Ini bukan
tentang cinta, ini soal bagaimana mengakhiri sesuatu yang sudah dimulai dengan
baik.
Taman kota malam
itu terlihat begitu indah. Sinar-sinar menyala di antara hijaunya tumbuhan. Air
mancur menjulang tinggi menambah kesegaran.
Melina duduk
tertunduk di kursi kayu yang panjang. Di atas kepalanya tepat lampu taman yang
menyala seperlunya. Pipinya penuh butiran air mata. Tak diseka, tak pula
diusap. Melina benar-benar sedang menikmati rasa pedih itu.
Sam duduk di
sebelahnya dengan tenang. Kepalanya ditadahkan ke atas menatap ribuan bintang. Kakinya
digoyang-goyangkan ke samping dan ke bawah. Sam mungkin tak mengerti apa yang
harus Dia lakukan. Biarlah.
“tapi Sam, kenapa
Kamu gitu?”
“gitu gimana Mel? Aku kan udah bilang kalau ini soal waktu aja”
“kapan?”
“sampai Kamu
mencintai Samudra bukan Heldy. Aku tau, Kamu mikirnya Aku ini Heldy dan Kamu
ini engel. Ya, mereka mungkin emang sudah pacaran tapi untuk Samudra dan Melina
itu belum”
“udah !”
“belum !”
“udah Sam !”
“belum !”
Melina menghela
nafas. Suara udara dari hidung mancungnya terdengar cukup keras. Dia mungkin
menahan kesal.
“sekarang kasih Aku
alesan kenapa belum?” Melina mulai sedikit tenang.
“karena selama
ini Kamu tau Aku itu seperti apa yang Kamu baca dalam surat. Itu padahal bukan Aku,
itu Heldy. Aku brutal, Aku tak bisa diatur, apalagi untuk bisa berpikir tenang
seperti Heldy. Beda Mel”
“tapi Aku
bakalan bisa kok nerima Kamu yang bukan Heldy”
“belum tentu”
“bisa !”
“belum tentu.
Orang itu gak bisa suka sama dua orang yang sifatnya berbeda. Itu pasti,
apalagi orangnya gak pernah ada, cuma bayang-bayang”
“Aku bisa, air
mataku sudah membuktikan bahwa Aku bisa”
“bukan jaminan,
air matamu itu tetap untuk Heldy, bukan Samudra”
“terus gimana Aku
ngeyakinin Kamu?”
“biar Aku yang
tau jawabannya sendiri. Ada hal yang gak perlu dijelaskan Mel, Kamu harus paham
itu, kata Heldy pun begitu”
“tapi Heldy
lupa, ada perasaan juga yang tidak bisa dijelaskan. Dan perasaan itu ketika tak
sesuai, rasanya sakit sekali”
“ya mungkin Kamu
benar”
“Aku bakal
berusaha Sam”
“semoga saja”
“lalu kenapa Kamu
mau nemenin Aku?”
“itu bedanya Mel, Aku mencintai Melina bukan Engel. Suratmu itu hanya supaya Aku tau
bagaimana keseharianmu, Kamu suka apa dan bagaiamana. Aku gak sampe menyukai
engel”
Mereka berbicara
tak saling tatap. Tangan pun berjauhan seperti tak kenal. Kedua remaja itu
memastikan hal-hal yang rumit. Mereka menentukan apa yang pada akhirnya pun tak
jelas.
“boleh Aku minta
satu hal kepadamu Sam?” Melina menoleh. Jilbabnya terlihat kusut basah penuh
keringat. Matanya sayu dan merah.
“apa itu” Sam pun
menghadapkan wajahnya kepada Melina.
Tiga jam lebih
mereka bertukar kata, baru sekarang saling melihat. Benar-benar aneh.
“Aku mau
merasakan pelukanmu, yang nyata yang tak cuma sebatas kata-kata dalam penutup
surat”
“hah?, Kamu
serius?”
“serius dan ingin
secepatnya”
“oke, ini pilihan
yang sulit ditolak”
Keduanya
berpelukan.
Bulan dan
cahaya-cahaya mengkilap menjadi saksi bisu daripada pertemuan itu. Rasa haru
bercampur aduk dengan gelisah dan rindu. Ini masih tetap bukan cinta, ini hanya
awal ataupun akhir yang tak satupun dapat menjawabnya. Mereka menikmati
keraguan penuh suka duka dan air mata.
“tenanglah,
tenanglah wahai manusia” alam raya menyapa dengan khidmat.
“kalian
menikmati, kami akan memberikan senyuman padanya yang saling berbagi cinta”
Desir angin
datang dengan cukup. Bunga-bunga matahari bergerak berhimpitan penuh keriangan.
Tak ada suara, tak ada bising, tak ada gegap gempita. Semuanya tampak baik dan
romantis.
Baru sekitar dua
puluh detik mereka berpelukan, tiba-tiba saja anak kecil berlari ke arah mereka
untuk mengambil bola. Bola itu jatuh tepat dihadapan kedua anak SMA yang sedang
dimadu kasih dan berpeluk tubuh.
“iiiiiih Kakak-Kakak
pacaraaaaaaaaaaan, pornooooooo”
Sam dan Melina
kemudian melepaskan pelukan. Keduanya tertawa terbahak-bahak. Pipi mereka
merona menampakan malu. Air mata Melina kini hilang. Kebimbangan Sam juga
sirna. Semoga saja tidak begitu cepat mereka melupakan malam ini.
“terima kasih ya Sam”
“sama-sama Melina”
“Kamu mau kan
nganter Aku pulang?”
“kemanapun Mel,
asalkan itu bisa bikin Kamu merasa tenang Aku suka”
“yaudah Aku gak
jadi pulang”
“kenapa?”
“karena Aku
merasa tenang kalo ada disampingmu, jadi untuk apa Aku pergi”
“ah Kamu emang
pinter ngerayu, pinter mengaduk-aduk perasaan orang”
Ini hanya
pembuka. Ini juga akhir daripada cerita. Setelah perpisahan kenaikan kelas,
semua keadaannya telah jauh berbeda.
Bersambung :)
Bersambung :)