Kamis, 30 Oktober 2014

Bocoran Novel "Selamat Pagi"....

1

Ini bukan tentang cinta, ini soal bagaimana mengakhiri sesuatu yang sudah dimulai dengan baik.
Taman kota malam itu terlihat begitu indah. Sinar-sinar menyala di antara hijaunya tumbuhan. Air mancur menjulang tinggi menambah kesegaran.
Melina duduk tertunduk di kursi kayu yang panjang. Di atas kepalanya tepat lampu taman yang menyala seperlunya. Pipinya penuh butiran air mata. Tak diseka, tak pula diusap. Melina benar-benar sedang menikmati rasa pedih itu.
Sam duduk di sebelahnya dengan tenang. Kepalanya ditadahkan ke atas menatap ribuan bintang. Kakinya digoyang-goyangkan ke samping dan ke bawah. Sam mungkin tak mengerti apa yang harus Dia lakukan. Biarlah.
“tapi Sam, kenapa Kamu gitu?”
“gitu gimana Mel? Aku kan udah bilang kalau ini soal waktu aja”
“kapan?”
“sampai Kamu mencintai Samudra bukan Heldy. Aku tau, Kamu mikirnya Aku ini Heldy dan Kamu ini engel. Ya, mereka mungkin emang sudah pacaran tapi untuk Samudra dan Melina itu belum”
“udah !”
“belum !”
“udah Sam !”
“belum !”
Melina menghela nafas. Suara udara dari hidung mancungnya terdengar cukup keras. Dia mungkin menahan kesal.
“sekarang kasih Aku alesan kenapa belum?” Melina mulai sedikit tenang.
“karena selama ini Kamu tau Aku itu seperti apa yang Kamu baca dalam surat. Itu padahal bukan Aku, itu Heldy. Aku brutal, Aku tak bisa diatur, apalagi untuk bisa berpikir tenang seperti Heldy. Beda Mel”
“tapi Aku bakalan bisa kok nerima Kamu yang bukan Heldy”
“belum tentu”
“bisa !”
“belum tentu. Orang itu gak bisa suka sama dua orang yang sifatnya berbeda. Itu pasti, apalagi orangnya gak pernah ada, cuma bayang-bayang”
“Aku bisa, air mataku sudah membuktikan bahwa Aku bisa”
“bukan jaminan, air matamu itu tetap untuk Heldy, bukan Samudra”
“terus gimana Aku ngeyakinin Kamu?”
“biar Aku yang tau jawabannya sendiri. Ada hal yang gak perlu dijelaskan Mel, Kamu harus paham itu, kata Heldy pun begitu”
“tapi Heldy lupa, ada perasaan juga yang tidak bisa dijelaskan. Dan perasaan itu ketika tak sesuai, rasanya sakit sekali”
“ya mungkin Kamu benar”
“Aku bakal berusaha Sam”
“semoga saja”
“lalu kenapa Kamu mau nemenin Aku?”
“itu bedanya Mel, Aku mencintai Melina bukan Engel. Suratmu itu hanya supaya Aku tau bagaimana keseharianmu, Kamu suka apa dan bagaiamana. Aku gak sampe menyukai engel”
Mereka berbicara tak saling tatap. Tangan pun berjauhan seperti tak kenal. Kedua remaja itu memastikan hal-hal yang rumit. Mereka menentukan apa yang pada akhirnya pun tak jelas.
“boleh Aku minta satu hal kepadamu Sam?” Melina menoleh. Jilbabnya terlihat kusut basah penuh keringat. Matanya sayu dan merah.
“apa itu” Sam pun menghadapkan wajahnya kepada Melina.
Tiga jam lebih mereka bertukar kata, baru sekarang saling melihat. Benar-benar aneh.
“Aku mau merasakan pelukanmu, yang nyata yang tak cuma sebatas kata-kata dalam penutup surat”
“hah?, Kamu serius?”
“serius dan ingin secepatnya”
“oke, ini pilihan yang sulit ditolak”
Keduanya berpelukan.
Bulan dan cahaya-cahaya mengkilap menjadi saksi bisu daripada pertemuan itu. Rasa haru bercampur aduk dengan gelisah dan rindu. Ini masih tetap bukan cinta, ini hanya awal ataupun akhir yang tak satupun dapat menjawabnya. Mereka menikmati keraguan penuh suka duka dan air mata.
“tenanglah, tenanglah wahai manusia” alam raya menyapa dengan  khidmat.
“kalian menikmati, kami akan memberikan senyuman padanya yang saling berbagi cinta”
Desir angin datang dengan cukup. Bunga-bunga matahari bergerak berhimpitan penuh keriangan. Tak ada suara, tak ada bising, tak ada gegap gempita. Semuanya tampak baik dan romantis.
Baru sekitar dua puluh detik mereka berpelukan, tiba-tiba saja anak kecil berlari ke arah mereka untuk mengambil bola. Bola itu jatuh tepat dihadapan kedua anak SMA yang sedang dimadu kasih dan berpeluk tubuh.
“iiiiiih Kakak-Kakak pacaraaaaaaaaaaan, pornooooooo”
Sam dan Melina kemudian melepaskan pelukan. Keduanya tertawa terbahak-bahak. Pipi mereka merona menampakan malu. Air mata Melina kini hilang. Kebimbangan Sam juga sirna. Semoga saja tidak begitu cepat mereka melupakan malam ini.
“terima kasih ya Sam”
“sama-sama Melina”
“Kamu mau kan nganter Aku pulang?”
“kemanapun Mel, asalkan itu bisa bikin Kamu merasa tenang Aku suka”
“yaudah Aku gak jadi pulang”
“kenapa?”
“karena Aku merasa tenang kalo ada disampingmu, jadi untuk apa Aku pergi”
“ah Kamu emang pinter ngerayu, pinter mengaduk-aduk perasaan orang”
Ini hanya pembuka. Ini juga akhir daripada cerita. Setelah perpisahan kenaikan kelas, semua keadaannya telah jauh berbeda.

Bersambung :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar