Minggu, 26 Januari 2014

Sepotong Kisah KH Wahid Hasyim dan Kesejatian Manusia


Suatu ketika, dalam sebuah sidang konstituante, KH Wahid Hasyim dihakimi dan gagasan pemikiranya dibantai habis-habisan oleh lawan politiknya. Seperti seorang manusia lainya, Dia tentu emosi, kesal dan kecewa. Tidak hanya dirinya pada saat itu, Istrinya yang ikut menyaksikan kejadian itu pun merasa terluka. Bila bisa digambarkan oleh kata-kata mungkin umpatan dan sumpah serapah terhadap lawan musuhnya ada didalam hati kedua pasangan tersebut.

Sidang pun berakhir, KH Wahid Hasyim dan Istrinya pulang dengan membawa sesak dan emosi di dada. Ketika hendak menjalankan mobilnya, tiba-tiba seseorang mengetuk kaca jendela mobilnya. Orang itu adalah orang yang saat sidang konstitusi menghakimi suaminya. Orang itu gelisah dan terburu-buru, kegelisahanya membuatnya terpaksa meminta tumpangan dari lawan politiknya. Tidak perlu dijelaskan, tentu kita sudah tau jawabanya, Isti KH Wahid Hasyim yang terlihat masih kesal dengan acuh menolak memberikan tumpangan.




Namun apa yang terjadi, dengan kelembutan hati dan pembawaan yang kharismatik, KH Wahid Hasyim justru menegur istrinya. Dalam teguran itu KH Wahid Hasyim mengatakan “Kita harus membedakan antara perbedaan politik dan hubungan insaniah. Orang boleh berbeda dalam sikap politik tetapi harus tetap menjaga hubungan insaniah. Terlebih dalam keadaan genting”. Sikap KH Wahid Hasyim saat itu, menurut Yudi Latif adalah sikap yang menunjukan kesejatian seorang manusia.

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/4/47/Abdul_Wahid_Hasyim_and_Siti_Solichah.jpg

Kita tentu tahu, dalam dunia ini, Tuhan menciptakan begitu banyak perbedaan. Tidak hanya secara bentuk fisik yang terdiri dari mata hingga warna kulit atau yang disebut dengan secara lahiriah. Akan tetapi ada juga perbedaan dalam keyakinan dan pandangan politik. Tuhan semesta alam pun tak menafikan itu, bahkan dalam satu firmannya Tuhan berfirman bahwa perbedaan itu diciptakan agar kalian saling mengenal. Tuhan bisa saja menciptakan semua itu sama, tetapi Tuhan sadar bahwa hal itu tidaklah bernilai. Maka Tuhan membiarkan kita berbeda untuk memberi ruang pada kita menjadi manusia yang terbaik.

Dalam suatu kesempatan Nabi pernah bersabda, bahwasanya al hikamtu dholatul mukmi (hikmah adalah barang yang hilang dari orang mukmin) maka ambilah hikmah dimanapun kalian menemukanya. Sabda dari Nabi Muhammad SAW ini seolah menjadi jawaban dari ayat Qur’an yang sebelumnya telah disebutkan diatas. Mengenali perbedaan adalah suatu hikmah yang terkadang kita tidak pernah sadari atau bahkan tidak pernah ingin dipahami. Ketidak sadaran dan kurangnya pemahaman itu kemudian menjadikan anggapan perbedaan bagi kita sebagai musuh.

Perilaku yang begitu indah yang dicontohkan oleh KH Wahid Hasyim adalah perilaku yang begitu mulia. Perilaku yang sesungguhnya harus dimiliki oleh seorang muslim. Habib Luthfi bin Ali bin Yahya, ulama besar Pekalongan bahkan mengatakan “apabila kalian sulit menemukan alasan untuk mencintainya, cukuplah alasan dia sebagai manusia untuk kalian mencintainya”. Alasan ini seolah menerangkan dengan lebih terang maksud kata-kata hubungan insaniyah yang disebutkan oleh KH Wahid Hasyim diatas.

Saat ini kita begitu miris, dengan tindakan sekelompok manusia yang mengaku dirinya muslim namun seringkali berbuat kasar. Mereka mencari segala ayat perbedaan untuk membenarkan kekerasanya. Mereka pun tidak jarang menganggap tindakanya sudah mendapat restu dari Allah, melalui ayat-ayat yang tidak dibahas dengan kadar ilmu hikmah yang tinggi. Tindakan tersebut kemudian berimbas pada cap yang saat ini diterima oleh kaum muslimin yaitu kasar dan arogan.
Selain daripada tindakan main hakim sendiri, adapula kebencian yang diakibatkan karena perbedaan naungan bendera. Bukan hal aneh, ketika seorang pemimpin partai kemudian saling menghina dan mencibir. Tetapi yang kemudian membuat kita risau adalah, cibiran dan hinaan itu tidak lepas hanya sampai pada persoalan politik. Mereka saling membenci dan menjauhi dalam hubungan yang KH Wahid Hasyim sebut dengan membenci hubungan insaniyah.

Mengingat begitu banyaknya kejahatan karena perbedaan, maka mengkaji kembali nasihat dari KH Wahid Hasyim diatas adalah seperti mendapat angin sejuk di tengah teriknya gurun pasir. KH Wahid Hasyim tidak hanya mengamalkan sunah Nabi melalui pemahaman sabdanya. Tetapi, KH Wahid Hasyim pun seolah menjawab tantangan Tuhan dalam mengenal perbedaan. Untuk itu, cerita diatas selain menunjukan kesejatian seorang manusia juga cukuplah mampu menjadi tauladan bagi kaum muslimin di Indonesia.

Dengan menjaga hubungan Insaniyah setidaknya kita memperkecil gesekan yang membuat kekacauan di dunia. KH Wahid Hasyim pun seolah melengkapi ungkapan Imam Al-Ghazali dalam karyanya Ihya Ulumuddin. Dimana dalam kitab itu Al-Ghazali mengajak kita untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Namun cara memberantas kemungkaran yang ditawarkan oleh Imam Al-Ghazali adalah dengan cara yang ma’ruf, bukan dengan menciptakan kemungkaran-kemungkaran yang baru.

Kita boleh berbeda tetapi kita harus menempatkan hubungan insaniyah diatas perbedaan-perbedaan itu. Karena itulah ciri dari kesejatian seorang manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar