Minggu, 21 Juni 2015

JEWE


Dia pria paruh baya. Tubuhnya kurus dan matanya melotot. Sepintas, dia mirip dengan seorang yang tinggal di pelataran pengungsian, kumal dan tidak terurus.

Soal berpakaian, dia tidak pernah muluk-muluk. Cukup kaos oblong dan sarung. Serapih-rapihnya, dia punya satu celana pendek yang menutupi ujung lutut dan jaket hijau bertuliskan ‘wali’. Ya Wali, nama band terkenal di Indonesia. Sederhana bukan?

Bila kita hendak mengenalnya lebih jauh, maka kenali sajalah para musafir yang biasa berlalu lalang dengan satu tas disilangkan ke punggung. Begitulah dia. Tidak punya rumah, tidak juga punya keluarga. Hidupnya dia dedikasikan untuk mencari Tuhan. Katanya.

Untuk  beberapa saat, marilah kita persilahkan si Jewe ini untuk tidur. Selamat malam!

***
Pagi menyambut begitu cepat. Matahari bersinar terang tak terhalang barang satu awan pun. Dalam suasana secerah itu, Jewe masih mendengkur dengan sedikit iler yang melumeri bibirnya.

“anak siapa ini?”
“tidak tahu pak? sedari malam dia ada disini”
“bangunkan!!!”
“tapi pak, dia kan sedang tidur?”
“ini masjid, tempat shalat bukan tempat tidur. Sudah cepat bangunkan!!”

Diantara seonggok tubuh yang terkulai lemas, dua pria berkoko putih lengkap dengan sarung dan kopeahnya, berdiri tegak mengadu kata. Satunya berumur dan satunya lagi masih muda. Ada nuansa senioritas pada sang tua dan muda itu.

“nak bangun, nak bangun” dengan hati-hati pria yang lebih muda menendangkan kakinya ke tubuh Jewe. Sedikit tidak sopan sih, tetapi rata-rata memang begitu. Terhadap orang yang tidak dikenal, dalam dunia manusia seperti ada budaya curiga dan mencurigai.

Malang bukan kepayang, Jewe pulas. Tendangan yang melambat namun sering itu tidak dihiraukan. Mungkin, mimpi telah menghanyutkan hidupnya ke dunia yang lain. Dunia yang menihilkan yang nyata.

“kau ini bodoh, cepat ambil air”
“baik pak, baik. Sebentar”

Pak tua yang belum jelas namanya itu, kembali marah dan menyuruh pria muda di sampingnya. Air, oh tentu, sudah jelas, pastilah itu digunakan untuk menyiram Jewe. Tanpa pikir panjang, pria muda lantas kembali dengan se-ember air yang dipesan Pak Tua tadi.

“ini pak”
“eh, kamu itu, ya siram langsung ke anak kurang ajar yang meniduri masjid ini”
“tapi pak?”
“sudah, cepat siram. Disuruh sama orang tua itu harus nurut!!!”

Dan kemudian tanpa butuh waktu lama, “byaaaar”.
Jewe terkaget-kaget. Jantungnya, meskipun cuma hampir, sedikit putus. Matanya terbuka namun ke arah yang salah, arah yang tidak langsung menatap dua pria yang sudah jengkel dengan tingkahnya. Jewe malah menatap ke langit-langit yang penuh dengan ukiran-ukiran kayu jati.

“bangun juga pak”
“sekarang kamu urus dia, dan persilahkan pergi”

Bapak tua, merasa tugasnya dengan memerintah telah selesai, berlalu pergi. Pria muda diberi intruksi gagap yang sangat disadari membingungkan batinnya. Pria muda itu belum terbiasa berbuat kejam terhadap manusia, meskipun sekedar mengusir.
Sejenak, Jewe palingkan wajahnya. Didapatinya pria muda yang sudah sendiri.

“mengapa anda menyiram saya?”
“mengapa anda tertidur disaat orang lain sibuk shalat shubuh, di masjid pula?”
“saya ke masjid bukan untuk shalat, tapi untuk tidur”
“jawaban anda itu, sekiranya cukup menjadi alasan mengapa saya menyiram anda tadi”
“oh, baiklah”

Jewe mengemasi tasnya yang semula menjadi bantal. Dia bangun dan berdiri berhadap-hadapan dengan pria muda yang mendadak berani. Cukup lama juga keduanya memandangi satu dengan lainnya.

“sebelum aku pergi, aku ingin bertanya. Boleh?”
“soal?”
“ini masjid milik siapa?”

Cukup menguras juga pertanyaan Jewe. Pria muda merasa harus membuka berkas-berkas yang tersimpan di dalam otaknya. Tidak lama, jawaban yang sekenanya keluar.

“milik Allah”
“Allah itu siapa?”
“Allah adalah Tuhanku”
“percayakah anda bahwa segala tindakan yang terjadi di dunia ini adalah izin daripada Allah?”
“saya percaya karena saya meyakininya”
“termasuk ketika aku tidur di masjid, kan?”
“hmm, bagaimana ya, hmm, mungkin?”
“baiklah, setidaknya aku tahu, bahwa aku tidur itu atas izinnya tetapi anda justeru tidak mengizinkan itu terjadi. Aku tidur dengan sebelumnya membaca bissmika memohon lindungannya dan kemudian Allah memulaskan tidurku. Shalat ataupun tidur, aku karena Allah, tetapi anda menolaknya. Anda sekarang menjadi Tuhan. Selamat!”
“tapi kata Pak Hambali tadi, masjid itu tempat shalat bukan tempat tidur, itu yang bikin anda keliru. Pak Hambali punya dalil agama yang jelas. Saya tidak meragukan itu dan saya juga tidak mengaku menjadi Tuhan”
“oh begitu, sampaikan pada Pak Hambali, saya menitip maaf pada Tuhan”

Nampak kesal, Jewe pergi dengan menyisakan pertanyaan yang sebenarnya dia sendiri sudah tahu jawabannya. Jewe hanya menguji pria muda itu, tetapi pria muda itu tidak sadar.

Kejadian macam itu bukanlah yang pertama dan bukan pula yang terakhir yang akan dialami oleh Jewe. Juga oleh para musafir, tentunya. Sebagian ada yang didebat namun sebagian lagi dibiarkan menjadi angin lalu. Untuk yang satu ini, Jewe merasa enggan untuk menanggapi.

Jewe pergi bukan sebab dia tidak berani, bukan pula alasan menaruh hormat, hanya dia kebetulan lapar. Jadi, langkahnya meninggalkan masjid itu bukan murni karena disuruh, tetapi lebih tepatnya karena dia merasa perlu untuk makan.

“besok-besok, akan aku temui sendiri si Hambali itu” gumam Jewe sembari meninggalkan masjid.

***
Menurut penuturan Jewe, dia dahulu punya rumah. Dia juga, melanjutkan ceritanya, pernah punya keluarga. Tetapi karena entah situasi apa, Jewe kini sebatang kara.

Dari kehidupannya yang pilu itu, dia pergi diawali oleh sebuah tempat singgah ke tempat singgah lainnya. Masjid, gardu listrik, halte dan bahkan pos ronda adalah kontrakkan berjalannya. Pengusiran dengan cara disiram mah, baginya amat biasa, tidak akan membuatnya jera.

Keputusannya untuk berjalan, kesana kemari tanpa kejelasan, tidak sekonyong-konyong datang tanpa dilalui dengan peristiwa. Dia, melakukan perantauannya itu, karena dinasehati oleh kakek-kakek di dekat rumah sakit dimana dia ditinggalkan. Kakek itu berkata, “jangan sedih, kamu masih punya Tuhan”.

Itulah, titik pangkal keyakinan tekad bahwa dia ingin berterima kasih kepada Tuhan, harus secara langsung.

Tuhan, bagi Jewe, adalah teman. Tuhan, masih untuk Jewe, adalah ayah dan bahkan keluarganya yang hilang. Meskipun masih hanya sekedar hal yang fana dan mendebar di hati, Jewe hormat pada Tuhan. Oleh karenanya, dia selalu benci apabila ada yang mengaku merujuk pada Tuhan namun tidak sesuai dengan Tuhan pada imajinasinya.

“brengsek, basuh dulu mulutmu sebelum kau menyebut Tuhan” itulah kata-kata kasar yang biasa dia keluarkan untuk menggambarkan emosinya pada orang yang berlaku layiaknya Sang Pemilik Semesta.

***
Adalah pedagang nasi rames yang kemudian disinggahi Jewe.

“hahaha, diusir, nak?”

Wajahnya yang muda, tak urung mengakibatkan Jewe dipanggil ‘nak’. Termasuk oleh ibu-ibu yang berjualan aneka macam masakan khas Sunda.

“iya bu, sialan memang!”
“makanya, kalau mau tidur di warung ibu saja sini, sekalian jagain dagangan ibu”
“memangnya boleh bu?”

Jewe terperangah. Benaknya mulai berisi angan-angan akan suatu kehidupan yang baru, yang lebih baik. Kerja, tempat tinggal dan kawan baru !

“boleh, tapi selama sebulan ini gajinya gratis makan saja. Hitung-hitung percobaan. Mau?”
“baik bu, saya mau”

Setelah sekian lama dia beranjak dari satu lokasi ke lokasi lainnya, barulah sekarang Jewe temukan hal yang teramat menyenangkannya. Sontak, dengan kepolosan dan kemurnian pikirannya, Jewe berkata...

“ibu itu Tuhan ya?”
“hah, bukan, saya Poinah istri dari tukang becak bernama Lamsijan” ibu warung menggelengkan kepala sambil menunjukan penolakan melalui tangan. Dia cukup serem juga dikata seperti itu.

“oh, maaf bu, saya kira ibu itu adalah Tuhan”
“memangnya kenapa?”
“karena Tuhan itu baik sama seperti ibu”
“olalala, tidak begitu juga anak muda. Kamu harus banyak belajar lagi ya”

Wanita tua berumur sekitar 45 (empat puluh lima) tahun menjawab dengan mondar-mandir. Tangannya terampil memasukan satu persatu bawaannya ke dalam tas. Rambutnya diikat dan dasternya dipakai secara kacau tidak teratur. Dia bergegas.

“yasuda, ini tugas pertamamu. Jaga warung ini. Kamu jangan merasa bisa berbuat jahat karena semua yang ada disekitaran lapangan masjid ini kenal dengan aku. Poinah, paham!”
“paham bu!”

Mimpi apa si Jewe ini, meskipun diperlukakan tidak apik karena dianggap menodai masjid, toh nyatanya nasib mujur tidak pergi jauh darinya. Kini, Jewe, berani berkata bahwa dia sudah tidak terlalu sedih lagi. Dan ini juga artinya, gumamnya menyoal bertemu kembali dengan Pak Hambali bisa dia lakukan sesering mungkin.

***
Lain Jewe lain pula Ami. Jelas, kelamin mereka saja sudah berbeda apalagi kompleksitas masalahnya. Satu maskulin dan satunya lagi feminim. Singkatnya itu.

Ami adalah wanita yang dilahirkan dari keluarga yang taat agama. Mengaji, shalat wajib dan sunnah, menghapa hadisth adalah perkara kecil yang sudah mendarah daging.

Nilai Ami dalam bidang eksak tidaklah dianggap lebih tinggi dibandingkan pengetahuan agama. Ami, bisa dikatakan, hidup di dalam keadaan dimana tidak tahu membaca huruf hijaiyah itu lebih hina daripada planga-plongo ketika ditanya soal rumus menghitung gaya.

Cukup timpang bukan. Ibarat sebuah timbangan mungkin beratnya berlawanan jauh.

“ini ibu warungnya kemana ya?”

Ami, yang rumahnya tidak begitu jauh dari masjid, bertanya. Laju langkahnya percuma manakala dia temukan kondisi warung yang sepi. Dia hanya mendapati pria kurus memakai sarung dan kaos sedang tertidur sambil menonton televisi.

“mas”
“hoy mas”

Dua kali sudah Ami memanggil tetapi tidak ada jawaban. Pria itu, seperti semua tahu, adalah Jewe.

“eh, maaf mba saya tidak mendengar. Ada yang bisa saya bantu?”
“ibu Poinah mana?”
“dia sedang pergi, katanya mah sampai habis dzuhur. Emang dzuhur itu apa ya mba? Saya juga ga mengerti”
“oh, dzuhur itu waktu shalat dan biasanya dimulai jam dua belas siang”

Jewe hanya tahu tempat ibadah tetapi tidak tahu waktu shalat. Hidupnya dia habiskan hanya fokus pada ingin menemui Tuhan dan lalu mengucapkan terima kasih, bukan pada peragaan sembahyang. Wajar kiranya dia tidak paham.

“ya, berarti sekitar jam dua belas”
“terima kasih kalau begitu, nanti sampaikan saja tadi Ami kesini”
“baik mba, nama saya Jewe”
“oke, terima kasih”

Pertemuan itu singkat dan terkesan sudah begitu saja. Namun tidak bagi Jewe, penasarannya muncul pada sosok wanita muda berhijab cokelat dengan menggunakan mukena lengkap.

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar