Selasa, 09 Juni 2015

Sinar 2

2
Nomor dua adalah setelah nomor satu dan sebelum nomor tiga. Nomor dua itu bentuknya bila diingat-ingat maka mudah menghafalnya jika dimiripkan dengan seekor bebek. Atau juga, nomor dua sepintas sama dengan huruf abjad yaitu huruf Z. Tony Buzan mengatakan begitu, khusus untuk nomor dua.

Bagi sang pria, nomor dua adalah nomor yang mengingatkannya pada malam di setiap saat dia terbangun. Maksudnya, jam dua malam. Atau jam, dimana detik-detik turunnya Sang Hyang Teragung, Gusti Allah SWT melongok menengok bumi melalui celah langit.

Pada waktu-waktu itu, sang pria pasti keluar dari dalam tendanya. Dia berjalan kecil melawan aliran air yang turun dari perbukitan. Dengan begitu, artinya, sang pria berjalan menuju puncak. Dia menjauh dan semakin tidak terlihat lagi. Semakin kecil dan semakin menunjukan bahwa dia tidak sebesar yang dia pikir, setidaknya dibandingkan dengan gunung.

Adalah majelis Embun Pagi yang menjadi tujuan daripada langkahnya. Sang pria memang telah menjadi anggota tetap dalam majelis yang beraktifitas di atas lekukan gunung itu. Ya, meskipun baru setidaknya sebulanan ini.

Dalam majelis itu, sang pria berkumpul dengan sekitaran lima belas cantrik. Cantrik-cantrik itu tidak saling mengenal satu sama lainnya. Mereka juga, datang dari tempat yang tidak pernah diketahui.

Majelis itu memiliki beberapa peraturan, diantaranya adalah semua cantrik diwajibkan untuk diam manakala guru berbicara. Semua cantrik pun, tidak boleh mengeluh walaupun itu hanya di dalam hati. Dalam belajar, kata Ki Petopo atau maha guru di majelis tersebut, kita harus ikhlas dan sabar.

Hari esok adalah kemarin yang sempat kita rindukan. Semua bergantung pada saat ini. Dan hari ini, adalah hari-hari sulit bagi sang pria dan belasan peserta majelis lainnya. Mengapa? karena hari macam ini (goro-goro) menurut Frank Furedi telah menghasilkan istilah "the cult of philistinism". Istilah yang berarti bahwa, orang yang membaca kesusastraan dan menggelorakan gairah intelektual beresiko di cap 'elitis', 'tak membumi' dan 'marjinal'. Mereka harus bersabar.

"aku meminta kau membalas kejahatan mereka padaku Ya Tuhan"
"untuk apa engkau mengharapkan itu, selagi nyatanya kau tahu bahwa aku adalah maha pemaaf"
"jika begitu, aku pasrah dan ampuni mereka"
"untuk apa juga kau pasrah dan memohonkan pengampunan, selagi nyatanya kau tahu bahwa aku adalah maha pendendam"
"lalu aku harus bagaimana, aku menyerahkan semuanya kepadamu"
"untuk apa juga kau berlaku seperti itu, selagi nyatanya kau tahu bahwa aku akan memberikan apa yang kau usahakan. Berusahalah menurut keyakinanmu"

Sang pria menyaksikan adegan pemula dalam majelis Embun Pagi itu. Dalam sorot matanya tertampilkan dengan jelas Ki Petopo berputar mengelilingi api sembari menyemburkan kalimat-kalimat di atas. Ki Petopo bertanya, Ki Petopo menjawab. Seperti orang gila.

Namun perlu diketahui, apa yang dikatakan Ki Petopo tersebut, meskipun terkesan remeh, tetapi membuat sang pria menjadi termehek-mehek menangisi permintaannya. Semenjak mengikuti majelis itu, sang pria hampir selalu merasa malu dan sukar mengucap permintaannya kepada Tuhan. Tuhan, baginya saat ini, lebih tahu daripada apa yang dia ketahui. Meminta doa adalah tindakan yang teramat berdosa karena melecehkan kemahatahuan Tuhan, tuturnya.

"lepaskan, lepaskaaaaan semuanya. Jangan engkau pedulikan manusia !"

Ki Petopo lantas terdiam. Ki Petopo lalu mengambil posisi dan bersila dengan kepala yang menunduk.

Seperti kebiasaannya, Ki Petopo tidak menggunakan satu pakaian pun. Tidak ada sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya. Polos dan benar-benar telanjang bulat.

"jikalau engkau berbuat baik karena ingin dilihat manusia, maka engkau telah syirik. Jikalau engkau tidak berbuat baik karena enggan dinilai oleh manusia, maka engkau berbuat riya. Minahussaniyah menuliskan itu wahai murid-muridku. Puluhan tahun yang lalu, lalu sekali sampai-sampai rasanya kitab itu sudah tidak bagus lagi untuk dibaca"

Suasana menjadi hening dan sepi. Seperti yang dikatakan oleh banyak orang disekitaran situ, seluruhnya yang berada di hutan belajar kepada Ki Petopo. Tumbuhan, binatang, bebatuan, air atau bahkan barang tai yang hanyut pun mencari pelajaran dari Ki Petopo.

"kalau seandainya kalian tahu bahwa ini semua adalah akarnya masalahnya karena kita mulai meninggalkan Tuhan, maka kalian akan sadar dan segera kembali. Kita tidak lagi berpayah-payah menghamba dan bersedih pada apa yang kita ciptakan sendiri. Rumah, mobil, gadget semua adalah yang kita ciptakan. Atau juga pekerjaan, itu juga kita yang menciptakan. Tetapi mengapa, kita lalu kalah dengan apa yang kita ciptakan dan kemudian kita menjadi kehilangan iman. Kembalilah pada yang menciptakan kita"

"belajarlah kalian, belajarlah dulu, cermati dan lalu sampaikan serta kerjakan sesuai ilmu yang nantinya kalian dapatkan. Tuhan, Nabi, Kyai Hasyim Asy'ari menghendaki itu"

Ki Petopo lalu bercerita perkara Nabi dan Mbah Wahab. Seandainya Allah ingin nabi segera berperang, itu bisa sekali Allah lakukan, kun-faya-kun. Tetapi Allah menyuruh nabi untuk belajar terlebih dahulu. Lalu, Mbah Wahab yang ingin segera terjun ke masyarakat namun malah disarankan oleh Kyai Hasyim Asy'ari untuk belajar lagi ke Makah. Mbah Wahab pun menurut dan berguru pada Kyai Mahfudz Tarmisi, Kyai Mukhtarom, syaikh Ahmad Khatib dll selama kurang-lebih 4 tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar