Kamis, 22 Januari 2015

AVAST ! (sambungan III)



5

Cangkol Aventura, 24 - 25 Januari 2026, dini hari
 
Boleh saja menaruh ‘ingin’ tetapi jangan sampai menjadi ‘harus’. Itulah kata-kata terakhir ibunda Lusi sebelum pada akhirnya mereka berpisah untuk selama-lamanya. Malam itu, Lusi sedang terngiang oleh pesan seorang wanita yang disebut sebagai malaikat pelindungnya.

Beberapa kali Lusi mengunjungi makam ibunya. Dia selalu membayangkan batu nisan, yang menjadi ukuran ujung kepala dan telapak kaki itu, tiba-tiba saja terangkat dan mayat yang ada di bawahnya hidup kembali. Ah, tapi sayangnya itu tidak mungkin terjadi. “lihat laut saja sayang” kata ibunya apabila memang Lusi tak kuasa lagi menahan rindu. Itu seperti aspirin yang menenangkan, mungkin.

Beruntunglah Lusi punya Paman bernama Ong-Tien-Fang, seorang pengusaha kaya keturunan China. Paman Lusi ini kebetulan adalah pemenang tender pembangunan hotel setinggi hampir 60 meter di tepi laut Desa Cangkol, pada tahun 2013. Di sekitaran hotel itu terdapat begitu banyak wahana bak Taman Impian Jaya Ancol yang ada di Jakarta, namanya Cangkol Aventura. Area tersebut sungguh elok dan menawan dengan taburan lampu berwarna ungu dan merah jambu. Romantis. Namun Lusi tidak tertarik pada itu semua. Lusi hanya suka pada satu tempat di situ. Tempat yang dengan sendirinya bisa membuat Lusi merasa seperti di surga, merasa sejuk dan pula merasa mengucur air matanya tanpa komando. Tempat favoritnya itu ada di lantai tertinggi daripada gedung pencakar langit milik Pamannya, lebih tepat apabila disebut atap. Dan Lusi, biasanya selalu meminta izin Pamannya untuk berada di atas atap hotel tersebut apabila tiba-tiba dia rindu pada ibunya.

“silahkan lah, tapi malam ini Paman tidak bisa menemanimu ya sayang”
“tidak apa-apa Paman” sedikit kecewa juga Lusi mendengarnya. Tapi apa dan bagaimana lagi, dia tidak akan bisa memaksa mengingat umur Pamannya yang memang sudah mencapai 67 tahun. “oiya, katanya Paman kemarin abis ke Victoria, Australia ya?”
“tahu dari siapa kamu?”
“Mba Anggi yang bilang padaku, dari kemarin sebenarnya aku ingin kesini Paman, tapi berhubung paman tidak di tempat, aku urung”
“oh begitu?” mata Paman Lusi seperti curiga. “yakin kamu hanya ingin tanya itu? kalau Paman mah jujur tidak yakin kamu hanya sekedar bertanya soal kepergian paman ke Australia. Pasti ada yang lainnya....”
“hehe, Paman tahu sendiri lah, ayolah Paman, aku dikasih satu ya paman ya”
“haduh haduh, mulai kan. Ajian welas asihmu itu mirip ibumu. Paman jadi sulit menolak bila sudah begini.”

Ruang kerja Paman Lusi tidak begitu luas, namun elegan. Lemari-lemari kaca yang mengelilingi ruang bercat hitam itu penuh buku-buku, dari mulai Novel Buya Hamka sampai Das Kapital karya Karl Marx, ada di situ. Terdapat pula guci-guci antik yang berasal dari China. Akan tetapi, jelas, yang paling menyita perhatian adalah foto Sadam Hussein yang berukuran hampir 1.5x2 meter.

Kita sebut saja, isi ruangan kerja Paman Lusi tadi, sebagai curriculum vitae daripadanya. Dengan litelatur yang begitu menumpuk dan pengalaman perjalanan yang begitu kaya, sahih, Paman Lusi bukanlah orang biasa. Menurut Mba Anggi, asisten yang sudah bekerja dengan Paman Lusi hampir dua puluh tahun, Paman Lusi adalah orang yang radikal. Paman Lusi tidak ragu-ragu menonjok habis hingga bonyok orang-orang yang macam-macam dengannya. Bukan hanya itu, pada era Presiden Suharto, Paman Lusi pernah mengirim sekitar 3000 orang untuk berdemo di Jakarta. Kekuatan yang dimiliki Paman Lusi tidak hanya sebatas kapital semata, tetapi juga, Paman Lusi begitu kesohor soal pengetahuan filsafat serta politik. Paman Lusi, masih menurut Mba Anggi, adalah salah satu orang yang ketika dia bicara maka, seluruh birokrat di Kota Udang (julukan Kota Cirebon) tanpa banyak cingcong menuruti. Mungkin, oleh karena itu suka atau tidak suka, Lusi adalah murid ideologi dari Paman Lusi dalam kelaminnya yang wanita.

 http://www.digitalchaoscontrol.com/wp-content/uploads/2014/10/Library.jpg

Paman Lusi yang sudah gontai langkahnya itu kemudian membuka slorogan meja kerjanya. Lusi memperhatikan tak cukup jelas karena tertutup puluhan cinderamata dari berbegai negara. Cukup lama juga kakek tua itu mencermati isi daripada slorogannya. Lusi hampir bosan.

“nih, Paman kasih satu tapi janji jangan habiskan dalam semalam”
“waaaaaaaaaah, Pinot Noir. Pasti Paman langsung membelinya di Yarra Valley ya?”
“iya, Paman kemarin mampir sebentar ke Victoria dan menyuruh anak buah Paman mencarikan itu. Beruntung bisa membawa sepuluh botol”

Hubungan antara Lusi dan Pamannya cukup erat, sudah seperti seorang ayah sekaligus sahabat yang saling mengerti. Keduanya juga, sama-sama menyukai wine. Dan wine yang saat ini sedang berada dalam genggaman Lusi adalah wine yang terbuat dari anggur merah, nikmat rasanya kata Lusi.

“Lusi langsung naik ke atas ya, Paman”
“iya sana, nikmatilah malam yang penuh dengan kesedihan ini, Lusi”
“kenapa Paman bilang begitu?”
“ah, kamu sepertinya terlalu menganggap Paman ini anak-anak. Paman tahu kalau kamu begini itu artinya kamu sedang ada problem dengan Revo. Si bangsat itu pasti tak kunjung memberikanmu kepastian, kan, hahaha”
“iya Paman, sudah ah, capek aku. Nanti si bangsat itu juga rencanya mau menyusul ke atas, boleh kan Paman?”
“kapan Paman pernah menolak permintaanmu?”
“terima kasiiiih pamaaanku”

Lusi menjingkrak tidak karuan. Di kecup mesra pipi Pamannya itu sampai berbunyi. Dia pun berlalu nampak punggung dari sapuan mata Pamannya. “dasar anak muda” Paman Lusi menggumam kecil.

*

Malam seperti mengeksekusi mati Lusi dari kehidupan dunia yang fana . Dia seakan terbang entah kemana, ke tempat yang nun jauh di sana.

Lilin-lilin kecil mulai dia pasang mengelilingi atap yang modelnya lebih nampak persegi daripada segitiga. Tapi bukan persegi ataupun segitiga, Lusi merangkai lilinnya itu membentuk hati. Ujung bawahnya lancip dan bagian atasnya oval saling bersambung. Dinyalakan satu persatu lilin tersebut, pelan dan penuh dengan kelembutan. Dia kemudian lari ke tengah dan duduk di kursi yang hanya terdapat satu meja dan satu kursi kosong di depannya. Pinot Noir telah menantangnya di atas meja jati yang memang sengaja di buat dari batang pohon yang amat besar.

Sungguh, bulan yang merekah dan malam yang hening itu membuat Lusi seperti seorang ratu kerajaan yang anggun. Dress putih yang panjangnya hanya sampai lutut, dibiarkan mengibas-ngibas diterpa angin. Rambutnya yang panjang dan berwarna sedikit merah, sengaja tak diikat. Matanya berbinar, sesekali berkedip dan kadang terpejam amat lama. Entahlah, mungkin itu caranya mencari ketenangan. Oh iya, ada satu yang kurang, ya cuma satu, dimana Revo? Dimana sang pangeran itu? batang hidung dan celoteh lantangnya belum juga menghiasi.

“Revo, kamu sampai dimana?”
“iya”
“jangan iya-iya saja, seperti tukang nasi padang kamu. Jawab aku, kamu dimana?”
“kamu pejamkan matamu saja”
“hah”
“jangan banyak tanya, pejamkan saja”

Lusi menuruti printah kekasihnya dari balik gagang telepon genggam. Dia tutup matanya perlahan. Bibirnya pun tak luput di satukan, mingkem. Telinganya berkejut sedikit karena geli tersrempet angin. Apa gerangan yang hendak dia tunggu? Toh, meskipun tak ditutup, Revo tak mungkin tahu. Lusi tetap taat, tidak digubrisnya anjuran setan yang menyuruhnya tetap membuka mata.

Perlahan-lahan suara ketukan langkah mendekati. Semakin dekat dan semakin terdengar nyaring. Lusi tetap tak melawan, dia masih menanti. Mungkin, meskipun langkah kaki itu adalah langkah pembunuh yang ingin menikamnya dari belakang, dia tetap pasrah demi taqlid kepada Revo.

“sekarang buka matamu”

Revo kini telah jelas berdiri. Dia tegak dan gagah tepat di belakang kursi kosong yang ada di depan Lusi. Malam itu, Dia begitu tampan dengan kemeja putih dan celana bahan cokelat. Ada kupluk menutupi kepala gundulnya. Satu hal yang membuatnya beda, dia membawa setangkai mawar merah di tangan kirinya. Setangkai saja bukan sebuket.

“aaaaahh, terima kasih sayang. Ini kamu dapatkan darimana? Jangan-jangan mencuri lagi di halaman rumah gurumu yang di Kasepuhan itu ya?”
“menurutmu?”
“menurutku sih begitu”
“hahahaha, meskipun kamu tahu, pura-pura sajalah kamu tidak tahu”
“supaya apa memangnya aku harus pura-pura bodoh?”
“supaya aku terlihat romantis. Setidaknya dihari tujuh tahun hubungan kita ini”
“iya deh, aku tidak tahu”
“huuu, terlambat bodoh”

Diciuminya mawar merah itu dalam-dalam. Terlihat sekali, Lusi amat senang dengan perlakuan sederhana Revo.

“harum sekali, kamu selalu saja pandai memetik mawar yang paling sempurna buatku”
“untuk orang yang sempurna, ku kira tidak berlihan kan sayang?”
“iya, tidak berlebihan juga seandainya kamu segera duduk di kursimu itu. Ngapain berdiri terus!!”

Arah obrolan mereka masih jauh dari kata serius. Semua masih soal yang bahagia, yang senang-senang dan yang baik-baik. Sepertinya mereka memang sengaja menghindari keributan.

Benar juga Lusi itu, seandainya saja ketika di Mall kemarin itu dia marah, mungkin tidak akan begini ceritanya. Wine dan aneka macam lilin itu rasanya akan tetap berada di tempatnya masing-masing. Dress ciamik yang dipakainya pun mesti sudah menjadi pajangan tukang jahit karena malas untuk ditebus. Lusi memang pandai, dia tahu kunci menghadapi laki-laki yang sudah menemaninya secara ikhlas tujuh tahun itu.

Kini anggur merah itu telah dibuka ujung tutup botolnya. Baunya semerbak dan melayang-layang di udara. Bersaing dengan bau rokok yang dihisap oleh Revo maupun Lusi. Lukisan ombak yang tersaji di hadapan mereka pun kadang tak luput dijadikan perbincangan. Bagi dua sejoli itu, ombak telah mengajarkan banyak hal, termasuk filosofi keabadian kerang yang kuat meski dihantam jutaan deras laju air.

“kamu dapatkan darimana wine ini?” Revo memegangi botol Pinot Noir seperti orang kampung. Diputar ke kiri, ke kanan, sedikit-sedikit dibaca pelan. Norak. “sepertinya, wine ini mantap sekali rasanya”
“dari Paman, dia memberikannya padaku, tadi”
“hah, really, habis dari mana memangnya si koboy itu?”
“hey, hey, sopan sedikit lah. Dia tempo hari habis mengunjungi Australia. Mencari kanguru malah dapatnya arak. Tua-tua keladi memang”
“sama sepertimu, tidak ada bedanya”
“hahaha aku kadang juga berpikir seperti itu, sih”

Seloki, dua loki, tiga loki dan seterusnya telah tertenggak masuk memenuhi tenggorokan dan isi perut pasangan yang tak kunjung menikah itu. Biasanya, bila sudah begini, obrolan serius tak lama lagi akan dimulai.

"dapat apa kamu dari pertemuanmu tadi siang” Lusi memulai. Dia mempertimbangkan daripada mengobrol soal pelaminan lebih baik soal perjuangan.
“banyak hal, tapi sial, si dosen berambut ikal itu masih saja sulit diajak aksi”
“bodoh kamu, jelaslah, dia itu murni akademisi. Hanya sebuah insiden dan orang yang teramat cerdas sajalah yang bisa mengusik tulang-tulang kakinya”
“oh iya, sebentar-sebentar, aku ingin tanya, bosmu ngoceh tidak mengenai aku?”
“iya, malas aku, sudah sering sekali dia begitu, tapi tetap saja, dia tidak memecatku. Aneh”
“aku juga bingung, sebenarnya ada apa ya?”
“mungkin karena aku paling cantik di tempat itu makanya aku dipertahankan mati-matian”
“kampret, aku mau denganmu saja karena kasihan, jadi mana mungkinlah alasan itu sebagai rujukannya”

Revo murka, dia palingkan wajahnya secara cepat. Terlalu percaya diri memang si Lusi ini.           

“oh iya sayang, aku dipromosikan oleh Pak Imam untuk menjadi Pemred. Sepertinya sih bakal menang”
“bagus, itu berita bagus, aku jadi lebih gampang memarahi koran sialan itu nantinya”

Lusi kemudian menjelaskan langkah-langkah pertama yang akan dilakukannya. Supaya kelihatan kooperatif, Lusi akan bertindak seolah-olah seperti Pemred yang dulu, yaitu menjual berita. Kemudian, Lusi mulai menggeser isu-isu itu perlahan dengan alasan kredibilitas. Dan...

“aku mau kelompok SosDem menulis, minimalnya seminggu sekali”
“ide briliant sayang”
“aku juga mau menyediakan kotak ‘keluhan’. Dalam bagian itu, semua sms terpilih akan ku terbitkan. Semakin kasar kritiknya, semakin ku terbitkan. Hahaha, oke gak?”
“aku bakal beli banyak kartu handphone sepertinya, keren kamu”
“tapi kamu ingat, nama samaranmu jangan lagi-lagi Somad, lagi-lagi Pleki. Sudah basi se basi-basinya”
“iya, aku ganti nanti yang lebih wooow, Fajar deh. Bagus kayaknya”
“nah, itu mending”

Semakin ngalor ngidul tak karuan apa yang meraka cakapkan. Yang terpenting mah, sudah pasti, mereka bisa juga ternyata menghindari cekcok pepesan kosong. Itu prestasi.

Malam itu pun ditutup dengan sangat hebat. Revo berhasil mengusir sejenak kerinduan Lusi akan ibunya. Ketinggian, laut dan Revo, semuanya Lusi suka. Dan hebat selanjutnya, kabar mengenai akan diangkatnya Lusi menjadi Pemred adalah titik terang daripada awal kebangkitan mereka. Semoga saja.

“iya sayang, aku hampir lupa”
“apa?”
“tolong bersihkan nama baik Herwandi sebagai agenda terselebungmu yang pertama”
“itu pasti !”
“jangan sampai lalai, itu pesan dari guruku tadi ketika aku bertemu dengannya”
“iya, paham. Sudahlah, mari kita turun ke tempat yang lebih intim”
“astaga naga, sudah jam lima rupanya, baiklah Lusiku"

6

“pokoknya kamu harus anterin aku ke kantooor!!”
“hih, naik apa?”
“naik ini nih”

Lusi merengek. Keluar dari Cangkol Aventura, Lusi meminta Revo segera mengantarnya ke kantor. Waktu itu pukul tujuh pagi. Mobilnya dia taruh dan dibiarkan terbengkalai di basement hotel milik Pamannya itu. Mana ada dia takut perasaan dicuri, semua pegawai kantor sudah hafal kendaraanya. Kini, dia tengah duduk manis di atas motor kekasihnya. Revo hanya melongo.

https://honda400four.files.wordpress.com/2012/06/1976-honda-cb400f-desperado.jpg

“yakin bu Pemred mau naik honda CB yang kalau lampu merah harus harap-harap cemas karena takut mogok?”
“iya, asal dianter sama kamu pokoknya”
“jangan aku, Pak Dirman aja ya, mau engga? Harus mau, oke sip”
“Pak Dirman siapa lagi? suka seenaknya nyebut-nyebut nama orang”
“Pak Dirman itu nama ayahnya Fairuz, galak dan kumisan, kamu pasti suka”
“haha, coba telepon Pak Dirmannya mana, suruh sini dua menit”
“bener?”
“iyalah bener, coba sok”

Revo kemudian mengambil telepon genggamnya. Dia buka sedikit ponsel pintar itu dengan hanya menyentuh sembari menggeser layarnya. “Dirman, Dirman, Dirman, ah ini dia” ditemukanlah nomor Pak Dirman.

“halo Pak Dirman”
“iya, ada apa Revo”
“bisa ke Cangkol Aventura tidak”

Lusi meringis menyaksikan kekasihnya menghubungi Pak Dirman. Mulutnya dia tutup dengan kedua telapak tangan. Lucu sekali dirimu, Lusi.

“ngapain Pak Dirman harus kesana segala? Motornya mogok”
“iya Pak mogok, tolong ya Pak, cepet, dua menit”
“iya, iya, bapak langsung kesana. Kamu jangan kemana-mana, tunggu saja”
“iya Pak, siap”

Sambungan suara pun kemudian mati. Revo memilih ikut duduk di motornya. Jok depan diisi Lusi dan jok bagian paling belakang di pantati oleh Revo.

“kamu serius itu Pak Dirman?”
“serius, tunggu aja”
“ah, gila”
“hahaha”

Hampir tiga batang rokok telah dihabiskan oleh Revo. Lusi pun sudah bolak-balik kamar mandi sampai empat kali, dia beser. Selama itu, Pak Dirman belum juga menyapa mereka.

Oh iya, bagi Revo, Pak Dirman itu sudah seperti ayahnya sendiri. Revo merasa tidak ada orang sebaik Pak Dirman, yang kadang mau memberikan tempat tidur, bantuan dan makan gratis, di Kota Cirebon. Itu jugalah yang menjadi alasan, Revo dan Fairuz begitu dekat sampai kadangkala dianggap seperti seorang kakak dan adik. Mereka itu, bahkan; kuliah duduk bersebelahan, pakaian saling bertukar, kemana-mana berdua, selalu bersama-sama. Kecuali mandi. Pak Dirman juga merasa tidak ada masalah dengan kebersamaan itu, malah senang. Lebih jauh, Fairuz itu anak satu-satunya dan dari kecil memang tidak memiliki teman akrab. Jadi, antara Revo dan Pak Dirman itu sejatinya terjadi hubungan simbiosis mutualisme, saling menguntungkan.

‘nah itu, Bapak datang, Lus’
“mana-mana?”
“Bapak, sini Pak” Revo melambaikan tangan tanda pemberitahuan.
“oh nak, iya bapak kesitu”

Pak Dirman segera memarkir honda nya tidak jauh dari tempat Revo dan Lusi menanti. Berlarinya dia menghampiri sejoli itu.

“mana yang mogoknya?”
“udah engga ada pak”
“yah, berarti Bapak pulang lagi aja ya”
“eh, tunggu dulu Pak, biar motor Bapak itu Revo aja yang bawa. Bapak nganterin Lusi ke kantor pake motor Revo. Deal?
“heh, maksudnya gimana sih?” Pak Dirman heran.
“iya, bapak sekarang anter Lusi gih ke kantornya. Dia maunya dianter sama Bapak, bukan sama aku”
“emang kamu mau kemana?”
“Revo mau ke kampus Pak, terus pergi lagi ke pesisir. Mau memberikan materi soal kelautan sama nelayan disana”
“oh”

Sehebat apapun penjelasannya, tetap, itu tidak menyelesaikan masalah. Pak Dirman semakin bingung. Semenjak istrinya meninggal, baru pagi ini mungkin, Pak Dirman membonceng seorang wanita lagi. Muda lagi.

“iya bapak ya, anterin Lusi, nanti Lusi telat” Lusi kini turun tangan membujuk Pak Dirman.
“yasudah, ayo lah”

Pak Dirman tidak kuasa lagi menolak. Bulu kuduknya menggidik bila sudah mendengar suara seorang wanita. Memang, Revo dan Lusi ini keterlaluan, mereka tega mempermainkan orang tua. Jarak dari Kalijaga ke Cangkol itu jauh, bung, jauh sekali. Namanya orang tua, walaupun seperti itu, Pak Dirman tetap kalem dan polos. Pak Dirman juga ikhlas, menyalakan, memanaskan dan mengecek rem motor yang akan dikendarainya untuk mengantar Lusi, sendiri. “ayo Lusi sini naik, cepat” Pak Dirman memberikan perintah kepada Lusi untuk segera menunggangi motor bersamanya.

“iya pak” Lusi menjawab cukup bersuara seruan Pak Dirman. Dan untuk Revo, Lusi tak lupa mencium tangan sebagai tanda izin sebelum pergi. Suaranya lembut, tidak sekeras ketika meneriaki ajakan Pak Dirman. “aku berangkat ya Vo”
“iya, semangat ya kamu” Revo menjawab dan melepas kekasihnya dengan satu kecupan di kening. “Pak Dirman hati-hati ya”
“iya Revo, selamat pagi”
“pagi!!! Juga pak”

Begitulah tingkah laku pasangan muda-mudi berumur setara, dua puluh enam tahun, jika sedang akur. Cukup dimengerti saja, jangan sampai diikuti. Memalukan, berani sekali mengerjai veteran perang yang pernah dikirim tugas ke Yordania, Pak Dirman.

*

Lusi telah duduk manis di kantornya. Dia memulai semua kegiatannya sampai pukul empat sore, nanti. Pak Dirman juga langsung pulang bersama CB milik Revo.

Di situasi yang berbeda, Revo telah sampai di kampus kesayangannya di jalan Perjuangan. Bersama dengan lelaki yang dituduh introvert, Fairuz, dia duduk-duduk manis di kantin. Dua gelas kopi hitam dan satu piringan penuh camilan tersaji di hadapan dua homo academicus itu. Percakapannya masih sama yakni mencari stimulus untuk mematangkan pergerakan.

.....

(BERSAMBUNG LAGI)

** http://www.digitalchaoscontrol.com/wp-content/uploads/2014/10/Library.jpg 
*** https://honda400four.files.wordpress.com/2012/06/1976-honda-cb400f-desperado.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar