
diterbitkan di Harian Umum Radar Cirebon edisi 13/05/15
I should like to
be able to love my country and still love justice
(Abraham
Lincoln)
Negara,
bagi Lincoln, tidak memiliki tempat yang lebih tinggi daripada keadilan. Jikalau
manusia memiliki benda bernama hukum, kata Victor Hugo yang seperti menyambung
Lincoln, Tuhan memiliki benda yang lebih besar yang kita kenal dengan keadilan.
Jikalau begitu, artinya, drajat keadilan
di atas negara itu, adalah benar.
Negara
memiliki kuasa. Hukum meligitimasi. Hati nurani mencerna keadilan. Namun,
kadangkala, negara berhenti sampai pada hukum dan tidak terlampau jauh untuk
menakar keadilan. Dan negara, dengan kuasanya, memaksa hukum memenjarakan orang
tanpa mencermati secara dalam sisi keadilan.
Hal-hal
seperti tersebut seringkali kita saksikan di layar kaca, di media cetak dan
bahkan di ruang-ruang tanpa berita.
Nenek
yang mencuri sebilah kayu, di penjara. Ibu yang memotong bambu, di penjara.
Pejabat yang karena politik dipaksa dipersalahkan, di penjara. Lalu kemudian,
stigma penjara sebagai tempat orang ‘jahat’, muncul. Stigma tersebut, parahnya,
mendahului naluri akan keadilan.
Apakah
memang benarnya begitu? Mari kita cermati fenomena tersebut melalui tiga film
berbeda dengan latar dan tragedi berbeda. Diantara pebedaan tersebut, tema
ketiga film itu tetap sama, yaitu dipenjarakan.
DI PENJARA KARENA
FITNAH
Sudah
kepalang takdir, siapa yang menaruh benci maka tidak ada kebaikan terlihat
sedikitpun dalam pandangan yang dibencinya itu. Begitulah kiranya.
Adalah
Five Minarets in New York, sebuah
film hasil garapan kerjasama antara Turki dan Amerika Serikat,
yang menceritakan hal tersebut. Meskipun adegan yang dimaksud amatlah secuil,
film yang disutradarai Mahsun Kirmizigul ini cukup berhasil membawa emosi
perihal ke-penjara-an.
Firat, seorang polisi senior, meminta izin pergi ke
New York untuk menangkap teroris bernama Hadji Gumus. Bersama Acar, Firat
lantas berhasil membawa Gumus ke Turki untuk selanjutnya memenjarakan Gumus. Gumus
pun, atas dasar hukum, dibawa ke sel selama beberapa hari.
Film berlanjut, aneka macam kejadian pun di
pertontonkan. Hingga akhirnya, kepala polisi Turki tahu bahwa Gumus hanyalah
korban. Dia dipenjara karena fitnah.
Dicarilah fakta selanjutnya menyoal mengapa Gumus
diperlakukan tidak adil. Di akhir cerita, semua mata terbelalak, lelaki tua itu
sempat mendekam di sel karena fitnah Firat. Firat tidak terima atas kematian
ayahnya dan merasa Gumus perlu bertanggung jawab atas itu. Meskipun akhirnya
Firat tahu bahwa dia keliru, apalah
daya, lagi-lagi karena kurang hati-hati orang yang tidak bersalah di penjara.
Gumus, karena perlakuan itu, dia tidak bisa
menghadiri pernikahan anaknya. Gumus, akibat dipenjara, dia kehilangan waktu
untuk menemui dan bersalam sapa dengan jama’ahnya. Miris.
DI PENJARA
KARENA DIPAKSA MENGAKU SALAH
Menyakitkan memang, ketika tahu bahwa kita benar
tetapi posisinya kita tidak lagi ada di dunia ini. Sebut saja, telah mati.
Cerita tersebut memang sekedar film, namun bukan berarti tidak hadir atas inspirasi kejadian nyata. Seorang ayah, Lee Yong Go namanya, ingin sekali membelikan anaknya tas Sailor Moon. Tidak peduli, meskipun profesinya tukang parkir, Lee Yong Go akan berusaha demi membahagiakan Ye Sung anaknya.
Selepas mendapat gaji. Lee Yong Go langsung terngiang anaknya. Dia sisihkan sebagian uang hasil keringatnya untuk sebuah tas Sailor Moon.
Beruntunglah Lee Yong Go, seorang anak kecil
bermurah hati ingin mengantarkan dia menuju toko yang menjual tas pesanan
anaknya. Namun nahas, di tengah jalan, anak yang mengantarnya itu justru jatuh
dan mati dijalan.
Lee Yong Go bingung. Sebagai seorang yang tidak terlalu pandai, dia berusaha membuat nafas buatan agar anak yang mengantarnya itu dapat hidup kembali. Bukan kehidupan yang di dapat, Lee Yong Go justeru dituduh dan dipaksa mengaku telah memperkosa untuk lalu di penjara. Itulah, singkat cerita dari film Miracle In Cell No. 7 garapan sutradara Lee Hwan-kyung.
Film yang berdurasi 127 menit itu belum selesai dan masih terus menampilkan peristiwa. Tibalah pada putusan hakim yang menyatakan bahwa “..Lee Yong Go, bersalah dan di hukum mati!!..”. Ye Sung, selaku anak Lee Yong Go yang masih TK, belum paham. Dia hanya tahu dari ayahnya bahwa “..ayah masih hidup tapi di dunia yang berbeda..”.
Ye Sung pun beranjak dewasa. Sedikit-demi-sedikit dia mulai paham. Dia berjanji akan mengembalikan nama ayahnya. Lagi-lagi, sekalipun Ye Sung berhasil mengungkap fakta bahwa ayahnya tidak bersalah, tetapi Ye Sung tidak berhasil menghidupkan ayahnya lagi. Hanya tangis dan haru, atau mungkin juga kebanggan, bahwa “.ayah, meskipun engkau telah tiada, aku telah membuktikan bahwa kau bukan orang jahat..”.
DI PENJARA
KARENA POLITIK
Penjarakan
orang benar agar dia tidak mengganggu orang jahat. Keberanian orang benar
menyakitkan hati orang jahat. Kiranya, itu terdengar layaiknya ungkapan klasik para
penyamun-penyamun di padang pasir.
Keluar dari gaya biasanya, Hanung Bramantyo membuat sebuah film bertema menguak ‘Siapa di atas Presiden?’. Film tersebut bercerita mengenai fenomena kekotoran politik yang menghalalkan segala cara untuk; mendzhalimi, menghancurkan dan membunuh kemerdekaan orang (lawan politik).
Bagas Notolegowo, yang diperankan Roy Sahetapi, adalah kandidat kuat calon presiden. Entah karena apa, dia diundang ke sebuah apartemen oleh menteri keuangan. Kaget bukan kepalang, ketika dia sampai, menteri keuangan tersebut telah mati tak bernyawa.
Polisi lalu hadir lebih cepat dari biasanya. Tanpa pikir panjang, melihat Bagas satu-satunya orang yang berada disitu, Bagas pun diseret ke penjara. Awalnya saksi, kemudian dicari bukti, Bagas yang tidak tahu menahu ditetapkan jua menjadi tersangka. Kejahatan politik pada saat itu menuai hasil. Sebabnya, otomatis, pencalonan Bagas pun berhasil di jegal.
Lagi-lagi, meskipun kemudian Bagas dapat dibuktikan bahwa dia benar, tapi penjara telah menguras sanksi sosial terhadapnya.
PENUTUP
Percaya
pada kekuasaan memang diwajibkan. Menaati hukum, pun rasanya perlu sebagai
representasi kepercayaan cinta tersebut. Namun, yang tidak kalah penting,
menggunakan hati dan nurani untuk sebuah keadilan lebih penting di atas
segalanya.
Dari tiga cerita tersebut, setidaknya kita mengetahui satu hal, penjara bukanlah selalu tempat orang-orang jahat. Penjara, terkadang, menjadi tempat orang-orang baik yang di-jahati. Sebut saja, Para Wali, Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Vaclav Havel, Ghandi, dan lain sebagainya. Mereka adalah contohnya. Disitu bukti bahwa ada fitnah, ada kedzhaliman dan ada banyak kebohongan di balik kerasnya bilik penjara.
* http://i.huffpost.com/gen/476001/thumbs/a-MAZE-PRISON-640x468.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar