3
Kost
Revo, 23 Januari 2026
Sementara itu, di tempat yang lain, di tempat yang teramat sangat terkucil, di tempat yang sepi dari hingar bingar, dua orang sahabat sedang berdebat seru. Pentjerahan Tower pun, tempat Lusi bekerja, bahkan tak akan sanggup mengintip laku keduanya.
“Vo, sini sebentar Vo, penting”
“kenapa Fay”
“coba, baca deh koran Pentjerahan
Cirebon ini”
Revo mencermati betul setiap halaman
yang disuguhkan oleh Fairuz, kawannya. Pada bagian depan media kontemporer itu terpampang pria
berbadan tegap berpakaian jaksa. Dengan sedikit musam di wajah, pria tersebut
benar-benar seperti penjagal era jahiliyah.
Matanya bulat dan besar dengan kumis tebal hampir menutupi bibirnya.
“ah brengsek, benar-benar keterlaluan
media itu, selalu memberitakan apa yang tidak seharusnya diberitakan dan itu
pun kebohongan”
Revo memuncak, koran dimana kekasihnya
bekerja itu, dia lempar hingga menjulang. Koran itu terbang menabrak atap kamar
kostnya yang memang tidak begitu tinggi. Kemudian, koran itu jatuh kembali ke
bawah dalam posisi yang berserak-serakan.
Fairuz memperhatikan dengan tenang. Baginya, geleng-geleng kepala di hadapan Revo itu sudah cukup berani, dan itulah yang sedang dia lakukan. “ckckck’ sesekali ngecrek.
Fairuz memperhatikan dengan tenang. Baginya, geleng-geleng kepala di hadapan Revo itu sudah cukup berani, dan itulah yang sedang dia lakukan. “ckckck’ sesekali ngecrek.
“kenapa kamu menggeleng-geleng kepala?
tidak suka melihat aku memaki-maki pengecut? Ini adalah bentuk pembodohan
rakyat oleh media”
“bukan begitu Vo, dua bulan kita belum
bayar kost, jangan sampai gara-gara amarahmu itu kita justeru malah disuruh
mengganti langit-langit yang rusak”
“santailah, kita ini pejuang, kita
diberikan garansi oleh negara. Sekedar atap rusak saja mah kecil”
“iya, kalau diberikan garansi. Yang ada
kita dianggap musuh negara Vo!” Fairuz memalingkan wajahnya sedikit. Muak
rasanya, dia seperti ingin meludah tapi tak memiliki tempat yang pas.
“memang bedebah, aku sampai menyimpulkan
bahwa negara ini adalah negara yang lebih suka dengan orang pintar yang dungu
dibandingkan anak muda yang visioner”
“tepat! untuk hal ini aku setuju
denganmu !”
Merasa memperoleh dukungan, Revo kembali
berorasi “sebab itu Fay, bagaimana mungkin kita yang tahu caranya membentangkan
layar dan menjalankan perahu lalu memilih diam? Ini konyol, kita harus segera
melawan”
Sudah semenjak tiga hari yang lalu, Kota
Cirebon mengalami ketegangan hebat. Ketua Partai Komunis Cirebon, Haji Suripto,
dilarikan ke rumah sakit karena tangannya tertembak oleh seorang yang sampai
saat ini belum ditemukan. Sementara lawan politiknya, Gery dan Bung Roim,
sedang menikmati kursi manis dengan segala tombol kuasanya sebagai walikota dan
wakil walikota. Poster-poster propaganda dan isu-isu kudeta tak lagi asing di
dengar gendang telinga. Dalam ketegangan itu, Revo beserta kawan-kawannya
memilih jalan ketiga, yaitu Sosialis Demokratik.
Gerakan yang mereka bangun memang
terhitung baru. Sehingga, tempat berkumpulnya pun tak jelas, mirip-mirip suku
nomad pada zaman dahulu kala.
Beberapa politikus handal menganggap
bahwa gerakan mereka cemerlang. Namun, di lain pihak, mereka seperti dimusuhi
oleh dua kubu sekaligus karena dianggap sebagai kumpulan utopis. Bagaimana
tidak, kadangkala suatu hari mereka menyerang kongsi liberal dan besoknya,
mereka bisa berbalik stir membombardir langkah-langkah pihak komunis.
“apa yang kita lakukan Vo bila sudah
begini?”
Fairuz menyeka keringatnya sedikit. Kaos
dalamnya kini telah tertutup rapat oleh kaos bergambar tokoh kemanusiaan,
Mahatma Ghandi. Wajahnya merengut ketika lontaran kata itu terbang dari
mulutnya.
“kamu tau Fay? Apa yang lebih buruk
daripada sebuah perjuangan?”
“tidak Vo, sama sekali aku tidak tahu”
“yang lebih buruk daripada sebuah perjuangan adalah mundur, dan lari, untuk kemudian
memilih menjadi bagian daripada sistem yang kita tolak mati-matian”
"mungkin kamu bisa mempersingkatnya dengan sebutan oportunis, Vo"
"ya, benar, oportunis"
"mungkin kamu bisa mempersingkatnya dengan sebutan oportunis, Vo"
"ya, benar, oportunis"
Fairuz masih belum paham betul.
Pertanyaan yang diutarakan olehnya seperti diabaikan bak angin lalu. Kini dia
mulai jenuh, pelan-pelan tangannya menggaruk-garuk kepala tak gatal. “lalu apa
vo? Langsung saja pada intinya!”
“aku akan mengumpulkan orang cangkol dan
bertemu dengan pemuda Kasepuhan, ku dengar, pemikir yang malu-malu itu sedang
berada di rumahnya. Kau tetap seperti biasa, menulis dan menyuruh kawan-kawan
perpustakaan Just.Lib untuk membuat sebanyak mungkin mural perlawanan. Jangan
lupa juga Fay...”
“apa Vo?” Fairuz heran namun tetap
cermat menanti lanjutan kalimat yang patah itu.
“hubungi Pak Gatot, siapa tahu dia bisa
membantu kita”
Sepertinya, isi koran pagi itu memang
cukup memantik geriliyawan untuk bertarung. Kabar mengenai penetapan tersangka
salah seorang pejuang Sosialis Demokratik, yang duduk di parlemen, cukup
mengejutkan mereka. Seperti itulah hukum, dan bukan barang asing lagi apabila
labelisasi kuat yang dimilikinya seringkali digunakan untuk membunuh hidup
seseorang. Tak ubahnya pedang Umar bin Khatab yang memiliki dua ujung mata tajam,
Revo dan Fairuz tidak tinggal diam dengan keadaan ini. Mereka akan melakukan ultimatum besar-besaran, sepertinya.
4
Kasepuhan,
24 Januari 2026
Cirebon sama seperti Jojga dan juga Solo
yakni memiliki sejarah panjang kerajaan Islam. Ada tiga Keraton ternama di Kota itu, yang terdiri dari Keraton Kanoman, Keraton Kaprabonan dan Keraton Kacirebonan. Namun, Keraton yang paling terkenal di Kota Cirebon itu adalah
Keraton Kasepuhan. Letaknya di desa Kasepuhan, desa dimana Pemikir malu-malu
yang akan didatangi oleh Revo itu, tinggal.
“halo-halo, sini silahkan masuk mas Revo
jangan sungkan”
“terima kasih bung”
Kepala Revo sedikit menunduk menunjukan
hormat. Dia tidak kuat menaikan kepala untuk menajamkan tatapan ke depan. Dia
bahkan sampai lupa untuk melepas kaos kakinya. Gayanya tidak lebih dari seekor
kucing jalanan yang mendadak diberi ruang layaknya Kucing Persia.
Cukup lama juga Revo merendahkan batok
yang berisi otaknya itu. Mengherankan memang, apa yang aneh dari seorang pria
berjanggut tipis dan berjidat mengkilap itu? apakah mungkin Revo melihat belati
dari sorotan mata yang sayu dan terkesan terpejam itu? goyangan rumput pun
mungkin hanya diam ketika disodorkan oleh pertanyaan konyol macam itu. Biarlah
itu menjadi teka-teki yang nanti Revo harus menjawabnya.
Sesaat kemudian, Revo diizinkan masuk ke
dalam ruang tengah rumah tersebut. Dia memilih duduk bersila di atas karpet.
Lelaki yang menyambut kedatangannya menyusul, ikut duduk.
“ada apa, bagaimana keadaan kota saat
ini?”
“e, ini bung, e”
Revo mendadak gagu. Dia seperti
terpenjara dalam kerubungan kata-kata yang menyulitkannya untuk bicara. Ini
seperti bukan Revo yang biasanya, tidak teriak-teriak tidak pula lugas. Tetapi
memang begitulah Revo, dia selalu malu apabila harus bertukar pikir dengan
lawan bicara yang lebih menguasai daripada dirinya.
Bagimana tidak, Pemikir malu-malu yang
kini tengah duduk seperti orang pengajian itu, adalah seorang senior yang telah
lebih dulu malang-melintang di Kota Cirebon. Meskipun kuliahnya dihabiskan
selama enam tahun di Jawa Tengah, jejak dan legacy
nya terhadap Kota Cirebon tidak bisa terlupakan. Kelas-kelas rakyat,
mahasiswa dan anak SMA adalah oleh-olehnya yang hingga kini masih hidup serta
berkembang. Pemikir malu-malu itu juga pernah membongkar beberapa kasus yang
dianggap tidak pro terhadap rakyat dan juga kebenaran. Salah satunya adalah
pembangunan kembali bendungan –yang diurug paksa oleh Pemerintah atas anjuran
Perusahaan –yang mengakibatkan banjir besar. Lebih jauh, Pemikir malu-malu itu
disegani karena tidak pernah merasa menuakan diri.
“katakan saja Vo, anggaplah aku ini
sebagai kawan seperjuanganmu. Meskipun usia, jangkauan dan medan kita berbeda,
tetapi aku yakin, visi dan misi kita mengenai harus bagaimana kota ini dibangun
adalah sama”
“begini bung, kemarin Herwandi
ditetapkan sebagai tersangka. Dan hari ini dia didorong untuk segera ditahan.
Dia seperti dipukuli tanpa sebab dan tidak diperbolehkan melawan. Hanya Tuhan
dan orang-orang yang iba sajalah yang bisa menyeretnya dari kepungan-kepungan
hitam itu, bung”
“ah, sudah kuduga, pasti ini kerja sama
media dan politikus. Awalnya mereka membangun stigma, lalu menelurkan
benih-benih seolah-olah itu benar dan kemudian mengeksekusi. Itu gaya Neofasis
masa kini, tak beda jauh dengan taktik argumentum
ad neseum ala Joseph Goebels, Vo” Pemikir malu-malu itu kemudian menghisap
rokoknya keras. Kaki kirinya dilipat hingga dengkulnya menonjol dari balik
sarung. Dia seperti memberikan kesempatan untuk Revo merenungkan
diktum-diktumnya. “lalu, apa yang hendak kamu dan anak-anak lain lakukan
sebagai bentuk menyikapi kenyataan ini?”
“tentu kami melawan bung. Secepatnya
dalam seminggu ini gerakan aksi massa akan digalakan. Poster-poster akan kami
sebar dan demonstrasi di dekat gedung berlantai delapan itu akan kami
laksanakan. Materi tuntutannya adalah tegakan keadilan dan menolak politisasi
hukum!”
Meskipun untuk menyentuh sampul buku
saja jarang dilakukan oleh Revo, tetapi, soal wawasan dia bisa dikatakan cukup
mumpuni. Isunya bernas dan naga-naganya berusaha untuk membangkitkan kembali
hukum progresif hasil kembangan Prof Satjipto dari Semarang.
Hukum memang, apabila sudah semakin
positif, alurnya cenderung tidak lagi bermuara pada keadilan. Pasal-pasal karet
digunakan sebagai sebuah formalitas saja. Inti daripada tujuannya kemudian
disimpangkan menjadi pendzholiman yang terstruktur dengan seakan-seakan itu
adalah kebenaran.
“oh, begitu. Boleh aku bertanya padamu Vo?”
“iya bung, dengan senang hati”
“tujuanmu datang kesini untuk apa?”
“yang pertama tentu, meminta pandangan
politik dan selanjutnya meminta bung untuk turun bersama kami memenuhi
dinding-dinding jalan”
Revo langsung pada tujuan pokok. Dia
tidak bertele-lele karena bagaimanapun dia butuh dukungan dari akademisi untuk
meligitimasi tindakannya. Apabila seruannya itu berhasil menarik Pemikir
malu-malu, gerakan yang akan dilaksanakan dalam seminggu ke depan itu seperti
cahaya meteor yang merona-rona. Tidak bisa dibayangkan gemuruhnya.
Jika hendak dihitung, mungkin ini adalah
ajakan yang kepuluhan kalinya dilakukan oleh aktivis-aktivis agar Pemikir
malu-malu itu mengekor pada mereka. Akan tetapi, berdasarkan pengalaman, semua
proposal untuk menginjak aspal lama-lama itu selalu saja ditolak.
“Vo, aku hargai usahamu. Sudah mampir
jauh-jauh. Sudah mau berbincang sampai membawakan hasil pancingan nelayan ke
rumahku. Tapi maaf Vo, seperti yang lainnya, aku tidak bisa. Aku bukan
politisi, bukan pula praktisi, aku ini akademisi. Aku melawan dengan caraku Vo.
Sekali lagi maaf, dan penolakanku ini Vo, bukan berarti aku tidak berjuang
seperti kalian yang turun ke jalan, hanya saja cara kita berbeda”
“saya sudah tahu jawaban ini bung,
jawaban yang sama dengan ketika saya mengajak bung untuk pertama kalinya, satu
tahun yang lalu”
Revo rupanya kecewa. Wajahnya lesu dan
tak bertenaga. Cakranya seperti hilang dihisap oleh kesedihan.
“kamu sudah tahu Vo, tanpa aku turun,
kamu itu sudah punya dua nyawa”
“maksud bung?”
“ya, kamu, pembela kebenaran itu
memiliki dua nyawa. Nyawa yang pertama adalah nyawa yang diberikan Tuhan
kepadamu, dan nyawa yang kedua adalah buah pikirmu yang tak akan lekang dimakan
oleh sang waktu. Kamu harus bangga pada dirimu”
“apakah bung tidak mau juga memiliki dua
nyawa?”
“aku rasa, tanpa perlu kamu bertanya
soal itu, kamu selayaknya sudah tahu bahwa aku telah memiliki itu juga.
Mahasiswaku, yang mungkin juga menjadi bagian daripada barisanmu adalah nyawaku
yang kedua. Tulisanku, yang kadang-kadang menjadi rujukanmu, itu adalah nyawaku
yang ketiga”
Cukup haru juga, Pemikir malu-malu
menyampaikan itu pada Revo. Matanya menadadak tak lancip bak ujung panah Arjuna.
Buliran yang mengembun terlihat namun secara kasat.
Kadangkala menampilkan emosi itu perlu,
setidaknya untuk tahu bahwa kita memiliki perasaan. Revo, pun seringkali
melakukan hal itu. Momen ini, bukanlah momen yang tepat untuk emosi yang
meledak-ledak tetapi cukup dikhayati saja.
“baiklah bung, mendengar bung mendukung
langkah kami saja itu sudah cukup
rasanya untuk membuat bung seolah-olah ada diantara kami”
“terima kasih untuk pemahamanmu yang
begitu jernih. Aku menaruh harapan besar padamu, setidaknya untuk dua tahun
ini, kamu pasti bisa”
Keduanya jatuh dalam bayangan
masing-masing. Tidak ada diksi-diksi yang apik setelahnya. Semilir angin
mendadak lebih kencang dari suara makhluk yang berpikir.
“Vo?”
“apa bung?”
“aku ingatkan padamu, jangan ragu-ragu
karena orang yang ragu-ragu tidak akan pernah sampai pada tujuan !!”
Sehabis itu, Revo segera pergi, karena nanti malam dia harus bertemu dengan orang yang lain, yang lebih spesial.
Sehabis itu, Revo segera pergi, karena nanti malam dia harus bertemu dengan orang yang lain, yang lebih spesial.
BERSAMBUNG (LAGI)
* gambar buatan amal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar