itu adalah Stalin dan Trotsky. Tentu kita tahu, mengambil istilah yang dibawakan Soekarno, perang keduanya adalah perang gedachte strijd. Tentu bagi sebagian orang, berada diantara salah satunya adalah sikap yang benar dibanding berada di tengah. Tetapi lagi-lagi Soekarno sadar bahwa sejarah bukan untuk dibaca tetapi untuk dipelajari agar tidak terulang yang tidak baik.

Stalin dan Trotsky adalah tokoh yang sama-sama menganut paham komunisme. Keduanya pun sepakat untuk menolak kelas-kelas yang menjadi bentukan pemikiran kapitalisme. Mereka juga tidak pernah menghendaki ada sekelompok manusia yang menghisap manusia lainya. Akan tetapi dari hal yang sama itu, ternyata bisa juga menimbulkan suatu perseteruan yang hebat, Stalin dan Trotsky bermusuhan hanya menyoal strategi dan tujuan kedepan.

“Kita tidak dapat mendirikan satu masyarakat sosialis atau komunis di Rusia saja, jikalau kita tidak pula menumbangkan kapitalisme di lain-lain negeri” kata Soekarno mencoba menjelaskan gagasan Trotsky. Trotsky menganggap bahwa revolusi bukanlah hal yang selesai, revolusi harus terus menerus diperjuangkan dan sebarluaskan ke seantero dunia. Karena hanya dengan begitulah sosialisme akan tercapai.

Sementara dikesempatan yang sama, Soekarno pun mencoba menjabarkan pemikiran Stallin. “Pusatkan engkau punya perhatian lebih dahulu kepada pemerkuatan benteng yang telah ada di tangan kita,” kali ini Soekarno mencoba untuk menjadi Stalin. Dia menjelaskan bahwa gagasan Stalin lebih kepada penguatan diri terlebih dahulu baru berpikir hal besar mengubah dunia.[iii]

Dari kedua pemikir tersebut, manakah yang kemudian menjadi pilihan Soekarno?

Disinilah, dimana logika ke-timur-an Soekarno berjalan. Dimana seperti yang telah saya sebutkan di atas, logika timur menolak logika binner (benar dan salah).[iv] Dan sudah barang tentu, Soekarno memilih keduanya dan pilihan itu didasari dengan adanya kebaikan diantara Stalin dan Trotsky. Dan akhirnya Soekarno memilih bahwasanya Indonesia perlu memperkuat diri dengan prinsip kebangsaan. Tetapi disisi yang lain Indonesia tidak boleh lupa, bahwa masyarakat adil dan makmur haruslah di perjuangkan bagi seluruh umat manusia, dan hal itu hanya bisa terwujud apabila Indonesia mau membuka diri dengan bangsa lain.

Hal-hal yang bermula dari kedukaan itu kemudian Dia cantumkan dalam kesempatanya pada tanggal 1 Juni 1945 ketika Dia berbicara tentang dasar negara. Sebelum Dia mengambil giliran berpidato, tidak lupa malam harinya Dia berdoa kepada Tuhannya. Dia kemudian merumuskan suatu gagasan kebangsaan, tetapi bukan kebangsaan yang dianut oleh Hitler, yang meniadakan bangsa-bangsa lain dengan merasa dirinya yang terbaik (Hitler menggunakan logika biner dengan anggapan benar dan salah). Tetapi Soekarno memberikan gagasan kebangsaan yang modern yang kebangsaan “menuju pada kekeluargaan bangsa-bangsa”.

Itulah sedikit cerita tentang bagaimana kemudian Soekarno menjadi pemikir yang berbeda dengan pemikir barat lainya. Dia menjadi pemikir tetapi tidak lupa pada asal muasal kelahiranya. Tidak hanya tidak lupa, Dia pun mengamalkan pada setiap jalan pikiranya. Dia tidak pernah menggunakan sesuatu yang sifatnya benar dan salah seperti pemikir barat, tetapi Dia selalu memberikan ruang pada kebenaran dan keasalahan untuk tujuan kehagaian bersama. Dan sikapnya yang seperti inilah yang membuat sosoknya selalu mengundang pro kontra, karena bagi sebagian orang Soekarno seperti memiliki standard ganda. Padahal itu bukan standard ganda tetapi logika ke-timur-an.


[i] Editor Daniel Dhakidea, Soekarno Membongkar Sisi-Sisi Hidup Putra Sang Fajar, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2013), hal 10
[ii] Ian Almond, Neitzche Berdamai Dengan Islam : Islam dan Kritik Moderenitas Nietzsche, Foucault, Derrida (Depok : Kepik Ungu, 2011) Hal 77
[iii] http://www.berdikarionline.com/bung-karnoisme/20110511/ketika-bung-karno-membandingkan-strategi-stalin-dan-trotsky.html
[iv] Prof Sotandyo Wingjosoebroto dalam Lecture Series  : Pergeseran Paradigma dalam Pemikiran Hukum (seri ke-1)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar