Selasa, 05 Februari 2019

POLITIK DALAM PANDANGAN GENERASI MILENIAL




Generasi milenial, menurut Pew Research Center, adalah generasi orang dewasa yang berusia 18-35 tahun. Jika kita hitung secara tahun maka mereka, generasi milenial, dilahirkan dari sekitar tahun 1980, 1998 dan yang paling ranum adalah tahun 2000. Menurut Arthur Asa Berger, seorang Profesor dari Universitas Negeri San Francisco Amerika, secara status sosial memang ada perbedaan besar antara seorang milenial yang berusia 35 dan milenial yang berusia 18 tahun. Namun, pengkelompokan milenial bukanlah pengkelompokan status sosial karena usia, tetapi pengkelompokan sebuah generasi yang dipercayai bahwa mereka serupa dalam banyak hal penting.( Arthur Asa Berger, 2018, 6)


Ditinjau dari sisi perkembangan zaman artinya generasi milenial ini hidup dalam dua era sekaligus. Era dimana informasi diperoleh dari media kertas seperti koran, majalah, tabloid dan era ketika informasi didistribusikan secara online melalui laman koran online, jurnal online maupun media sosial. Antonio Garcia Martinez mengistilahkan kedua era itu dengan nama era Gutenberg sang penemu kertas dan era Zuckerberg si pemilik Facebook (Bakhrul Amal, 2018, 118). Generasi milenial merasakan era ketika informasi itu terbatas karena terkendala hak otoritas dan juga merasakan era kebebasan berekspresi mengutarakan pendapat melalui media sosial yang lebih terbuka serta egaliter.


Hal itu tentunya memiliki imbas besar terhadap cara generasi milenial dalam menilai sesuatu. Dulu seseorang baru bisa meyakini bahwa yang disampaikan orang lain adalah suatu kebenaran apabila penyempaian tersebut memiliki dasar statistik (solid modernity). Ada hal-hal yang dapat diukur secara matematis dan bisa dipertangungjawabkan. Akan tetapi, saat ini, pikiran orang mulai bergeser dan tidak lagi terlalu menganggap bahwa statistik adalah komponen utama benar atau tidaknya sebuah argumen. Ada hal-hal lain yang bisa dijadikan indikator kebenaran selain dari statistik, semisal kebenaran itu bisa dilihat dari komentar-komentar, foto-foto, atau bahkan buzzer (personal atau kolektif yang berperan sebagai “otak” atau kreator wacana/isu untuk diperbincangkan netizen) yang disampaikan melalui media sosial dan lainnya (liquid modernity).


Dari pengaruh sumber informasi dan tata cara mengolah informasi tersebut, generasi milenial dapat dipastikan cenderung lebih cair dalam memandang politik. Generasi milenial berbeda dengan generasi sebelumnya yang terkesan rumit, partisan, dan sering berada dalam situasi yang membahayakan. Berdasarkan pengamatan penulis, yang penulis sampaikan juga ketika mengisi diskusi dalam acara Literasi Senja dan BEM Yasmi, ada empat hal penting dan menarik terkait generasi milenial dalam memandang politik. Empat hal tersebut terdiri dari kenyataan bahwa generasi milenial itu cenderung independen, konkret, menyukai hal-hal yang mudah, dan militan.


INDEPENDEN
       Generasi milenial memandang seorang politisi tidak dari sisi suku, ras, maupun agama seperti mereka memandang diri mereka yang unidentified dalam Facebook, Twitter, maupun Instagram. Generasi milenial pun membebaskan diri dan pikirannya dari afiliasi terhadap partai politik. Generasi milenial lebih melihat politik bukan sebagai gerakan ideologi partai tetapai sebagai keseriusan kerja-kerja nyata yang dilakukannya. Pandangan ini muncul karena mereka terlahir di era dimana koran, televisi, dan media sosial sebagai informasi utama mereka memperlihatkan begitu banyak pejabat politik yang korup, partai politik yang gagal mengkader anggotanya menjadi pejabat yang bersih, dan situasi kebaragaman yang mengancam. Di sisi yang lain mereka melihat ada beberapa orang yang tulus bekerja dan mampu memenuhi kepentingan mereka dengan tanpa membawa identitas politiknya.


KONKRET
      Independensi seseorang yang nantinya dipilih oleh generasi milenial adalah orang-orang yang mampu menunjukan hasil konkret. Konkret dalam hal ini adalah bisa segera digunakan dan dirasakan oleh khalayak. Di era generasi milenial ini bisa dikatakan banyak tokoh-tokoh baru dalam dunia politik yang terlahir bukan dari rahim partai namun dinilai memiliki kualitas kerja yang baik. Sebut saja fenomena seorang Ridwan Kamil yang melaju dengan kepiawaiannya mengelola isu dan mengemasnya dengan menarik melalui media sosial. Ridwan Kamil, di sisi yang lain, dapat membuktikan beberapa kebijakan yang secara langsung bisa dirasakan. Generasi milenial, pada kerja dan bukti itu, tidak akan lagi memperdulikan darimana asal partai Ridwan Kamil. Mereka hanya tahu, ketika Ridwan Kamil muncul dalam kertas suara, mereka akan memilihnya dengan sukarela.


MUDAH
     Selain independen dan konkret, generasi milenial pun suka terhadap hal-hal yang mudah. Kemudahan itu tidak hanya terhadap akses akan birokrasi tetapi juga akses akan pengetahuan. Mereka, berbeda dengan generasi sebelumnya, tidak suka dengan penjelasan yang berbelit serta sulit dimengerti, termasuk juga pada definisi ideologis politik. Hal inilah yang membuat generasi milenial sering terjebak pada glorifikasi semu. Mereka tidak memiliki kualfikasi terhadap siapa yang menyampaikan sumber karena tidak terbiasa dengan statistik, bacaan ideologis yang rumit, atau pun juga sejarah-sejarah masa lalu. Tidak jarang, demagog atau orang yang pandai berbicara dan menyampaikan narasi-narasi unik bisa langsung memperoleh tempat sebagai tokoh meskipun mereka tidak pernah menulis secara tertib, memiliki guru dengan sanad yang jelas, atau pun telah berjuang berdarah-darah. Parahnya pemujaan terhadap tokoh-tokoh itu setara dengan penokohan anak-anak muda di era Yunani Kuno terhadap Plato, santri-santri abad pencerahan kepada Imam Syafii, atau pun kebanggan rakyat Cuba pada Che Guevara.


MILITAN
         Generasi milenial dikenal sebagai generasi yang militan. Ketika mereka sudah tertarik pada satu hal dan merasa percaya bahwa hal tersebut benar, mereka akan memperjuangkan dengan penuh sungguh-sungguh. Kita bisa melihat adanya fenomena petisi-petisi online melalui change.org, sumbangan kolektif dalam laman kitabisa.com, dan sulutan atas dasar structural strain atau gesekan sosial adalah contoh betapa militannya generasi milenial. Generasi milenial memang dikenal apatis tetapi di sisi yang lain mereka adalah seorang yang gampang disentuh jiwa sosialnya. Bahan bakar untuk memancing militansi tersebut adalah ketika mereka bisa dibuat percaya bahwa yang dibantu itu terbukti independen (tidak berpihak pada siapapun selain pada rakyat), dapat disaksikan buktinya secara konkret, dan penjelasan yang mereka peroleh cenderung mudah.


PENUTUP
     Dari fenomena dan bukti-bukti singkat di atas sudah dapat dipastikan bahwa politik dalam kacamata generasi milenial tidak sama dengan politik dalam definisi Aristoteles. Aristoteles memandang politik sebagai kemampuan bertindak dan memikirikan kebaikan bersama. Politik dalam generasi milenial pun tidak sama seperti definisi kontemporer yang menyebutkan bahwa politik adalah alat merebut kekuasaan. Generasi milenial justeru melihat politik dalam gabungan keduanya, politik sebagai tindakan yang bermanfaat bagi orang banyak dan juga politik sebagai agenda menempatkan orang baik dalam kekuasaan. Problem utamanya, generasi milenial seringkali belum bisa secara baik memanfaatkan perangkat tekhnologinya untuk melakukan yang benar, menentukan yang benar, dan menempatkan yang benar sesuai suksesi agenda politiknya.