Minggu, 21 Juni 2015

JEWE


Dia pria paruh baya. Tubuhnya kurus dan matanya melotot. Sepintas, dia mirip dengan seorang yang tinggal di pelataran pengungsian, kumal dan tidak terurus.

Soal berpakaian, dia tidak pernah muluk-muluk. Cukup kaos oblong dan sarung. Serapih-rapihnya, dia punya satu celana pendek yang menutupi ujung lutut dan jaket hijau bertuliskan ‘wali’. Ya Wali, nama band terkenal di Indonesia. Sederhana bukan?

Bila kita hendak mengenalnya lebih jauh, maka kenali sajalah para musafir yang biasa berlalu lalang dengan satu tas disilangkan ke punggung. Begitulah dia. Tidak punya rumah, tidak juga punya keluarga. Hidupnya dia dedikasikan untuk mencari Tuhan. Katanya.

Untuk  beberapa saat, marilah kita persilahkan si Jewe ini untuk tidur. Selamat malam!

***
Pagi menyambut begitu cepat. Matahari bersinar terang tak terhalang barang satu awan pun. Dalam suasana secerah itu, Jewe masih mendengkur dengan sedikit iler yang melumeri bibirnya.

“anak siapa ini?”
“tidak tahu pak? sedari malam dia ada disini”
“bangunkan!!!”
“tapi pak, dia kan sedang tidur?”
“ini masjid, tempat shalat bukan tempat tidur. Sudah cepat bangunkan!!”

Diantara seonggok tubuh yang terkulai lemas, dua pria berkoko putih lengkap dengan sarung dan kopeahnya, berdiri tegak mengadu kata. Satunya berumur dan satunya lagi masih muda. Ada nuansa senioritas pada sang tua dan muda itu.

“nak bangun, nak bangun” dengan hati-hati pria yang lebih muda menendangkan kakinya ke tubuh Jewe. Sedikit tidak sopan sih, tetapi rata-rata memang begitu. Terhadap orang yang tidak dikenal, dalam dunia manusia seperti ada budaya curiga dan mencurigai.

Malang bukan kepayang, Jewe pulas. Tendangan yang melambat namun sering itu tidak dihiraukan. Mungkin, mimpi telah menghanyutkan hidupnya ke dunia yang lain. Dunia yang menihilkan yang nyata.

“kau ini bodoh, cepat ambil air”
“baik pak, baik. Sebentar”

Pak tua yang belum jelas namanya itu, kembali marah dan menyuruh pria muda di sampingnya. Air, oh tentu, sudah jelas, pastilah itu digunakan untuk menyiram Jewe. Tanpa pikir panjang, pria muda lantas kembali dengan se-ember air yang dipesan Pak Tua tadi.

“ini pak”
“eh, kamu itu, ya siram langsung ke anak kurang ajar yang meniduri masjid ini”
“tapi pak?”
“sudah, cepat siram. Disuruh sama orang tua itu harus nurut!!!”

Dan kemudian tanpa butuh waktu lama, “byaaaar”.
Jewe terkaget-kaget. Jantungnya, meskipun cuma hampir, sedikit putus. Matanya terbuka namun ke arah yang salah, arah yang tidak langsung menatap dua pria yang sudah jengkel dengan tingkahnya. Jewe malah menatap ke langit-langit yang penuh dengan ukiran-ukiran kayu jati.

“bangun juga pak”
“sekarang kamu urus dia, dan persilahkan pergi”

Bapak tua, merasa tugasnya dengan memerintah telah selesai, berlalu pergi. Pria muda diberi intruksi gagap yang sangat disadari membingungkan batinnya. Pria muda itu belum terbiasa berbuat kejam terhadap manusia, meskipun sekedar mengusir.
Sejenak, Jewe palingkan wajahnya. Didapatinya pria muda yang sudah sendiri.

“mengapa anda menyiram saya?”
“mengapa anda tertidur disaat orang lain sibuk shalat shubuh, di masjid pula?”
“saya ke masjid bukan untuk shalat, tapi untuk tidur”
“jawaban anda itu, sekiranya cukup menjadi alasan mengapa saya menyiram anda tadi”
“oh, baiklah”

Jewe mengemasi tasnya yang semula menjadi bantal. Dia bangun dan berdiri berhadap-hadapan dengan pria muda yang mendadak berani. Cukup lama juga keduanya memandangi satu dengan lainnya.

“sebelum aku pergi, aku ingin bertanya. Boleh?”
“soal?”
“ini masjid milik siapa?”

Cukup menguras juga pertanyaan Jewe. Pria muda merasa harus membuka berkas-berkas yang tersimpan di dalam otaknya. Tidak lama, jawaban yang sekenanya keluar.

“milik Allah”
“Allah itu siapa?”
“Allah adalah Tuhanku”
“percayakah anda bahwa segala tindakan yang terjadi di dunia ini adalah izin daripada Allah?”
“saya percaya karena saya meyakininya”
“termasuk ketika aku tidur di masjid, kan?”
“hmm, bagaimana ya, hmm, mungkin?”
“baiklah, setidaknya aku tahu, bahwa aku tidur itu atas izinnya tetapi anda justeru tidak mengizinkan itu terjadi. Aku tidur dengan sebelumnya membaca bissmika memohon lindungannya dan kemudian Allah memulaskan tidurku. Shalat ataupun tidur, aku karena Allah, tetapi anda menolaknya. Anda sekarang menjadi Tuhan. Selamat!”
“tapi kata Pak Hambali tadi, masjid itu tempat shalat bukan tempat tidur, itu yang bikin anda keliru. Pak Hambali punya dalil agama yang jelas. Saya tidak meragukan itu dan saya juga tidak mengaku menjadi Tuhan”
“oh begitu, sampaikan pada Pak Hambali, saya menitip maaf pada Tuhan”

Nampak kesal, Jewe pergi dengan menyisakan pertanyaan yang sebenarnya dia sendiri sudah tahu jawabannya. Jewe hanya menguji pria muda itu, tetapi pria muda itu tidak sadar.

Kejadian macam itu bukanlah yang pertama dan bukan pula yang terakhir yang akan dialami oleh Jewe. Juga oleh para musafir, tentunya. Sebagian ada yang didebat namun sebagian lagi dibiarkan menjadi angin lalu. Untuk yang satu ini, Jewe merasa enggan untuk menanggapi.

Jewe pergi bukan sebab dia tidak berani, bukan pula alasan menaruh hormat, hanya dia kebetulan lapar. Jadi, langkahnya meninggalkan masjid itu bukan murni karena disuruh, tetapi lebih tepatnya karena dia merasa perlu untuk makan.

“besok-besok, akan aku temui sendiri si Hambali itu” gumam Jewe sembari meninggalkan masjid.

***
Menurut penuturan Jewe, dia dahulu punya rumah. Dia juga, melanjutkan ceritanya, pernah punya keluarga. Tetapi karena entah situasi apa, Jewe kini sebatang kara.

Dari kehidupannya yang pilu itu, dia pergi diawali oleh sebuah tempat singgah ke tempat singgah lainnya. Masjid, gardu listrik, halte dan bahkan pos ronda adalah kontrakkan berjalannya. Pengusiran dengan cara disiram mah, baginya amat biasa, tidak akan membuatnya jera.

Keputusannya untuk berjalan, kesana kemari tanpa kejelasan, tidak sekonyong-konyong datang tanpa dilalui dengan peristiwa. Dia, melakukan perantauannya itu, karena dinasehati oleh kakek-kakek di dekat rumah sakit dimana dia ditinggalkan. Kakek itu berkata, “jangan sedih, kamu masih punya Tuhan”.

Itulah, titik pangkal keyakinan tekad bahwa dia ingin berterima kasih kepada Tuhan, harus secara langsung.

Tuhan, bagi Jewe, adalah teman. Tuhan, masih untuk Jewe, adalah ayah dan bahkan keluarganya yang hilang. Meskipun masih hanya sekedar hal yang fana dan mendebar di hati, Jewe hormat pada Tuhan. Oleh karenanya, dia selalu benci apabila ada yang mengaku merujuk pada Tuhan namun tidak sesuai dengan Tuhan pada imajinasinya.

“brengsek, basuh dulu mulutmu sebelum kau menyebut Tuhan” itulah kata-kata kasar yang biasa dia keluarkan untuk menggambarkan emosinya pada orang yang berlaku layiaknya Sang Pemilik Semesta.

***
Adalah pedagang nasi rames yang kemudian disinggahi Jewe.

“hahaha, diusir, nak?”

Wajahnya yang muda, tak urung mengakibatkan Jewe dipanggil ‘nak’. Termasuk oleh ibu-ibu yang berjualan aneka macam masakan khas Sunda.

“iya bu, sialan memang!”
“makanya, kalau mau tidur di warung ibu saja sini, sekalian jagain dagangan ibu”
“memangnya boleh bu?”

Jewe terperangah. Benaknya mulai berisi angan-angan akan suatu kehidupan yang baru, yang lebih baik. Kerja, tempat tinggal dan kawan baru !

“boleh, tapi selama sebulan ini gajinya gratis makan saja. Hitung-hitung percobaan. Mau?”
“baik bu, saya mau”

Setelah sekian lama dia beranjak dari satu lokasi ke lokasi lainnya, barulah sekarang Jewe temukan hal yang teramat menyenangkannya. Sontak, dengan kepolosan dan kemurnian pikirannya, Jewe berkata...

“ibu itu Tuhan ya?”
“hah, bukan, saya Poinah istri dari tukang becak bernama Lamsijan” ibu warung menggelengkan kepala sambil menunjukan penolakan melalui tangan. Dia cukup serem juga dikata seperti itu.

“oh, maaf bu, saya kira ibu itu adalah Tuhan”
“memangnya kenapa?”
“karena Tuhan itu baik sama seperti ibu”
“olalala, tidak begitu juga anak muda. Kamu harus banyak belajar lagi ya”

Wanita tua berumur sekitar 45 (empat puluh lima) tahun menjawab dengan mondar-mandir. Tangannya terampil memasukan satu persatu bawaannya ke dalam tas. Rambutnya diikat dan dasternya dipakai secara kacau tidak teratur. Dia bergegas.

“yasuda, ini tugas pertamamu. Jaga warung ini. Kamu jangan merasa bisa berbuat jahat karena semua yang ada disekitaran lapangan masjid ini kenal dengan aku. Poinah, paham!”
“paham bu!”

Mimpi apa si Jewe ini, meskipun diperlukakan tidak apik karena dianggap menodai masjid, toh nyatanya nasib mujur tidak pergi jauh darinya. Kini, Jewe, berani berkata bahwa dia sudah tidak terlalu sedih lagi. Dan ini juga artinya, gumamnya menyoal bertemu kembali dengan Pak Hambali bisa dia lakukan sesering mungkin.

***
Lain Jewe lain pula Ami. Jelas, kelamin mereka saja sudah berbeda apalagi kompleksitas masalahnya. Satu maskulin dan satunya lagi feminim. Singkatnya itu.

Ami adalah wanita yang dilahirkan dari keluarga yang taat agama. Mengaji, shalat wajib dan sunnah, menghapa hadisth adalah perkara kecil yang sudah mendarah daging.

Nilai Ami dalam bidang eksak tidaklah dianggap lebih tinggi dibandingkan pengetahuan agama. Ami, bisa dikatakan, hidup di dalam keadaan dimana tidak tahu membaca huruf hijaiyah itu lebih hina daripada planga-plongo ketika ditanya soal rumus menghitung gaya.

Cukup timpang bukan. Ibarat sebuah timbangan mungkin beratnya berlawanan jauh.

“ini ibu warungnya kemana ya?”

Ami, yang rumahnya tidak begitu jauh dari masjid, bertanya. Laju langkahnya percuma manakala dia temukan kondisi warung yang sepi. Dia hanya mendapati pria kurus memakai sarung dan kaos sedang tertidur sambil menonton televisi.

“mas”
“hoy mas”

Dua kali sudah Ami memanggil tetapi tidak ada jawaban. Pria itu, seperti semua tahu, adalah Jewe.

“eh, maaf mba saya tidak mendengar. Ada yang bisa saya bantu?”
“ibu Poinah mana?”
“dia sedang pergi, katanya mah sampai habis dzuhur. Emang dzuhur itu apa ya mba? Saya juga ga mengerti”
“oh, dzuhur itu waktu shalat dan biasanya dimulai jam dua belas siang”

Jewe hanya tahu tempat ibadah tetapi tidak tahu waktu shalat. Hidupnya dia habiskan hanya fokus pada ingin menemui Tuhan dan lalu mengucapkan terima kasih, bukan pada peragaan sembahyang. Wajar kiranya dia tidak paham.

“ya, berarti sekitar jam dua belas”
“terima kasih kalau begitu, nanti sampaikan saja tadi Ami kesini”
“baik mba, nama saya Jewe”
“oke, terima kasih”

Pertemuan itu singkat dan terkesan sudah begitu saja. Namun tidak bagi Jewe, penasarannya muncul pada sosok wanita muda berhijab cokelat dengan menggunakan mukena lengkap.

***


Jumat, 12 Juni 2015

TERIMA (KASIH)



Kasih, percayalah, bahwa dalam setiap cerita yang nantinya indah itu, pastilah dilalui dahulu oleh suka dan duka. Seperti kisah Fatmawati dan Soekarno yang saling bahu membahu dan mengantarkan Indonesia pada kemerdekaan. Seperti Abigail dan John Adams yang rela menyisihkan tenaga untuk tetap surat menyurat berisi kasih serta sayang.  Dan juga, seperti cinta kita, yang melewati aneka macam perseteruan hebat, darimu, dariku dan dari berbagai kejadian lainnya.

Kasih, malam ini, sebelum engkau larut terlelap begitu dalam, aku ingin mengucapkan terima kasihku padamu.  Meskipun, sepertinya, hal itu tidak pernah cukup untuk membayar semua pengorbananmu.

Kasih, terima kasih karena engkau telah rela memberikan segenap waktumu untukku. Yang mungkin, apabila waktumu itu kau gunakan hanya untuk kebahagiaanmu, kau bisa memperoleh segalanya.

Terima kasih karena engkau telah membuat aku mengerti bahwa sesungguhnya semua itu butuh kesabaran. Yang mungkin, apabila seandainya saja kau tidak marah-marah kepadaku, aku tidak akan pernah menyadari kesalahanku.

Terima kasih karena engkau telah sebegitu ikhlasnya menerimaku tanpa pengharapan. Yang mungkin, apabila hendak kau cari dan kau pilih yang lebih baik, di luar sana lebih telah banyak yang menadahkan tangannya disepertiga malam untukmu.

Terima kasih karena engkau telah mengeluarkan banyak canda dan tawamu yang mengobati kesedihanku. Yang mungkin, apabila seandainya kau selalu memaksakan egomu untuk marah, aku tidak akan bisa menyapu kepedihanku.

Terima kasih karena engkau telah membuat aku mengerti akan arti mencintai dan dicintai. Yang mungkin, apabila kau berikan pada pria yang lain, pria itu akan bisa membalasnya jauh melebihi balasan cintaku padamu.

Yang terakhir, terima kasih karena engkau telah hadir dan merangkum semua kenangan yang sebelumnya telah kulalui.

Kasih, kini pejamkanlah matamu dengan kuat.

Aku akan menjadi orang yang mengelus dan mengusap peluh di dahimu.

Aku akan mengikiskan semua hal yang membuatmu pilu. Iya, hal yang seringkali kau ceritakan padaku itu.

Aku akan menungguimu dengan terjaga sampai nanti kau membuka matamu kembali.

Selasa, 09 Juni 2015

Sinar 2

2
Nomor dua adalah setelah nomor satu dan sebelum nomor tiga. Nomor dua itu bentuknya bila diingat-ingat maka mudah menghafalnya jika dimiripkan dengan seekor bebek. Atau juga, nomor dua sepintas sama dengan huruf abjad yaitu huruf Z. Tony Buzan mengatakan begitu, khusus untuk nomor dua.

Bagi sang pria, nomor dua adalah nomor yang mengingatkannya pada malam di setiap saat dia terbangun. Maksudnya, jam dua malam. Atau jam, dimana detik-detik turunnya Sang Hyang Teragung, Gusti Allah SWT melongok menengok bumi melalui celah langit.

Pada waktu-waktu itu, sang pria pasti keluar dari dalam tendanya. Dia berjalan kecil melawan aliran air yang turun dari perbukitan. Dengan begitu, artinya, sang pria berjalan menuju puncak. Dia menjauh dan semakin tidak terlihat lagi. Semakin kecil dan semakin menunjukan bahwa dia tidak sebesar yang dia pikir, setidaknya dibandingkan dengan gunung.

Adalah majelis Embun Pagi yang menjadi tujuan daripada langkahnya. Sang pria memang telah menjadi anggota tetap dalam majelis yang beraktifitas di atas lekukan gunung itu. Ya, meskipun baru setidaknya sebulanan ini.

Dalam majelis itu, sang pria berkumpul dengan sekitaran lima belas cantrik. Cantrik-cantrik itu tidak saling mengenal satu sama lainnya. Mereka juga, datang dari tempat yang tidak pernah diketahui.

Majelis itu memiliki beberapa peraturan, diantaranya adalah semua cantrik diwajibkan untuk diam manakala guru berbicara. Semua cantrik pun, tidak boleh mengeluh walaupun itu hanya di dalam hati. Dalam belajar, kata Ki Petopo atau maha guru di majelis tersebut, kita harus ikhlas dan sabar.

Hari esok adalah kemarin yang sempat kita rindukan. Semua bergantung pada saat ini. Dan hari ini, adalah hari-hari sulit bagi sang pria dan belasan peserta majelis lainnya. Mengapa? karena hari macam ini (goro-goro) menurut Frank Furedi telah menghasilkan istilah "the cult of philistinism". Istilah yang berarti bahwa, orang yang membaca kesusastraan dan menggelorakan gairah intelektual beresiko di cap 'elitis', 'tak membumi' dan 'marjinal'. Mereka harus bersabar.

"aku meminta kau membalas kejahatan mereka padaku Ya Tuhan"
"untuk apa engkau mengharapkan itu, selagi nyatanya kau tahu bahwa aku adalah maha pemaaf"
"jika begitu, aku pasrah dan ampuni mereka"
"untuk apa juga kau pasrah dan memohonkan pengampunan, selagi nyatanya kau tahu bahwa aku adalah maha pendendam"
"lalu aku harus bagaimana, aku menyerahkan semuanya kepadamu"
"untuk apa juga kau berlaku seperti itu, selagi nyatanya kau tahu bahwa aku akan memberikan apa yang kau usahakan. Berusahalah menurut keyakinanmu"

Sang pria menyaksikan adegan pemula dalam majelis Embun Pagi itu. Dalam sorot matanya tertampilkan dengan jelas Ki Petopo berputar mengelilingi api sembari menyemburkan kalimat-kalimat di atas. Ki Petopo bertanya, Ki Petopo menjawab. Seperti orang gila.

Namun perlu diketahui, apa yang dikatakan Ki Petopo tersebut, meskipun terkesan remeh, tetapi membuat sang pria menjadi termehek-mehek menangisi permintaannya. Semenjak mengikuti majelis itu, sang pria hampir selalu merasa malu dan sukar mengucap permintaannya kepada Tuhan. Tuhan, baginya saat ini, lebih tahu daripada apa yang dia ketahui. Meminta doa adalah tindakan yang teramat berdosa karena melecehkan kemahatahuan Tuhan, tuturnya.

"lepaskan, lepaskaaaaan semuanya. Jangan engkau pedulikan manusia !"

Ki Petopo lantas terdiam. Ki Petopo lalu mengambil posisi dan bersila dengan kepala yang menunduk.

Seperti kebiasaannya, Ki Petopo tidak menggunakan satu pakaian pun. Tidak ada sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya. Polos dan benar-benar telanjang bulat.

"jikalau engkau berbuat baik karena ingin dilihat manusia, maka engkau telah syirik. Jikalau engkau tidak berbuat baik karena enggan dinilai oleh manusia, maka engkau berbuat riya. Minahussaniyah menuliskan itu wahai murid-muridku. Puluhan tahun yang lalu, lalu sekali sampai-sampai rasanya kitab itu sudah tidak bagus lagi untuk dibaca"

Suasana menjadi hening dan sepi. Seperti yang dikatakan oleh banyak orang disekitaran situ, seluruhnya yang berada di hutan belajar kepada Ki Petopo. Tumbuhan, binatang, bebatuan, air atau bahkan barang tai yang hanyut pun mencari pelajaran dari Ki Petopo.

"kalau seandainya kalian tahu bahwa ini semua adalah akarnya masalahnya karena kita mulai meninggalkan Tuhan, maka kalian akan sadar dan segera kembali. Kita tidak lagi berpayah-payah menghamba dan bersedih pada apa yang kita ciptakan sendiri. Rumah, mobil, gadget semua adalah yang kita ciptakan. Atau juga pekerjaan, itu juga kita yang menciptakan. Tetapi mengapa, kita lalu kalah dengan apa yang kita ciptakan dan kemudian kita menjadi kehilangan iman. Kembalilah pada yang menciptakan kita"

"belajarlah kalian, belajarlah dulu, cermati dan lalu sampaikan serta kerjakan sesuai ilmu yang nantinya kalian dapatkan. Tuhan, Nabi, Kyai Hasyim Asy'ari menghendaki itu"

Ki Petopo lalu bercerita perkara Nabi dan Mbah Wahab. Seandainya Allah ingin nabi segera berperang, itu bisa sekali Allah lakukan, kun-faya-kun. Tetapi Allah menyuruh nabi untuk belajar terlebih dahulu. Lalu, Mbah Wahab yang ingin segera terjun ke masyarakat namun malah disarankan oleh Kyai Hasyim Asy'ari untuk belajar lagi ke Makah. Mbah Wahab pun menurut dan berguru pada Kyai Mahfudz Tarmisi, Kyai Mukhtarom, syaikh Ahmad Khatib dll selama kurang-lebih 4 tahun.

Sinar

Hari itu kemudian datang. Pelangi menjadi hilang. Rembulan meredup dan sinarnya menjauh ke tempat antah berantah. Itulah hari, yang kata beberapa musaffir, mendatangkan gelisah di hati dan lingkaran kebingungan di pikiran.

Cuaca begitu berakibat pada bermunculannya goro-goro. Yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Menangkap baru sedikit merasa sudah banyak sehingga selesailah sudah. Orang lain dianggap rendah karenanya memaki serta menyakiti adalah hal yang remeh. Berbeda jalan dianggap musuh, yang berlawanan diperangi. Semua buta, semua seperti hidup dalam bingkai-bingkai permusuhan. Seluruhnya nampak gelap dan tidak menjelaskan satu hal apapun.

Dalam suasana getir tersebut, pria tangkas nan rupawan itu tetap berjalan. Langkah kakinya tidak gentar meski angin kencang menyulitkan ayunan kedua kakinya. Hujan dan panas yang tidak jelas, pun nyatanya tidak membuat 'nafsu'nya surut. Ke arah barat adalah tujuannya yang sedari kecil sudah dia impikan. Prinsip yang dipegangnya cukup mashyur, fasih juga dia katakan bahwa "lebih baik tumbang tinggal nama daripada pulang sebagai seorang pengecut".

Menemani perjalanannya, pria itu membawa tas yang isinya pakain dan buku-buku. Pria itu juga, menjinjing aneka rupa perlengkapan inap seperti tenda, kayu bakar, pisau dan lainnya. Segalanya dipersiapkan betul agar tidak kering dan sulit nantinya. Tapi baginya, ada satu hal yang dia bawa, yang itu lebih penting daripada semuanya, yaitu "aku membawa semangat thalib al-'ilm atau semangat pencari ilmu".

Kawan-kawan di kampung menyesali kepergiannya yang begitu cepat. Mereka semua merasa bahwa kebutuhan untuk menapaki jalan menjauhi kemewahan itu bukanlah pilihan yang tepat. Apalagi dalam kondisi seperti ini. Orang-orang tua yang mengenalnya menganggap bahwa tindakan yang dilakukannya itu percuma. Para sepuh itu menilai sudah terlambat upaya 'memperbaiki' karena zaman sudah terlanjur edan !!

Lagi-lagi dia tidak mengambil pusing. Dia sadar orang boleh saja berbeda pendapat, tetapi bila itu menjadikan alasan untuknya membalikan layar, itu tidak mungkin. Dia malah berkeyakinan, mungkin orang lain berkata ini terlambat, namun kadang orang lain itu salah, karena hatinya berkata bahwa ini justeru adalah awal dari segalanya.

Hembusan hawa dingin mulai menusuk ke dalam tulang. Malam-malam dengan penuh cahaya percikan bintang membuatnya hanyut. Sembari menghentikan langkah, mata pria itu melongok ke kanan dan ke kiri. Dicarinya penuh hati-hati tempat dimana dia harus mendirikan tenda. Menutup perjalanan itu, dia mengusap dahi dan menatap bulan. SELAMAT MALAM.


1
Adalah rindu, yang membuatnya bangun dan sesegera mungkin mencari warung kopi.

Sudah hampir sebulan ini, dia hanya menemui bebatuan dan tumbuh-tumbuhan yang nampak rimbun. Kota-kota ataupun sekedarnya permukiman, sama sekali tak dia dapati. Barulah sekarang, dia mendengar sayup-sayup kegaduhan.

"aku dimana ini? ada nafas, ada oksigen dan karbondioksida yang beradu cepat keluar dan masuk, apakah ada kehidupan disini"

Batinnya begejolak. Antara senang, sedih dan juga sedikit perasaan was-was. Semenjak dunia dinyatakan tidak aman lagi, dia, meskipun tidak mau menaruh curiga, tetaplah harus berjaga-jaga. Manusia baginya telah kembali ke zaman dahulu, zaman dimana Hobbes menakut-nakuti dengan homo homini lupus yakni manusia adalah serigala bagi lainnya.

Meskipun begitu, dia harus tetap berjalan. Dia tidak memperdulikan takutnya itu. Dia paham betul bilamana kopi adalah salah satu prasyarat untuk melanjutkan revolusi. Yang dengan keyakinan macam tersebut, maka jahatnya manusia setidaknya sama tenang dihadapan kopi. Semoga.

Sampailah dia pada tuntunan keingannya menyeduh dan menikmati kopi. Warung sekira berukuran 3x3 dia duduki dengan penuh percaya diri.

"sebut saja warung ini warung kenduri pak, jadinya selalu ramai" pedagang kopi menjawab pertanyaan sang pria ketika ditanya "mengapa warung anda begitu ramai?". Sang pria menggeleng kecil, tidak cepat dan tidak pula lambat, seperlunya saja.

Di warung tersebut, musik-musik oplosan adalah andalan yang karena seringnya sehingga menjadi sebuah kewajiban. Para pengunjung pun menikmati lantunan yang katanya Musik-Nusantara itu.

Ada sekitaran tiga kelompok dalam tiga meja besar. Kelompok satu jumlahnya lima, kelompok dua jumlahnya empat dan kelompok tiga jumlahnya tiga. Sedangkan sang pria, sang pria itu ada di meja yang terpisah dan dia duduk ditemani pemilik warung.

"bapak datang darimana?" Pemilik warung membuka obrolan.
"saya, hmm, saya datang dari sebuah tempat yang saya sendiri tidak tahu" Sang pria menjawab.
"bapak gila?"
"kalau saya merasa bahwa saya ingin disebut normal, maka saya marah. Tetapi mungkin anda benar, saya gila"
"oh, bapak gila. Sudah berapa lama bapak gila?"
"semenjak aku lahir, aku gila"
"hahaha, kadang-kadang enak ngobrol sama orang gila. Tapi dari cara berpakaian bapak, sepertinya bapak tidak nampak gila"

Sang pria memang cukup nyentrik pagi itu. Topi koboy dipakainya untuk menutupi rambut yang mulai panjang sebahu. Badannya dia bungkus dengan jaket hijau. Sementara bawahannya, dia selimuti dengan sarung dengan motif mega mendung khas pantura Cirebon.

"bapak coba lihat pelanggan saya pak"
"yang mana?" Sang pria menoleh ke belakang. Maklum, punggungnya tidak memiliki mata.
"ya itu semuanya" pemilik toko sedikit serius "saya jelaskan kepada bapak ya, yang berlima itu, mereka adalah sales. Yang berempat itu, mereka adalah kader partai. Yang bertiga itu, mereka adalah pamong desa"
"wah, mereka semua bekerja. Mereka semua sibuk dan beruntunglah mereka tidak menganggur"
"bapak benar. Mereka memang bekerja, sibuk dan tidak menanggur. Namun mereka, selalu saja berbincang membuang waktu membicarakan hidup. Padahal hidup itu kan bukan untuk diperbincangkan, tetapi untuk dijalani"

Sang pria sedikit tersentak. Dia mulai merasa kerasan karena dia mulai menemukan interaksi yang selama ini sudah tidak dia jalani. Puasa meneng kalau kata orang Jawa.

"coba pak pemilik toko beritahu saya lebih jelas, beritahu saya mengenai topik dari masing-masing orang itu. Yang sales, yang kader dan yang pamong"
"yang sales itu, mereka merasa hidup dan matinya ada pada barang yang mereka jual. Yang kader itu, mereka merasa hidup dan matinya ada pada kemenangan partainya atau juga caleg yang di dukung. Dan yang pamong, bagi mereka hidup dan mati itu terletak dari visi dan misinya yang nanti akan mempengaruhi proyek mereka. Ketika tidak ada proyek, putuslah mereka itu"
"begitu ya, sekarang salah mereka apa bila mereka kemudian bersenda gurau, bertukar pikir dan berkata-kata mengenai hal yang mereka jalani?"
"iya, memang tidak salah. Cuma saya risih saja. Salah saya berkata itu sama bapak. Bapak kan gila"
"lalu jikalau saya gila, menurut ucapan pak pemilik toko barusan, saya tidak berhak mendapat sapaan?"
"iya, karena berbicara dengan orang gila hanya akan membuat saya ikutan gila"
"hahaha, sekarang bapak resmi gila"
"hah!!??" pemilik toko terheran-heran, dia mulai roaming.
"iya, karena bapak sudah berbicara dengan saya tadi, jadi bapak sudah ikutan gila" 

Para pengunjung lainnya kemudian satu persatu pergi. Mereka terburu-buru dalam membayar dan dalam berjalan. Suara adzan dzuhur seperti bukan panggilan shalat tapi panggilan hidup. Merenung bukanlah perkara yang penting bagi mereka, karena uang dan membeli susu jauh lebih utama. Setidaknya begitu, sang pria memberi pemahaman.

"begitu benar tidak pak pemilik toko?"
"iya, mungkin ada benarnya juga bapak punya pikiran"
"dan saya tahu, bapak risih kepada mereka itu bukan karena mereka berbincang-bincang tetapi karena mereka seperti sebuah robot. Mereka bahagia bukan dengan dan karena mereka sendiri tetapi karena di luar mereka" panjang juga sang pria menjelaskan, "bukan begitu?"
"coba bapak jelaskan dengan lebih jelas lagi, saya ini orang tidak sekolah jadi agak sulit memahami bahasa yang abstrak" keluh pemilik toko.
"begini pak, yang sales, dia itu bahagia karena barang yang dia bawa laku. Ya, tentu, barang itulah faktor yang membuatnya bahagia. Yang partai, dia itu bahagia karena partai dan calegnya. Ya, tentu, itupun di luar dia. Yang pamong, dia itu bahagia karena warga dan proyek. Ya, tentu, itu juga masih di luar dirinya. Ketika semuanya ternyata tidak sesuai, mereka bersedih"
"ya, tepat sekali. Mereka kan padahal bisa bahagia tanpa perlu berpangku pada hal-hal di luar mereka itu. Sudahlah, ngopi saja, kan enak"

Semendadak itu kemudian burung elang menjerit memecah langit. Kopi yang dihidangkan pun mulai tidak panas lagi. Inilah waktu yang pas bagi sang pria pergi dan kembali memasuki hutan. Terima Kasih.

"bapak mau kemana?"
"aku mau meneruskan perjalananku, semoga esok kelak kita bertemu lagi"