
Diterbitkan oleh harian Radar Cirebon 28/04/2015
Hukuman
mati. Sebuah selogan baru yang (mungkin) sedang menjadi buah bibir.
Kehebohannya tidak kalah dengan batu akik. Di koran, di televisi hingga bahkan
di bawah lampu remang warung-warung pantura, semua berbincang lebar menyoal
bagaimana hukum menyelesaikan kisah hidup seseorang (Death Penalty).
Dari
cuap-cuap yang terserak itu, didapati
dua hal yang bisa disimpulkan sebagai dasar penerimaan, dan dua hal sebagai
dasar penolakan.
Yang
menerima, memiliki dua pandangan pokok. Satu, hukuman mati adalah hukuman
paling pantas bagi teroris, pengedar narkoba dan pembunuh. Rasio Logisnya (secara
akal sehat) bahwa yang menghilangkan nyawa harus dibalas nyawa. Kedua, hukuman
mati adalah tindakan yang lebih manusiawi dibandingkan membiarkan orang hidup
sebatang kara di penjara. Mereka menguras kesedihan korban, juga menguras duit
negara membiayai hidup mereka.
Intinya,
bagi yang menerima, mereka menggunakan prinsip retribusi. Prinsip tersebut
berkutat pada pemahaman sederhana; mata ganti mata, bunuh dibayar dengan bunuh,
hidup dilunasi oleh hidup (do ut des).
Seperti itu.
Yang
menolak, pun, memiliki dua keyakinan pokok mengapa hukuman mati haruslah di
tolak. Satu, hukuman mati adalah tindakan penghentian harapan dari orang yang
jahat untuk menjadi orang yang lebih baik. Mereka yang bersalah sejatinya
mempunyai kesempatan untuk bertobat, dan kesempatan itu bisa dilakukan hanya
apabila diberikan kehidupan. Dua, hukuman mati, apapun alasannya, adalah sebuah
perbuatan yang menciderai prinsip hak manusia untuk hidup. Prinsip tersebut
tidaklah luntur sekalipun terhadap pribadi yang melakukan kejahatan dengan
menghilangkan nyawa yang lainnya.
Mereka
yang menolak tentunya mempunyai suatu pedoman, yakni kemanusiaan. Dalam sebuah
risalah diceritakan bahwa, Nabi Isa suatu ketika ditanyai atau dipaksai soal
“sebaiknya pelaku zinah ini kita rajam saja sampai mati!!! ????”. Isa diam dan
setelah itu menjawab “dia yang tanpa dosa di antara kamu, hendaklah ia yang
pertama melemparkan batu..”. Lalu semua diam, mendadak hening dan pengampunan
terjadi.
HUKUMAN MATI
INDONESIA
Jikalau
kita ingat, mengenai hukuman mati, Tiongkok tentunya adalah negara yang
seringkali diagung-agungkan sebagai contoh yang masyhur. Dengan ketegasannya,
negara tersebut berhasil menyapu bersih anggaran pendapatan dari korupsi. Dan,
ancaman hukuman mati terhadap koruptor itu, telah membuat negara tersebut
merangsek menjadi adidaya menyaingi
Amerika Serikat. Hal itu pun katanya, karena tidak diketahui secara pasti
datanya.
Singkatnya,
semenjak itu, hukuman mati mulai tidak lagi dikenal sebagai prosedur hukum
tetapi juga telah menjadi tolak ukur menyoal efek jera. Hukuman mati dijadikan
indikasi atau alat untuk menurunkan tindakan yang buruk.
Ada
sebuah kebiasaan, yaitu negara berkembang selalu mengikuti negara maju.
Indonesia yang tidak melakukan eksekusi mati pada 2014, secara mengejutkan pada
2015 melaksanakan enam eksekusi mati terkait kasus narkotika hingga bulan
Maret. Hal itu bertujuan, tentu, untuk mengurangi peredaran narkoba yang
dinilai merusak generasi penerus.
EFEKTIVITAS
Setiap
persoalan, apalagi itu menyangkut etika, selalu melibatkan apa yang disebut
dengan hak prima facie atau hak pada
pandangan pertama. Artinya, hak negara terhadap hukuman mati itu berlaku sampai
dikalahkan oleh hak lain yang lebih kuat. Dan, hak negara itu, bisa runtuh
apabila tujuan efek jera tersebut nyatanya tidak menunjukan hasil bahkan nihil.
Efektivitas
mengenai penurunan tindak pidana dengan sarana hukuman mati tersebut belum
secara gamblang dibeberkan. Hendardi, ketua Setara Institute, menilai bahwa malah
sejauh ini tidak ada statistik yang menyebutkan adanya penurunan.
Di
sisi lain, masih menurut Hendardi, hukuman mati seringkali dibisniskan dan
riskan kesalahan apabila dilaksanakan dengan tidak hati-hati. Hukuman mati bisa
dilakukan apabila penegak hukum secara terang bisa memahami antara motif (motive) dan penyebab (causa). Jika tidak, hukuman mati
hanyalah sebuah kegiatan yang menabrak moral karena memperalat nyawa manusia
untuk percobaan.
PENUTUP
Dalam
setiap tindakan selalu memiliki konsekuensi. Jikalau relevansi antara hukuman
mati dan penurunan tingkat penggunaan narkotik tidak berjalan, artinya, hukuman
mati hanyalah menjadi seperti; kejutan budaya (cultural shock).
Seyogyianya,
jika hidup dan menghirup nafas adalah suatu bentuk kebebasan, Sartre benar
bahwa “we are condemned to be free”
atau kita ditakdirkan untuk bebas. Namun, yang perlu menjadi catatan, hukuman
mati seolah “menggunakan kebebasan untuk menyangkal adanya kebebasan itu
sendiri”.