Selasa, 28 April 2015

MENAKAR EFEKTIVITAS HUKUMAN MATI

http://stories-of-london.org/wp-content/uploads/2013/images/edith-cavell/edith-cavell-1.jpg


Diterbitkan oleh harian Radar Cirebon 28/04/2015

Hukuman mati. Sebuah selogan baru yang (mungkin) sedang menjadi buah bibir. Kehebohannya tidak kalah dengan batu akik. Di koran, di televisi hingga bahkan di bawah lampu remang warung-warung pantura, semua berbincang lebar menyoal bagaimana hukum menyelesaikan kisah hidup seseorang (Death Penalty).

Dari cuap-cuap yang terserak itu, didapati dua hal yang bisa disimpulkan sebagai dasar penerimaan, dan dua hal sebagai dasar penolakan.

Yang menerima, memiliki dua pandangan pokok. Satu, hukuman mati adalah hukuman paling pantas bagi teroris, pengedar narkoba dan pembunuh. Rasio Logisnya (secara akal sehat) bahwa yang menghilangkan nyawa harus dibalas nyawa. Kedua, hukuman mati adalah tindakan yang lebih manusiawi dibandingkan membiarkan orang hidup sebatang kara di penjara. Mereka menguras kesedihan korban, juga menguras duit negara membiayai hidup mereka.

Intinya, bagi yang menerima, mereka menggunakan prinsip retribusi. Prinsip tersebut berkutat pada pemahaman sederhana; mata ganti mata, bunuh dibayar dengan bunuh, hidup dilunasi oleh hidup (do ut des). Seperti  itu.

Yang menolak, pun, memiliki dua keyakinan pokok mengapa hukuman mati haruslah di tolak. Satu, hukuman mati adalah tindakan penghentian harapan dari orang yang jahat untuk menjadi orang yang lebih baik. Mereka yang bersalah sejatinya mempunyai kesempatan untuk bertobat, dan kesempatan itu bisa dilakukan hanya apabila diberikan kehidupan. Dua, hukuman mati, apapun alasannya, adalah sebuah perbuatan yang menciderai prinsip hak manusia untuk hidup. Prinsip tersebut tidaklah luntur sekalipun terhadap pribadi yang melakukan kejahatan dengan menghilangkan nyawa yang lainnya.

Mereka yang menolak tentunya mempunyai suatu pedoman, yakni kemanusiaan. Dalam sebuah risalah diceritakan bahwa, Nabi Isa suatu ketika ditanyai atau dipaksai soal “sebaiknya pelaku zinah ini kita rajam saja sampai mati!!! ????”. Isa diam dan setelah itu menjawab “dia yang tanpa dosa di antara kamu, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu..”. Lalu semua diam, mendadak hening dan pengampunan terjadi.

HUKUMAN MATI INDONESIA
Jikalau kita ingat, mengenai hukuman mati, Tiongkok tentunya adalah negara yang seringkali diagung-agungkan sebagai contoh yang masyhur. Dengan ketegasannya, negara tersebut berhasil menyapu bersih anggaran pendapatan dari korupsi. Dan, ancaman hukuman mati terhadap koruptor itu, telah membuat negara tersebut merangsek menjadi adidaya menyaingi Amerika Serikat. Hal itu pun katanya, karena tidak diketahui secara pasti datanya.

Singkatnya, semenjak itu, hukuman mati mulai tidak lagi dikenal sebagai prosedur hukum tetapi juga telah menjadi tolak ukur menyoal efek jera. Hukuman mati dijadikan indikasi atau alat untuk menurunkan tindakan yang buruk.

Ada sebuah kebiasaan, yaitu negara berkembang selalu mengikuti negara maju. Indonesia yang tidak melakukan eksekusi mati pada 2014, secara mengejutkan pada 2015 melaksanakan enam eksekusi mati terkait kasus narkotika hingga bulan Maret. Hal itu bertujuan, tentu, untuk mengurangi peredaran narkoba yang dinilai merusak generasi penerus.

EFEKTIVITAS
Setiap persoalan, apalagi itu menyangkut etika, selalu melibatkan apa yang disebut dengan hak prima facie atau hak pada pandangan pertama. Artinya, hak negara terhadap hukuman mati itu berlaku sampai dikalahkan oleh hak lain yang lebih kuat. Dan, hak negara itu, bisa runtuh apabila tujuan efek jera tersebut nyatanya tidak menunjukan hasil bahkan nihil.

Efektivitas mengenai penurunan tindak pidana dengan sarana hukuman mati tersebut belum secara gamblang dibeberkan. Hendardi, ketua Setara Institute, menilai bahwa malah sejauh ini tidak ada statistik yang menyebutkan adanya penurunan.

Di sisi lain, masih menurut Hendardi, hukuman mati seringkali dibisniskan dan riskan kesalahan apabila dilaksanakan dengan tidak hati-hati. Hukuman mati bisa dilakukan apabila penegak hukum secara terang bisa memahami antara motif (motive) dan penyebab (causa). Jika tidak, hukuman mati hanyalah sebuah kegiatan yang menabrak moral karena memperalat nyawa manusia untuk percobaan.

PENUTUP
Dalam setiap tindakan selalu memiliki konsekuensi. Jikalau relevansi antara hukuman mati dan penurunan tingkat penggunaan narkotik tidak berjalan, artinya, hukuman mati hanyalah menjadi seperti; kejutan budaya (cultural shock).

Seyogyianya, jika hidup dan menghirup nafas adalah suatu bentuk kebebasan, Sartre benar bahwa “we are condemned to be free” atau kita ditakdirkan untuk bebas. Namun, yang perlu menjadi catatan, hukuman mati seolah “menggunakan kebebasan untuk menyangkal adanya kebebasan itu sendiri”.

Rabu, 15 April 2015

HIKAYAT LINCOLN


 http://randomcelebs.com/wp-content/uploads/2015/04/Abraham-Lincoln-3.jpg



“dooor”.. Abraham Lincoln mati terkapar tak bernyawa. Satu keping peluru yang pecah menghunus tepat di kepalanya yang cemerlang. Selang beberapa saat kemudian, tubuh yang penuh inspirasi itu terbungkus kaffan. Innalillah....

Lincoln mati bukan tanpa firasat, bukan pula tanpa isyarat, tapi Lincoln meninggal dengan tanda-tanda. Konon, dua minggu sebelum kejadian tragis tersebut, Lincoln bermimpi. Dia –dalam hanyut nada-nada malam –berjalan sendiri tidak berkawan. Tiba-tiba saja, seorang wanita menangis pertanda layat tengah datang. Dia kemudian menatap mendapati tubuhnya menjadi seonggak jenazah.

Tersebutlah, 15 April 1865, tanggal dimana sehari sebelumnya Lincoln dihujani peluru di Teater Ford, Lincoln meninggal. Dan, John Wilkes Booth dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab atas kematian itu.

Namun mati, ya mati, tidak bisa menghentikan laju sejarah yang bergerak cepat menampakan kebenaran. Seperti kata Lincoln sendiri “..anda tidak bisa lepas dari tanggung jawab besok dengan menghindari hari ini..”. Oleh karenanya, sopan rasanya apabila mari kita ulas kembali spirit maupun gagasan apik presiden berkulit hitam pertama Amerika ini.

PANTANG MENYERAH
Jelas, kata inspiratif adalah kata yang melekat di tubuh sang pemilik nama bapak segala agama, Abraham (Ibrahim). Pantang menyerah adalah sikap yang menjadi teladan dari seorang Lincoln.

Dari tahun ke tahun, sebelum tahun 1860, Lincoln selalu lekat dengan julukan ‘gagal’. Dimulai dari 1831, usahanya bangkrut. Istrinya meninggal pun pernah dirasakan. Soal pemilihan, jangan ditanya, dari pemilihan lokal, senat sampai wakil presiden, Lincoln gagal secara beruntun. Barulah, di tahun 1860, Lincoln berhasil mencapai posisi tertinggi di negara Adidaya.

John Speed, kawan Lincoln, bercerita bahwa awalnya Lincoln adalah seorang yang skeptis. Skep-tis sendiri secara etimologi berarti ragu-ragu, orang yang ragu-ragu. Mungkin, seperti yang diceritakan dalam buku kecil A Legacy of Freedom, Lincoln hanya tegas pada satu hal yaitu wanita !. Selebihnya, entahlah.

Seperti sebuah narasi motivasi, kesuksesan Lincoln tidak bisa lepas dari mantra. Meskipun sempat disangksi skeptis dan keras pada diri sendiri terhadap wanita, Lincoln nyatanya, toh sukses juga. Seperti memoar NLP (Neuro Linguistic Program), kesuksesan itu kadang tumbuh hanya dari hal remeh berupa kata-kata, dan kata-kata itu, ucap Lincoln “..siapapun anda jadilah yang terbaik, yang paling baik dari yang lain..”.

Setalah bibir mengecap dan mengunci rapat dengan tindakan, Lincoln melesat jauh terbang ke puncak kesuksesan.

MENCINTAI KEBERAGAMAN
Chautauqua (/ʃəˈtɔːkwə/ shə-TAW-kwə), sebuah gerakan pendidikan rakyat di Amerika Serikat yang amat populer di abad kesembilan belas. Di sela-sela bincang-berbincang, sempat pula institusi ini menyentil perihal Abraham Lincoln. Sederhananya, dikatakan, Lincoln adalah subyek yang mengingatkan kita apa yang perlu kita tahu yang mungkin kita lupa. Hal itu, tentu merujuk pada satu keteguhan mental Lincoln yang selalu tak lupa mengingatkan “..kebersatuan itu tidaklah cukup pada kehidupan bersama saja, lebih jauh kebersatuan (Uni) harus merujuk pada proposisi; bahwa kita diciptakan sama..” (Abraham Lincoln:A Legacy of Freedom, hlm 3).

Kata yang baik adalah, menurut Sabda Nabi Muhammad, kata yang keluar bersamaan dengan kesesuaian tindakan. Lincoln, sebagai pengagum Nabi terakhir menurut Umat Islam, mengamini serta taklid pada ucapan sakral itu.

Catatan langkah Lincoln, bisalah kita ringkas dalam satu ungkapan berupa pembebasan. Seperti yang Paulo Freire nilai, bahwa kesadaran kritis adalah keterarahan bersama (co-intensiona-litas). Agaknya, seperti itu pula, Lincoln menghayati lika dan liku perjuangannya.

Lincoln bertakdir sebagai seorang, sebut saja, negro. Waktu itu ras nya adalah yang terbelakang. Dijadikan budak, dimanfaatkan barang tenaganya kemudian dilecehkan. Darisitulah, Lincoln kemudian berujar bilamana “pembebasan budak kulit hitam” adalah harus. Politik emansipasi menjadi senjatanya yang menjulang tinggi menembus langit feodalisme. Lincoln, pun menginisiatifkan pengembalian tujuan konstitusi “..milik rakyat, diatur rakyat dan dinikmati oleh rakyat...”.

Kejahatan, bagi Lincoln akan segera tampak dan digantikan oleh kebaikan. Lincoln percaya “..Anda bisa menipu semua orang beberapa waktu, dan beberapa orang sepanjang waktu, tetapi Anda tidak bisa menipu semua orang sepanjang waktu...”.

PENUTUP
Dua sub judul di atas adalah rantai yang satu dengan lainnya harus ‘kreeek’ atau menyatu. Pantang menyerah yang minus cinta keberagaman hanya akan menimbulkan mental ingin menang sendiri. 
Cinta keberagaman yang tidak dibarengi pantang menyerah, output nya hanyalah mimpi yang tak kunjung terealisasi. Oleh sebab itu, satu dan dua itu adalah manunggal.

Sebenarnya, berbicara Lincoln, tidak akan habis hanya membaca perkara satu kolom tulisan ini. Lincoln teramat panjang dan sukar dideskripsikan secara singkat. Namun, jikalau hendak dikorelasikan dengan kondisi kekinian, yang paling tepat diteladani adalah kedua hal ini.

Haul mengenang kematian Lincoln tuntas dalam celotehan irit ini. Patungnya di Washington pun duduk tersenyum meski sudah ratusan tahun jazad badaninya terkubur. Jadilah, inti daripada ini semua sebagai social capital (modal sosial) menapaki roda politik ke depan.

Dari atas kuburnya, Lincoln bersua “...hal terbaik dari masa depan adalah ia datang suatu hari pada satu waktu..”. Terima Kasih, Abraham Lincoln.

*http://randomcelebs.com/wp-content/uploads/2015/04/Abraham-Lincoln-3.jpg