Rabu, 27 Mei 2015

Unsur Niat dalam Hukum

diterbitkan oleh harian umum Radar Cirebon edisi 27/05/2015

Oleh : Bakhrul Amal

Tidak semua aturan pidana di berbagai daerah memasukan unsur niat di dalam kitab undang-undangnya. Suku-suku Jermanik (Germanic) terdahulu adalah contohnya. Mereka mengenakan kewajiban pergantian atas sebuah tindakan yang menciderai, tanpa peduli terhadap niat. (Baca: Paul H Robinson, Mens Rea, University of Pennsylvania Law School)

Dalam tata hukum Jermanik –seandainya seorang terbeset golok temannya yang menebang pohon– maka yang menebang pohon itu dihukum sama dengan hukuman apabila ia sengaja melakukan pembacokan. Kepala suku yang menentukan hukuman atas itu.

Kemudian muncul peradaban baru, peradaban yang mengenal suatu sistem gugatan. Persidangan semakin terbuka dan segala macam penjuru diberi kebebasan menyoroti, tentunya selama diatur di dalam undang-undang. Pada saat itulah, disamping penggugat dan tergugat, hakim ditemani pula oleh jaksa serta pengacara atau bahkan saksi ahli dan juri. Dalam tahap ini, fungsi menjatuhkan hukuman menjadi ketat, dan niat (intention) mulai dijadikan rujukan yang teramat penting.

Niat adalah sesuatu hal yang sudah ditaruh di dalam hati sebelum suatu perbuatan terjadi. Singkatnya begitu. Oleh karenanya niat di dalam hukum, lambat laun, menjadi begitu penting sebagai pertimbangan yang menentukan suatu perbuatan itu jahat (actus reus) atau tidak.

CONTOH KEBERKAITAN NIAT DENGAN HUKUMAN
Jika kita ingat, ada suatu jargon menyebutkan bilamana “yang merugikan belum tentu jahat tetapi yang jahat sudah pasti merugikan”.  Kesemuanya, bergantung pada alasan (reasoning)

Contohnya, seorang yang membela diri dari begal kemudian bertarung hingga mengakibatkan begal itu mati. Tindakan membunuh tersebut tentu merugikan. Tetapi tindakan itu dilakukan tidak dengan niat jahat (mens rea) untuk membunuh, melainkan dengan keinginan mempertahankan hartanya (hifdzu mal).  Perbuatan tersebut, dalam istilah pidana, dikenal dengan pembelaan darurat (noodweer) yang tercantum pada Pasal 49 (1) KUHP.

Sesuai peniliaian hati nurani kita, tentu merampas nyawa orang adalah perbuatan keji. Akan tetapi, manakala perbuatan itu dilakukan dengan dasar membela diri dari kejahatan, maka hal itu tidaklah dapat dinilai salah. Tidak etis juga apabila pemidanaan lalu menjadi solusi akhir pengendara yang tidak tahu menahu itu. Sudah hartanya hendak hilang, nyawanya terancam, membela diripun disalahkan.

Ada lagi Nenek Minah, pencuri tiga buah kakao dari Purwokerto. Dia, menurut pengakuannya, tidaklah mencuri melainkan mengambil buah layaiknya meminta kepada tetangga. Apa daya, gugatan telah dikirim dan nenek Minah pun planga-plongo meratapi nasibnya dari belik jeruji.

Kasus itu kemudian berkembang hingga akhirnya fakta demi fakta terbelalak. Hakim Muslih, hakim yang menjadi ketua pengadilan Minah, menghukum minah dengan 1 tahun 15 hari serta 3 bulan masa percobaan. Muslih menilai seandainya nenek Minah benar mencuri dengan niat, tidak mungkinlah hanya tiga pasti lebih dan terencana. “kasus ini kecil, tetapi telah menciderai hati banyak orang” kata Muslih sembari menitikan air mata, selepas persidangan.

Niat dalam perspektif kontemporer kemudian perlu dibuktikan dengan cermat. Dalam perkara-perkara di atas, kita mulai memahami jikalau niat menjalar jauh menyentuh tahap keadilan. Keadilan itu bermuara pada simpul perihal, tidak sepantasnya menghukum kepada orang yang dia sendiri tidak memahami. Atau, tidak sepatutnya menjatuhi hukum kepada orang yang tidak memiliki niat sama sekali melakukan kejahatan.

NIAT dan KORUPSI
Unsur niat juga mulai merasuk ke dalam ranah kasus extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. Salah satu daripadanya adalah korupsi.

Kita tentu sepakat bahwa korupsi merusak mental bangsa. Korupsi menghabisi hidup orang banyak dengan memakmurkan diri secara pribadi. Korupsi pun, telah menyengsarakan negara dalam kerubungan kemiskinan yang parah.

Seperti sebuah ungkapan klasik Louisa Valenzuela “kita hidup tidak bisa lepas dari politik”. Ya, lanjutnya, “berak pun politik”. Tentulah, korupsi sebagai stigma juga tidak luput dari intrik dan rencana manipulasi politik. Begitu menyeramkannya predikat koruptor, maka tidak urung para politikus mencoba menghancurkan lawan politiknya dengan memberikan tuduhan tersebut.

Dalam korupsi, unsur yang harus dipenuhi adalah adanya kerugian. Kerugian tersebut harus juga dipenuhi berbarengan dengan niat memperkaya, baik diri maupun orang lain. Dan niat memperkaya itu, pun harus melihat unsur yang didasari ke-sengaja-an. Singkatnya, kerugian koruptif harus tersruktur dan direncanakan untuk lalu diadakan dengan sengaja memang untuk kejahatan.

Berlanjut, andaikata ada sebuah tindakan di luar hukum dengan niat baik dan demi kemaslahatan umum, hal itu tidaklah dapat disebut korupsi. Hukum memberikan istilah khusus yang disebut dengan diskresi.

Tidak bisa hanya karena sebuah kelalaian administrasi, niat baik (berdasar diskresi) kemudian dilencengkan menjadi pidana. Inilah yang keliru dan tak jarang dijadikan sarana politik ‘pembusukan’ dengan modus ‘melakukan korupsi’. Mempermasalahkan yang tidak patut.

Dalam kejadian itu, yang bertindak koruptif bukanlah pejabat yang dituduh korupsi, melainkan penegak hukum yang bertingkah laku tidak untuk menegakan hukum (dalam konteks keadilan). Karena unsur niat jahat (mens rea) yang berakibat menjadi perbuatan jahat (actus reus) melekat dalam pikiran penegak hukum ingin mendhzalimi orang lain. Niat menghancurkan nama/karier/hidup orang dengan perbuatan merampas kemerdekaan (pemenjaraan).

PENUTUP
Menyeruaknya konsep mempertautkan niat dengan tindakan mulai banyak dibicarakan akhir-akhir ini. Bukan hanya karena penting, tetapi juga karena menjamurnya upaya kriminalisasi. Artinya juga, dengan begitu, niat telah merubah paradigma hukum yang begitu kaku dan tekstual menjadi hukum yang ditegakan berdasarkan pula kontekstual. Pergeseran berkaitan dengan dilibatkannya niat ini, dapat dijadikan indikasi bahwa positivisme hukum telah usang dan muncullah paradigma baru bernama progresifitas hukum.


*https://muliaok.files.wordpress.com/2010/07/intention.jpg 


Kamis, 14 Mei 2015

Ita Itu Ina Ini

Hanya kau, iya benar, hanya kau, yang maha tahu yang maha paham apa yang sebenarnya terjadi. Meskipun aku sadar, bahwa sebenarnya kau itu tidak lebih dari 'seolah'.

Lalu kau merangkai kata untuk membuat persepsimu terlihat mungkin, terlihat benar seperti inginmu. Tetapi sayang, dari rimbunnya kata, dari banyaknya paragraf, aku hanya menemukan satu hal; kau tidak lebih dari igauan yang keliru yang sama seperti apa yang kau tulis. Kau mencoba menghibur dirimu sendiri yang telah jatuh bahkan tidak lagi bangun sampai hitungan ke sepuluh.

Semua sajak recehmu itu sebenarnya bukanlah masalah. Namun, aku hanya miris manakala aku tahu bahwa kau tidak lebih daripada orang yang mengharapkan sesamanya mendapatkan keburukan.  Kau suka bila persepsimu itu menjadi nyata dan orang lain kemudian terluka. Kau suka bila yang kau pikir itu terjadi dan orang lain bersedih setelahnya. Sebenarnya kau ini apa, pejuang kemanusiaan atau pejuang ke-manuSIALAN?

Mirisku bertambah, dan artinya menjadi dua. Sebelum terpejam, aku baca sebuah buku yang entah itu judulnya apa, aku lupa. Yang jelas, disitu ditulis bahwa "betapa sedihnya dia, yang bahagianya itu diciptakan dari penderitaan orang lain".

Terimasaja :)



Fakta di Balik 'Pemenjaraan'

http://i.huffpost.com/gen/476001/thumbs/a-MAZE-PRISON-640x468.jpg
diterbitkan di Harian Umum Radar Cirebon edisi 13/05/15


I should like to be able to love my country and still love justice
(Abraham Lincoln)

Negara, bagi Lincoln, tidak memiliki tempat yang lebih tinggi daripada keadilan. Jikalau manusia memiliki benda bernama hukum, kata Victor Hugo yang seperti menyambung Lincoln, Tuhan memiliki benda yang lebih besar yang kita kenal dengan keadilan. Jikalau begitu, artinya, drajat  keadilan di atas negara itu, adalah benar.

Negara memiliki kuasa. Hukum meligitimasi. Hati nurani mencerna keadilan. Namun, kadangkala, negara berhenti sampai pada hukum dan tidak terlampau jauh untuk menakar keadilan. Dan negara, dengan kuasanya, memaksa hukum memenjarakan orang tanpa mencermati secara dalam sisi keadilan.

Hal-hal seperti tersebut seringkali kita saksikan di layar kaca, di media cetak dan bahkan di ruang-ruang tanpa berita.

Nenek yang mencuri sebilah kayu, di penjara. Ibu yang memotong bambu, di penjara. Pejabat yang karena politik dipaksa dipersalahkan, di penjara. Lalu kemudian, stigma penjara sebagai tempat orang ‘jahat’, muncul. Stigma tersebut, parahnya, mendahului naluri akan keadilan.

Apakah memang benarnya begitu? Mari kita cermati fenomena tersebut melalui tiga film berbeda dengan latar dan tragedi berbeda. Diantara pebedaan tersebut, tema ketiga film itu tetap sama, yaitu dipenjarakan.

DI PENJARA KARENA FITNAH
Sudah kepalang takdir, siapa yang menaruh benci maka tidak ada kebaikan terlihat sedikitpun dalam pandangan yang dibencinya itu. Begitulah kiranya.

Adalah Five Minarets in New York, sebuah film hasil garapan kerjasama antara Turki dan Amerika Serikat, yang menceritakan hal tersebut. Meskipun adegan yang dimaksud amatlah secuil, film yang disutradarai Mahsun Kirmizigul ini cukup berhasil membawa emosi perihal ke-penjara-an.

Firat, seorang polisi senior, meminta izin pergi ke New York untuk menangkap teroris bernama Hadji Gumus. Bersama Acar, Firat lantas berhasil membawa Gumus ke Turki untuk selanjutnya memenjarakan Gumus. Gumus pun, atas dasar hukum, dibawa ke sel selama beberapa hari.
Film berlanjut, aneka macam kejadian pun di pertontonkan. Hingga akhirnya, kepala polisi Turki tahu bahwa Gumus hanyalah korban. Dia dipenjara karena fitnah.

Dicarilah fakta selanjutnya menyoal mengapa Gumus diperlakukan tidak adil. Di akhir cerita, semua mata terbelalak, lelaki tua itu sempat mendekam di sel karena fitnah Firat. Firat tidak terima atas kematian ayahnya dan merasa Gumus perlu bertanggung jawab atas itu. Meskipun akhirnya Firat tahu bahwa dia keliru,  apalah daya, lagi-lagi karena kurang hati-hati orang yang tidak bersalah di penjara.

Gumus, karena perlakuan itu, dia tidak bisa menghadiri pernikahan anaknya. Gumus, akibat dipenjara, dia kehilangan waktu untuk menemui dan bersalam sapa dengan jama’ahnya. Miris.

DI PENJARA KARENA DIPAKSA MENGAKU SALAH
Menyakitkan memang, ketika tahu bahwa kita benar tetapi posisinya kita tidak lagi ada di dunia ini. Sebut saja, telah mati.

Cerita tersebut memang sekedar film, namun bukan berarti tidak hadir atas inspirasi kejadian nyata. Seorang ayah, Lee Yong Go namanya, ingin sekali membelikan anaknya tas Sailor Moon. Tidak peduli, meskipun profesinya tukang parkir, Lee Yong Go akan berusaha demi membahagiakan Ye Sung anaknya.

Selepas mendapat gaji. Lee Yong Go langsung terngiang anaknya. Dia sisihkan sebagian uang hasil keringatnya untuk sebuah tas Sailor Moon.
Beruntunglah Lee Yong Go, seorang anak kecil bermurah hati ingin mengantarkan dia menuju toko yang menjual tas pesanan anaknya. Namun nahas, di tengah jalan, anak yang mengantarnya itu justru jatuh dan mati dijalan.

Lee Yong Go bingung. Sebagai seorang yang tidak terlalu pandai, dia berusaha membuat nafas buatan agar anak yang mengantarnya itu dapat hidup kembali. Bukan kehidupan yang di dapat, Lee Yong Go justeru dituduh dan dipaksa mengaku telah memperkosa untuk lalu di penjara. Itulah, singkat cerita dari film Miracle In Cell No. 7 garapan sutradara Lee Hwan-kyung.

Film yang berdurasi 127 menit itu belum selesai dan masih terus menampilkan peristiwa. Tibalah pada putusan hakim yang menyatakan bahwa “..Lee Yong Go, bersalah dan di hukum mati!!..”. Ye Sung, selaku anak Lee Yong Go yang masih TK, belum paham. Dia hanya tahu dari ayahnya bahwa “..ayah masih hidup tapi di dunia yang berbeda..”.

Ye Sung pun beranjak dewasa. Sedikit-demi-sedikit dia mulai paham. Dia berjanji akan mengembalikan nama ayahnya. Lagi-lagi, sekalipun Ye Sung berhasil mengungkap fakta bahwa ayahnya tidak bersalah, tetapi Ye Sung tidak berhasil menghidupkan ayahnya lagi. Hanya tangis dan haru, atau mungkin juga kebanggan, bahwa “.ayah, meskipun engkau telah tiada, aku telah membuktikan bahwa kau bukan orang jahat..”.

DI PENJARA KARENA POLITIK
Penjarakan orang benar agar dia tidak mengganggu orang jahat. Keberanian orang benar menyakitkan hati orang jahat. Kiranya, itu terdengar layaiknya ungkapan klasik para penyamun-penyamun di padang pasir.

Keluar dari gaya biasanya, Hanung Bramantyo membuat sebuah film bertema menguak ‘Siapa di atas Presiden?’. Film tersebut bercerita mengenai fenomena kekotoran politik yang menghalalkan segala cara untuk; mendzhalimi, menghancurkan dan membunuh kemerdekaan orang (lawan politik).

Bagas Notolegowo, yang diperankan Roy Sahetapi, adalah kandidat kuat calon presiden. Entah karena apa, dia diundang ke sebuah apartemen oleh menteri keuangan. Kaget bukan kepalang, ketika dia sampai, menteri keuangan tersebut telah mati tak bernyawa.

Polisi lalu hadir lebih cepat dari biasanya. Tanpa pikir panjang, melihat Bagas satu-satunya orang yang berada disitu, Bagas pun diseret ke penjara. Awalnya saksi, kemudian dicari bukti, Bagas yang tidak tahu menahu ditetapkan jua menjadi tersangka. Kejahatan politik pada saat itu menuai hasil. Sebabnya, otomatis, pencalonan Bagas pun berhasil di jegal.

Lagi-lagi, meskipun kemudian Bagas dapat dibuktikan bahwa dia benar, tapi penjara telah menguras sanksi sosial terhadapnya.

PENUTUP
Percaya pada kekuasaan memang diwajibkan. Menaati hukum, pun rasanya perlu sebagai representasi kepercayaan cinta tersebut. Namun, yang tidak kalah penting, menggunakan hati dan nurani untuk sebuah keadilan lebih penting di atas segalanya.

Dari tiga cerita tersebut, setidaknya kita mengetahui satu hal, penjara bukanlah selalu tempat orang-orang jahat. Penjara, terkadang, menjadi tempat orang-orang baik yang di-jahati. Sebut saja, Para Wali, Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Vaclav Havel, Ghandi, dan lain sebagainya. Mereka adalah contohnya. Disitu bukti bahwa ada fitnah, ada kedzhaliman dan ada banyak kebohongan di balik kerasnya bilik penjara.

http://i.huffpost.com/gen/476001/thumbs/a-MAZE-PRISON-640x468.jpg