Rabu, 28 Januari 2015

Appreciation from pathIndonesia


Berdasarkan email yang masuk kepada saya, kalimat ini katanya menjadi kalimat yang mendapatkan LOVE terbanyak di account pathIndonesia.

AVAST ! (sambungan V)



8

http://cdn-media.viva.id/thumbs2/2013/01/10/187142_anak-anak-bermain-air-hujan_663_382.jpg

1 Februari 2026

Langit Kota Cirebon sedang tidak biru. Awan hitam menggumpal menjadi satu selimut besar, yang menutupi hampir seluruh wilayah kota. Tak lama berselang, halilintar penuh kilat-kilat mencetar keras memekikan telinga. “Subhanallah” itulah kalimat suci yang secara latah terucapkan setelahnya. Kemudian hujan turun dan orang-orang berlarian berebut tempat per-teduhan.

Sudah tiga hari memang, Kota Cirebon bertahan pada cuaca seperti ini. Aktivitas pun tidak dapat berjalan normal sebagaimana mestinya. Lalu lalang kendaraan kota nampak tak seramai biasanya. Hiburan-hiburan kafe ruang terbuka juga tak menggelar lapaknya. Supir angkutan yang sehari-hari saja sudah sulit, musim hujan semakin menambah paceklik.

"ya syukurilah saja lah Vo”
“iya Pak. Hujan itu dari Tuhan ya Pak, memaki hujan artinya memaki pemberian Tuhan”
“kurang lebih begitulah. Semua ada waktu dan pembagiannya masing-masing. Tenang saja”
“Revo sepakat sama Bapak, bener Pak”
“ayo diminum lagi Vo kopinya, bentar lagi juga si Fairuz datang”
enggih Pak” Revo mengangkat gelasnya pelan, dan cukup hati-hati karena gagangnya panas.

Gambaran situasinya adalah, Revo sedang duduk mesra di teras rumah kawannya, Fairuz. Pak Dirman menemaninya. Mereka duduk berjejer tapi tak berhimpit. Kursi keduanya hanya dipisahkan satu meja di tengah. Ada kopi dan gorengan capu di atas meja tersebut. Tumbuhan-tumbuhan kamboja dan juga mawar mengelilingi setiap sapuan mata. Dalam haru hening percakapan itu, keduanya seolah dihanyutkan dalam suguhan dentingan romantis tetesan hujan. “tik, tok, tik, tok”

Pemandanganan nampak begini ini, bukanlah kali yang pertama. Mendung yang menggumuruh ini sudah sering bahkan tidak lagi sempat dijumlahkan, lagian siapa pula yang hendak rela membuat hitung. Agar tidak menjadi jemu, Revo biasanya inisiatif untuk nyelimur soal-soal politik hingga sampai kepada tata kelola pembangunan yang kacau balau. Pak Dirman orangnya mudah tersulut. Dia pasti akan meladeni dan membuka secara lebih gamblang akar pokok permasalahannya.

“iya Pak, RTRW Kota ini seringkali berubah mengikuti regulasi pemerintahan yang baru. Penyesuaian bahasanya mah”
“itulah yang kemudian membikin kacau Vo”
“terus kan, jadinya pembangunan itu berubah-ubah tata letaknya. Semula di jalan A diprioritaskan pendidikan kemudian di periode berikutnya berubah”
“tepat itu” Pak Dirman menyelesaikan sruputan kopinya. Dia melanjutkan “jadinya ada tumpang tindih yang mengakibatkan ketidakmerataan. Masa sekolah di sampingnya keramaian, tidak kondusif”
“selain itu juga Pak, ini catatan yang penting. Tidak ada kesamaan desain yang jelas, semua investor bisa melakukan sesukanya tanpa melihat apa yang boleh dan tak boleh, apa yang jadi ciri khas dan bukan. Meskipun ada regulasinya, faktanya kan tidak begitu”
“kalau itu terlalu pada teknis ya Vo dan rumit juga membicarakan soal itu. Bapak mah cuma mau ada sebuah ketegasan. Ketegasan itu penting agar tidak ada yang dirugikan. Tuh baca saja koran, banjir ada dimana-mana”
“sebentar Pak” Revo menelikungkan wajahnya ke bawah. Diambilnya salah satu koran lokal. “oh iya ya Pak, menyeramkan ini. Sampai satu meter”
“nah itulah Vo”

Turunnya air dari ujung langit hingga sampai menyentuh dasar bumi nyatanya juga dapat menimbulkan kegeraman. Bukan soal genangan-genangan yang ditimbulkan kemudian menjadi minum pepohonan, tetapi soal, genangan yang menggunung karena tertahan aspal. Sebut sajalah itu air bah. Banjir ! Yang jelas, semua itu bukan salah TUHAN.

Bila sudah seperti itu, pengungsian memang sebuah tingkah laku yang manusiawi. Setiap keluarga yang rumahnya diberangus oleh luapan air diberikan semacam asuransi. Donasi yang berubah menjadi mie, makanan ringan dan juga susu nampak begitu baik. Tapi, jernihlah untuk mencerna bahwa bukan itu tujuan dari sebuah Pemerintah yang dipilih langsung oleh rakyat. Bukan memberi sembako ataupun mengungkapkan keprihatinan berulang-ulang kayak radio bodol. Pemerintah justeru diberikan mandat untuk menanggulangi kemungkinan-kemungkinan seperti itu. Untuk mengurai macet, memfasilitasi laju air dan menyediakan sarana ruang publik yang ramah serta menyehatkan. Ya, setidaknya kita sama-sama paham, bahwa Pemerintah yang baik itu ya yang membuat kita jadi nyaman. Bukan Pemerintah yang memasok segala macam untuk menutup mulut penderitaan. Namun terkadang, masyarakat, sudah terlanjur gembira dengan aksi-aksi yang terkesan heroik padahal sesungguhnya adalah penistaan akan suatu kewajiban.

“ada semacam pemahaman yang keliru Vo”
“soal?”
“ya soal itu, soal tindakan malaikatisasi penderitaan yang diakibatkan oleh kebijakannya sendiri”
“kadangkala pepatah uang membuat buta itu ada benarnya juga ya Pak. Buta dari kebenaran yang akibatnya sepi kritik dan kosong argumentasi”
“iya, benar, dan akan selamanya menjadi seperti itu bila mental hidupnya hanya diolah oleh pikiran soal perut”
“semacam ada kelemahan yang dimanfaatkan untuk menebus dosa-dosa secara individu”
“tepat sekali. Ya berdoa sajalah semoga akan cepat datang kebaikan”
“senjata terakhir orang muslim kadang bisa menjadi pelarian untuk mencari ketenangan ya Pak, hehe”
“iya, meskipun tidak merubah apapun apabila tidak dibarengi dengan sebuah tindakan”

Pembacaan siang hari kadangkala membuat Revo tidak kuasa tidur tepat waktu. Dia selalu berpikir panjang untuk merumuskan naskah-naskah pribadi yang berisi kumpulan gagasannya. Buku-buku Slavoj Zizek, analisa sejarah Hegel dan sejenisnya dia buka-buka untuk dikorelasikan dengan kenyataan kekinian. Korbannya jelas, matanya menjadi menghitam karena tidak sempat diistirahatkan oleh sebab nanggung.

“kamu masih mau menunggu Fairuz atau gimana? Mumpung hujan mulai reda”
“nunggu aja deh Pak, penting masalahnya”
“loh ada apa lagi emang?”
“aksi yang jum’atan kemarin ternyata mendapat reaksi yang cukup baik. Banyak anggota baru merapat dan tokoh-tokoh akademisi mulai mendukung kita Pak”
“perlu hati-hati Vo”
“kenapa Pak?”
“jangan gampang terlena, kadangkala diantara yang datang-datang itu ada intilejen yang menyamar yang justru memotorng gerakan”
“ini pengalaman pribadi Pak?” Revo penasaran. Wajahnya nampak begitu serius.
“iya lah, Bapak ini empat puluh tahun dalam dunia kemiliteran. Sudah tidak aneh”

Untuk sekedar diketahui. Pada tanggal 30 Januari 2026, Jum'at, kelompok Revo dan Fairuz (minus Lusi) turun ke jalan bersama dengan beberapa masyarakat desa. Pemilih yang loyal kepada Herwandi pun tak terkecuali bergabung dalam barisan. Jumlah keseluruhan yang turun kemarin mencapai 900 jiwa. Mereka semuanya berjalan kaki dari alun-alun Kasepuhan hingga balaikota Kota Cirebon. Empat jam lebih jalan yang mereka lewati menjadi macet total. Polisi pun tunggang langgang tidak tahu mesti bagaimana. Akhirnya, karena tak  kunjung ditemui, mereka membubarkan diri dengan dua catatan; pertama meminta isu yang mereka bawa itu diperhatikan serius dan kedua mereka akan datang lagi dengan jumlah yang lebih besar. Karenanya, hari ini, Revo merasa sangat butuh bertemu Fairuz untuk menindak lanjuti hal itu.

“oh iya, ada baiknya yang kita bicarakan tadi pun dimasukan dalam agenda aksi selanjutnya ya Vo”
“iya Pak, Revo baru mau bilang begitu”
“hehe”

*

Tak lama berselang, Fairuz datang. Binar-binar di wajahnya menampakan tumpukan masalah. Matanya sayu dengan kelopak hitam mengatung ke bawah. Sekitaran pipinya kusut seperti kemeja executive yang tidak sempat dilicin. Rambutnya masih tertutup helm. Dia tidak membukanya secara terburu-buru.

“Fay, darimana kamu?”

“sebentar, aku buka helm dulu”

“oke”


Fairuz kemudian beranjak. Kaosnya ditaruh di lantai dimana Revo dan Ayahnya duduk. Sempat diperas-peras terlebih dahulu sih memang. Dia juga secara kuat melempar tas yang berisi buku-bukunya. Sama seperti kaosnya yang semula, tas itu pun basah penuh dengan timbunan air. Entah ikatan batin ataupun apalah itu namanya, Fairuz duduk di kursi samping Revo menggantikan Ayahnya yang telah masuk ke dalam.


“kopi siapa ini?”

“Bapakmu !! minum aja”

“bener?” Fairuz membelalakan matanya. Dia mencoba mencari kepastian. “ga ada racunnya kan”
“ngapain aku ngasih racun?, untungnya apa?”
“siapa tahu, kamu kan iri dengan ketampananku”
“sejak kapan, hahaha, semua juga tahu kalau aku itu lebih tampan dibandingkan dirimu”
“siapa yang bilang?”
“Lusi”
“gila !!” Fairuz menjangkau ke­pedean Revo dengan tepukan kecil di kepala sahabatnya itu. Dia belum selesai “ya jelas, si Lusi itu pacarmu”
"oh iya Fay, habis darimana, kok lama"
"eee, itu dari kampus sama habis main dengan Dinda"
"hujan-hujanan kalian?"
"iya"
 
Revo belum bertanya secara gamblang. Dia sepertinya tidak enakan. Namun Revo tahu, Revo paham betul siapa Fairuz, sama seperti sebaliknya.

Sekarang kita cermati, orang macam apa yang sampai rela menabrak hujan bilamana memang tidak ada apa-apa. Jalanan licin, pandangan kabur tidak jelas dan segala macam yang dibawanya mestilah basah kuyup. Itulah yang sedari tadi dilakukan oleh Fairuz sebelum akhirnya sampai ke rumah. Dan itu, pasti dilakukannya atas dasar suatu pertimbangan yang amat teramat darurat. Ya, hanya saja, yang menjadi pertanyaan adalah, apa yang dilakukannya? itu yang perlu dicari tahu.

"aku merindukan pemilik mata itu Vo"

Fairuz akhirnya membuka mulutnya sendiri. Dia tahu, bahwa tepat rasanya berbicara sekarang. Dia juga mungkin tidak ingin mengganggu perlawanan yang sedang berlangsung.

"mata siapa?"
"mata milik Yulia. Yang berair, yang teduh dan yang seolah hendak mengatakan bahwa dia ingin selalu bersamaku"
"nyatanya kalian sudah tidak bersama lagi Fay, kamu sudah dengan Dina sekarang"
"iya, justeru itu. Justeru karena aku sudah tidak dengan dia lagi makanya aku menjadi rindu. Hanya dia Vo..." 
"hanya dia apa?"
"iya, hanya dia yang tahu bagaimana menyenangkannya menjadi kekasih seorang patriot. Dina tidak bisa seperti itu, dia malu terhadap ayah dan ibunya ketika tahu aku masuk koran karena demonstrasi"
"ah masa, Dina masa seperti itu Fay?"

Fairuz adalah lelaki biasa, sama dengan lelaki-lelaki lain pada umumnya. Di luar stigma kegarangan dan keangkuhan, Fairuz adalah orang yang melankolis. Dia bisa seketika mendayu-dayu dan meledak-ledak sesuai dengan bagaimana inginnya.

Satu tahun yang lalu, Fairuz memutuskan suatu hubungan yang digadang-gadang akan bertahan sampai kakek nenek. Dia terpukul, tetapi persepsinya mengatakan bahwa; dia akan jauh lebih terpukul, seandainya membiarkan seorang wanita bermadu kasih dengan pria yang tak jelas seperti dirinya. Setidaknya itu pengakuan Fairuz. Mereka kemudian berpisah dan tak lagi saling menampakan wajah. 

Dia kemudian mencoba melupakan. Dia berusaha lari dan menjauhi masa lalunya. Dalam sebuah persimpangan, tepatnya di ujung sebuah jalan di deretan Jalan Siliwangi Cirebon, Fairuz dipertemukan dengan wanita lain. Wanita itu bernama Dina. Waktu itu, Fairuz begitu terpukau dengan gerak lincah wanita yang meniupkan balon bagi anak-anak TK. "sini, sini ibu guru tiupkan balonnya ya anak-anak" begitulah seru wanita itu. Dialah Dina itu, wanita dari jurusan Pendidikan Keguruan yang memang anggun. Tidak mau menyesal, Fairuz akhirnya berkenalan dengan wanita itu. Dia berpura-pura sebagai seorang wartawan. Dia tanyai satu persatu hal yang mendetail dari Dina. Alamat rumah, Tempat kuliah, tanggal kelahiran dan bahkan hingga hobi serta cita-cita pun menjadi materi yang ingin Fairuz tahu. Esoknya mereka bertemu, esoknya lagi bertemu, terus dan terus. Sampai tibalah pada hari ini, hari dimana wanita yang dulu iya dekati dengan segala cara itu telah menjadi kekasihya. Fairuz pun sejenak mampu menutup luka kegetiran akibat kepergian Yulia.

"awalnya aku tak menyangka Vo. Sumpah, benar-benar tak menyangka dia akan mengatakan itu"
"mengatakan apa?"
"mengatakan kalau aku ini berandalan tidak jelas. Dia katanya tidak ingin diberi makan oleh orasi-orasi dan menggoreng dengan api dari bakaran ban"

Fairuz menunduk. Kepalanya mengeleng-geleng risau. Revo mengelus punggungnya. Mungkin dia ingin mengisyaratkan, "sabar kawanku"

"ku kira Fay, ini hanya soal waktu saja. Kalau nanti dia sudah paham, dia juga pasti menerima dan wajar jugalah wanita itu ingin kepastian. Hanya pria yang lemah yang merasa wanita ingin senang terus menyebut wanita itu matre"
"iya Vo, aku juga selalu berpikir begitu. Tapi selama enam bulan kita jadian ini, dia selalu mempermasalahkan itu. Bagaimana aku tidak berpikir yang aneh-aneh"
"alah, biasa, wanita kan hanya takut kita tidak bisa memberi mereka dan anak-anak mereka makan saja. Kalau kamu bisa buktikan ini menghasilkan, maka kamu akan selamat. Atau, kamu beritahu bahwa ini adalah kehormatan tertinggi"
"begitu Vo, apa benar begitu?"
"hey, kamu tahu kan Lusi itu kayanya seperti apa? cantiknya seperti apa? tapi kenapa dia mau denganku yang begajulan begini"
"kenapa Vo"
"karena dia tahu, aku pasti akan bertanggung jawab kepadanya. Sesederhana itu"

Fairuz bukan tidak paham, bukan pula tidak mampu melakukan perintah Revo. Dia hanya tidak mengerti harus bagaimana memulainya.

"gimana caranya?"
"gampang Fay, tunjukan saja kamu itu pria yang selalu membuatnya tenang tanpa uang dan membuatnya nyaman bila selalu bersamamu"
"ajari aku Vo"
"iya, nanti aku ajari. Yang penting, sudahlah, buang wajah murammu itu. Kita harus fokus pada perjuangan esok!!!"
"siap panglima !!!"
"bersulang!!"

Revo berhasil menggaet kegelisahan Fairuz menjadi semangat yang baru. Mereka bersulang bahagia.

 BERSAMBUNG

*http://cdn-media.viva.id/thumbs2/2013/01/10/187142_anak-anak-bermain-air-hujan_663_382.jpg

Minggu, 25 Januari 2015

AVAST ! (sambungan IV)



7

Kantin Kampus, 25 Januari 2026, pukul 09.00

“kemarin itu kamu dapat apa Vo dari Kasepuhan?”
“tanya sama aku?” Revo menoleh ke belakang seolah bingung. Bibirnya komat-kamit melahap habis gorengan yang renyah di dalam mulutnya.
“iya”
“oh sorry” sejenak, Revo mengelap sekitaran kumisnya. “iya, begini, pada intinya mah gerakan kita harus lebih variatif lagi, dalam artian harus bisa mulai merangkul anak muda yang biasanya jarang ikut beginian”
“maksudnya?”
“hemm, begini loh, coba misalkan sekarang kita mengadakan lomba essai tentang ‘mau seperti apa Cirebon?’ atau melukis ‘Cirebon dalam gambaranmu’. Begitu Fay. Ditambah lagi, Lusi mulai dipromosikan menjadi Pemred di kantornya”
“oh, bisa juga lah begitu. Kabar baik juga untuk informasi masyarakat Cirebon. Tetapi Vo, yang harus kamu tahu, gerakan yang menggedor-gedor turun ke jalanan pun perlu”
“kenapa?”
“karena, dari obrolan yang ku dengar, para petinggi itu selalu merasa lebih resah terhadap mahasiswa yang keras dibandingkan dengan mereka yang seolah bergerak menuruti sistem”
“kamu tahu darimana?”
“aku mendengarnya langsung ketika ada FGD internal komisi A. Ibu Vero, yang dandannya menor dan penuh dengan perhiasan itu, mengatakan secara langsung. Semua mengamini, kok”