Rabu, 21 Januari 2015

AVAST ! (sambungan II)



3

Kost Revo, 23 Januari 2026
Sementara itu, di tempat yang lain, di tempat yang teramat sangat terkucil, di tempat yang sepi dari hingar bingar, dua orang sahabat sedang berdebat seru. Pentjerahan Tower pun, tempat Lusi bekerja, bahkan tak akan sanggup mengintip laku keduanya.

“Vo, sini sebentar Vo, penting”
“kenapa Fay”
“coba, baca deh koran Pentjerahan Cirebon ini”

Revo mencermati betul setiap halaman yang disuguhkan oleh Fairuz, kawannya. Pada bagian depan media kontemporer itu terpampang pria berbadan tegap berpakaian jaksa. Dengan sedikit musam di wajah, pria tersebut benar-benar seperti penjagal era jahiliyah. Matanya bulat dan besar dengan kumis tebal hampir menutupi bibirnya.

“ah brengsek, benar-benar keterlaluan media itu, selalu memberitakan apa yang tidak seharusnya diberitakan dan itu pun kebohongan”

Revo memuncak, koran dimana kekasihnya bekerja itu, dia lempar hingga menjulang. Koran itu terbang menabrak atap kamar kostnya yang memang tidak begitu tinggi. Kemudian, koran itu jatuh kembali ke bawah dalam posisi yang berserak-serakan.

Fairuz memperhatikan dengan tenang. Baginya, geleng-geleng kepala di hadapan Revo itu sudah cukup berani, dan itulah yang sedang dia lakukan. “ckckck’ sesekali ngecrek.

“kenapa kamu menggeleng-geleng kepala? tidak suka melihat aku memaki-maki pengecut? Ini adalah bentuk pembodohan rakyat oleh media”
“bukan begitu Vo, dua bulan kita belum bayar kost, jangan sampai gara-gara amarahmu itu kita justeru malah disuruh mengganti langit-langit yang rusak”
“santailah, kita ini pejuang, kita diberikan garansi oleh negara. Sekedar atap rusak saja mah kecil”
“iya, kalau diberikan garansi. Yang ada kita dianggap musuh negara Vo!” Fairuz memalingkan wajahnya sedikit. Muak rasanya, dia seperti ingin meludah tapi tak memiliki tempat yang pas.
“memang bedebah, aku sampai menyimpulkan bahwa negara ini adalah negara yang lebih suka dengan orang pintar yang dungu dibandingkan anak muda yang visioner”
“tepat! untuk hal ini aku setuju denganmu !”

Merasa memperoleh dukungan, Revo kembali berorasi “sebab itu Fay, bagaimana mungkin kita yang tahu caranya membentangkan layar dan menjalankan perahu lalu memilih diam? Ini konyol, kita harus segera melawan”

Sudah semenjak tiga hari yang lalu, Kota Cirebon mengalami ketegangan hebat. Ketua Partai Komunis Cirebon, Haji Suripto, dilarikan ke rumah sakit karena tangannya tertembak oleh seorang yang sampai saat ini belum ditemukan. Sementara lawan politiknya, Gery dan Bung Roim, sedang menikmati kursi manis dengan segala tombol kuasanya sebagai walikota dan wakil walikota. Poster-poster propaganda dan isu-isu kudeta tak lagi asing di dengar gendang telinga. Dalam ketegangan itu, Revo beserta kawan-kawannya memilih jalan ketiga, yaitu Sosialis Demokratik.

Gerakan yang mereka bangun memang terhitung baru. Sehingga, tempat berkumpulnya pun tak jelas, mirip-mirip suku nomad pada zaman dahulu kala.

Beberapa politikus handal menganggap bahwa gerakan mereka cemerlang. Namun, di lain pihak, mereka seperti dimusuhi oleh dua kubu sekaligus karena dianggap sebagai kumpulan utopis. Bagaimana tidak, kadangkala suatu hari mereka menyerang kongsi liberal dan besoknya, mereka bisa berbalik stir membombardir langkah-langkah pihak komunis.

“apa yang kita lakukan Vo bila sudah begini?”

Fairuz menyeka keringatnya sedikit. Kaos dalamnya kini telah tertutup rapat oleh kaos bergambar tokoh kemanusiaan, Mahatma Ghandi. Wajahnya merengut ketika lontaran kata itu terbang dari mulutnya.

“kamu tau Fay? Apa yang lebih buruk daripada sebuah perjuangan?”
“tidak Vo, sama sekali aku tidak tahu”
“yang lebih buruk daripada sebuah perjuangan adalah mundur, dan lari, untuk kemudian memilih menjadi bagian daripada sistem yang kita tolak mati-matian”
"mungkin kamu bisa mempersingkatnya dengan sebutan oportunis, Vo"
"ya, benar, oportunis"

Fairuz masih belum paham betul. Pertanyaan yang diutarakan olehnya seperti diabaikan bak angin lalu. Kini dia mulai jenuh, pelan-pelan tangannya menggaruk-garuk kepala tak gatal. “lalu apa vo? Langsung saja pada intinya!”

“aku akan mengumpulkan orang cangkol dan bertemu dengan pemuda Kasepuhan, ku dengar, pemikir yang malu-malu itu sedang berada di rumahnya. Kau tetap seperti biasa, menulis dan menyuruh kawan-kawan perpustakaan Just.Lib untuk membuat sebanyak mungkin mural perlawanan. Jangan lupa juga Fay...”
“apa Vo?” Fairuz heran namun tetap cermat menanti lanjutan kalimat yang patah itu.
“hubungi Pak Gatot, siapa tahu dia bisa membantu kita”
“itu pasti”

Sepertinya, isi koran pagi itu memang cukup memantik geriliyawan untuk bertarung. Kabar mengenai penetapan tersangka salah seorang pejuang Sosialis Demokratik, yang duduk di parlemen, cukup mengejutkan mereka. Seperti itulah hukum, dan bukan barang asing lagi apabila labelisasi kuat yang dimilikinya seringkali digunakan untuk membunuh hidup seseorang. Tak ubahnya pedang Umar bin Khatab yang memiliki dua ujung mata tajam, Revo dan Fairuz tidak tinggal diam dengan keadaan ini. Mereka akan melakukan ultimatum besar-besaran, sepertinya.

4

Kasepuhan, 24 Januari 2026

Cirebon sama seperti Jojga dan juga Solo yakni memiliki sejarah panjang kerajaan Islam. Ada tiga Keraton ternama di Kota itu, yang terdiri dari Keraton Kanoman, Keraton Kaprabonan dan Keraton Kacirebonan. Namun, Keraton yang paling terkenal di Kota Cirebon itu adalah Keraton Kasepuhan. Letaknya di desa Kasepuhan, desa dimana Pemikir malu-malu yang akan didatangi oleh Revo itu, tinggal.

“halo-halo, sini silahkan masuk mas Revo jangan sungkan”
“terima kasih bung”

Kepala Revo sedikit menunduk menunjukan hormat. Dia tidak kuat menaikan kepala untuk menajamkan tatapan ke depan. Dia bahkan sampai lupa untuk melepas kaos kakinya. Gayanya tidak lebih dari seekor kucing jalanan yang mendadak diberi ruang layaknya Kucing Persia.

Cukup lama juga Revo merendahkan batok yang berisi otaknya itu. Mengherankan memang, apa yang aneh dari seorang pria berjanggut tipis dan berjidat mengkilap itu? apakah mungkin Revo melihat belati dari sorotan mata yang sayu dan terkesan terpejam itu? goyangan rumput pun mungkin hanya diam ketika disodorkan oleh pertanyaan konyol macam itu. Biarlah itu menjadi teka-teki yang nanti Revo harus menjawabnya.

Sesaat kemudian, Revo diizinkan masuk ke dalam ruang tengah rumah tersebut. Dia memilih duduk bersila di atas karpet. Lelaki yang menyambut kedatangannya menyusul, ikut duduk.

“ada apa, bagaimana keadaan kota saat ini?”
“e, ini bung, e”

Revo mendadak gagu. Dia seperti terpenjara dalam kerubungan kata-kata yang menyulitkannya untuk bicara. Ini seperti bukan Revo yang biasanya, tidak teriak-teriak tidak pula lugas. Tetapi memang begitulah Revo, dia selalu malu apabila harus bertukar pikir dengan lawan bicara yang lebih menguasai daripada dirinya.

Bagimana tidak, Pemikir malu-malu yang kini tengah duduk seperti orang pengajian itu, adalah seorang senior yang telah lebih dulu malang-melintang di Kota Cirebon. Meskipun kuliahnya dihabiskan selama enam tahun di Jawa Tengah, jejak dan legacy nya terhadap Kota Cirebon tidak bisa terlupakan. Kelas-kelas rakyat, mahasiswa dan anak SMA adalah oleh-olehnya yang hingga kini masih hidup serta berkembang. Pemikir malu-malu itu juga pernah membongkar beberapa kasus yang dianggap tidak pro terhadap rakyat dan juga kebenaran. Salah satunya adalah pembangunan kembali bendungan –yang diurug paksa oleh Pemerintah atas anjuran Perusahaan –yang mengakibatkan banjir besar. Lebih jauh, Pemikir malu-malu itu disegani karena tidak pernah merasa menuakan diri.

“katakan saja Vo, anggaplah aku ini sebagai kawan seperjuanganmu. Meskipun usia, jangkauan dan medan kita berbeda, tetapi aku yakin, visi dan misi kita mengenai harus bagaimana kota ini dibangun adalah sama”
“begini bung, kemarin Herwandi ditetapkan sebagai tersangka. Dan hari ini dia didorong untuk segera ditahan. Dia seperti dipukuli tanpa sebab dan tidak diperbolehkan melawan. Hanya Tuhan dan orang-orang yang iba sajalah yang bisa menyeretnya dari kepungan-kepungan hitam itu, bung”
“ah, sudah kuduga, pasti ini kerja sama media dan politikus. Awalnya mereka membangun stigma, lalu menelurkan benih-benih seolah-olah itu benar dan kemudian mengeksekusi. Itu gaya Neofasis masa kini, tak beda jauh dengan taktik argumentum ad neseum ala Joseph Goebels, Vo” Pemikir malu-malu itu kemudian menghisap rokoknya keras. Kaki kirinya dilipat hingga dengkulnya menonjol dari balik sarung. Dia seperti memberikan kesempatan untuk Revo merenungkan diktum-diktumnya. “lalu, apa yang hendak kamu dan anak-anak lain lakukan sebagai bentuk menyikapi kenyataan ini?”
“tentu kami melawan bung. Secepatnya dalam seminggu ini gerakan aksi massa akan digalakan. Poster-poster akan kami sebar dan demonstrasi di dekat gedung berlantai delapan itu akan kami laksanakan. Materi tuntutannya adalah tegakan keadilan dan menolak politisasi hukum!”

Meskipun untuk menyentuh sampul buku saja jarang dilakukan oleh Revo, tetapi, soal wawasan dia bisa dikatakan cukup mumpuni. Isunya bernas dan naga-naganya berusaha untuk membangkitkan kembali hukum progresif hasil kembangan Prof Satjipto dari Semarang.

Hukum memang, apabila sudah semakin positif, alurnya cenderung tidak lagi bermuara pada keadilan. Pasal-pasal karet digunakan sebagai sebuah formalitas saja. Inti daripada tujuannya kemudian disimpangkan menjadi pendzholiman yang terstruktur dengan seakan-seakan itu adalah kebenaran.

“oh, begitu. Boleh aku bertanya padamu Vo?”
“iya bung, dengan senang hati”
“tujuanmu datang kesini untuk apa?”
“yang pertama tentu, meminta pandangan politik dan selanjutnya meminta bung untuk turun bersama kami memenuhi dinding-dinding jalan”

Revo langsung pada tujuan pokok. Dia tidak bertele-lele karena bagaimanapun dia butuh dukungan dari akademisi untuk meligitimasi tindakannya. Apabila seruannya itu berhasil menarik Pemikir malu-malu, gerakan yang akan dilaksanakan dalam seminggu ke depan itu seperti cahaya meteor yang merona-rona. Tidak bisa dibayangkan gemuruhnya.

Jika hendak dihitung, mungkin ini adalah ajakan yang kepuluhan kalinya dilakukan oleh aktivis-aktivis agar Pemikir malu-malu itu mengekor pada mereka. Akan tetapi, berdasarkan pengalaman, semua proposal untuk menginjak aspal lama-lama itu selalu saja ditolak.

“Vo, aku hargai usahamu. Sudah mampir jauh-jauh. Sudah mau berbincang sampai membawakan hasil pancingan nelayan ke rumahku. Tapi maaf Vo, seperti yang lainnya, aku tidak bisa. Aku bukan politisi, bukan pula praktisi, aku ini akademisi. Aku melawan dengan caraku Vo. Sekali lagi maaf, dan penolakanku ini Vo, bukan berarti aku tidak berjuang seperti kalian yang turun ke jalan, hanya saja cara kita berbeda”
“saya sudah tahu jawaban ini bung, jawaban yang sama dengan ketika saya mengajak bung untuk pertama kalinya, satu tahun yang lalu”

Revo rupanya kecewa. Wajahnya lesu dan tak bertenaga. Cakranya seperti hilang dihisap oleh kesedihan.

“kamu sudah tahu Vo, tanpa aku turun, kamu itu sudah punya dua nyawa”
“maksud bung?”
“ya, kamu, pembela kebenaran itu memiliki dua nyawa. Nyawa yang pertama adalah nyawa yang diberikan Tuhan kepadamu, dan nyawa yang kedua adalah buah pikirmu yang tak akan lekang dimakan oleh sang waktu. Kamu harus bangga pada dirimu”
“apakah bung tidak mau juga memiliki dua nyawa?”
“aku rasa, tanpa perlu kamu bertanya soal itu, kamu selayaknya sudah tahu bahwa aku telah memiliki itu juga. Mahasiswaku, yang mungkin juga menjadi bagian daripada barisanmu adalah nyawaku yang kedua. Tulisanku, yang kadang-kadang menjadi rujukanmu, itu adalah nyawaku yang ketiga”

Cukup haru juga, Pemikir malu-malu menyampaikan itu pada Revo. Matanya menadadak tak lancip bak ujung panah Arjuna. Buliran yang mengembun terlihat namun secara kasat.

Kadangkala menampilkan emosi itu perlu, setidaknya untuk tahu bahwa kita memiliki perasaan. Revo, pun seringkali melakukan hal itu. Momen ini, bukanlah momen yang tepat untuk emosi yang meledak-ledak tetapi cukup dikhayati saja.

“baiklah bung, mendengar bung mendukung langkah kami saja itu sudah cukup  rasanya untuk membuat bung seolah-olah ada diantara kami”
“terima kasih untuk pemahamanmu yang begitu jernih. Aku menaruh harapan besar padamu, setidaknya untuk dua tahun ini, kamu pasti bisa”

Keduanya jatuh dalam bayangan masing-masing. Tidak ada diksi-diksi yang apik setelahnya. Semilir angin mendadak lebih kencang dari suara makhluk yang berpikir.

“Vo?”
“apa bung?”
“aku ingatkan padamu, jangan ragu-ragu karena orang yang ragu-ragu tidak akan pernah sampai pada tujuan !!”

Sehabis itu, Revo segera pergi, karena nanti malam dia harus bertemu dengan orang yang lain, yang lebih spesial.


BERSAMBUNG (LAGI)

* gambar buatan amal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar