Jumat, 09 November 2018

Sehat, Adil, dan Bijaksana

Waktu itu aku masih kecil. Masih belum paham betul setiap kali ibuku berdoa memohon kepada Tuhan selepas mengajariku mengaji.

"Semoga anakku jadi anak yang sehat, adil, dan bijaksana" begitu katanya. Lalu mencium keningku dan mengemasi sajadah, Al-Qur'an, lalu membuka mukenah yang dipakainya sedari habis maghrib.

"Amin" aku selalu mengharap, doa itu dikabul. Meskipun, pada waktu itu, aku belum terlalu mengerti.

Belakangan aku baru tahu arti doa itu. Doa yang hanya berisi tiga kata dan diucapkan tidak lebih dari lima detik.

Aku kebetulan sering mengunjungi perpustakaan daerah di Semarang. Sekedar numpang ngadem dan sesekali membaca beberapa buku yang menurutku judulnya menarik.

Di perpustakaan daerah itulah aku bertemu seseorang. Seseorang yang menjelaskan makna doa ibu itu. Sayang, dia enggan disebutkan namanya di sini, di tulisanku.

"Sehat itu, dek" dia memulai pembicaraannya setelah aku menjelaskan sedikit kisah tentang ibu dan betapa bangganya aku memiliki ibu seperti ibuku.

"iya pak" sanggahku penasaran.

"Sehat itu maknanya luas. Sehat itu bukan cuma soal cukup uang untuk makan saja. Sehat itu soal cukup uang untukmu menenangkan pikiranmu. Mau jalan-jalan bisa, mau beli ini dan itu sanggup, agar pikiranmu tenang dan dengan itu kamu menjadi sehat. Tidak pusing atau bahkan stres"

Aku cuma termenung. Aku masih sukar percaya. Aku ragu antara harus menyimak secara serius atau kuanggap sebagai angin lalu saja. Toh, dia kenal saja tidak.

"selanjutnya adil" katanya sambil menepuk pundakku. Tepukannya berisi dan menampilkan kesan penuh optimisme.

"Adil itu artinya ibu mendoakanmu menjadi orang yang besar. Bukan besar secara fisik tetapi besar secara pengaruh. Hanya orang yang mempunyai kuasa, mempunyai pengaruh, dan bisa membuat suatu kebijakanlah yang bisa dikatakan berbuat adil. Dalam posisimu itu kamu dipertaruhkan sikap adilnya"

"Maksudnya, Pak?" kataku bingung.

"Ya maksudnya ibumu memberimu doa supaya kamu sukses kariernya."

Aku terhenyak. Benar juga apa yang diungkapkan bapak itu. Tajam juga analisanya.

"Yang terakhir adalah bijaksana" dia melanjukan untuk kata yang terakhir.

"Ini soal filosofis. Seseorang bisa bijak kalau dia bisa dekat dengan Sang Pencipta. Caranya adalah dengan ibadah."

"Iya pak, terus" aku mengejar lanjutan jawabannya.

"Ibumu sangat berharap kamu menjadi ahli ibadah. Menjadi seorang yang cerdas dan bisa menghaluskan hati dan jiwanya. Yang dari situlah timbul kebijaksaan"