1
Cirebon,
Desember 2025
Suatu malam di salah satu Mall di Kota
Cirebon.
Revo dan Lusi masih juga belum menikah.
Padahal, dua periode masa Pemerintahan Kota Cirebon sudah berlalu.
“ah, tidak perlu kita sibuk-sibuk
seperti mereka, menyiapkan rencana pernikahan dan kemudian menjadi bisu satu
sama lain”
“selalu saja kamu mengatakan itu Vo”
“selalu saja kamu mengatakan itu Vo”
“biar saja, biar kamu bosan!” Revo
menyentak cukup keras.
“aku sudah bosan, bahkan sekarang aku
mulai berpikir bagaimana caranya melewati masa tua dengan status tak pernah
menikah”
“baguslah, kurasa itu lebih baik
daripada kamu terus menanyakan hal yang memuakan itu”
“apa, memuakan?” Lusi mengangkat kedua
tangannya untuk menyeka rambut. Dia lanjutkan ucapannya dengan muka yang nampak
memerah “itu mimpi setiap orang Vo, tega sekali kamu sebut itu memuakan”
Ungkapan Revo itu seperti memutar kembali gambaran tentang obituari (berita duka). Lusi, meskipun tidak melukiskannya dalam mimik wajah, tentulah hatinya kini tersayat. Ibunya telah wafat dua tahun lalu. Ayahnya menikah dengan wanita penghibur yang kini sudah pergi jauh tidak terlacak. Harapan hidupnya cuma Revo, tidak ada lagi. Akan tetapi, nyatanya, Lusi tidak pernah mendapatkan kepastian akan masa depannya. Dia malah digantung oleh mimpi dan janji-janji Revo yang tak jua nyata.
Revo sendiri adalah anak seorang pengusaha kaya asal Jakarta. Awalnya, Revo memilih singgah ke Cirebon karena memang murni persoalan kuliah. Lambat laun, seiring menyatunya kehidupan antara dirinya dan Kota Cirebon, Revo mulai peduli terhadap kaum papa yang ditindas. Revo bukan tak ingin tetapi dia selalu berjanji bahwa ketika tugasnya selesai, dia baru akan menikahi Lusi.
Ungkapan Revo itu seperti memutar kembali gambaran tentang obituari (berita duka). Lusi, meskipun tidak melukiskannya dalam mimik wajah, tentulah hatinya kini tersayat. Ibunya telah wafat dua tahun lalu. Ayahnya menikah dengan wanita penghibur yang kini sudah pergi jauh tidak terlacak. Harapan hidupnya cuma Revo, tidak ada lagi. Akan tetapi, nyatanya, Lusi tidak pernah mendapatkan kepastian akan masa depannya. Dia malah digantung oleh mimpi dan janji-janji Revo yang tak jua nyata.
Revo sendiri adalah anak seorang pengusaha kaya asal Jakarta. Awalnya, Revo memilih singgah ke Cirebon karena memang murni persoalan kuliah. Lambat laun, seiring menyatunya kehidupan antara dirinya dan Kota Cirebon, Revo mulai peduli terhadap kaum papa yang ditindas. Revo bukan tak ingin tetapi dia selalu berjanji bahwa ketika tugasnya selesai, dia baru akan menikahi Lusi.
“iya, tapi sorry saja, mimpiku lebih
besar daripada semua orang yang berlagak menjadi pemeluk mimpi itu”
“terserah apa katamu Vo. Mimpimu itu
tidak lebih dari sekedar igauan orang gila yang tidak kunjung waras”
“tau apa kamu soal mimpiku...! tutup
saja mulutmu”
Sehabis itu, sehabis Revo membentaknya,
Lusi pasti diam. Hal yang kemudian Lusi
lakukan setelahnya adalah menyulut rokok
yang sengaja dia sisakan sedari tadi siang. Batinnya membrontak, tetapi, perasaan
cintanya selalu lebih kuat daripada egonya.
Ini bukan kejadian yang pertama. Bagi
mereka, emosi-emosi bak riak itu sudah menjadi sebuah rutinitas yang tidak bisa dihindari.
Kadang mereka tak sadar dimana mereka berbincang. Seperti malam itu contohnya, semua mata pengunjung Mall kelihatan tajam mengawasi. Kebetulan memang tak banyak, hanya sekitar tujuh meja dari tempat makan yang sedang mereka duduki malam itu. Ya, tetapi tetap saja, itu memalukan. Bagi Revo maupun Lusi.
Kadang mereka tak sadar dimana mereka berbincang. Seperti malam itu contohnya, semua mata pengunjung Mall kelihatan tajam mengawasi. Kebetulan memang tak banyak, hanya sekitar tujuh meja dari tempat makan yang sedang mereka duduki malam itu. Ya, tetapi tetap saja, itu memalukan. Bagi Revo maupun Lusi.
“ah, brengsek!”
Revo tiba-tiba saja beranjak. Lelaki berkepala
plontos itu pergi tanpa mengucapkan permisi. Mungkin dia kesal, mungkin juga
dia mulai bosan dengan Lusi.
“napa Vo?”
“diam!”
Uluran tangan Lusi tidak tersambut
dengan baik. Jemari-jemari lentiknya jatuh ke lantai karena penolakan. Revo pun
berlalu memunggungi kedua bola mata Lusi yang melongo.
Sungguh malang Lusi, perasaan
bersalahnya selalu tumbuh setelah pertanyaan yang baginya begitu penting itu.
“sudahlah, besok juga pasti sudah baik
lagi” daripada pasrah pada sikap pesimis, Lusi lebih suka untuk terus menaruh
harap, mengingat dia begitu tahu soal Revo, luar dan dalam.
2
Anggap saja tidak pernah terjadi
apa-apa, “semua baik-baik saja” kata Lusi untuk mengusir penat yang
mengurungnya. Sudah masuk seminggu semenjak kejadian mencekam malam itu,
keduanya tak bertemu. Biasanya tak pernah selama ini. Beruntunglah Lusi, dia
masih memiliki kesibukan yang sedikit mengurangi rindunya.
Di balik jendela kantor pusat “Harian Pentjerahan Cirebon”, wajah Lusi muncul begitu tipis. Matanya yang lembut terlihat
sangat sigap memandangi setiap sudut, Kota Cirebon. Gedung-gedung berebut tinggi menamapilkan pemandangan yang metropolis. Taman-taman tertutup dan hanya menyisakan pohon-pohon besar, itupun tak lebih mencolok. Bagi Lusi, jelas, masa kecilnya tidak bisa lagi dikenang karena semuanya telah hilang terendap beton dan dibumihanguskan oleh pemodal. Kadang Lusi bersedih, tapi apa hendak dikata, dia hanya seorang rakyat. "ah tidak peduli lah" Lusi menggoreskan tangannya dan memilih tetap menulis-nulis
kecil. Kepalanya menunduk sesekali.
“semoga besok, apa yang dicita-citakan itu muncul”
Lusi adalah orang yang tidak pernah
buru-buru dalam bertindak. Wanita kurus dengan rambut terurai panjang itu,
selalu percaya akan hari esok. Baginya “mimpi adalah apa yang dimulai hari ini
dan hari esok adalah raihannya”.
Sebenarnya, Lusi tidak pernah berminat
menjadi pegawai salah satu koran di Kota Cirebon. Selain daripada budaya
pemberitaan yang manipulatif, nalar kritis media yang mulai hilang pun menjadi
alasan mengapa Lusi malas menjadi bagian daripada kebohongan. Tapi, tidak ada suatu pilihan lain, hanya dari gedung tinggi itulah Lusi dapat melukiskan pandangan akan
masa depannya.
“hai Lus, selamat pagi”
“pagi Pak Imam”
Pak Imam adalah rekan kerja Lusi. Usia
Pak Imam sepertinya sudah berkepala lima. Masih dengan gayanya, lelaki tua
dengan kemeja putih itu hadir terlambat sembari membawa secangkir kopi. “Ngantuk” katanya kalau tidak ngopi.
“coretan apa itu, bisa bapak lihat?”
“ah engga pak, biasa aja kok”
“wah, sepertinya kamu jago juga melukis
juga ya” Pak Imam belum sempat duduk. Dia menyempatkan diri mengambil secarik
kertas milik Lusi dan dipandanginya secara seksama. “kenapa gak kerja menjadi
arsitek saja?” katanya.
“iseng saja kok ini, pak. Ya, tapi
memang sih, dulu di ITB aku mengambil gelar sarjana sebagai arsitek pak”
“wah baru tau aku rekan sekantorku keren
sekali. Yauda, kapan waktu bisa lah dek Lusi membuatkan ilustrasi untuk rumah
bapak yang baru”
“haha, diusahakan ya pak” Lusi membalas
sembari meraih kertas catatannya dari tangan Pak Imam. “terima kasih pak,
jangan lama-lama dilihatnya, Lusi malu”
Selepas kehadiran Pak Imam, pasti saja,
satu persatu lampu kantor kemudian mati. Meja-meja yang nampak berhimpitan mulai menyajikan tampilan komputer yang memang diatur otomatis menyala. Lukisan yang terpampang di lantai delapan kantor tersebut, dari mulai karya klasik Affandi sampe cetakan tegak bersambung Sapardi Djoko Damono, kini tidak lagi terlihat terang karena cahaya yang meredup. Masih sepi, belum ramai dan Lusi lalu membuka jendela secukupnya
agar cahaya matahari bisa sedikit masuk.
“ah, ini pasti sudah pukul delapan pagi”
Lusi mengeluh kecil, punggungnya dia dorong ke belakang kursi sambil menarik
kedua tangannya ke belakang kepala. Hal itu dia lakukan sebagai tanggapan atas
rutinitas yang menjemukan.
Lusi kini memilih untuk mengakhiri orat-oretannya. Pikirannya kembali
menjadi Lusi yang merindukan gelak tawa seorang Revo. Tetesan embun yang
menempel di ujung-ujung kaca seolah mewakili tangisnya yang dia sisakan di
dalam hati. Malang sekali memang, Lusi.
“kamu kok nampak lesu sekali pagi ini?”
Pak Imam, yang meja kerjanya hanya
dipisahkan oleh pembatas alumunium, mencoba memecah lamunan Lusi. Kembali dan
kembali Bapak berumur itu mengganggu koleganya.
“hei, dek Lusi, hey!”
“eh pak gimana” wanita berparas oriental
itu secara cepat memalingkan wajahnya. Cukup kaget juga dia dengan tangan Pak
Imam yang bergerak ke atas dan ke bawah tepat di hadapan wajahnya. “ah engga
pak, belum sempat makan pagi aja tadi”
“makan dulu lah, lagian kerja kita ini
kan gak penting-penting amat” Pak Imam cukup fasih menarasikan ucapnnya. Dia
meneruskan “fakta yang kita berikan itu Lus, paling juga setelah dicetak
hasilnya berubah sesuai keinginan redaksi”.
“begitu ya pak” Lusi menjawab gumaman
itu dengan longokan yang datar.
Pak Imam tak berhenti sampai disitu, Dia
meyakinkan “Aku nanti yang tanggung jawab kalau ada yang tanya kemana kau pergi”
“haha, Pak Imam sepertinya sudah begitu
hafal. Tapi nanti saja lah pak makannya, belum lapar”
“terserahlah kalau begitu, yang penting
kau sudah bapak ingatkan”
Seruak-seruak kecil mentari yang tak
begitu terang, seperti menjadi saksi daripada dua manusia yang membosankan itu.
Yang muda tak kunjung menurut dan yang tua selalu saja ingin segera
dilaksanakan perintahnya.
“Hei Lus” Pak Imam mengecilkan volume
suaranya “ngomong-ngomong, jangan kau rekam ungkapan bapak yang tadi ya,
bercanda saja itu”
Pak Imam menunduk sambil menutup
mulutnya dengan satu jari telunjuk. Dia keceplosan atau lebih halus mungkin kelupaan. Dengan logat Medannya yang masih melekat, meskipun sudah
dua puluh tahun dia hidup di Cirebon, Pak Imam segera mungkin meralat.
“haha, dasar Pak Imam ini, siap pak!”
Lusi membalas dengan hormat.
Yah, tak dinyana, lagi-lagi Lusi
tersenyum. Pak Imam gagal untuk kesekian kalinya dalam hal memojokan Lusi. Dan artinya juga, pagi itu tidak lebih dari sekedar obrolan sampah yang masih tetap saja basi.
Perlu diakui, memang cukup sulit bagi
orang lain untuk tahu rahasia-rahasia Lusi. Bahkan, sekedar soal keinginan
menikahnya saja, dia tertutup.
Kita doakan saja, bilamana, suatu saat nanti akan datang orang yang kepadanya dia dapat berbicara banyak hal.
BERSAMBUNG
link sambungan 2 :
http://demokrasi-bangamal.blogspot.com/2015/01/avast-sambungan-ii.html
link sambungan 3 :
http://demokrasi-bangamal.blogspot.com/2015/01/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html
link sambungan 4 :
http://demokrasi-bangamal.blogspot.com/2015/01/normal-0-false-false-false-in-x-none-x_25.html
link sambungan 5 :
http://demokrasi-bangamal.blogspot.com/2015/01/avast-sambungan-v.html
link sambungan 2 :
http://demokrasi-bangamal.blogspot.com/2015/01/avast-sambungan-ii.html
link sambungan 3 :
http://demokrasi-bangamal.blogspot.com/2015/01/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html
link sambungan 4 :
http://demokrasi-bangamal.blogspot.com/2015/01/normal-0-false-false-false-in-x-none-x_25.html
link sambungan 5 :
http://demokrasi-bangamal.blogspot.com/2015/01/avast-sambungan-v.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar