Soekarno, bukan hanya hidupnya, gerak politiknya
bahkan filmnya pun mengandung pro dan kontra. Pria yang lahir di Surabaya pada
tanggal 6 Juni 1901 adalah Presiden sekaligus proklamator kemerdekaan Republik
Indonesia. Dalam perjalanan politiknya, Dia begitu dikenal sebagai sosok
sosialis yang dulu begitu familiar dikalangan rakyat Indonesia, sehingga label
komunis melekat padanya. Dari sisi kehidupanya, Dia memiliki begitu banyak
pendamping hidup, sehingga orang yang belum paham betul akan menilainya sebagai
pria hidung belang. Sementara filmnya, yang menunjukan bagaimana seolah Dia
hidup kembali pun menjadi obrolan hangat antara setuju dan tak setuju. Tetapi
terlepas dari itu semua, Soekarno adalah pemikir besar yang memang perlu
pengkhayatan untuk memahaminya.
Mungkin banyak yang belum tahu atau bahkan tidak
terpikir sedikit pun tentang hal ini. Soekarno besar bukan karena penjara,
bukan pula wanita tetapi Soekarno menjadi tumbuh dan memiliki semangat
kemanusiaan karena air mata. Jiwanya Soekarno kata Im Yang Tjo “telah menjadi
semakin matang karena kedukaan”. Kemudian Im Yang Tjoe melanjutkan “kedukaan
telah membuka pikiranya buat mencari ketenangan dari Tuhan”. Masa pergerakan
yang sulit dan ditambah penangkapan Tjokroaminoto, adalah masa dimana Soekarno
pertama kali dibentuk oleh keadaan untuk menjadi pemikir yang besar.[i]
Beruntunglah Soekarno, hidup dan lahir di Jawa,
sehingga secara terang benderang Tuhanya tampak pada agama yang dianutnya yaitu
Islam. Sehingga tidak pernah ada sedikitpun kegelisahan dalam hatinya dan
menanggap agama sebagai apa yang disebut dengan Derrida taut autre (sang asing). [ii]Dia
(Soekarno) tentu bukan agnostik, Dia juga bukan atheis tetapi Dia murni Islam.
Dan prinsip mutlak utama kayakinan dari timur adalah menolak logika binner.
Soekarno, sebagai seorang Islam yang pemikir tentu paham tentang yin yang,
tentu tahu pula tentang adanya sunah diantara halal dan haram dan pepatah jawab
ngono yo ngono tapi ojo ngono.
Kedukaan yang membawa Soekarno kembali pada Tuhan
dari agamanya Islam telah membawa segala sikap berpikirnya. Dia selalu berada
diantara kemungkinan, baik diantara kebaikan dan kejahatan. Gerak-gerik
politiknya pun tidak binner (benar dan salah) tetapi selalu memberi ruang pada
kebaikan diantara kejahatan dan kejahatan diantara kebaikan. Kedukaan telah
menyadarkan dirinya pada Tuhan yang secara tidak langsung juga membawa pengaruh
budaya timur. Ciri khas itu pula yang membawanya menjadi pemikir yang disegani
dunia.
Hal itu Dia perlihatkan ketika Dia diberi kesempatan
untuk berbicara dihadapan peserta kursus Pancasila tahun 1958. Saat itu Dia
mencoba menjelaskan pandangan dua tokoh yang memiliki jalan perjuangan berbeda.
Tokoh yang Dia jelaskan pada saat itu adalah Stalin dan Trotsky. Tentu kita
tahu, mengambil istilah yang dibawakan Soekarno, perang keduanya adalah perang gedachte strijd. Tentu bagi sebagian
orang, berada diantara salah satunya adalah sikap yang benar dibanding berada
di tengah. Tetapi lagi-lagi Soekarno sadar bahwa sejarah bukan untuk dibaca
tetapi untuk dipelajari agar tidak terulang yang tidak baik.
Stalin dan Trotsky adalah tokoh yang sama-sama
menganut paham komunisme. Keduanya pun sepakat untuk menolak kelas-kelas yang
menjadi bentukan pemikiran kapitalisme. Mereka juga tidak pernah menghendaki
ada sekelompok manusia yang menghisap manusia lainya. Akan tetapi dari hal yang
sama itu, ternyata bisa juga menimbulkan suatu perseteruan yang hebat, Stalin
dan Trotsky bermusuhan hanya menyoal strategi dan tujuan kedepan.
“Kita tidak
dapat mendirikan satu masyarakat sosialis atau komunis di Rusia saja, jikalau
kita tidak pula menumbangkan kapitalisme di lain-lain negeri” kata Soekarno
mencoba menjelaskan gagasan Trotsky. Trotsky menganggap bahwa revolusi bukanlah
hal yang selesai, revolusi harus terus menerus diperjuangkan dan sebarluaskan
ke seantero dunia. Karena hanya dengan begitulah sosialisme akan tercapai.
Sementara dikesempatan yang sama, Soekarno pun mencoba
menjabarkan pemikiran Stallin. “Pusatkan engkau punya perhatian lebih dahulu kepada
pemerkuatan benteng yang telah ada di tangan kita,” kali ini Soekarno mencoba
untuk menjadi Stalin. Dia menjelaskan bahwa gagasan Stalin lebih kepada
penguatan diri terlebih dahulu baru berpikir hal besar mengubah dunia.[iii]
Dari kedua pemikir tersebut, manakah yang kemudian menjadi pilihan
Soekarno?
Disinilah, dimana logika ke-timur-an Soekarno berjalan. Dimana seperti yang
telah saya sebutkan di atas, logika timur menolak logika binner (benar dan
salah).[iv]
Dan sudah barang tentu, Soekarno memilih keduanya dan pilihan itu didasari
dengan adanya kebaikan diantara Stalin dan Trotsky. Dan akhirnya Soekarno
memilih bahwasanya Indonesia perlu memperkuat diri dengan prinsip kebangsaan.
Tetapi disisi yang lain Indonesia tidak boleh lupa, bahwa masyarakat adil dan
makmur haruslah di perjuangkan bagi seluruh umat manusia, dan hal itu hanya
bisa terwujud apabila Indonesia mau membuka diri dengan bangsa lain.
Hal-hal yang bermula dari kedukaan itu kemudian Dia cantumkan dalam
kesempatanya pada tanggal 1 Juni 1945 ketika Dia berbicara tentang dasar
negara. Sebelum Dia mengambil giliran berpidato, tidak lupa malam harinya Dia
berdoa kepada Tuhannya. Dia kemudian merumuskan suatu gagasan kebangsaan,
tetapi bukan kebangsaan yang dianut oleh Hitler, yang meniadakan bangsa-bangsa
lain dengan merasa dirinya yang terbaik (Hitler menggunakan logika biner dengan
anggapan benar dan salah). Tetapi Soekarno memberikan gagasan kebangsaan yang
modern yang kebangsaan “menuju pada kekeluargaan bangsa-bangsa”.
Itulah sedikit cerita tentang bagaimana kemudian Soekarno menjadi pemikir
yang berbeda dengan pemikir barat lainya. Dia menjadi pemikir tetapi tidak lupa
pada asal muasal kelahiranya. Tidak hanya tidak lupa, Dia pun mengamalkan pada
setiap jalan pikiranya. Dia tidak pernah menggunakan sesuatu yang sifatnya
benar dan salah seperti pemikir barat, tetapi Dia selalu memberikan ruang pada
kebenaran dan keasalahan untuk tujuan kehagaian bersama. Dan sikapnya yang
seperti inilah yang membuat sosoknya selalu mengundang pro kontra, karena bagi
sebagian orang Soekarno seperti memiliki standard ganda. Padahal itu bukan
standard ganda tetapi logika ke-timur-an.
[i]
Editor Daniel Dhakidea, Soekarno
Membongkar Sisi-Sisi Hidup Putra Sang Fajar, (Jakarta: Gramedia Pustaka,
2013), hal 10
[ii]
Ian Almond, Neitzche Berdamai Dengan
Islam : Islam dan Kritik Moderenitas Nietzsche, Foucault, Derrida (Depok :
Kepik Ungu, 2011) Hal 77
[iii]
http://www.berdikarionline.com/bung-karnoisme/20110511/ketika-bung-karno-membandingkan-strategi-stalin-dan-trotsky.html
[iv]
Prof Sotandyo Wingjosoebroto dalam Lecture Series : Pergeseran Paradigma dalam Pemikiran Hukum (seri
ke-1)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar