Sidang pun berakhir, KH Wahid Hasyim dan Istrinya
pulang dengan membawa sesak dan emosi di dada. Ketika hendak menjalankan
mobilnya, tiba-tiba seseorang mengetuk kaca jendela mobilnya. Orang itu adalah
orang yang saat sidang konstitusi menghakimi suaminya. Orang itu gelisah dan
terburu-buru, kegelisahanya membuatnya terpaksa meminta tumpangan dari lawan
politiknya. Tidak perlu dijelaskan, tentu kita sudah tau jawabanya, Isti KH
Wahid Hasyim yang terlihat masih kesal dengan acuh menolak memberikan
tumpangan.
Namun apa yang terjadi, dengan kelembutan hati dan
pembawaan yang kharismatik, KH Wahid Hasyim justru menegur istrinya. Dalam
teguran itu KH Wahid Hasyim mengatakan “Kita harus membedakan antara perbedaan
politik dan hubungan insaniah. Orang boleh berbeda dalam sikap politik tetapi
harus tetap menjaga hubungan insaniah. Terlebih dalam keadaan genting”. Sikap
KH Wahid Hasyim saat itu, menurut Yudi Latif adalah sikap yang menunjukan
kesejatian seorang manusia.

Kita tentu tahu, dalam dunia ini, Tuhan menciptakan
begitu banyak perbedaan. Tidak hanya secara bentuk fisik yang terdiri dari mata
hingga warna kulit atau yang disebut dengan secara lahiriah. Akan tetapi ada juga perbedaan dalam keyakinan dan
pandangan politik. Tuhan semesta alam pun tak menafikan itu, bahkan dalam satu
firmannya Tuhan berfirman bahwa perbedaan itu diciptakan agar kalian saling
mengenal. Tuhan bisa saja menciptakan semua itu sama, tetapi Tuhan sadar bahwa
hal itu tidaklah bernilai. Maka Tuhan membiarkan kita berbeda untuk memberi
ruang pada kita menjadi manusia yang terbaik.
Dalam suatu kesempatan Nabi pernah bersabda,
bahwasanya al hikamtu dholatul mukmi (hikmah
adalah barang yang hilang dari orang mukmin) maka ambilah hikmah dimanapun
kalian menemukanya. Sabda dari Nabi Muhammad SAW ini seolah menjadi jawaban
dari ayat Qur’an yang sebelumnya telah disebutkan diatas. Mengenali perbedaan
adalah suatu hikmah yang terkadang kita tidak pernah sadari atau bahkan tidak
pernah ingin dipahami. Ketidak sadaran dan kurangnya pemahaman itu kemudian
menjadikan anggapan perbedaan bagi kita sebagai musuh.
Perilaku yang begitu indah yang dicontohkan oleh KH
Wahid Hasyim adalah perilaku yang begitu mulia. Perilaku yang sesungguhnya
harus dimiliki oleh seorang muslim. Habib Luthfi bin Ali bin Yahya, ulama besar
Pekalongan bahkan mengatakan “apabila kalian sulit menemukan alasan untuk
mencintainya, cukuplah alasan dia sebagai manusia untuk kalian mencintainya”.
Alasan ini seolah menerangkan dengan lebih terang maksud kata-kata hubungan insaniyah yang disebutkan oleh
KH Wahid Hasyim diatas.
Saat ini kita begitu miris, dengan tindakan
sekelompok manusia yang mengaku dirinya muslim namun seringkali berbuat kasar.
Mereka mencari segala ayat perbedaan untuk membenarkan kekerasanya. Mereka pun
tidak jarang menganggap tindakanya sudah mendapat restu dari Allah, melalui
ayat-ayat yang tidak dibahas dengan kadar ilmu hikmah yang tinggi. Tindakan
tersebut kemudian berimbas pada cap yang saat ini diterima oleh kaum muslimin
yaitu kasar dan arogan.
Selain daripada tindakan main hakim sendiri, adapula
kebencian yang diakibatkan karena perbedaan naungan bendera. Bukan hal aneh,
ketika seorang pemimpin partai kemudian saling menghina dan mencibir. Tetapi
yang kemudian membuat kita risau adalah, cibiran dan hinaan itu tidak lepas
hanya sampai pada persoalan politik. Mereka saling membenci dan menjauhi dalam
hubungan yang KH Wahid Hasyim sebut dengan membenci hubungan insaniyah.
Mengingat begitu banyaknya kejahatan karena
perbedaan, maka mengkaji kembali nasihat dari KH Wahid Hasyim diatas adalah
seperti mendapat angin sejuk di tengah teriknya gurun pasir. KH Wahid Hasyim
tidak hanya mengamalkan sunah Nabi melalui pemahaman sabdanya. Tetapi, KH Wahid
Hasyim pun seolah menjawab tantangan Tuhan dalam mengenal perbedaan. Untuk itu,
cerita diatas selain menunjukan kesejatian seorang manusia juga cukuplah mampu
menjadi tauladan bagi kaum muslimin di Indonesia.
Dengan menjaga hubungan Insaniyah setidaknya kita memperkecil gesekan yang membuat
kekacauan di dunia. KH Wahid Hasyim pun seolah melengkapi ungkapan Imam
Al-Ghazali dalam karyanya Ihya Ulumuddin. Dimana dalam kitab itu Al-Ghazali
mengajak kita untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Namun cara memberantas
kemungkaran yang ditawarkan oleh Imam Al-Ghazali adalah dengan cara yang
ma’ruf, bukan dengan menciptakan kemungkaran-kemungkaran yang baru.
Kita boleh berbeda tetapi kita harus menempatkan
hubungan insaniyah diatas
perbedaan-perbedaan itu. Karena itulah ciri dari kesejatian seorang manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar