(Terbit di HU Kabar Cirebon, 4 Agustus 2014)
Dalam tulisan ini dilengkapi bagian PENUTUP yang dihapus oleh redaksi.
Persoalan hukum
bukanlah bertumpu hanya pada undang-undang, tetapi juga ditekankan pula pada
rumusan memperbaiki perilaku manusia. Diktum tadi bukanlah isapan jempol bayi
yang tak jelas, tetapi justru acungan jempol seorang raja pada kerja-kerja yang
baik.
Hari-hari ini kita
seringkali melihat bagaimana hukum bekerja menertibkan keadaan. Saking
sibuknya, hukum bahkan tidak sempat memperbaiki dirinya sendiri. Hukum justru
semakin digrogoti oleh kawan-kawan sosialnya seperti ekonomi dan politik.
Masyarakat yang belum
mengerti betul kemudian berhipotesa menurut keyakinannya masing-masing.
Sebagian menggugat hukum, sisi yang lain mencaci penegakannya namun adapula
yang terkadang rindu.
PADA
MULANYA
Jika berkaca pada apa
yang pernah dikatakan oleh Thomas Kuhn, sesungguhnya fenomena seperti itu
adalah hal yang lumrah. Sebagai seorang filsuf yang bergerak dalam fokus bidang
pengetahuan, Kuhn beranggapan bahwa setelah fase normal science maka akan muncul era abnormal science. Kenyataan itu bak cerita dalam film sinetron yang
berulang namun dengan “judul” yang tak selalu sama.
Sebelum datangnya era
kejayaan rasionalitas yang digawangi oleh Descartes, dunia lebih dulu mengenal dengan
apa yang dinamakan impulse of feeling (dorongan
dari perasaan). Segala hal yang baik dan buruk masih bisa dikompromikan dengan
keadaan. Logika Cartesian merubahnya dengan dalih pemikiran, segala yang tak
tetap itu berarti tak pernah jelas ujungnya, menurutnya.
Sebagai suatu ketegori
pengetahuan, hukum, melalui gagasan Hans Kelsen seolah tidak mau ketinggalan
mengikuti perkembangan. Kelsen perlahan tapi pasti merunutkan argumen barunya
tentang postifisme hukum. Dimana saat itu, hukum mulai dikendalikan oleh
dirinya sendiri dan dijauhkan dari hal-hal yang berada diluar darinya. Munculah
edisi baru hukum dengan istilah teori hukum murni.
Hukum mulai
meligitimasi dirinya sebagai pemilik pactum
kebenaran. Undang-undang diangkat sebagai cerminnya. Manusia yang semula
menghidupkan hukum, mutatis mutandis,
kemudian dipenjara oleh apa yang dilahirkan rahimmnya sendiri.
KENYATAAN
HUKUM SAAT INI
Syahdan, segalanya
seketika menjadi pribahasa “nasi sudah menjadi bubur”. Bangsa Indonesia yang
tidak pernah memulai bagaimana caranya mereduksi teks kemudian pasrah pada
undang-undang. Apa yang ditulis dalam undang-undang adalah kemutlakan dan
dianggap layaknya keadilan. Padahal kata hanyalah kata tanpa rasa yang
menjadikannya makna.
Politik dan ekonomi
kemudian masuk bersamaan dengan derasnya globalisasi. Manusia yang semula
menghargai dirinya dengan kejujuran kemudian hilang dan berubah menjadi status
sosial dan ekonomi.
Politik digambarkan
sebagai diri yang memiliki kekuasaan lebih daripada manusia lainnya. Ekonomi
diperlihatkan dengan cirinya berupa barang-barang materiil yang memiliki nilai
yang semakin sulit dijangkau semakin terlihat hebat dihadapan orang lain. Dua
realitas yang terkadang membutakan kata Hegel.
Persoalan hukum belum
selesai, manusia telah merubah cara pandangnnya terlebih dahulu akan hidup.
Padahal kita tahu, hukum tidaklah bisa dilepaskan dari perilaku manusia. Maka
jadilah, hukum tak ubahnya seperti sirkus yang menyenangkan dengan
konten-kontennya yang ditunggu penonton.
Dengan kekuatan
politik, kebijaksanaan hukum bisa berubah. Melalui sarana financial hukum mendadak diam tak berkutik. Dua-duanya tergantung
bagaimana pesanan, bisa memperbaiki dan bisa juga memporak-porandakan. Itulah
yang diutaran oleh Spence soal “hukum tidak lagi menjadi kitab keadilan tetapi
telah berubah menjadi kekauan teks”.
Jonathan Swift, seorang
politikus Irlandia di tahun 70an, pernah mengatakan bahwa kejanggalan seperti
itu membuat hukum tak ubahnya sarang laba-laba yang menjala lalat namun mudah
diterobos oleh burung. Dalam era kontemporer kata-kata itu di improfisasi oleh
Alm Prof Satjipto Satjipto Rahardjo menjadi “hukum yang tumpul ke atas dan
tajam ke bawah”. Keduanya menggunakan kiasan yang berbeda, namun dalam koridor
makna yang sama.
Miris memang, akan
tetapi nyatanya itulah terjadi saat ini.
MODEL
PENDIDIKAN HUKUM SEHARUSNYA
Gerry Spence pernah
sedikit mengulas tentang betapa miskinnya lawyers
Amerika terhadap pengertian manusia, membuat dunia hukum menjadi kacau
balau. Melalui sistem yang ada, para lawyers
seperti diajari untuk melawan (againts)
perasaan, mengasihi orang lain dan sesama manusia. Sebelum para lawyers diberi pengetahuan bagaimana
caranya menjadi manusia yang berbudi, Spence menyarankan manusia untuk lebih
baik pergi kepada perawat daripada mengunjungi advokat. Dia beranggapan bahwa
perawat sudah pasti merawat dan tahu caranya memperlakukan perasaan orang lain.
Pendidikan hukum diakui
tidaklah sama dengan pendidikan pengetahuan lainnya. Hukum menyangkut martabat.
Hukum berdampingan pula dengan moral. Hukum juga sebagai pilar utama dari
kesejahteraan yang bertumpu pada keadilan. Hukum terkesan seperti oase dengan bentuknya yang nyata.
Sejauh ini pendidikan
hukum di Indonesia memusatkan perhatiaannya pada kemampuan murid dalam
menghafal undang-undang. Undang-undang seolah menjadi kunci utama daripada
keahlian hukum. Mahasiswa yang mampu menghafal dianggap sebagai mahasiswa yang expert. Itulah awal darimana sugesti
yang salah mulai ditanamkan.
Filsafat hukum sebagai
inti dimana keadilan itu dapat ditemukan justru disimpan sebagai mata kuliah
pamungkas.
Dalam pendidikan hukum
saat ini, para siswa dan siswi didahului akrab dengan istilah normatif dibandingkan dengan reflection abillity. Entah apa
alasannya, filsafat hukum pada akhirnya dianggap sebagai formalitas kurikulum
yang bahkan ditinggalkan dengan nilai C pun tidak masalah.
Seandainya kita ingin
memperbaiki hukum, maka cara yang harus kita lakukan adalah memperbaiki
kualitas manusianya. Bukan kualitas menghukum dan mengajukan gugatan, akan
tetapi kualitas bagaiamana memandang keadilan itu secara kaffah.
Jikalau kita konsisten,
secara substansi seharusnya filsafat hukum ditempatkan dalam urutan yang
pertama. Mahasiswa dibiasakan mendefinisikan keadilan yang utuh terlebih
dahulu. Setelah moral dan fundamental hukum tersebut tertanam dalam ubun-ubun,
barulah undang-undang itu dipelajari. Out
put yang dihasilkan atau sudut pandang memahami hukum akan lebih dinamis
dan tak kontekstual, tentunya berbeda pula kualitas kemanusiaannya.
Urgensi dari
porak-porandannya hukum kita bukan terletak pada undang-undang. Akan tetapi,
rusaknya hukum kita diakibatkan oleh rusaknya pemahaman manusianya terhadap
hukum. Keadilan bukanlah soal aturan tertulis, kata Slavoj Zizek, tetapi pembangunan
kesadaran manusia terhadap moral.
PENUTUP
Berkaca pada kenyataan,
pada awalnya hukum telah lahir tanpa peraturan tertulis. Hukum datang hanya
melalui proses jabat tangan. Hukum bisa terjadi oleh karena ucapan lisan kedua
belah pihak. Skema sederhana di waktu yang lalu itu bukan tidak ada masalah, namun
masalah itu bisa diselesaikan dengan caranya sendiri, esensinya tetap, yaitu
keadilan.
Sekarang undang-undang
menjadikan penilaian yang semula telah disimpan pada yang tak tampak itu
muncul. Baik, buruk, salah dan benar seolah dilegitimasi dengan kalimat-kalimat
“barangsiapa”.
Dengan konsep pendidikan hukum yang baru. Pendidikan yang fokus studinya bertujuan meningkatkan rasa aman bagi manusianya. Maka kita akan sadar bahwa mengabaikan manusia dan perilakunya sama dengan mengabaikan hukum. Oleh sebab itu, secepatnya, dengan pendidikan hukum yang benar, persepsi “menegakan hukum adalah menegakan undang-undang” kita ubah menjadi “menegakan hukum artinya menegakan keadilan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar