Selasa, 25 September 2018

Bahwa Kemudian

Aku sudah lama tidak menulis. Barang sepatah, dua patah kata. Yang panjang maupun yang pendek.

Tulisanku yang ada di media itu bukan aku. Itu keresahan orang lain yang di atas namakan aku. Soekarno mengistilahkan narasi-narasi itu dengan sebutan "penyambung lidah". Ya, sekedar menyambung lidah. Tidak lebih.

Dalam anggapan Habermas, aku mungkin seorang penerjemah. Penerjemah kalimat-kalimat "warung kopi" pada ruang publik. Ruang publik dalam kategorisasi rasio-komunikatif bukan rasio-kognitif. Hanya sebatas mengilmiahkan yang semula tidak ilmiah, lebih tepatnya. Agar bisa dimengerti khalayak maupun akademisi.

Tulisanku, yang memang benar-benar aku, itu disini tempatnya. Di ruang sempit yang gratisan. Di ruang dimana semua bisa mengakses dan memperolehnya dengan tanpa sepeserpun perlu membayar. Dan aku pun tidak memperoleh bayaran atas itu.

Cerita dan kisahnya mungkin tidak sama seperti yang biasa dibaca. Tidak ideologis dan bahkan tidak seheroik yang biasa ditampilkan. Tetapi itulah kenyataannya.

Dan malam ini aku sedang berpikir tentang banyak keadaan yang meresahkan diriku sendiri. Keadaan dimana setiap orang, baik dengan sengaja atau pun tidak, sangat suka dan bangga apabila telah menampilkan kejelakan orang lain. Seolah tidak sadar bahwa setiap insan pasti memilikinya. Termasuk juga aku.

Entah bagaimana awalnya hal tersebut bisa terjadi. Yang pasti, semua melakukannya untuk menunjukan bahwa dirinya (atau dalam politik : orang yang didukungnya) lebih baik dari orang lain. Tidak lebih. Bagiku, itu mengenaskan.

Konsep fastabiqul khairat atau berlomba-lomba dalam kebaikan disalah artikan menjadi berlomba-lomba dalam menunjukan kejelekan orang lain. Semakin berhasil menunjukan kejelekan, maka semakin dinilai lebih baik.

Data Masyarakat Telekomunikasi (Mastel) menyebutkan bahwa dari total 1.116 responden ada sekitar 92,40% responden yang menikmati kebohongan itu dari media sosial. Lebih tinggi dari situs web, televisi, maupun media cetak. Sumber yang disebarkan tentunya dari sekitar 800.000 situs yang terindikasi menyebarkan hoax oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi.

Itu yang pertama. Selanjutnya, lebih dalam lagi, soal orang-orang yang mencorat-coret dindingnya dengan warna-warna yang dalam dirinya yang asali itu tidak ada.

Bagi Zizek, filsuf kenamaan asa Slovenia, itu adalah resiko dunia virtual. Resiko komunikasi dua arah. Komunikasi yang aku dengan orang lain tidak saling mengetahui dan memandang. Sehingga tanpa pandang memandang itulah setiap orang berupaya menampilkan dirinya yang lain.

Masing-masing orang menjadi amoeba. Membelah dirinya dengan banyak wajah. Yang lebih parahnya, seringkali yang 'baru ingin' itu merasa lebih baik dari yang 'sudah sedang'. Mengomentari banyak hal yang dia sendiri belum tahu dan belum pernah terlibat.

Satu orang bisa memiliki ratusan akun tanpa perlu takut dihukum atas hal itu. Masing-masing akunnya, dengan identitas dan karakteristik yang lain-lain, dia gunakan untuk saling menimpali dan menumpangi setiap hal yang ingin dia sebarkan agar orang lain tahu.

Tidak jarang itu berhasil menarik minat publik. Dipercaya. Kemudian fitnah-fitnah itu dinilai seakan-akan sebuah fakta.

Mereka melakukannya tanpa kesatria. Tanpa memberikan kesempatan orang yang dijatuhkan itu untuk menjawab sedikit pun.

Tetapi lagi-lagi itu menjadi pilihan. Bagi yang tetap begitu tidak masalah. Yang menghentikan pun bukan berarti baik tetapi lebih kepada kembali pada dirinya yang sebenarnya. Sebab, bagi mereka yang percaya kepada Tuhan dan hari akhir pilihannya hanya dua, bicara yang baik atau diam.