Minggu, 25 Januari 2015

AVAST ! (sambungan IV)



7

Kantin Kampus, 25 Januari 2026, pukul 09.00

“kemarin itu kamu dapat apa Vo dari Kasepuhan?”
“tanya sama aku?” Revo menoleh ke belakang seolah bingung. Bibirnya komat-kamit melahap habis gorengan yang renyah di dalam mulutnya.
“iya”
“oh sorry” sejenak, Revo mengelap sekitaran kumisnya. “iya, begini, pada intinya mah gerakan kita harus lebih variatif lagi, dalam artian harus bisa mulai merangkul anak muda yang biasanya jarang ikut beginian”
“maksudnya?”
“hemm, begini loh, coba misalkan sekarang kita mengadakan lomba essai tentang ‘mau seperti apa Cirebon?’ atau melukis ‘Cirebon dalam gambaranmu’. Begitu Fay. Ditambah lagi, Lusi mulai dipromosikan menjadi Pemred di kantornya”
“oh, bisa juga lah begitu. Kabar baik juga untuk informasi masyarakat Cirebon. Tetapi Vo, yang harus kamu tahu, gerakan yang menggedor-gedor turun ke jalanan pun perlu”
“kenapa?”
“karena, dari obrolan yang ku dengar, para petinggi itu selalu merasa lebih resah terhadap mahasiswa yang keras dibandingkan dengan mereka yang seolah bergerak menuruti sistem”
“kamu tahu darimana?”
“aku mendengarnya langsung ketika ada FGD internal komisi A. Ibu Vero, yang dandannya menor dan penuh dengan perhiasan itu, mengatakan secara langsung. Semua mengamini, kok”

Fairuz, meskipun terkesan urakan dan lebih muda tiga tahun (23 tahun), sesungguhnya dia adalah yang paling berprestasi diantara Lusi maupun Revo. Bila Revo dan Lusi baru di semester  sebelas menyusun Tugas Akhir, Fairuz, menginjak semester dua, dia sudah ditarik untuk menjadi bagian dari staff ahli eksternal komisi A dalam kapasitasnya sebagai akademisi bidang ‘Pemberdayaan Masyarakat’. Waktu itu para birokrat tertarik dengan caranya mengembangkan UMKM di daerah Kalijaga, sekitaran rumahnya. Oleh sebab itu, dengan alasan profesional, Fairuz tergabung di parlemen. Bukan itu saja, beberapa kali pula, Fairuz mengikuti berbagai macam perlombaan essai dan penelitian ilmiah, semuanya dia menang. Jadinya, bolos yang kerap kali dilakukan oleh Fairuz, tidak membuat dosen-dosen menafikan isi kepalanya untuk lalu memberi nilai kecil. Itulah keunggulan plus dari seorang pencinta nada-nada bikinan group musik Coldplay, Fairuz.

Memang sih, bagi separuh civitas akademi kampus, Fairuz tidaklah terlalu di sukai. Ada dua alasan, alasan yang pertama : Para haters itu membenci bukan tanpa alasan, hal itu disebabkan oleh tingkah laku Fairuz yang kadang kelewat batas. Fairuz sering mengkritisi dosen yang tidak memiliki silabus dalam mengajar, dan mengejek dosen itu dengan julukan ‘kolonial’. Fairuz juga, masih soal dia dan kampusnya, tidak suka dengan mahasiswa ‘robot’ yaitu mahasiswa yang sekedar puas oleh penjelasan dosen. Baginya, mahasiswa macam itu telah melecehkan peradaban. Yang terbaru, mungkin yang tidak akan pernah dilupakan juga, dia mencalonkan diri sebagai ketua BEM dan menang. Akan tetapi, hari itu juga, atas nama dia sebagai ketua BEM, BEM dibubarkan!!. Bahkan, konon, hingga kini problem itu belum menemukan ujung pangkalnya. Otomatis, reaksi kampus terombang-ambing dan tercabik oleh regulasi preogratif yang mereka tekankan sendiri. Jadinya, Fairuz semakin dikucilkan oleh yang tak paham tetapi dikerubungi oleh yang suka manusia nyleneh.

Alasan yang kedua adalah gaya bernampilan Fairuz yang mengundang tampang sinis. Kacamata hitam, rambut klimis dengan jaket kulitnya, sedari awal masuk kuliah sampai sekarang tidak pernah berubah. Hari ini contohnya, Fairuz mengenakan kacamata hitam, kemeja putih dan celana jeans biru dibiarkan terobek tepat posisi paha. Okelah, itu mungkin tidak terlalu bermasalah. Yang lebih membuat jengkel terhadap Fairuz adalah kuda besi moto cross nya yang membisingkan. Fairuz bukan mematikan motornya ketika masuk kampus, akan tetapi, justeru menarik gasnya tinggi-tinggi apabila ada yang mengenyahkan pandangan menyambut kehadirannya.

Namanya mahasiswa, tetap saja, secerdik apapun selalu kalah dengan ancaman surat sakti pemberitahuan Droup Out, tak terkecuali si brandal, Fairuz. Untuk beberapa pekan, Fairuz tidak berani bertingkah. Dia lebih kalem dan tenang. Ya, tepatnya semenjak surat itu sampai langsung ke tangan Pak Dirman, ayahnya.

“sudahlah, pakailah semua saja instrumennya, toh itu lebih baik kan Fay”
“iya, maksudku juga begitu. Perlu sih memang menjaring mereka yang kupu-kupu itu. Meskipun sekedar tim hore, menurutku. Tapi maaf, aku tidak bisa terlalu menggebu-gebu seperti sebelumnya”
“ah, sudahlah, sepele surat DO mah. Kamu cukup beri semangat saja aku dan Lusi. Dan yang penting juga, bukan cuma mereka (mahasiswa kupu-kupu) Fay, tetapi organ dan komunitas serta masyarakat pun perlu dirangkul. Skala kita ini besar, hitung-hitung kenang-kenangan sebelum wisuda nanti”
“bodoh, maksudku juga begitu, daya tangkapmu itu lambat Vo. Banyaklah membaca, jangan agitasi lagi agitasi lagi. hahaha”
“hahaha, apapun itulah, semoga yang sekarang mah berhasil, ya”
“jangan disemogakan tetapi memang harus berhasil, sudah sepuluh kali kita menyusun strategi dan gila belum juga membuahkan hasil. Enam tahun masa kuliah kau korbankan, dan aku hampir lima tahun Vo, meskipun beruntung juga kita sekolah di swasta”
“iya juga sih, tapi Fay, dari pengorbanan yang telah kita lakukan sepertinya memang pantas apa yang dicita-citakan itu menunjukan hasilnya”
“jadikan penangkapan Herwandi yang terkesan kriminalisasi ini sebagai isu yang mengundang ghirah kawan-kawan Vo”
“pasti, karena itu memang klimaksnya. Salah sendiri si cecunguk penguasa itu blunder”
“semoga juga, dalam menyikapi persoalan ini, semua bisa bersatu ya, Vo”
“sekarang kamu yang menggunakan kata semoga, plin-plan kau Fay”
“heh, kalau soal egoisme kelompok, tidak ada kata yang pantas untuk melihat itu bisa bersatu selain daripada kata semoga. Paham!!”
“hahaha iya, salah terus aku”

Bukan perkara mudah juga sih sebenarnya. Bila memang harus berkelompok dengan banyak pihak, artinya, kumpulan SosDem pun harus belajar setidaknya untuk fleksibel menerima pasukan lain.

Tanpa perlu dijelaskan, sebenarnya kita pun tahu bahwa setiap kelompok itu memiliki egoisme pribadinya masing-masing. Tak jarang, egoisme macam itu membawa mereka pada pseudo-problem (masalah semu). Mereka saling beradu mulut mempermasalahkan teknis dalam bentuk wacana untuk lalu kemudian bertikai. Padahal, secara substansi, mereka itu menyepakati satu tujuan yang sama dan itu adalah untuk kebaikan masa depan. Jika hendak menemukan cerah surya, Revo dan Fairuz harus sinergi dalam menyambungkan rantai-rantai yang bertebaran itu.

“oh iya Fay, sehabis kuliah ini kamu tidak ada acara kan?”
“tidak Vo”
“yasudah, lebih baik ikut aku ke pesisir”
“memangnya ada apa?”
“ikut saja, jangan banyak tanya!!”

Tidak seperti awal-awal, biasanya, Fairuz selalu mengernyitkan dahi apabila Revo sudah mengeluarkan wataknya yang memaksa. Seiring berjalannya waktu, Fairuz mulai mewajari intimidasi yang tak perlu macam itu. Dia sabar.

“oke, Vo”
*

Desa Pesisir, 25 Januari 2026

Selalu ada hikmah di balik kejadian-kejadian yang menggemparkan. Sebulan sebelum penetapan Herwandi sebagai terduga kasus dana plesir, ketiga sahabat itu memutuskan untuk menjangkitkan diri mereka sendiri pada penyakit Cotard's Syndrome. Ya, bila Jepang memiliki budaya hara-kiri yang menuntun para pecundang-pecundang memperoleh kemuliaan dalam kematian, Revo, Fairuz dan Lusi memilih untuk mengganggu jiwa mereka masing-masing dengan merasa seolah-olah mereka sudah mampus. Mereka bertingkah dan menjuluki secara pribadi dengan sebutan zombie. Tidak diketahui secara gamblang alasannya, namun itulah yang ditunaikan sebagai tanda maaf bila raga mereka tidak ada guna, katanya.

Pemandangannya kini telah berubah seratus delapan puluh drajat. Trio penggedor itu sibuk menenun suatu cerita apik menjelang akhir pengabdiannya sebagai mahasiswa. Lihat saja, Fairuz dan Revo kini tengah satu paket di atas moto cross yang berisik itu, melewati gang-gang Desa Pesisir.

“Vo, hey mau kemana”
“iya bah, ke balai desa ayo bah”
.....
“dek Revo, ngapain?”
“ayo kumpul, ajak semua ke balai desa”
....
“eh Vo, jangan ngebut itu ati-ati”
“iya pak, ke balai desa segera”
“oke”

Revo memang cukup selebritis, setidaknya bagi masyarakat Desa Pesisir. Sepanjang jalan melewati setiap sudut gang, selalu saja ada warga yang menyapanya. Dia hanya menjawab irit sembari melambai tangan. Tindak-tanduknya bak walikota Cirebon sahaja. Maklum menunggangi motor. Dan Fairuz, ya Fairuz, cukup berani juga sebagai supir bergerak ugal-ugalan di area padat penduduk. Huh, mungkin dia berani begitu karena dia tahu kalau tidak ada yang akan mengusiknya musabab dia membawa Revo.

“hidup rakyat, LAWAN!”
“LAWAN, LAWAN, LAWAN”

Kedatangan Revo disambut riuh sekitar dua ratusan pemuda setempat. Fairuz kaget. Sejauh pengetahuannya, sepanjang jalan perjuangan yang dilewati bersama, Fairuz baru kali ini merinding bersandingan dengan Revo. Gelagat sang agitator itu membawa Fairuz pada satu sosok pahlawan asal Surabaya, Bung Tomo.

http://www.spiked-online.com/images/free_speech67.jpg

Revo, sebatas hafalan Fairuz, meskipun memiliki kost dan diberikan garansi istirahat di rumahnya, lebih sering melewati malam di jalanan. Fairuz jua tak merasa perlu mencari tahu, toh Revo sudah besar. Pikir Fairuz waktu itu. Namun, mengagumkan, pelarian Revo pada atap yang sejuk itu ternyata bercengkrama bersama (sebut saja) konstituennya.

Balai desa itu menjadi saksi atas benih yang selama ini ditanamkan oleh Revo. Nelayan yang masih membawa jaring. Ibu-ibu yang memanggul sayur. Bapak-bapak tua yang merokok kretek sembari menyeruput kopi hitam. Pemuda-pemudi dengan kostum seadanya. Segenap manusia yang termarjinalkan itu, berhimpun menyapa seonggok tubuh berkupluk abu-abu dan berjaket hijau, Revo. Tidak ada satupun dari mereka semua itu yang tak menyentuh jemari-jemari Revo. Kadang juga dicium seolah-olah yang disambutnya itu kyai gedongan. Terpesona. Dan taktala Revo berjalan menuju mimbar, para kelas rendahan itu berpencar memberi kemudahan langkah.

“Vo, aku ikut naik ini” Fairuz bercakap dengan rendah. Tangannya menutupi mulut yang dia dekatkan ke telinga Revo.
“terserah, duduk aja di paling depan juga gak papa”
“oh yasudah lah”

Samping kiri dan kanan disekitaran ayunan kaki kedua manusia tersebut dipenuhi manusia. Kepala Desa mengintil dari belakang bersama empat hansip. Riuh tepuk tangan merdu, biasanya, ‘keprokan’ itu tidak akan berhenti sebelum Revo sampai ke depan mimbar di ruangan yang luasnya hanya sekitar 12 x 12 itu.

“test, test, test” Revo menepuk microphone yang memang disediakan untuknya. Perangainya berwibawa dan penuh kharisma.

Fairuz tidak nampak di depan. Dia memilih duduk di barisan nomor satu bersama Kepala Desa, Kepala RT, RW dan perangkat pelaksana sejenis. Arah tatapannya saling berhadapan dengan Revo.

“Kepala Desa dan jajarannya serta bapak-bapak, ibu-ibu juga semuanya. Izinkan saya menyampaikan sedikit saja maksud saya mengumpulkan handai taulan di sini” Revo diam sejenak. Dia menatap tajam ke depan para penonton. “saya, Revo, merasa prihatin dengan kondisi yang saat ini tengah dialami oleh masyarakat, khususnya untuk kita semua yang ada di Cirebon. Gedung-gedung tinggi berdiri megah. Mall berderetan. Hotel tak perlulah dihitung karena jari kita sudah tak cukup lagi. Tapi mengapa saudara-saudara, kita, yang selaku PRIBUMI justeru seperti babu yang mengorek-orek sampah sisaan dari tamu-tamu yang nampak parlente. Kita, selaku PRIBUMI, justeru hidup di bawah garis standar kelayakan dibandingkan karyawan yang berasal dari luar wilayah kita. Kita, selaku PRIBUMI, justeru tidak diperhatikan tempat tinggal dan kelayakannya lebih utama daripada fasilitas kemegahan hotel berbintang. Kita, selaku PRIBUMI, justeru dipaksa menyingkir meninggalkan kediaman dan diambil manfaat tanahnya untuk kesenangan pelancong”

http://occuprint.org/wiki/uploads/Posters/DontJustComplain.png

Suara Revo membahana memecah kegaduhan yang semula memenuhi ruangan itu. Kencang bunyi angin yang menunjukan hujan akan segera turun pun tak digubris.

Tidak ada satupun yang nyinyir. Semua khidmat dan penuh dengan keseriusan. Fairuz pun larut dalam komposisi kata yang jempolan hasil racikan Revo.

Revo membuka kembali rongga-rongga pita suaranya.

“saya tanya kepada saudara sekalian, apa yang harus kita lakukan?”
“LAWAN”
“sekali lagi, saya belum merasa suara itu menyatu dan menggetarkan laut di belakang kita itu. Apa, ya, apa yang harus kita lakukan?!!?!!”
“LAWAN, LAWAN, LAWAN”
Dengan dipimpin oleh Revo, beratus-ratus kepalan tangan kanan membumbung tinggi ke udara. “LAWAN”

Suguhan kenyataan itu memiliki arti; media dan masyarakat terkondisikan. “tinggal menunggu saja tanggal mainnya” pikir Fairuz. 

Fairuz, meskipun begitu luar biasa kariernya, nyatanya tidak pernah tahu apa-apa saja yang telah dilakukan oleh Revo. Yang tersaji dalam panggung imajinasinya ini bukanlah sesuatu yang secara tiba-tiba. Jauh-jauh hari, Revo sudah rajin dan tekun mempromosikan diri dan ilmunya kepada masyarakat, yang dalam bahasa Gramsci disebut dengan, subaltern. Masyarakat itu, berdasar persepsi Revo, terhegemoni oleh kuasa-kuasa. Mereka terdisriminasi oleh sistem hingga mereka sendiri tidak menyadari diri mereka. Boro-boro beraspirasi, dirinya sendiri saja kacau balau. Alasan itulah yang kemudian membuat Revo resa dan mau tidak mau, Revo harus terjun ke lapangan untuk memperbaikinya sendiri. Fairuz, yang notabene sahabatnya, tidak diberi tahu sama sekali mengenai ini.

Memang sih, tempo hari atau sekitaran sepuluh hari yang lalu, Fairuz pernah menemukan selebaran poster mengenai tata kelola ekonomi rakyat. Belum sempat dia membaca, Revo sudah memasukannya secara kilat ke dalam tas. Sekarang dia mulai paham, poster-poster itu adalah bentuk pembelajaran kecil dan media penyadaran rakyat yang dilakukan Revo. Fairuz, pun tahu itu secara tidak sengaja. Dia mendengar sepintas dari Kepala Desa yang manis-manis gemulai duduk di sampingnya. Diceritakan pula oleh Kepala Desa itu, Revo kerap kali mengadakan pengajian, atau bahasa kita yasininan, pada malam jum’at. Ibu-ibu juga senang karena semenjak kehadiran Revo, mereka jadi tahu mengenai baiknya KB, sistem reproduksi dan tata cara merawat anak dari pergaulan yang mulai terkontaminasi westernisasi. Yang lebih mencengangkan, Kepala Desa itu membuka rahasia, Revo melakukan gerakannya tidak hanya di Desa Pesisir saja tapi hampir di setiap lingkungan yang terbelakang di Kota Cirebon. Angkat topi juga Fairuz kepada lelaki yang seringkali diremehkannya itu.



“Vo, mulai sekarang janganlah diem-diem begitu lagi”

“ah, aku suka bingung Fay. Aku ini orangnya tidak suka lama-lama, maunya cepet dan cepet. Dan itu Fay, hanya bisa aku lakukan kalau aku bergerak sendiri”
“aku, Fairuz, bersedia membantu dan disuruh apapun olehmu. Saat ini juga aku sudah siap”
“bukan soal siap dan tidak siap juga sih, masing-masing ada porsinya. Kamu fokuskan saja pada kekuatan jaringmu di DPR. Karena rantai-rantai dari revolusi kita ini tidak bisa mengandalkan hanya dari satu gerakan saja. Semua sistem harus mendukung”
"memang, apa yang kamu katakan itu benar, seratus persen benar. Tapi jujur Vo, aku suka sekali dengan suasana ini"
"kapan-kapan nanti kuajak lagi"

Revo kemudian melangkah jauh meninggalkan Fairuz. Kerumunan manusia yang tiada henti meminta saran, memang tidak memungkinkan mereka berbincang terlalu lama, juga.

“Vo, kalau sudah kelar ke depan ya. Aku mau ngerokok dulu ke depan” sambil berteriak, Fairuz sejenak membuyarkan keseriusan Revo.
“iya Fay, siap”
 


(BELUM SEPENUHNYA, JADI, YA BERSAMBUNG LAGI)

* http://www.qdlake.com/images/remarkable-rustic-cafe-restaurant-interior-with-industrial-style-ideas.jpg
** http://www.spiked-online.com/images/free_speech67.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar