5
Cangkol
Aventura, 24 - 25 Januari 2026, dini hari
Boleh saja menaruh ‘ingin’ tetapi jangan
sampai menjadi ‘harus’. Itulah kata-kata terakhir ibunda Lusi sebelum pada
akhirnya mereka berpisah untuk selama-lamanya. Malam itu, Lusi sedang terngiang
oleh pesan seorang wanita yang disebut sebagai malaikat pelindungnya.
Beberapa kali Lusi mengunjungi makam
ibunya. Dia selalu membayangkan batu nisan, yang menjadi ukuran ujung kepala
dan telapak kaki itu, tiba-tiba saja terangkat dan mayat yang ada di bawahnya
hidup kembali. Ah, tapi sayangnya itu tidak mungkin terjadi. “lihat laut saja
sayang” kata ibunya apabila memang Lusi tak kuasa lagi menahan rindu. Itu
seperti aspirin yang menenangkan, mungkin.
Beruntunglah Lusi punya Paman bernama
Ong-Tien-Fang, seorang pengusaha kaya keturunan China. Paman Lusi ini kebetulan
adalah pemenang tender pembangunan hotel setinggi hampir 60 meter di tepi laut
Desa Cangkol, pada tahun 2013. Di sekitaran hotel itu terdapat begitu banyak
wahana bak Taman Impian Jaya Ancol yang ada di Jakarta, namanya Cangkol
Aventura. Area tersebut sungguh elok dan menawan dengan taburan lampu berwarna
ungu dan merah jambu. Romantis. Namun Lusi tidak tertarik pada itu semua. Lusi
hanya suka pada satu tempat di situ. Tempat yang dengan sendirinya bisa membuat
Lusi merasa seperti di surga, merasa sejuk dan pula merasa mengucur air matanya
tanpa komando. Tempat favoritnya itu ada di lantai tertinggi daripada gedung
pencakar langit milik Pamannya, lebih tepat apabila disebut atap. Dan Lusi,
biasanya selalu meminta izin Pamannya untuk berada di atas atap hotel tersebut
apabila tiba-tiba dia rindu pada ibunya.
“silahkan lah, tapi malam ini Paman
tidak bisa menemanimu ya sayang”
“tidak apa-apa Paman” sedikit kecewa
juga Lusi mendengarnya. Tapi apa dan bagaimana lagi, dia tidak akan bisa memaksa
mengingat umur Pamannya yang memang sudah mencapai 67 tahun. “oiya, katanya Paman
kemarin abis ke Victoria, Australia ya?”
“tahu dari siapa kamu?”
“Mba Anggi yang bilang padaku, dari
kemarin sebenarnya aku ingin kesini Paman, tapi berhubung paman tidak di
tempat, aku urung”
“oh begitu?” mata Paman Lusi seperti
curiga. “yakin kamu hanya ingin tanya itu? kalau Paman mah jujur tidak yakin
kamu hanya sekedar bertanya soal kepergian paman ke Australia. Pasti ada yang
lainnya....”
“hehe, Paman tahu sendiri lah, ayolah Paman,
aku dikasih satu ya paman ya”
“haduh haduh, mulai kan. Ajian welas asihmu itu mirip ibumu. Paman jadi
sulit menolak bila sudah begini.”
Ruang kerja Paman Lusi tidak begitu
luas, namun elegan. Lemari-lemari kaca yang mengelilingi ruang bercat hitam itu
penuh buku-buku, dari mulai Novel Buya Hamka sampai Das Kapital karya Karl Marx,
ada di situ. Terdapat pula guci-guci antik yang berasal dari China. Akan
tetapi, jelas, yang paling menyita perhatian adalah foto Sadam Hussein yang
berukuran hampir 1.5x2 meter.
Kita sebut saja, isi ruangan kerja Paman
Lusi tadi, sebagai curriculum vitae daripadanya.
Dengan litelatur yang begitu menumpuk dan pengalaman perjalanan yang begitu
kaya, sahih, Paman Lusi bukanlah orang biasa. Menurut Mba Anggi, asisten yang
sudah bekerja dengan Paman Lusi hampir dua puluh tahun, Paman Lusi adalah orang
yang radikal. Paman Lusi tidak ragu-ragu menonjok habis hingga bonyok
orang-orang yang macam-macam dengannya. Bukan hanya itu, pada era Presiden
Suharto, Paman Lusi pernah mengirim sekitar 3000 orang untuk berdemo di
Jakarta. Kekuatan yang dimiliki Paman Lusi tidak hanya sebatas kapital semata,
tetapi juga, Paman Lusi begitu kesohor soal pengetahuan filsafat serta politik.
Paman Lusi, masih menurut Mba Anggi, adalah salah satu orang yang ketika dia
bicara maka, seluruh birokrat di Kota Udang (julukan Kota Cirebon) tanpa banyak
cingcong menuruti. Mungkin, oleh
karena itu suka atau tidak suka, Lusi adalah murid ideologi dari Paman Lusi
dalam kelaminnya yang wanita.

Paman Lusi yang sudah gontai langkahnya
itu kemudian membuka slorogan meja kerjanya. Lusi memperhatikan tak cukup jelas
karena tertutup puluhan cinderamata dari berbegai negara. Cukup lama juga kakek
tua itu mencermati isi daripada slorogannya. Lusi hampir bosan.
“nih, Paman kasih satu tapi janji jangan
habiskan dalam semalam”
“waaaaaaaaaah, Pinot Noir. Pasti Paman langsung membelinya di Yarra Valley ya?”
“iya, Paman kemarin mampir sebentar ke
Victoria dan menyuruh anak buah Paman mencarikan itu. Beruntung bisa membawa
sepuluh botol”
Hubungan antara Lusi dan Pamannya cukup
erat, sudah seperti seorang ayah sekaligus sahabat yang saling mengerti.
Keduanya juga, sama-sama menyukai wine. Dan wine yang saat ini sedang berada
dalam genggaman Lusi adalah wine yang terbuat dari anggur merah, nikmat rasanya
kata Lusi.
“Lusi langsung naik ke atas ya, Paman”
“iya sana, nikmatilah malam yang penuh
dengan kesedihan ini, Lusi”
“kenapa Paman bilang begitu?”
“ah, kamu sepertinya terlalu menganggap
Paman ini anak-anak. Paman tahu kalau kamu begini itu artinya kamu sedang ada problem dengan Revo. Si bangsat itu
pasti tak kunjung memberikanmu kepastian, kan, hahaha”
“iya Paman, sudah ah, capek aku. Nanti
si bangsat itu juga rencanya mau menyusul ke atas, boleh kan Paman?”
“kapan Paman pernah menolak
permintaanmu?”
“terima kasiiiih pamaaanku”
Lusi menjingkrak tidak karuan. Di kecup
mesra pipi Pamannya itu sampai berbunyi. Dia pun berlalu nampak punggung dari
sapuan mata Pamannya. “dasar anak muda” Paman Lusi menggumam kecil.
*
Malam
seperti mengeksekusi mati Lusi dari kehidupan dunia yang fana . Dia seakan
terbang entah kemana, ke tempat yang nun jauh di sana.
Lilin-lilin
kecil mulai dia pasang mengelilingi atap yang modelnya lebih nampak persegi
daripada segitiga. Tapi bukan persegi ataupun segitiga, Lusi merangkai lilinnya
itu membentuk hati. Ujung bawahnya lancip dan bagian atasnya oval saling
bersambung. Dinyalakan satu persatu lilin tersebut, pelan dan penuh dengan
kelembutan. Dia kemudian lari ke tengah dan duduk di kursi yang hanya terdapat
satu meja dan satu kursi kosong di depannya. Pinot Noir telah menantangnya di atas meja jati yang memang sengaja
di buat dari batang pohon yang amat besar.
Sungguh, bulan yang merekah dan malam yang hening
itu membuat Lusi seperti seorang ratu kerajaan yang anggun. Dress putih yang panjangnya hanya sampai
lutut, dibiarkan mengibas-ngibas diterpa angin. Rambutnya yang panjang dan
berwarna sedikit merah, sengaja tak diikat. Matanya berbinar, sesekali berkedip
dan kadang terpejam amat lama. Entahlah, mungkin itu caranya mencari
ketenangan. Oh iya, ada satu yang kurang, ya cuma satu, dimana Revo? Dimana
sang pangeran itu? batang hidung dan celoteh lantangnya belum juga
menghiasi.
“Revo,
kamu sampai dimana?”
“iya”
“jangan
iya-iya saja, seperti tukang nasi padang kamu. Jawab aku, kamu dimana?”
“kamu
pejamkan matamu saja”
“hah”
“jangan
banyak tanya, pejamkan saja”
Lusi
menuruti printah kekasihnya dari balik gagang telepon genggam. Dia tutup
matanya perlahan. Bibirnya pun tak luput di satukan, mingkem. Telinganya
berkejut sedikit karena geli tersrempet angin. Apa gerangan yang hendak dia
tunggu? Toh, meskipun tak ditutup, Revo tak mungkin tahu. Lusi tetap taat,
tidak digubrisnya anjuran setan yang menyuruhnya tetap membuka mata.
Perlahan-lahan
suara ketukan langkah mendekati. Semakin dekat dan semakin terdengar nyaring.
Lusi tetap tak melawan, dia masih menanti. Mungkin, meskipun langkah kaki itu
adalah langkah pembunuh yang ingin menikamnya dari belakang, dia tetap pasrah
demi taqlid kepada Revo.
“sekarang
buka matamu”
Revo
kini telah jelas berdiri. Dia tegak dan gagah tepat di belakang kursi kosong
yang ada di depan Lusi. Malam itu, Dia begitu tampan dengan kemeja putih dan
celana bahan cokelat. Ada kupluk menutupi kepala gundulnya. Satu hal yang
membuatnya beda, dia membawa setangkai mawar merah di tangan kirinya. Setangkai
saja bukan sebuket.
“aaaaahh,
terima kasih sayang. Ini kamu dapatkan darimana? Jangan-jangan mencuri lagi di
halaman rumah gurumu yang di Kasepuhan itu ya?”
“menurutmu?”
“menurutku
sih begitu”
“hahahaha,
meskipun kamu tahu, pura-pura sajalah kamu tidak tahu”
“supaya
apa memangnya aku harus pura-pura bodoh?”
“supaya
aku terlihat romantis. Setidaknya dihari tujuh tahun hubungan kita ini”
“iya
deh, aku tidak tahu”
“huuu,
terlambat bodoh”
Diciuminya
mawar merah itu dalam-dalam. Terlihat sekali, Lusi amat senang dengan perlakuan
sederhana Revo.
“harum
sekali, kamu selalu saja pandai memetik mawar yang paling sempurna buatku”
“untuk
orang yang sempurna, ku kira tidak berlihan kan sayang?”
“iya,
tidak berlebihan juga seandainya kamu segera duduk di kursimu itu. Ngapain
berdiri terus!!”
Arah obrolan mereka masih jauh dari kata
serius. Semua masih soal yang bahagia, yang senang-senang dan yang baik-baik.
Sepertinya mereka memang sengaja menghindari keributan.
Benar juga Lusi itu, seandainya saja ketika di Mall kemarin itu dia marah, mungkin tidak akan begini ceritanya. Wine dan aneka macam lilin itu rasanya akan tetap berada di tempatnya masing-masing. Dress ciamik yang dipakainya pun mesti sudah menjadi pajangan tukang jahit karena malas untuk ditebus. Lusi memang pandai, dia tahu kunci menghadapi laki-laki yang sudah menemaninya secara ikhlas tujuh tahun itu.
Kini anggur merah itu telah dibuka ujung
tutup botolnya. Baunya semerbak dan melayang-layang di udara. Bersaing dengan
bau rokok yang dihisap oleh Revo maupun Lusi. Lukisan ombak yang tersaji di
hadapan mereka pun kadang tak luput dijadikan perbincangan. Bagi dua sejoli
itu, ombak telah mengajarkan banyak hal, termasuk filosofi keabadian kerang
yang kuat meski dihantam jutaan deras laju air.
“kamu dapatkan darimana wine ini?” Revo
memegangi botol Pinot Noir seperti
orang kampung. Diputar ke kiri, ke kanan, sedikit-sedikit dibaca pelan. Norak. “sepertinya,
wine ini mantap sekali rasanya”
“dari Paman, dia memberikannya padaku,
tadi”
“hah, really, habis dari mana memangnya si koboy itu?”
“hey, hey, sopan sedikit lah. Dia tempo
hari habis mengunjungi Australia. Mencari kanguru malah dapatnya arak. Tua-tua
keladi memang”
“sama sepertimu, tidak ada bedanya”
“hahaha aku kadang juga berpikir seperti
itu, sih”
Seloki, dua loki, tiga loki dan
seterusnya telah tertenggak masuk memenuhi tenggorokan dan isi perut pasangan
yang tak kunjung menikah itu. Biasanya, bila sudah begini, obrolan serius tak
lama lagi akan dimulai.
"dapat apa kamu dari pertemuanmu tadi
siang” Lusi memulai. Dia mempertimbangkan daripada mengobrol soal pelaminan
lebih baik soal perjuangan.
“banyak hal, tapi sial, si dosen
berambut ikal itu masih saja sulit diajak aksi”
“bodoh kamu, jelaslah, dia itu murni
akademisi. Hanya sebuah insiden dan orang yang teramat cerdas sajalah yang bisa
mengusik tulang-tulang kakinya”
“oh iya, sebentar-sebentar, aku ingin
tanya, bosmu ngoceh tidak mengenai
aku?”
“iya, malas aku, sudah sering sekali dia
begitu, tapi tetap saja, dia tidak memecatku. Aneh”
“aku juga bingung, sebenarnya ada apa
ya?”
“mungkin karena aku paling cantik di
tempat itu makanya aku dipertahankan mati-matian”
“kampret, aku mau denganmu saja karena
kasihan, jadi mana mungkinlah alasan itu sebagai rujukannya”
Revo murka, dia palingkan wajahnya
secara cepat. Terlalu percaya diri memang si Lusi ini.
“oh iya sayang, aku dipromosikan oleh
Pak Imam untuk menjadi Pemred. Sepertinya sih bakal menang”
“bagus, itu berita bagus, aku jadi lebih
gampang memarahi koran sialan itu nantinya”
Lusi kemudian menjelaskan langkah-langkah
pertama yang akan dilakukannya. Supaya kelihatan kooperatif, Lusi akan
bertindak seolah-olah seperti Pemred yang dulu, yaitu menjual berita. Kemudian,
Lusi mulai menggeser isu-isu itu perlahan dengan alasan kredibilitas. Dan...
“aku mau kelompok SosDem menulis,
minimalnya seminggu sekali”
“ide briliant sayang”
“aku juga mau menyediakan kotak
‘keluhan’. Dalam bagian itu, semua sms terpilih akan ku terbitkan. Semakin
kasar kritiknya, semakin ku terbitkan. Hahaha, oke gak?”
“aku bakal beli banyak kartu handphone sepertinya, keren kamu”
“tapi kamu ingat, nama samaranmu jangan
lagi-lagi Somad, lagi-lagi Pleki. Sudah basi se basi-basinya”
“iya, aku ganti nanti yang lebih wooow,
Fajar deh. Bagus kayaknya”
“nah, itu mending”
Semakin ngalor ngidul tak karuan apa yang meraka cakapkan. Yang terpenting
mah, sudah pasti, mereka bisa juga ternyata menghindari cekcok pepesan kosong. Itu prestasi.
Malam itu pun ditutup dengan sangat
hebat. Revo berhasil mengusir sejenak kerinduan Lusi akan ibunya. Ketinggian, laut
dan Revo, semuanya Lusi suka. Dan hebat selanjutnya, kabar mengenai akan
diangkatnya Lusi menjadi Pemred adalah titik terang daripada awal kebangkitan
mereka. Semoga saja.
“iya sayang, aku hampir lupa”
“apa?”
“tolong bersihkan nama baik Herwandi
sebagai agenda terselebungmu yang pertama”
“itu pasti !”
“jangan sampai lalai, itu pesan dari
guruku tadi ketika aku bertemu dengannya”
“iya, paham. Sudahlah, mari kita turun
ke tempat yang lebih intim”
“astaga
naga, sudah jam lima rupanya, baiklah Lusiku"
6
“pokoknya kamu harus anterin aku ke
kantooor!!”
“hih, naik apa?”
“naik ini nih”
Lusi merengek. Keluar dari Cangkol
Aventura, Lusi meminta Revo segera mengantarnya ke kantor. Waktu itu pukul tujuh pagi. Mobilnya dia taruh
dan dibiarkan terbengkalai di basement hotel
milik Pamannya itu. Mana ada dia takut perasaan dicuri, semua pegawai kantor
sudah hafal kendaraanya. Kini, dia tengah duduk manis di atas motor kekasihnya.
Revo hanya melongo.

“yakin bu Pemred mau naik honda CB yang
kalau lampu merah harus harap-harap cemas karena takut mogok?”
“iya, asal dianter sama kamu pokoknya”
“jangan aku, Pak Dirman aja ya, mau
engga? Harus mau, oke sip”
“Pak Dirman siapa lagi? suka seenaknya
nyebut-nyebut nama orang”
“Pak Dirman itu nama ayahnya Fairuz,
galak dan kumisan, kamu pasti suka”
“haha, coba telepon Pak Dirmannya mana,
suruh sini dua menit”
“bener?”
“iyalah bener, coba sok”
Revo kemudian mengambil telepon
genggamnya. Dia buka sedikit ponsel pintar itu dengan hanya menyentuh sembari menggeser
layarnya. “Dirman, Dirman, Dirman, ah ini dia” ditemukanlah nomor Pak Dirman.
“halo Pak Dirman”
“iya, ada apa Revo”
“bisa ke Cangkol Aventura tidak”
Lusi meringis menyaksikan kekasihnya
menghubungi Pak Dirman. Mulutnya dia tutup dengan kedua telapak tangan. Lucu
sekali dirimu, Lusi.
“ngapain Pak Dirman harus kesana segala?
Motornya mogok”
“iya Pak mogok, tolong ya Pak, cepet,
dua menit”
“iya, iya, bapak langsung kesana. Kamu jangan
kemana-mana, tunggu saja”
“iya Pak, siap”
Sambungan suara pun kemudian mati. Revo memilih
ikut duduk di motornya. Jok depan diisi Lusi dan jok bagian paling belakang di
pantati oleh Revo.
“kamu serius itu Pak Dirman?”
“serius, tunggu aja”
“ah, gila”
“hahaha”
Hampir tiga batang rokok telah
dihabiskan oleh Revo. Lusi pun sudah bolak-balik kamar mandi sampai empat kali,
dia beser. Selama itu, Pak Dirman belum juga menyapa mereka.
Oh iya, bagi Revo, Pak Dirman itu sudah
seperti ayahnya sendiri. Revo merasa tidak ada orang sebaik Pak Dirman, yang
kadang mau memberikan tempat tidur, bantuan dan makan gratis, di Kota Cirebon. Itu jugalah yang
menjadi alasan, Revo dan Fairuz begitu dekat sampai kadangkala dianggap seperti seorang kakak dan
adik. Mereka itu, bahkan; kuliah duduk bersebelahan, pakaian saling bertukar,
kemana-mana berdua, selalu bersama-sama. Kecuali mandi. Pak Dirman juga merasa tidak ada masalah dengan kebersamaan itu,
malah senang. Lebih jauh, Fairuz itu anak satu-satunya dan dari kecil memang
tidak memiliki teman akrab. Jadi, antara Revo dan Pak Dirman itu sejatinya terjadi
hubungan simbiosis mutualisme, saling menguntungkan.
‘nah itu, Bapak datang, Lus’
“mana-mana?”
“Bapak, sini Pak” Revo melambaikan tangan
tanda pemberitahuan.
“oh nak, iya bapak kesitu”
Pak Dirman segera memarkir honda nya tidak jauh dari tempat Revo
dan Lusi menanti. Berlarinya dia menghampiri sejoli itu.
“mana yang mogoknya?”
“udah engga ada pak”
“yah, berarti Bapak pulang lagi aja ya”
“eh, tunggu dulu Pak, biar motor Bapak
itu Revo aja yang bawa. Bapak nganterin Lusi ke kantor pake motor Revo. Deal?”
“heh, maksudnya gimana sih?” Pak Dirman
heran.
“iya, bapak sekarang anter Lusi gih ke
kantornya. Dia maunya dianter sama Bapak, bukan sama aku”
“emang kamu mau kemana?”
“Revo mau ke kampus Pak, terus pergi
lagi ke pesisir. Mau memberikan materi soal kelautan sama nelayan disana”
“oh”
Sehebat apapun penjelasannya, tetap, itu
tidak menyelesaikan masalah. Pak Dirman semakin bingung. Semenjak istrinya
meninggal, baru pagi ini mungkin, Pak Dirman membonceng seorang wanita lagi.
Muda lagi.
“iya bapak ya, anterin Lusi, nanti Lusi
telat” Lusi kini turun tangan membujuk Pak Dirman.
“yasudah, ayo lah”
Pak Dirman tidak kuasa lagi menolak. Bulu
kuduknya menggidik bila sudah mendengar suara seorang wanita. Memang, Revo dan
Lusi ini keterlaluan, mereka tega mempermainkan orang tua. Jarak dari Kalijaga
ke Cangkol itu jauh, bung, jauh sekali. Namanya orang tua, walaupun seperti
itu, Pak Dirman tetap kalem dan polos. Pak Dirman juga ikhlas, menyalakan,
memanaskan dan mengecek rem motor yang akan dikendarainya untuk mengantar Lusi,
sendiri. “ayo Lusi sini naik, cepat” Pak Dirman memberikan perintah kepada Lusi
untuk segera menunggangi motor bersamanya.
“iya pak” Lusi menjawab cukup bersuara seruan Pak Dirman. Dan untuk
Revo, Lusi tak lupa mencium tangan sebagai tanda izin sebelum pergi. Suaranya lembut, tidak sekeras
ketika meneriaki ajakan Pak Dirman. “aku berangkat ya Vo”
“iya, semangat ya kamu” Revo menjawab
dan melepas kekasihnya dengan satu kecupan di kening. “Pak Dirman hati-hati ya”
“iya Revo, selamat pagi”
“pagi!!! Juga pak”
Begitulah tingkah laku pasangan
muda-mudi berumur setara, dua puluh enam tahun, jika sedang akur. Cukup dimengerti saja, jangan
sampai diikuti. Memalukan, berani sekali mengerjai veteran perang yang pernah
dikirim tugas ke Yordania, Pak Dirman.
*
Lusi telah duduk
manis di kantornya. Dia memulai semua kegiatannya sampai pukul empat sore,
nanti. Pak Dirman juga langsung pulang bersama CB milik Revo.
Di situasi yang
berbeda, Revo telah sampai di kampus kesayangannya di jalan Perjuangan. Bersama
dengan lelaki yang dituduh introvert, Fairuz,
dia duduk-duduk manis di kantin. Dua gelas kopi hitam dan satu piringan penuh
camilan tersaji di hadapan dua homo
academicus itu. Percakapannya masih
sama yakni mencari stimulus untuk mematangkan pergerakan.
.....
(BERSAMBUNG LAGI)
** http://www.digitalchaoscontrol.com/wp-content/uploads/2014/10/Library.jpg
*** https://honda400four.files.wordpress.com/2012/06/1976-honda-cb400f-desperado.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar