Selasa, 09 Juni 2015

Sinar

Hari itu kemudian datang. Pelangi menjadi hilang. Rembulan meredup dan sinarnya menjauh ke tempat antah berantah. Itulah hari, yang kata beberapa musaffir, mendatangkan gelisah di hati dan lingkaran kebingungan di pikiran.

Cuaca begitu berakibat pada bermunculannya goro-goro. Yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Menangkap baru sedikit merasa sudah banyak sehingga selesailah sudah. Orang lain dianggap rendah karenanya memaki serta menyakiti adalah hal yang remeh. Berbeda jalan dianggap musuh, yang berlawanan diperangi. Semua buta, semua seperti hidup dalam bingkai-bingkai permusuhan. Seluruhnya nampak gelap dan tidak menjelaskan satu hal apapun.

Dalam suasana getir tersebut, pria tangkas nan rupawan itu tetap berjalan. Langkah kakinya tidak gentar meski angin kencang menyulitkan ayunan kedua kakinya. Hujan dan panas yang tidak jelas, pun nyatanya tidak membuat 'nafsu'nya surut. Ke arah barat adalah tujuannya yang sedari kecil sudah dia impikan. Prinsip yang dipegangnya cukup mashyur, fasih juga dia katakan bahwa "lebih baik tumbang tinggal nama daripada pulang sebagai seorang pengecut".

Menemani perjalanannya, pria itu membawa tas yang isinya pakain dan buku-buku. Pria itu juga, menjinjing aneka rupa perlengkapan inap seperti tenda, kayu bakar, pisau dan lainnya. Segalanya dipersiapkan betul agar tidak kering dan sulit nantinya. Tapi baginya, ada satu hal yang dia bawa, yang itu lebih penting daripada semuanya, yaitu "aku membawa semangat thalib al-'ilm atau semangat pencari ilmu".

Kawan-kawan di kampung menyesali kepergiannya yang begitu cepat. Mereka semua merasa bahwa kebutuhan untuk menapaki jalan menjauhi kemewahan itu bukanlah pilihan yang tepat. Apalagi dalam kondisi seperti ini. Orang-orang tua yang mengenalnya menganggap bahwa tindakan yang dilakukannya itu percuma. Para sepuh itu menilai sudah terlambat upaya 'memperbaiki' karena zaman sudah terlanjur edan !!

Lagi-lagi dia tidak mengambil pusing. Dia sadar orang boleh saja berbeda pendapat, tetapi bila itu menjadikan alasan untuknya membalikan layar, itu tidak mungkin. Dia malah berkeyakinan, mungkin orang lain berkata ini terlambat, namun kadang orang lain itu salah, karena hatinya berkata bahwa ini justeru adalah awal dari segalanya.

Hembusan hawa dingin mulai menusuk ke dalam tulang. Malam-malam dengan penuh cahaya percikan bintang membuatnya hanyut. Sembari menghentikan langkah, mata pria itu melongok ke kanan dan ke kiri. Dicarinya penuh hati-hati tempat dimana dia harus mendirikan tenda. Menutup perjalanan itu, dia mengusap dahi dan menatap bulan. SELAMAT MALAM.


1
Adalah rindu, yang membuatnya bangun dan sesegera mungkin mencari warung kopi.

Sudah hampir sebulan ini, dia hanya menemui bebatuan dan tumbuh-tumbuhan yang nampak rimbun. Kota-kota ataupun sekedarnya permukiman, sama sekali tak dia dapati. Barulah sekarang, dia mendengar sayup-sayup kegaduhan.

"aku dimana ini? ada nafas, ada oksigen dan karbondioksida yang beradu cepat keluar dan masuk, apakah ada kehidupan disini"

Batinnya begejolak. Antara senang, sedih dan juga sedikit perasaan was-was. Semenjak dunia dinyatakan tidak aman lagi, dia, meskipun tidak mau menaruh curiga, tetaplah harus berjaga-jaga. Manusia baginya telah kembali ke zaman dahulu, zaman dimana Hobbes menakut-nakuti dengan homo homini lupus yakni manusia adalah serigala bagi lainnya.

Meskipun begitu, dia harus tetap berjalan. Dia tidak memperdulikan takutnya itu. Dia paham betul bilamana kopi adalah salah satu prasyarat untuk melanjutkan revolusi. Yang dengan keyakinan macam tersebut, maka jahatnya manusia setidaknya sama tenang dihadapan kopi. Semoga.

Sampailah dia pada tuntunan keingannya menyeduh dan menikmati kopi. Warung sekira berukuran 3x3 dia duduki dengan penuh percaya diri.

"sebut saja warung ini warung kenduri pak, jadinya selalu ramai" pedagang kopi menjawab pertanyaan sang pria ketika ditanya "mengapa warung anda begitu ramai?". Sang pria menggeleng kecil, tidak cepat dan tidak pula lambat, seperlunya saja.

Di warung tersebut, musik-musik oplosan adalah andalan yang karena seringnya sehingga menjadi sebuah kewajiban. Para pengunjung pun menikmati lantunan yang katanya Musik-Nusantara itu.

Ada sekitaran tiga kelompok dalam tiga meja besar. Kelompok satu jumlahnya lima, kelompok dua jumlahnya empat dan kelompok tiga jumlahnya tiga. Sedangkan sang pria, sang pria itu ada di meja yang terpisah dan dia duduk ditemani pemilik warung.

"bapak datang darimana?" Pemilik warung membuka obrolan.
"saya, hmm, saya datang dari sebuah tempat yang saya sendiri tidak tahu" Sang pria menjawab.
"bapak gila?"
"kalau saya merasa bahwa saya ingin disebut normal, maka saya marah. Tetapi mungkin anda benar, saya gila"
"oh, bapak gila. Sudah berapa lama bapak gila?"
"semenjak aku lahir, aku gila"
"hahaha, kadang-kadang enak ngobrol sama orang gila. Tapi dari cara berpakaian bapak, sepertinya bapak tidak nampak gila"

Sang pria memang cukup nyentrik pagi itu. Topi koboy dipakainya untuk menutupi rambut yang mulai panjang sebahu. Badannya dia bungkus dengan jaket hijau. Sementara bawahannya, dia selimuti dengan sarung dengan motif mega mendung khas pantura Cirebon.

"bapak coba lihat pelanggan saya pak"
"yang mana?" Sang pria menoleh ke belakang. Maklum, punggungnya tidak memiliki mata.
"ya itu semuanya" pemilik toko sedikit serius "saya jelaskan kepada bapak ya, yang berlima itu, mereka adalah sales. Yang berempat itu, mereka adalah kader partai. Yang bertiga itu, mereka adalah pamong desa"
"wah, mereka semua bekerja. Mereka semua sibuk dan beruntunglah mereka tidak menganggur"
"bapak benar. Mereka memang bekerja, sibuk dan tidak menanggur. Namun mereka, selalu saja berbincang membuang waktu membicarakan hidup. Padahal hidup itu kan bukan untuk diperbincangkan, tetapi untuk dijalani"

Sang pria sedikit tersentak. Dia mulai merasa kerasan karena dia mulai menemukan interaksi yang selama ini sudah tidak dia jalani. Puasa meneng kalau kata orang Jawa.

"coba pak pemilik toko beritahu saya lebih jelas, beritahu saya mengenai topik dari masing-masing orang itu. Yang sales, yang kader dan yang pamong"
"yang sales itu, mereka merasa hidup dan matinya ada pada barang yang mereka jual. Yang kader itu, mereka merasa hidup dan matinya ada pada kemenangan partainya atau juga caleg yang di dukung. Dan yang pamong, bagi mereka hidup dan mati itu terletak dari visi dan misinya yang nanti akan mempengaruhi proyek mereka. Ketika tidak ada proyek, putuslah mereka itu"
"begitu ya, sekarang salah mereka apa bila mereka kemudian bersenda gurau, bertukar pikir dan berkata-kata mengenai hal yang mereka jalani?"
"iya, memang tidak salah. Cuma saya risih saja. Salah saya berkata itu sama bapak. Bapak kan gila"
"lalu jikalau saya gila, menurut ucapan pak pemilik toko barusan, saya tidak berhak mendapat sapaan?"
"iya, karena berbicara dengan orang gila hanya akan membuat saya ikutan gila"
"hahaha, sekarang bapak resmi gila"
"hah!!??" pemilik toko terheran-heran, dia mulai roaming.
"iya, karena bapak sudah berbicara dengan saya tadi, jadi bapak sudah ikutan gila" 

Para pengunjung lainnya kemudian satu persatu pergi. Mereka terburu-buru dalam membayar dan dalam berjalan. Suara adzan dzuhur seperti bukan panggilan shalat tapi panggilan hidup. Merenung bukanlah perkara yang penting bagi mereka, karena uang dan membeli susu jauh lebih utama. Setidaknya begitu, sang pria memberi pemahaman.

"begitu benar tidak pak pemilik toko?"
"iya, mungkin ada benarnya juga bapak punya pikiran"
"dan saya tahu, bapak risih kepada mereka itu bukan karena mereka berbincang-bincang tetapi karena mereka seperti sebuah robot. Mereka bahagia bukan dengan dan karena mereka sendiri tetapi karena di luar mereka" panjang juga sang pria menjelaskan, "bukan begitu?"
"coba bapak jelaskan dengan lebih jelas lagi, saya ini orang tidak sekolah jadi agak sulit memahami bahasa yang abstrak" keluh pemilik toko.
"begini pak, yang sales, dia itu bahagia karena barang yang dia bawa laku. Ya, tentu, barang itulah faktor yang membuatnya bahagia. Yang partai, dia itu bahagia karena partai dan calegnya. Ya, tentu, itupun di luar dia. Yang pamong, dia itu bahagia karena warga dan proyek. Ya, tentu, itu juga masih di luar dirinya. Ketika semuanya ternyata tidak sesuai, mereka bersedih"
"ya, tepat sekali. Mereka kan padahal bisa bahagia tanpa perlu berpangku pada hal-hal di luar mereka itu. Sudahlah, ngopi saja, kan enak"

Semendadak itu kemudian burung elang menjerit memecah langit. Kopi yang dihidangkan pun mulai tidak panas lagi. Inilah waktu yang pas bagi sang pria pergi dan kembali memasuki hutan. Terima Kasih.

"bapak mau kemana?"
"aku mau meneruskan perjalananku, semoga esok kelak kita bertemu lagi"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar