Oleh : Bakhrul Amal

Tulisan ini adalah jawaban atas artikel Rasyid Ridho yang berjudul "Catatan untuk Indiferensi:Pentingnya Memproblematisasi yang Post-mo dari Amal" yang dapat dilihat di http://diskursuspayung.blog.com/?p=268
Dalam sesi Kata Pengantar buku
terjemahan Louis Althusser, Bagus Takwin membuka esai panjangnya dengan kalimat
“berharaplah, sebab harapan yang akan menjagamu agar tetap hidup”. Kalimat itu
bukanlah sesuatu yang sederhana dan remeh, tetapi kalimat itu memiliki
pemaknaan yang luas dan erat kaitannya dengan manusia yang memang ditakdirkan
untuk memenuhi hasrat. Kalimat itu juga, yang saya gunakan sebagai kunci
daripada pembukaan pintu kecil yang nampak besar secara bayangan.
Bahasa, sejatinya bukanlah
ekspresi pikiran ataupun gagasan, melainkan ekspresi perasaan-perasaan,
afeksi-afeksi. Tetapi bukan pula hal ini kemudian menjadikan bahasa tidak bisa
dijadikan alat untuk mengungkapkan pikiran dan gagasan (konseptual). Hanya
saja, E. Cassirer, menunjukan bahwasanya “di samping bahasa konseptual, adapula
bahasa emosional. Di samping bahasa logis atau ilmiah, ada juga bahasa puitis”.[i]
Oleh karenanya, terlalu terburu-buru apabila Rasyid pada akhirnya menaruh
pilihannya pada ungkapan Lyotard perihal “lingkaran setan sastra puisi”.
Sebenarnya hal itu bukanlah
menjadi suatu permasalahan yang penting, tetapi menjadi wajib dijelaskan secara
lebih, ketika pada akhirnya Rasyid seperti ‘mendiskreditkan’ kesusastraan yang
seolah meng-kriptorisasi yang ilmiah. Disini perlu ditekankan bahwa sebenarnya, mau menggunakan yang teoritis
ataupun yang puitis itu sama-sama sahnya, selama proposisi formal dan proposisi
faktual terpenuhi dan berada di dalamnya. Intinya, bahasa yang diuraikan itu
sejatinya mengandung tautologis yang dapat diverifikasi secara empiris.
Itulah mengapa, ketika saya
membaca apa yang coba dituliskan oleh Rasyid, saya justeru seperti melihat
seseorang yang sedang meruntuhkan bangunan yang sedang dibuatnya sendiri. Tidak
selesai sampai disitu, dia bahkan pingsan karena kepalanya kejatuhan salah satu
batu-bata dari bangunan yang runtuh itu. Apa yang diungkapkannya menjadi tidak
lebih dari igauan orang yang sedang mimpi, menyedihkan !
Mari kita
mulai....
Rasanya ada pembacaan yang keliru
dari Rasyid, entah karena terburu-buru, atau oleh sebab begitu bersemangatnya
Rasyid dalam merenggangkan sendi-sendi yang memang seharusnya mengikat. Rasyid
menyamaratakan pokok pikiran pada paragraf pertama dan kedua, yang pada
dasarnya kedua hal itu berbeda. Konteks arti
demokrasi secara pandangan umum (Demokrasi adalah...) dan konteks arti
demokrasi secara pandangan faktual (Hari-hari ini, kebebasan berpendapat......)
sama sekali tidak dicermati oleh Rasyid.
Apa yang dilakukan oleh Rasyid adalah sebuah
kesesatan berpikir yang dalam ilmu logika dikenal dengan post hoc ergo propter hoc (setelah ini, oleh karena itu karena dari
ini). Rasyid terlalu linear dan tidak memperhatikan konteks. Bila sudah seperti
itu, maka masuknya vox pupuli vox dei sendiri
pada akhirnya menjadi seperti tidak teratur. Yang padahal, jargon itu muncul berkaitan dengan paragraf
sebelumnya yang beruntun dan koheren perihal begitu banyak argumentasi
kebenaran, yang diyakini hanya milik Tuhan itu, menjadi milik perorangan karena
disuarakan oleh demokrasi.
Yang selanjutnya adalah permasalahan Rasyid
terhadap kalimat “Kebebasan menjadi satu lensa yang jelas dengan atap yang utuh”.
Entah bagaimana tata cara pembacaannya, Rasyid seperti meloncat menyatukan
lensa dan atap. Padahal sesunguhnya, lensa[ii]
yang dimaksud adalah tata cara masing-masing orang dalam menentukan pilihan
hidupnya di ruang sosial. Sedangkan atap adalah pemerintah, yang secara wajib
harus mampu diakses sama atau utuh oleh rakyatnya yang berbeda-beda. Demokrasi
itu kan sebenarnya kebebasan yang dilembagakan. Jadi, prinsip kebebasan sebagai
inti daripada demokrasi tidak bisa berjalan dengan benar, apabila atap
(pemerintah) sebagai penggeraknya diskriminatif atau tak dapat dipandang utuh
oleh lensa yang berbeda. Oleh sebab itu, menangislah Hayek, Mises dan Nozick
karena dibangkitkan dari kubur untuk mengubur sang pengubur dan lalu dikubur
kembali.
Lalu ada nuansa keberusahaan
Rasyid untuk memalingkan wajah dari munculnya Indiferensi yang sebenarnya bukan
tanpa maksud. Jikalau Rasyid memang dikenal sebagai seorang penggemar Amien
Rais, Rasyid seharusnya memperhatikan apa yang dikenal dengan Asbabun Nuzul. Pada waktu itu, lembaga
demokrasi mengancam pidana seseorang yang golput[iii],
yang padahal secara esensi, golput itu seharusnya difasilitasi oleh demokrasi
yang berdasarkan kebebasan berpendapat. Oleh karenanya, indiferensi kemudian
dianak tirikan dan seolah bukan bagian dari demokrasi yang justeru mengharuskan
memilih si A atau si B. Itulah mengapa kalimat tersebut bunyinya “Indiferensi
pada akhirnya datang menjadi antitesa dari mata yang mengintip dan telinga yang
tertutup terhadap informasi di ruang yang gelap”. Kondisinya, kita dengan mata
yang mengintip tentang demokrasi, begitupun telinga yang tertutup oleh
demokrasi, namun seolah merasa melaksanakan suatu demokrasi yang real dengan pelarangan golputnya itu.
Rasyid seperti bukan sedang
menggedor indiferensi tetapi justeru menjadi juru bicara gratis yang
menjelaskan itu (maksud indiferensi) secara lebih rinci. Dalam hal ini, saya rasanya
perlu berterima kasih kepadanya.
Yang pamungkas adalah permasalahan
Rasyid terhadap :
“Suara Tuhan tak
pernah ada, karena Tuhan tak bisa dan tak perlu disuarakan, apalagi oleh yang
diciptakannya. Tuhan sama dengan kebebasan, keduanya punya bahasanya sendiri.
Kita yang kadang melecehkannya dengan seolah-olah menjadi representasi dari
yang Maha Besar itu.”
Rasyid
mengatakan :
“Di satu sisi
Amal menyebut bahwa Suara Rakyat adalah suara Tuhan, namun di satu posisi yang
lain dalam penutup tulisannya adalah bahwa Suara Tuhan tak mungkin dijangkau.
Inilah mengapa Amal mengakui sendiri ke-posmodernisme-an dalam tulisannya,
bahwa dalam metanarasinya selalu dihantui oleh Transendensi yang relatif (atau
Tuhan X yang tak ternamai), yang ia selalu merasa lack.”
Penutup itu muncul dan bergabung dengan
paragraf-paragraf sebelumnya. “Suara Tuhan itu tidak pernah ada dan tak perlu
disuarakan.” Paragraf ini adalah bentuk konfrontasi dari paragraf sebelumnya. Mungkin
kawan-kawan selalu mendengar suara kampanye “kalau saya terpilih Insya Allah
saya akan....”. Bukan hanya satu calon, tetapi kedua calonnya menggunakan
jargon itu. Ini yang menurut pandangan Rocky Gerung sebagai memanipulasi
kehendak publik menjadi izin daripada Tuhan.[iv]
Ini kan sesuatu yang mengherankan dan jarang dipertanyakan secara serius. Demokrasi
bukanlah memilih Tuhan, tetapi seluruh kondisi dan suasananya saat ini atau
saat itu tepatnya, sangat-sangat Teologis.
Sebenarnya
argumen yang saya rangkai ini tidak seharusnya muncul karena pada dasarnya, apa
yang saya tuliskan mengenai INDIFERENSI itu telah menjadi milik umum dan
membebaskan penafsiran dari setiap pembacaanya. Layaknya sebuah artefak yang
dengan segala latar belakang yang mengikutinya yang hadir dan kuat merebut
perhatian di sebuah ruang. Makna yang kemudian membayang dalam pembacaan,
secara bersamaan tengah bergerak ke dalam benak individu. Seperti membiarkan saja
menyusuri rangkaian kata dan pelbagai jejaknya. Itulah yang digambarkan oleh
Catatan Penyerta dari buku Tujuh Puluh Puisi Goenawan Mohamad terbitan TEMPO.
Semoga ini bisa
sedikit menjawab apa yang telah diusahakan atau diharapkan oleh Rasyid untuk
mem-post-mo kan Amal. Yang saya catat dari apa yang dituliskan oleh Rasyid, dan
menjadi alasan pula dari mengapa argumen ini pun harus ditulis adalah karena,
Rasyid secara tidak sadar sudah begitu totaliter berdasarkan niat pemaksaan
pandanganya dengan (semoga tidak salah) men-tidakboleh-kan orang lain berjalan atas dasar jalan pikirannya masing-masing. Melalui tulisannya yang memproblema itu juga,
Rasyid seperti sedang menyirami tanaman-tanaman potensi TIRANnya sendiri yang
entah itu disengaja atau tidak.
Selamat malam
Rasyid...
*http://thomas-albert.ca/cours/mario_dube/Bio%2053421/Module%205/picts/fille.jpg
[i]
Cassirer, Manusia dan Kebudayaan, (Di
Indonesiakan oleh A.A. Nugroho, Gramedia, Jakarta 1987) hlm 40
[ii]
Slavoj Zizek, Democracy is The Enemy, “Real
freedom resides in the ‘apolitical’ network of social relations, from the
market to the family, where the change needed in order to make improvements is
not political reform,.......” setidaknya, Zizek mencatat kebebasan yang
sangat pas dan erat kaitannya dengan lensa atau sudut pandang orang yang
berbeda-beda di ruang sosial. Zizek menggaris bawahi bahwasanya “Kebebasan nyata berada
dalam jaringan 'apolitis' hubungan sosial, dari pasar ke keluarga, di mana
perubahan yang diperlukan dalam rangka
untuk melakukan perbaikan bukan
reformasi politik.........”
[iii]
http://news.liputan6.com/read/821466/kpu-kampanyekan-golput-bisa-dipenjara-2-tahun
dengan judul “KPU: Kampanyekan Golput Bisa Dipenjara 2 Tahun”.
[iv]
Bisa dilihat di https://www.youtube.com/watch?v=BbwAcJUpkxY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar