7
Kantin Kampus, 25 Januari 2026, pukul 09.00
“kemarin itu
kamu dapat apa Vo dari Kasepuhan?”
“tanya sama
aku?” Revo menoleh ke belakang seolah bingung. Bibirnya komat-kamit melahap
habis gorengan yang renyah di dalam mulutnya.
“iya”
“oh sorry” sejenak, Revo mengelap sekitaran
kumisnya. “iya, begini, pada intinya mah gerakan kita harus lebih variatif
lagi, dalam artian harus bisa mulai merangkul anak muda yang biasanya jarang
ikut beginian”
“maksudnya?”
“hemm, begini
loh, coba misalkan sekarang kita mengadakan lomba essai tentang ‘mau seperti
apa Cirebon?’ atau melukis ‘Cirebon dalam gambaranmu’. Begitu Fay. Ditambah lagi,
Lusi mulai dipromosikan menjadi Pemred di kantornya”
“oh, bisa juga
lah begitu. Kabar baik juga untuk informasi masyarakat Cirebon. Tetapi Vo, yang
harus kamu tahu, gerakan yang menggedor-gedor turun ke jalanan pun perlu”
“kenapa?”
“karena, dari
obrolan yang ku dengar, para petinggi itu selalu merasa lebih resah terhadap
mahasiswa yang keras dibandingkan dengan mereka yang seolah bergerak menuruti
sistem”
“kamu tahu
darimana?”
“aku
mendengarnya langsung ketika ada FGD internal komisi A. Ibu Vero, yang
dandannya menor dan penuh dengan perhiasan itu, mengatakan secara langsung.
Semua mengamini, kok”
Fairuz, meskipun
terkesan urakan dan lebih muda tiga tahun (23 tahun), sesungguhnya dia adalah
yang paling berprestasi diantara Lusi maupun Revo. Bila Revo dan Lusi baru di
semester sebelas menyusun Tugas Akhir,
Fairuz, menginjak semester dua, dia sudah ditarik untuk menjadi bagian dari
staff ahli eksternal komisi A dalam kapasitasnya sebagai akademisi bidang
‘Pemberdayaan Masyarakat’. Waktu itu para birokrat tertarik dengan caranya
mengembangkan UMKM di daerah Kalijaga, sekitaran rumahnya. Oleh sebab itu,
dengan alasan profesional, Fairuz tergabung di parlemen. Bukan itu saja,
beberapa kali pula, Fairuz mengikuti berbagai macam perlombaan essai dan
penelitian ilmiah, semuanya dia menang. Jadinya, bolos yang kerap kali
dilakukan oleh Fairuz, tidak membuat dosen-dosen menafikan isi kepalanya untuk
lalu memberi nilai kecil. Itulah keunggulan plus dari seorang pencinta
nada-nada bikinan group musik Coldplay, Fairuz.
Memang sih, bagi
separuh civitas akademi kampus, Fairuz tidaklah terlalu di sukai. Ada dua
alasan, alasan yang pertama : Para haters
itu membenci bukan tanpa alasan, hal itu disebabkan oleh tingkah laku
Fairuz yang kadang kelewat batas. Fairuz sering mengkritisi dosen yang tidak memiliki
silabus dalam mengajar, dan mengejek dosen itu dengan julukan ‘kolonial’.
Fairuz juga, masih soal dia dan kampusnya, tidak suka dengan mahasiswa ‘robot’
yaitu mahasiswa yang sekedar puas oleh penjelasan dosen. Baginya, mahasiswa
macam itu telah melecehkan peradaban. Yang terbaru, mungkin yang tidak akan
pernah dilupakan juga, dia mencalonkan diri sebagai ketua BEM dan menang. Akan
tetapi, hari itu juga, atas nama dia sebagai ketua BEM, BEM dibubarkan!!.
Bahkan, konon, hingga kini problem itu belum menemukan ujung pangkalnya. Otomatis, reaksi kampus terombang-ambing dan tercabik oleh regulasi preogratif
yang mereka tekankan sendiri. Jadinya, Fairuz semakin dikucilkan oleh yang tak
paham tetapi dikerubungi oleh yang suka manusia nyleneh.
Alasan yang
kedua adalah gaya bernampilan Fairuz yang mengundang tampang sinis. Kacamata
hitam, rambut klimis dengan jaket kulitnya, sedari awal masuk kuliah sampai
sekarang tidak pernah berubah. Hari ini contohnya, Fairuz mengenakan kacamata
hitam, kemeja putih dan celana jeans biru dibiarkan terobek tepat posisi paha. Okelah,
itu mungkin tidak terlalu bermasalah. Yang lebih membuat jengkel terhadap
Fairuz adalah kuda besi moto cross nya
yang membisingkan. Fairuz bukan mematikan motornya ketika masuk kampus, akan
tetapi, justeru menarik gasnya tinggi-tinggi apabila ada yang mengenyahkan
pandangan menyambut kehadirannya.
Namanya
mahasiswa, tetap saja, secerdik apapun selalu kalah dengan ancaman surat sakti
pemberitahuan Droup Out, tak
terkecuali si brandal, Fairuz. Untuk beberapa pekan, Fairuz tidak berani
bertingkah. Dia lebih kalem dan tenang. Ya, tepatnya semenjak surat itu sampai
langsung ke tangan Pak Dirman, ayahnya.
“sudahlah,
pakailah semua saja instrumennya, toh itu lebih baik kan Fay”
“iya, maksudku
juga begitu. Perlu sih memang menjaring mereka yang kupu-kupu itu. Meskipun
sekedar tim hore, menurutku. Tapi maaf, aku tidak bisa terlalu menggebu-gebu
seperti sebelumnya”
“ah, sudahlah,
sepele surat DO mah. Kamu cukup beri semangat saja aku dan Lusi. Dan yang
penting juga, bukan cuma mereka (mahasiswa kupu-kupu) Fay, tetapi organ dan
komunitas serta masyarakat pun perlu dirangkul. Skala kita ini besar,
hitung-hitung kenang-kenangan sebelum wisuda nanti”
“bodoh, maksudku
juga begitu, daya tangkapmu itu lambat Vo. Banyaklah membaca, jangan agitasi
lagi agitasi lagi. hahaha”
“hahaha, apapun
itulah, semoga yang sekarang mah berhasil, ya”
“jangan
disemogakan tetapi memang harus berhasil, sudah sepuluh kali kita menyusun
strategi dan gila belum juga membuahkan hasil. Enam tahun masa kuliah kau
korbankan, dan aku hampir lima tahun Vo, meskipun beruntung juga kita sekolah di swasta”
“iya juga sih, tapi
Fay, dari pengorbanan yang telah kita lakukan sepertinya memang pantas apa yang
dicita-citakan itu menunjukan hasilnya”
“jadikan
penangkapan Herwandi yang terkesan kriminalisasi ini sebagai isu yang
mengundang ghirah kawan-kawan Vo”
“pasti, karena
itu memang klimaksnya. Salah sendiri si cecunguk penguasa itu blunder”
“semoga juga,
dalam menyikapi persoalan ini, semua bisa bersatu ya, Vo”
“sekarang kamu
yang menggunakan kata semoga, plin-plan kau Fay”
“heh, kalau soal
egoisme kelompok, tidak ada kata yang pantas untuk melihat itu bisa bersatu
selain daripada kata semoga. Paham!!”
“hahaha iya,
salah terus aku”
Bukan perkara
mudah juga sih sebenarnya. Bila memang harus berkelompok dengan banyak pihak,
artinya, kumpulan SosDem pun harus belajar setidaknya untuk fleksibel menerima
pasukan lain.
Tanpa perlu
dijelaskan, sebenarnya kita pun tahu bahwa setiap kelompok itu memiliki egoisme
pribadinya masing-masing. Tak jarang, egoisme macam itu membawa mereka pada pseudo-problem (masalah semu). Mereka saling
beradu mulut mempermasalahkan teknis dalam bentuk wacana untuk lalu kemudian
bertikai. Padahal, secara substansi, mereka itu menyepakati satu tujuan yang
sama dan itu adalah untuk kebaikan masa depan. Jika hendak menemukan cerah
surya, Revo dan Fairuz harus sinergi dalam menyambungkan rantai-rantai yang
bertebaran itu.
“oh iya Fay,
sehabis kuliah ini kamu tidak ada acara kan?”
“tidak Vo”
“yasudah, lebih
baik ikut aku ke pesisir”
“memangnya ada
apa?”
“ikut saja,
jangan banyak tanya!!”
Tidak seperti awal-awal, biasanya, Fairuz selalu mengernyitkan dahi apabila Revo sudah mengeluarkan wataknya yang memaksa. Seiring berjalannya waktu, Fairuz mulai mewajari intimidasi yang tak perlu macam itu. Dia sabar.
“oke, Vo”
*
Desa Pesisir, 25 Januari 2026
Selalu ada
hikmah di balik kejadian-kejadian yang menggemparkan. Sebulan sebelum penetapan
Herwandi sebagai terduga kasus dana plesir,
ketiga sahabat itu memutuskan untuk menjangkitkan diri mereka sendiri pada
penyakit Cotard's Syndrome. Ya, bila
Jepang memiliki budaya hara-kiri yang menuntun para pecundang-pecundang
memperoleh kemuliaan dalam kematian, Revo, Fairuz dan Lusi memilih untuk mengganggu
jiwa mereka masing-masing dengan merasa seolah-olah mereka sudah mampus. Mereka
bertingkah dan menjuluki secara pribadi dengan sebutan zombie. Tidak diketahui secara gamblang alasannya, namun itulah
yang ditunaikan sebagai tanda maaf bila raga mereka tidak ada guna, katanya.
Pemandangannya
kini telah berubah seratus delapan puluh drajat. Trio penggedor itu sibuk
menenun suatu cerita apik menjelang akhir pengabdiannya sebagai mahasiswa.
Lihat saja, Fairuz dan Revo kini tengah satu paket di atas moto cross yang berisik itu, melewati gang-gang Desa Pesisir.
“Vo, hey mau
kemana”
“iya bah, ke
balai desa ayo bah”
.....
“dek Revo,
ngapain?”
“ayo kumpul,
ajak semua ke balai desa”
....
“eh Vo, jangan
ngebut itu ati-ati”
“iya pak, ke
balai desa segera”
“oke”
Revo memang
cukup selebritis, setidaknya bagi masyarakat Desa Pesisir. Sepanjang jalan
melewati setiap sudut gang, selalu saja ada warga yang menyapanya. Dia hanya
menjawab irit sembari melambai tangan. Tindak-tanduknya bak walikota Cirebon
sahaja. Maklum menunggangi motor. Dan Fairuz, ya Fairuz, cukup berani juga
sebagai supir bergerak ugal-ugalan di
area padat penduduk. Huh, mungkin dia berani begitu karena dia tahu kalau tidak
ada yang akan mengusiknya musabab dia membawa Revo.
“hidup rakyat,
LAWAN!”
“LAWAN, LAWAN,
LAWAN”
Kedatangan Revo
disambut riuh sekitar dua ratusan pemuda setempat. Fairuz kaget. Sejauh pengetahuannya,
sepanjang jalan perjuangan yang dilewati bersama, Fairuz baru kali ini
merinding bersandingan dengan Revo. Gelagat sang agitator itu membawa Fairuz
pada satu sosok pahlawan asal Surabaya, Bung Tomo.

Revo, sebatas
hafalan Fairuz, meskipun memiliki kost dan diberikan garansi istirahat di
rumahnya, lebih sering melewati malam di jalanan. Fairuz jua tak merasa perlu mencari
tahu, toh Revo sudah besar. Pikir Fairuz waktu itu. Namun, mengagumkan, pelarian
Revo pada atap yang sejuk itu ternyata bercengkrama bersama (sebut saja)
konstituennya.
Balai desa itu
menjadi saksi atas benih yang selama ini ditanamkan oleh Revo. Nelayan yang
masih membawa jaring. Ibu-ibu yang memanggul sayur. Bapak-bapak tua yang
merokok kretek sembari menyeruput kopi
hitam. Pemuda-pemudi dengan kostum seadanya. Segenap manusia yang
termarjinalkan itu, berhimpun menyapa seonggok tubuh berkupluk abu-abu dan
berjaket hijau, Revo. Tidak ada satupun dari mereka semua itu yang tak
menyentuh jemari-jemari Revo. Kadang juga dicium seolah-olah yang disambutnya
itu kyai gedongan. Terpesona. Dan taktala
Revo berjalan menuju mimbar, para kelas rendahan itu berpencar memberi
kemudahan langkah.
“Vo, aku ikut
naik ini” Fairuz bercakap dengan rendah. Tangannya menutupi mulut yang dia
dekatkan ke telinga Revo.
“terserah, duduk
aja di paling depan juga gak papa”
“oh yasudah lah”
Samping kiri dan
kanan disekitaran ayunan kaki kedua manusia tersebut dipenuhi manusia. Kepala Desa
mengintil dari belakang bersama empat hansip. Riuh tepuk tangan merdu, biasanya,
‘keprokan’ itu tidak akan berhenti sebelum Revo sampai ke depan mimbar di
ruangan yang luasnya hanya sekitar 12 x 12 itu.
“test, test,
test” Revo menepuk microphone yang
memang disediakan untuknya. Perangainya berwibawa dan penuh kharisma.
Fairuz tidak
nampak di depan. Dia memilih duduk di barisan nomor satu bersama Kepala Desa,
Kepala RT, RW dan perangkat pelaksana sejenis. Arah tatapannya saling berhadapan dengan Revo.
“Kepala Desa dan
jajarannya serta bapak-bapak, ibu-ibu juga semuanya. Izinkan saya menyampaikan
sedikit saja maksud saya mengumpulkan handai taulan di sini” Revo diam sejenak.
Dia menatap tajam ke depan para penonton. “saya, Revo, merasa prihatin dengan
kondisi yang saat ini tengah dialami oleh masyarakat, khususnya untuk kita
semua yang ada di Cirebon. Gedung-gedung tinggi berdiri megah. Mall berderetan.
Hotel tak perlulah dihitung karena jari kita sudah tak cukup lagi. Tapi mengapa
saudara-saudara, kita, yang selaku PRIBUMI justeru seperti babu yang mengorek-orek
sampah sisaan dari tamu-tamu yang nampak parlente. Kita, selaku PRIBUMI,
justeru hidup di bawah garis standar kelayakan dibandingkan karyawan yang
berasal dari luar wilayah kita. Kita, selaku PRIBUMI, justeru tidak
diperhatikan tempat tinggal dan kelayakannya lebih utama daripada fasilitas
kemegahan hotel berbintang. Kita, selaku PRIBUMI, justeru dipaksa menyingkir meninggalkan
kediaman dan diambil manfaat tanahnya untuk kesenangan pelancong”
Suara Revo membahana memecah kegaduhan yang semula memenuhi ruangan itu. Kencang bunyi angin yang menunjukan hujan akan segera turun pun tak digubris.

Suara Revo membahana memecah kegaduhan yang semula memenuhi ruangan itu. Kencang bunyi angin yang menunjukan hujan akan segera turun pun tak digubris.
Tidak ada
satupun yang nyinyir. Semua khidmat dan penuh dengan keseriusan. Fairuz pun larut
dalam komposisi kata yang jempolan hasil
racikan Revo.
Revo membuka
kembali rongga-rongga pita suaranya.
“saya tanya
kepada saudara sekalian, apa yang harus kita lakukan?”
“LAWAN”
“sekali lagi,
saya belum merasa suara itu menyatu dan menggetarkan laut di belakang kita itu.
Apa, ya, apa yang harus kita lakukan?!!?!!”
“LAWAN, LAWAN,
LAWAN”
Dengan dipimpin
oleh Revo, beratus-ratus kepalan tangan kanan membumbung tinggi ke udara. “LAWAN”
Suguhan kenyataan
itu memiliki arti; media dan masyarakat terkondisikan. “tinggal menunggu saja
tanggal mainnya” pikir Fairuz.
Fairuz, meskipun begitu luar biasa kariernya, nyatanya tidak pernah tahu apa-apa saja yang telah dilakukan oleh Revo. Yang tersaji dalam panggung imajinasinya ini bukanlah sesuatu yang secara tiba-tiba. Jauh-jauh hari, Revo sudah rajin dan tekun mempromosikan diri dan ilmunya kepada masyarakat, yang dalam bahasa Gramsci disebut dengan, subaltern. Masyarakat itu, berdasar persepsi Revo, terhegemoni oleh kuasa-kuasa. Mereka terdisriminasi oleh sistem hingga mereka sendiri tidak menyadari diri mereka. Boro-boro beraspirasi, dirinya sendiri saja kacau balau. Alasan itulah yang kemudian membuat Revo resa dan mau tidak mau, Revo harus terjun ke lapangan untuk memperbaikinya sendiri. Fairuz, yang notabene sahabatnya, tidak diberi tahu sama sekali mengenai ini.
Memang sih, tempo hari atau sekitaran sepuluh hari yang lalu, Fairuz pernah menemukan selebaran poster mengenai tata kelola ekonomi rakyat. Belum sempat dia membaca, Revo sudah memasukannya secara kilat ke dalam tas. Sekarang dia mulai paham, poster-poster itu adalah bentuk pembelajaran kecil dan media penyadaran rakyat yang dilakukan Revo. Fairuz, pun tahu itu secara tidak sengaja. Dia mendengar sepintas dari Kepala Desa yang manis-manis gemulai duduk di sampingnya. Diceritakan pula oleh Kepala Desa itu, Revo kerap kali mengadakan pengajian, atau bahasa kita yasininan, pada malam jum’at. Ibu-ibu juga senang karena semenjak kehadiran Revo, mereka jadi tahu mengenai baiknya KB, sistem reproduksi dan tata cara merawat anak dari pergaulan yang mulai terkontaminasi westernisasi. Yang lebih mencengangkan, Kepala Desa itu membuka rahasia, Revo melakukan gerakannya tidak hanya di Desa Pesisir saja tapi hampir di setiap lingkungan yang terbelakang di Kota Cirebon. Angkat topi juga Fairuz kepada lelaki yang seringkali diremehkannya itu.
Fairuz, meskipun begitu luar biasa kariernya, nyatanya tidak pernah tahu apa-apa saja yang telah dilakukan oleh Revo. Yang tersaji dalam panggung imajinasinya ini bukanlah sesuatu yang secara tiba-tiba. Jauh-jauh hari, Revo sudah rajin dan tekun mempromosikan diri dan ilmunya kepada masyarakat, yang dalam bahasa Gramsci disebut dengan, subaltern. Masyarakat itu, berdasar persepsi Revo, terhegemoni oleh kuasa-kuasa. Mereka terdisriminasi oleh sistem hingga mereka sendiri tidak menyadari diri mereka. Boro-boro beraspirasi, dirinya sendiri saja kacau balau. Alasan itulah yang kemudian membuat Revo resa dan mau tidak mau, Revo harus terjun ke lapangan untuk memperbaikinya sendiri. Fairuz, yang notabene sahabatnya, tidak diberi tahu sama sekali mengenai ini.
Memang sih, tempo hari atau sekitaran sepuluh hari yang lalu, Fairuz pernah menemukan selebaran poster mengenai tata kelola ekonomi rakyat. Belum sempat dia membaca, Revo sudah memasukannya secara kilat ke dalam tas. Sekarang dia mulai paham, poster-poster itu adalah bentuk pembelajaran kecil dan media penyadaran rakyat yang dilakukan Revo. Fairuz, pun tahu itu secara tidak sengaja. Dia mendengar sepintas dari Kepala Desa yang manis-manis gemulai duduk di sampingnya. Diceritakan pula oleh Kepala Desa itu, Revo kerap kali mengadakan pengajian, atau bahasa kita yasininan, pada malam jum’at. Ibu-ibu juga senang karena semenjak kehadiran Revo, mereka jadi tahu mengenai baiknya KB, sistem reproduksi dan tata cara merawat anak dari pergaulan yang mulai terkontaminasi westernisasi. Yang lebih mencengangkan, Kepala Desa itu membuka rahasia, Revo melakukan gerakannya tidak hanya di Desa Pesisir saja tapi hampir di setiap lingkungan yang terbelakang di Kota Cirebon. Angkat topi juga Fairuz kepada lelaki yang seringkali diremehkannya itu.
“Vo, mulai
sekarang janganlah diem-diem begitu lagi”
“ah, aku suka
bingung Fay. Aku ini orangnya tidak suka lama-lama, maunya cepet dan cepet. Dan
itu Fay, hanya bisa aku lakukan kalau aku bergerak sendiri”
“aku, Fairuz,
bersedia membantu dan disuruh apapun olehmu. Saat ini juga aku sudah siap”
“bukan soal siap dan
tidak siap juga sih, masing-masing ada porsinya. Kamu fokuskan saja pada
kekuatan jaringmu di DPR. Karena rantai-rantai dari revolusi kita ini tidak
bisa mengandalkan hanya dari satu gerakan saja. Semua sistem harus mendukung”
"memang, apa yang kamu katakan itu benar, seratus persen benar. Tapi jujur Vo, aku suka sekali dengan suasana ini"
"kapan-kapan nanti kuajak lagi"
"memang, apa yang kamu katakan itu benar, seratus persen benar. Tapi jujur Vo, aku suka sekali dengan suasana ini"
"kapan-kapan nanti kuajak lagi"
Revo kemudian
melangkah jauh meninggalkan Fairuz. Kerumunan manusia yang tiada henti meminta
saran, memang tidak memungkinkan mereka berbincang terlalu lama, juga.
“Vo, kalau sudah
kelar ke depan ya. Aku mau ngerokok dulu ke depan” sambil berteriak, Fairuz sejenak membuyarkan keseriusan Revo.
“iya Fay, siap”
(BELUM SEPENUHNYA, JADI, YA BERSAMBUNG LAGI)
* http://www.qdlake.com/images/remarkable-rustic-cafe-restaurant-interior-with-industrial-style-ideas.jpg
** http://www.spiked-online.com/images/free_speech67.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar