Rabu, 03 September 2014

Manifesto Pendidikan Hukum



(Terbit di HU Kabar Cirebon, 4 Agustus 2014)
Dalam tulisan ini dilengkapi bagian PENUTUP yang dihapus oleh redaksi.

Persoalan hukum bukanlah bertumpu hanya pada undang-undang, tetapi juga ditekankan pula pada rumusan memperbaiki perilaku manusia. Diktum tadi bukanlah isapan jempol bayi yang tak jelas, tetapi justru acungan jempol seorang raja pada kerja-kerja yang baik.

Hari-hari ini kita seringkali melihat bagaimana hukum bekerja menertibkan keadaan. Saking sibuknya, hukum bahkan tidak sempat memperbaiki dirinya sendiri. Hukum justru semakin digrogoti oleh kawan-kawan sosialnya seperti ekonomi dan politik.

Masyarakat yang belum mengerti betul kemudian berhipotesa menurut keyakinannya masing-masing. Sebagian menggugat hukum, sisi yang lain mencaci penegakannya namun adapula yang terkadang rindu.

PADA MULANYA

Jika berkaca pada apa yang pernah dikatakan oleh Thomas Kuhn, sesungguhnya fenomena seperti itu adalah hal yang lumrah. Sebagai seorang filsuf yang bergerak dalam fokus bidang pengetahuan, Kuhn beranggapan bahwa setelah fase normal science maka akan muncul era abnormal science. Kenyataan itu bak cerita dalam film sinetron yang berulang namun dengan “judul” yang tak selalu sama.

Sebelum datangnya era kejayaan rasionalitas yang digawangi oleh Descartes, dunia lebih dulu mengenal dengan apa yang dinamakan impulse of feeling (dorongan dari perasaan). Segala hal yang baik dan buruk masih bisa dikompromikan dengan keadaan. Logika Cartesian merubahnya dengan dalih pemikiran, segala yang tak tetap itu berarti tak pernah jelas ujungnya, menurutnya.

Sebagai suatu ketegori pengetahuan, hukum, melalui gagasan Hans Kelsen seolah tidak mau ketinggalan mengikuti perkembangan. Kelsen perlahan tapi pasti merunutkan argumen barunya tentang postifisme hukum. Dimana saat itu, hukum mulai dikendalikan oleh dirinya sendiri dan dijauhkan dari hal-hal yang berada diluar darinya. Munculah edisi baru hukum dengan istilah teori hukum murni.

Hukum mulai meligitimasi dirinya sebagai pemilik pactum kebenaran. Undang-undang diangkat sebagai cerminnya. Manusia yang semula menghidupkan hukum, mutatis mutandis, kemudian dipenjara oleh apa yang dilahirkan rahimmnya sendiri.

KENYATAAN HUKUM SAAT INI

Syahdan, segalanya seketika menjadi pribahasa “nasi sudah menjadi bubur”. Bangsa Indonesia yang tidak pernah memulai bagaimana caranya mereduksi teks kemudian pasrah pada undang-undang. Apa yang ditulis dalam undang-undang adalah kemutlakan dan dianggap layaknya keadilan. Padahal kata hanyalah kata tanpa rasa yang menjadikannya makna.

Politik dan ekonomi kemudian masuk bersamaan dengan derasnya globalisasi. Manusia yang semula menghargai dirinya dengan kejujuran kemudian hilang dan berubah menjadi status sosial dan ekonomi.

Politik digambarkan sebagai diri yang memiliki kekuasaan lebih daripada manusia lainnya. Ekonomi diperlihatkan dengan cirinya berupa barang-barang materiil yang memiliki nilai yang semakin sulit dijangkau semakin terlihat hebat dihadapan orang lain. Dua realitas yang terkadang membutakan kata Hegel.

Persoalan hukum belum selesai, manusia telah merubah cara pandangnnya terlebih dahulu akan hidup. Padahal kita tahu, hukum tidaklah bisa dilepaskan dari perilaku manusia. Maka jadilah, hukum tak ubahnya seperti sirkus yang menyenangkan dengan konten-kontennya yang ditunggu penonton.

Dengan kekuatan politik, kebijaksanaan hukum bisa berubah. Melalui sarana financial hukum mendadak diam tak berkutik. Dua-duanya tergantung bagaimana pesanan, bisa memperbaiki dan bisa juga memporak-porandakan. Itulah yang diutaran oleh Spence soal “hukum tidak lagi menjadi kitab keadilan tetapi telah berubah menjadi kekauan teks”.

Jonathan Swift, seorang politikus Irlandia di tahun 70an, pernah mengatakan bahwa kejanggalan seperti itu membuat hukum tak ubahnya sarang laba-laba yang menjala lalat namun mudah diterobos oleh burung. Dalam era kontemporer kata-kata itu di improfisasi oleh Alm Prof Satjipto Satjipto Rahardjo menjadi “hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah”. Keduanya menggunakan kiasan yang berbeda, namun dalam koridor makna yang sama.

Miris memang, akan tetapi nyatanya itulah terjadi saat ini.

MODEL PENDIDIKAN HUKUM SEHARUSNYA

Gerry Spence pernah sedikit mengulas tentang betapa miskinnya lawyers Amerika terhadap pengertian manusia, membuat dunia hukum menjadi kacau balau. Melalui sistem yang ada, para lawyers seperti diajari untuk melawan (againts) perasaan, mengasihi orang lain dan sesama manusia. Sebelum para lawyers diberi pengetahuan bagaimana caranya menjadi manusia yang berbudi, Spence menyarankan manusia untuk lebih baik pergi kepada perawat daripada mengunjungi advokat. Dia beranggapan bahwa perawat sudah pasti merawat dan tahu caranya memperlakukan perasaan orang lain.

Pendidikan hukum diakui tidaklah sama dengan pendidikan pengetahuan lainnya. Hukum menyangkut martabat. Hukum berdampingan pula dengan moral. Hukum juga sebagai pilar utama dari kesejahteraan yang bertumpu pada keadilan. Hukum terkesan seperti oase dengan bentuknya yang nyata.

Sejauh ini pendidikan hukum di Indonesia memusatkan perhatiaannya pada kemampuan murid dalam menghafal undang-undang. Undang-undang seolah menjadi kunci utama daripada keahlian hukum. Mahasiswa yang mampu menghafal dianggap sebagai mahasiswa yang expert. Itulah awal darimana sugesti yang salah mulai ditanamkan.

Filsafat hukum sebagai inti dimana keadilan itu dapat ditemukan justru disimpan sebagai mata kuliah pamungkas.

Dalam pendidikan hukum saat ini, para siswa dan siswi didahului akrab dengan istilah normatif dibandingkan dengan reflection abillity. Entah apa alasannya, filsafat hukum pada akhirnya dianggap sebagai formalitas kurikulum yang bahkan ditinggalkan dengan nilai C pun tidak masalah.

Seandainya kita ingin memperbaiki hukum, maka cara yang harus kita lakukan adalah memperbaiki kualitas manusianya. Bukan kualitas menghukum dan mengajukan gugatan, akan tetapi kualitas bagaiamana memandang keadilan itu secara kaffah.

Jikalau kita konsisten, secara substansi seharusnya filsafat hukum ditempatkan dalam urutan yang pertama. Mahasiswa dibiasakan mendefinisikan keadilan yang utuh terlebih dahulu. Setelah moral dan fundamental hukum tersebut tertanam dalam ubun-ubun, barulah undang-undang itu dipelajari. Out put yang dihasilkan atau sudut pandang memahami hukum akan lebih dinamis dan tak kontekstual, tentunya berbeda pula kualitas kemanusiaannya.

Urgensi dari porak-porandannya hukum kita bukan terletak pada undang-undang. Akan tetapi, rusaknya hukum kita diakibatkan oleh rusaknya pemahaman manusianya terhadap hukum. Keadilan bukanlah soal aturan tertulis, kata Slavoj Zizek, tetapi pembangunan kesadaran manusia terhadap moral.

PENUTUP

Berkaca pada kenyataan, pada awalnya hukum telah lahir tanpa peraturan tertulis. Hukum datang hanya melalui proses jabat tangan. Hukum bisa terjadi oleh karena ucapan lisan kedua belah pihak. Skema sederhana di waktu yang lalu itu bukan tidak ada masalah, namun masalah itu bisa diselesaikan dengan caranya sendiri, esensinya tetap, yaitu keadilan.

Sekarang undang-undang menjadikan penilaian yang semula telah disimpan pada yang tak tampak itu muncul. Baik, buruk, salah dan benar seolah dilegitimasi dengan kalimat-kalimat “barangsiapa”.

Dengan konsep pendidikan hukum yang baru. Pendidikan yang fokus studinya bertujuan meningkatkan rasa aman bagi manusianya. Maka kita akan sadar bahwa mengabaikan manusia dan perilakunya sama dengan mengabaikan hukum. Oleh sebab itu, secepatnya, dengan pendidikan hukum yang benar, persepsi “menegakan hukum adalah menegakan undang-undang” kita ubah menjadi “menegakan hukum artinya menegakan keadilan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar