Generasi milenial, menurut Pew
Research Center, adalah generasi orang dewasa yang berusia 18-35 tahun. Jika
kita hitung secara tahun maka mereka, generasi milenial, dilahirkan dari
sekitar tahun 1980, 1998 dan yang paling ranum adalah tahun 2000. Menurut
Arthur Asa Berger, seorang Profesor dari Universitas Negeri San Francisco
Amerika, secara status sosial memang ada perbedaan besar antara seorang milenial
yang berusia 35 dan milenial yang berusia 18 tahun. Namun, pengkelompokan
milenial bukanlah pengkelompokan status sosial karena usia, tetapi
pengkelompokan sebuah generasi yang dipercayai bahwa mereka serupa dalam banyak
hal penting.( Arthur Asa Berger, 2018, 6)
Ditinjau dari sisi perkembangan zaman
artinya generasi milenial ini hidup dalam dua era sekaligus. Era dimana
informasi diperoleh dari media kertas seperti koran, majalah, tabloid dan era
ketika informasi didistribusikan secara online melalui laman koran online,
jurnal online maupun media sosial. Antonio Garcia Martinez mengistilahkan kedua
era itu dengan nama era Gutenberg sang penemu kertas dan era Zuckerberg si
pemilik Facebook (Bakhrul Amal, 2018, 118). Generasi milenial merasakan era
ketika informasi itu terbatas karena terkendala hak otoritas dan juga merasakan
era kebebasan berekspresi mengutarakan pendapat melalui media sosial yang lebih
terbuka serta egaliter.
Hal itu tentunya memiliki imbas
besar terhadap cara generasi milenial dalam menilai sesuatu. Dulu seseorang baru
bisa meyakini bahwa yang disampaikan orang lain adalah suatu kebenaran apabila
penyempaian tersebut memiliki dasar statistik (solid modernity). Ada hal-hal yang dapat diukur secara matematis
dan bisa dipertangungjawabkan. Akan tetapi, saat ini, pikiran orang mulai bergeser
dan tidak lagi terlalu menganggap bahwa statistik adalah komponen utama benar
atau tidaknya sebuah argumen. Ada hal-hal lain yang bisa dijadikan indikator
kebenaran selain dari statistik, semisal kebenaran itu bisa dilihat dari
komentar-komentar, foto-foto, atau bahkan buzzer
(personal atau kolektif yang berperan sebagai “otak” atau kreator
wacana/isu untuk diperbincangkan netizen)
yang disampaikan melalui media sosial dan lainnya (liquid modernity).
Dari pengaruh sumber informasi dan
tata cara mengolah informasi tersebut, generasi milenial dapat dipastikan cenderung
lebih cair dalam memandang politik. Generasi milenial berbeda dengan generasi
sebelumnya yang terkesan rumit, partisan, dan sering berada dalam situasi yang
membahayakan. Berdasarkan pengamatan penulis, yang penulis sampaikan juga
ketika mengisi diskusi dalam acara Literasi Senja dan BEM Yasmi, ada empat hal
penting dan menarik terkait generasi milenial dalam memandang politik. Empat
hal tersebut terdiri dari kenyataan bahwa generasi milenial itu cenderung
independen, konkret, menyukai hal-hal yang mudah, dan militan.
INDEPENDEN
Generasi milenial memandang
seorang politisi tidak dari sisi suku, ras, maupun agama seperti mereka
memandang diri mereka yang unidentified
dalam Facebook, Twitter, maupun Instagram. Generasi milenial pun membebaskan
diri dan pikirannya dari afiliasi terhadap partai politik. Generasi milenial
lebih melihat politik bukan sebagai gerakan ideologi partai tetapai sebagai
keseriusan kerja-kerja nyata yang dilakukannya. Pandangan ini muncul karena
mereka terlahir di era dimana koran, televisi, dan media sosial sebagai
informasi utama mereka memperlihatkan begitu banyak pejabat politik yang korup,
partai politik yang gagal mengkader anggotanya menjadi pejabat yang bersih, dan
situasi kebaragaman yang mengancam. Di sisi yang lain mereka melihat ada
beberapa orang yang tulus bekerja dan mampu memenuhi kepentingan mereka dengan
tanpa membawa identitas politiknya.
KONKRET
Independensi seseorang yang
nantinya dipilih oleh generasi milenial adalah orang-orang yang mampu
menunjukan hasil konkret. Konkret dalam hal ini adalah bisa segera digunakan
dan dirasakan oleh khalayak. Di era generasi milenial ini bisa dikatakan banyak
tokoh-tokoh baru dalam dunia politik yang terlahir bukan dari rahim partai
namun dinilai memiliki kualitas kerja yang baik. Sebut saja fenomena seorang
Ridwan Kamil yang melaju dengan kepiawaiannya mengelola isu dan mengemasnya
dengan menarik melalui media sosial. Ridwan Kamil, di sisi yang lain, dapat membuktikan
beberapa kebijakan yang secara langsung bisa dirasakan. Generasi milenial, pada
kerja dan bukti itu, tidak akan lagi memperdulikan darimana asal partai Ridwan
Kamil. Mereka hanya tahu, ketika Ridwan Kamil muncul dalam kertas suara, mereka
akan memilihnya dengan sukarela.
MUDAH
Selain independen dan konkret,
generasi milenial pun suka terhadap hal-hal yang mudah. Kemudahan itu tidak
hanya terhadap akses akan birokrasi tetapi juga akses akan pengetahuan. Mereka,
berbeda dengan generasi sebelumnya, tidak suka dengan penjelasan yang berbelit
serta sulit dimengerti, termasuk juga pada definisi ideologis politik. Hal
inilah yang membuat generasi milenial sering terjebak pada glorifikasi semu.
Mereka tidak memiliki kualfikasi terhadap siapa yang menyampaikan sumber karena
tidak terbiasa dengan statistik, bacaan ideologis yang rumit, atau pun juga
sejarah-sejarah masa lalu. Tidak jarang, demagog atau orang yang pandai
berbicara dan menyampaikan narasi-narasi unik bisa langsung memperoleh tempat
sebagai tokoh meskipun mereka tidak pernah menulis secara tertib, memiliki guru
dengan sanad yang jelas, atau pun telah berjuang berdarah-darah. Parahnya
pemujaan terhadap tokoh-tokoh itu setara dengan penokohan anak-anak muda di era
Yunani Kuno terhadap Plato, santri-santri abad pencerahan kepada Imam Syafii,
atau pun kebanggan rakyat Cuba pada Che Guevara.
MILITAN
Generasi milenial dikenal sebagai
generasi yang militan. Ketika mereka sudah tertarik pada satu hal dan merasa
percaya bahwa hal tersebut benar, mereka akan memperjuangkan dengan penuh
sungguh-sungguh. Kita bisa melihat adanya fenomena petisi-petisi online melalui
change.org, sumbangan kolektif dalam
laman kitabisa.com, dan sulutan atas
dasar structural strain atau gesekan
sosial adalah contoh betapa militannya generasi milenial. Generasi milenial
memang dikenal apatis tetapi di sisi yang lain mereka adalah seorang yang
gampang disentuh jiwa sosialnya. Bahan bakar untuk memancing militansi tersebut
adalah ketika mereka bisa dibuat percaya bahwa yang dibantu itu terbukti
independen (tidak berpihak pada siapapun selain pada rakyat), dapat disaksikan buktinya secara konkret,
dan penjelasan yang mereka peroleh cenderung mudah.
PENUTUP
Dari fenomena dan bukti-bukti
singkat di atas sudah dapat dipastikan bahwa politik dalam kacamata generasi
milenial tidak sama dengan politik dalam definisi Aristoteles. Aristoteles
memandang politik sebagai kemampuan bertindak dan memikirikan kebaikan bersama.
Politik dalam generasi milenial pun tidak sama seperti definisi kontemporer
yang menyebutkan bahwa politik adalah alat merebut kekuasaan. Generasi milenial
justeru melihat politik dalam gabungan keduanya, politik sebagai tindakan yang
bermanfaat bagi orang banyak dan juga politik sebagai agenda menempatkan orang
baik dalam kekuasaan. Problem utamanya, generasi milenial seringkali belum bisa
secara baik memanfaatkan perangkat tekhnologinya untuk melakukan yang benar,
menentukan yang benar, dan menempatkan yang benar sesuai suksesi agenda
politiknya.