Dia pria paruh baya. Tubuhnya kurus dan matanya melotot. Sepintas, dia mirip dengan seorang yang tinggal di pelataran pengungsian, kumal dan tidak terurus.
Soal
berpakaian, dia tidak pernah muluk-muluk. Cukup kaos oblong dan sarung. Serapih-rapihnya,
dia punya satu celana pendek yang menutupi ujung lutut dan jaket hijau
bertuliskan ‘wali’. Ya Wali, nama band terkenal di Indonesia. Sederhana bukan?
Bila
kita hendak mengenalnya lebih jauh, maka kenali sajalah para musafir yang biasa
berlalu lalang dengan satu tas disilangkan ke punggung. Begitulah dia. Tidak
punya rumah, tidak juga punya keluarga. Hidupnya dia dedikasikan untuk mencari Tuhan.
Katanya.
Untuk beberapa saat, marilah kita persilahkan si
Jewe ini untuk tidur. Selamat malam!
***
Pagi
menyambut begitu cepat. Matahari bersinar terang tak terhalang barang satu awan
pun. Dalam suasana secerah itu, Jewe masih mendengkur dengan sedikit iler yang melumeri bibirnya.
“anak
siapa ini?”
“tidak tahu pak?
sedari malam dia ada disini”
“bangunkan!!!”
“tapi pak, dia
kan sedang tidur?”
“ini
masjid, tempat shalat bukan tempat tidur. Sudah cepat bangunkan!!”
Diantara
seonggok tubuh yang terkulai lemas, dua pria berkoko putih lengkap dengan
sarung dan kopeahnya, berdiri tegak mengadu kata. Satunya berumur dan satunya
lagi masih muda. Ada nuansa senioritas pada sang tua dan muda itu.
“nak
bangun, nak bangun” dengan hati-hati pria yang lebih muda menendangkan kakinya
ke tubuh Jewe. Sedikit tidak sopan sih, tetapi rata-rata memang begitu.
Terhadap orang yang tidak dikenal, dalam dunia manusia seperti ada budaya
curiga dan mencurigai.
Malang
bukan kepayang, Jewe pulas. Tendangan yang melambat namun sering itu tidak
dihiraukan. Mungkin, mimpi telah menghanyutkan hidupnya ke dunia yang lain.
Dunia yang menihilkan yang nyata.
“kau
ini bodoh, cepat ambil air”
“baik pak, baik.
Sebentar”
Pak
tua yang belum jelas namanya itu, kembali marah dan menyuruh pria muda di
sampingnya. Air, oh tentu, sudah jelas, pastilah itu digunakan untuk menyiram
Jewe. Tanpa pikir panjang, pria muda lantas kembali dengan se-ember air yang
dipesan Pak Tua tadi.
“ini pak”
“eh,
kamu itu, ya siram langsung ke anak kurang ajar yang meniduri masjid ini”
“tapi pak?”
“sudah,
cepat siram. Disuruh sama orang tua itu harus nurut!!!”
Dan
kemudian tanpa butuh waktu lama, “byaaaar”.
Jewe
terkaget-kaget. Jantungnya, meskipun cuma hampir, sedikit putus. Matanya
terbuka namun ke arah yang salah, arah yang tidak langsung menatap dua pria
yang sudah jengkel dengan tingkahnya. Jewe malah menatap ke langit-langit yang
penuh dengan ukiran-ukiran kayu jati.
“bangun juga
pak”
“sekarang
kamu urus dia, dan persilahkan pergi”
Bapak
tua, merasa tugasnya dengan memerintah telah selesai, berlalu pergi. Pria muda
diberi intruksi gagap yang sangat disadari membingungkan batinnya. Pria muda
itu belum terbiasa berbuat kejam terhadap manusia, meskipun sekedar mengusir.
Sejenak,
Jewe palingkan wajahnya. Didapatinya pria muda yang sudah sendiri.
“mengapa
anda menyiram saya?”
“mengapa anda
tertidur disaat orang lain sibuk shalat shubuh, di masjid pula?”
“saya
ke masjid bukan untuk shalat, tapi untuk tidur”
“jawaban anda
itu, sekiranya cukup menjadi alasan mengapa saya menyiram anda tadi”
“oh,
baiklah”
Jewe
mengemasi tasnya yang semula menjadi bantal. Dia bangun dan berdiri
berhadap-hadapan dengan pria muda yang mendadak berani. Cukup lama juga
keduanya memandangi satu dengan lainnya.
“sebelum
aku pergi, aku ingin bertanya. Boleh?”
“soal?”
“ini
masjid milik siapa?”
Cukup
menguras juga pertanyaan Jewe. Pria muda merasa harus membuka berkas-berkas
yang tersimpan di dalam otaknya. Tidak lama, jawaban yang sekenanya keluar.
“milik Allah”
“Allah
itu siapa?”
“Allah adalah Tuhanku”
“percayakah
anda bahwa segala tindakan yang terjadi di dunia ini adalah izin daripada
Allah?”
“saya percaya
karena saya meyakininya”
“termasuk
ketika aku tidur di masjid, kan?”
“hmm, bagaimana
ya, hmm, mungkin?”
“baiklah,
setidaknya aku tahu, bahwa aku tidur itu atas izinnya tetapi anda justeru tidak
mengizinkan itu terjadi. Aku tidur dengan sebelumnya membaca bissmika memohon lindungannya dan
kemudian Allah memulaskan tidurku. Shalat ataupun tidur, aku karena Allah,
tetapi anda menolaknya. Anda sekarang menjadi Tuhan. Selamat!”
“tapi kata Pak Hambali
tadi, masjid itu tempat shalat bukan tempat tidur, itu yang bikin anda keliru.
Pak Hambali punya dalil agama yang jelas. Saya tidak meragukan itu dan saya
juga tidak mengaku menjadi Tuhan”
“oh
begitu, sampaikan pada Pak Hambali, saya menitip maaf pada Tuhan”
Nampak
kesal, Jewe pergi dengan menyisakan pertanyaan yang sebenarnya dia sendiri
sudah tahu jawabannya. Jewe hanya menguji pria muda itu, tetapi pria muda itu
tidak sadar.
Kejadian
macam itu bukanlah yang pertama dan bukan pula yang terakhir yang akan dialami
oleh Jewe. Juga oleh para musafir, tentunya. Sebagian ada yang didebat namun
sebagian lagi dibiarkan menjadi angin lalu. Untuk yang satu ini, Jewe merasa
enggan untuk menanggapi.
Jewe
pergi bukan sebab dia tidak berani, bukan pula alasan menaruh hormat, hanya dia
kebetulan lapar. Jadi, langkahnya meninggalkan masjid itu bukan murni karena
disuruh, tetapi lebih tepatnya karena dia merasa perlu untuk makan.
“besok-besok,
akan aku temui sendiri si Hambali itu” gumam Jewe sembari meninggalkan masjid.
***
Menurut
penuturan Jewe, dia dahulu punya rumah. Dia juga, melanjutkan ceritanya, pernah
punya keluarga. Tetapi karena entah situasi apa, Jewe kini sebatang kara.
Dari kehidupannya yang pilu itu, dia pergi diawali oleh sebuah tempat singgah ke tempat singgah lainnya. Masjid, gardu listrik, halte dan bahkan pos ronda adalah kontrakkan berjalannya. Pengusiran dengan cara disiram mah, baginya amat biasa, tidak akan membuatnya jera.
Keputusannya
untuk berjalan, kesana kemari tanpa kejelasan, tidak sekonyong-konyong datang tanpa dilalui dengan peristiwa. Dia,
melakukan perantauannya itu, karena dinasehati oleh kakek-kakek di dekat rumah
sakit dimana dia ditinggalkan. Kakek itu berkata, “jangan sedih, kamu masih
punya Tuhan”.
Itulah,
titik pangkal keyakinan tekad bahwa dia ingin berterima kasih kepada Tuhan,
harus secara langsung.
Tuhan,
bagi Jewe, adalah teman. Tuhan, masih untuk Jewe, adalah ayah dan bahkan
keluarganya yang hilang. Meskipun masih hanya sekedar hal yang fana dan
mendebar di hati, Jewe hormat pada Tuhan. Oleh karenanya, dia selalu benci
apabila ada yang mengaku merujuk pada Tuhan namun tidak sesuai dengan Tuhan
pada imajinasinya.
“brengsek,
basuh dulu mulutmu sebelum kau menyebut Tuhan” itulah kata-kata kasar yang
biasa dia keluarkan untuk menggambarkan emosinya pada orang yang berlaku layiaknya
Sang Pemilik Semesta.
***
Adalah
pedagang nasi rames yang kemudian disinggahi Jewe.
“hahaha, diusir,
nak?”
Wajahnya
yang muda, tak urung mengakibatkan Jewe dipanggil ‘nak’. Termasuk oleh ibu-ibu
yang berjualan aneka macam masakan khas Sunda.
“iya
bu, sialan memang!”
“makanya, kalau
mau tidur di warung ibu saja sini, sekalian jagain dagangan ibu”
“memangnya
boleh bu?”
Jewe
terperangah. Benaknya mulai berisi angan-angan akan suatu kehidupan yang baru,
yang lebih baik. Kerja, tempat tinggal dan kawan baru !
“boleh, tapi
selama sebulan ini gajinya gratis makan saja. Hitung-hitung percobaan. Mau?”
“baik
bu, saya mau”
Setelah
sekian lama dia beranjak dari satu lokasi ke lokasi lainnya, barulah sekarang
Jewe temukan hal yang teramat menyenangkannya. Sontak, dengan kepolosan dan
kemurnian pikirannya, Jewe berkata...
“ibu
itu Tuhan ya?”
“hah, bukan,
saya Poinah istri dari tukang becak bernama Lamsijan” ibu warung
menggelengkan kepala sambil menunjukan penolakan melalui tangan. Dia cukup serem juga dikata seperti itu.
“oh, maaf bu, saya kira ibu itu adalah Tuhan”
“memangnya
kenapa?”
“karena
Tuhan itu baik sama seperti ibu”
“olalala, tidak
begitu juga anak muda. Kamu harus banyak belajar lagi ya”
Wanita
tua berumur sekitar 45 (empat puluh lima) tahun menjawab dengan mondar-mandir.
Tangannya terampil memasukan satu persatu bawaannya ke dalam tas. Rambutnya
diikat dan dasternya dipakai secara kacau tidak teratur. Dia bergegas.
“yasuda, ini
tugas pertamamu. Jaga warung ini. Kamu jangan merasa bisa berbuat jahat karena
semua yang ada disekitaran lapangan masjid ini kenal dengan aku. Poinah,
paham!”
“paham
bu!”
Mimpi
apa si Jewe ini, meskipun diperlukakan tidak apik karena dianggap menodai masjid, toh nyatanya nasib mujur tidak
pergi jauh darinya. Kini, Jewe, berani berkata bahwa dia sudah tidak terlalu
sedih lagi. Dan ini juga artinya, gumamnya menyoal bertemu kembali dengan Pak
Hambali bisa dia lakukan sesering mungkin.
***
Lain Jewe lain pula Ami. Jelas, kelamin
mereka saja sudah berbeda apalagi kompleksitas masalahnya. Satu maskulin dan
satunya lagi feminim. Singkatnya itu.
Ami adalah wanita yang dilahirkan dari keluarga yang taat agama. Mengaji, shalat wajib dan sunnah, menghapa hadisth adalah perkara kecil yang sudah mendarah daging.
Nilai Ami dalam bidang eksak tidaklah dianggap lebih tinggi
dibandingkan pengetahuan agama. Ami, bisa dikatakan, hidup di dalam keadaan
dimana tidak tahu membaca huruf hijaiyah
itu lebih hina daripada planga-plongo ketika
ditanya soal rumus menghitung gaya.
Cukup
timpang bukan. Ibarat sebuah timbangan mungkin beratnya berlawanan jauh.
“ini ibu
warungnya kemana ya?”
Ami,
yang rumahnya tidak begitu jauh dari masjid, bertanya. Laju langkahnya percuma
manakala dia temukan kondisi warung yang sepi. Dia hanya mendapati pria kurus
memakai sarung dan kaos sedang tertidur sambil menonton televisi.
“mas”
“hoy mas”
Dua
kali sudah Ami memanggil tetapi tidak ada jawaban. Pria itu, seperti semua
tahu, adalah Jewe.
“eh,
maaf mba saya tidak mendengar. Ada yang bisa saya bantu?”
“ibu Poinah
mana?”
“dia
sedang pergi, katanya mah sampai habis dzuhur. Emang dzuhur itu apa ya mba? Saya
juga ga mengerti”
“oh, dzuhur itu
waktu shalat dan biasanya dimulai jam dua belas siang”
Jewe
hanya tahu tempat ibadah tetapi tidak tahu waktu shalat. Hidupnya dia habiskan
hanya fokus pada ingin menemui Tuhan dan lalu mengucapkan terima kasih, bukan
pada peragaan sembahyang. Wajar kiranya dia tidak paham.
“ya,
berarti sekitar jam dua belas”
“terima kasih
kalau begitu, nanti sampaikan saja tadi Ami kesini”
“baik
mba, nama saya Jewe”
“oke, terima
kasih”
Pertemuan
itu singkat dan terkesan sudah begitu saja. Namun tidak bagi Jewe, penasarannya
muncul pada sosok wanita muda berhijab cokelat dengan menggunakan mukena lengkap.
***