Senin, 01 September 2014

Antara Antrean Bensin, Celoteh Rakyat dan Logika

(Kolom wacana Radar Cirebon, Rabu, 27 Agustus 2014)

http://statik.tempo.co/data/2013/08/26/id_213234/213234_620.jpg


Saya kira dulu yang dinamakan dengan kebebasan berbicara itu hanya ada di televisi. Bayangannya pun tentang sebuah revolusi yang berkaitan dengan politik. Belakangan saya tahu dan melihat sendiri, bahwa kehendak dan rasa nyaman dalam berekpresi tidak cuma berkutat pada hal-hal itu saja. Adalah kehabisan bensin yang menyadarkannya.

Kebetulan kampung saya letaknya di Kasepuhan, Cirebon. Tidak begitu jauh dari Pom bensin Cangkol yang fenomenal itu. Ya fenomenal, karena di tengah gempuran kapitalisasi, Pom bensin Cangkol dari dulu hingga sekarang tidak pernah menambah salurannya. Tetap dua dan pagawainya pun itu-itu saja. Ada apa di balik itu, saya tidak tahu.

Sabtu kemarin, tepatnya pukul tujuh petang waktu Cirebon, saya keluar dari rumah. Wajarlah anak muda, malam minggu gak nongkrong kan gak gaul.

Saya bukan tidak tahu, tapi sangat-sangat paham betul kalau bensin yang ada di dalam tangki motor saya habis. Sebelum berangkat menuju tempat yang direncanakan, saya memiliki sedikit inisiatif untuk mengisi bensin terlebih dahulu. Biasa, orang Indonesia kan sukanya ndadakan.

Kawan-kawan yang kebetulan menjadi bagian dari kerisauan malam itu mungkin tau. Saya kaget ketika mendapati Pom bensin yang menjadi langganan saya begitu ramai. Antreannya juga sangat panjang hingga mencapai setengah kilometer.

CELOTEH dan LOGIKA

“pak ana apa sih? sukiki bbm manek tah?” saya bertanya dengan polos kepada bapak-bapak yang juga ikut mengantre. Apakah besok bbm akan naik ya?

entok cung Pom bensine, kabeh ning endi-endi get pada bae. Biasalah adate get presiden anyar” apa yang dikatakan bapak itu kurang lebih adalah penjelasan mengenai bensin habis. Dia juga menyiratkan satu pesan bahwa dimana-mana, Pom bensin di Kota Cirebon, semuanya ramai seperti ini. Bukan bagian dari rakyat bila tak mengeluh, dalam penutupnya bapak tua dengan topi putih itu bilang “bensin habis karena effect presiden baru”.

Dalam ilmu logika, kalimat penutup bapak itu masuk dalam kategori post hoc ergo propter hoc. Dimana dua hal kebetulan yang datang bersamaan, kemudian dianggap menjadi saling berkaitan. Tidak apalah, namanya juga belum tahu. Pusing juga saya kalau harus berdebat soal yang kita sendiri belum tahu betul kebenarannya. Yang ada malah ribut nanti.

Bapak itu kemudian memajukan sedikit motornya. Saya mengikuti dari belakang. Saya tidak berani lagi berpisah dari antrean. Saya berpikir bahwa jikalau di tempat lain ramai, mending saya mengantre disini saja, toh tidak perlu mengulang mengantre.

Saya berangkat dari penalaran deduktif yang teramat sederhana. Jika semua Pom bensin habis, maka ketika premium, pertamax dan kawan-kawannya itu datang, seluruh Pom bensin akan terjadi antrean. Hari itu semua POM bensin di Cirebon kehabisan pasokan, oleh karenanya semua Pom bensin pasti dipadati kendaraan bermotor begitu stok tersedia malam itu.

Diantara sekitar 100 motor yang mengantre, mungkin saya ada dibarisan ke sembilan puluh sembilan. Logo pertamina belum dapat saya lihat. Petugas yang ramah dengan khas “mulai dari nol ya pak” juga belum saya dengar suaranya. Terbayangkan, seberapa jauh dan ramainya barisan panjang itu.

pak gage ngisie deuh !!, wis kari sat-set bae kah angel-angel pisan!!!” (pak cepat dong mengisinya (bensin), tinggal lakukan aja tuh susah banget)

Seorang ibu-ibu yang menunggangi motor matic berteriak lantang. Kuping saya hampir saja pecah jikalau tidak memakai helm. Belum lagi sorak sorai pengendara lainnya yang menyambut orasi ibu-ibu itu. Riuh sekali tepuk tangannya, mengantre serasa menonton konser.

Jika mengikuti standard bicara dengan argumentum ad populum maka boleh saja kita anggap apa yang dikatakan ibu itu benar. Hampir semua yang mengantre sependapat dengan pikirannya waktu itu. Akan tetapi, tidak bisa kita kemudian menarik kesimpulan hanya karena persetujuan yang banyak itu. Petugas Pom bensin sama seperti orang-orang yang sibuk antre juga. Dia adalah manusia yang memiliki dua tangan dan kaki. Dia bisa lelah, bisa emosi dan bisa pula buyar konsentrasinya, apalagi harus menghadapi keadaan yang belum biasa ditemui. Dia pasti kesulitan.

bu aja bulit, ngantre”
“iya pak, motore iki bensine entok”
“ya mbuh priben carae aja nyalip barisan, enak bae ari mengkonon!! Ana sepuluh uwong kaya ibu negara bisa rusuh!!” (ya gak tau pokoknya gimana caranya jangan menyalip, enak aja kalau begitu!!. Ada sepuluh orang seperti ibu, negara bisa chaos!!)

Seorang nenek yang umurnya kira-kira mau menginjak enam puluh tahun melintas. Di tangannya digenggam satu botol besar air mineral kosong. Dia menyelinap diantara wajah-wajah lelah penunggang motor. Dia berusaha sesegera mungkin mendapatkan bensin.

Bapak-bapak dengan motor lawas  memerahi tingkahnya itu. Dia merasa jerih payahnya hanya menjadi kekosongan ketika tahu bahwa ada orang yang bisa cepat mendapat bensin hanya dengan bermodal botol kosong. Alasan “motor mogok” dari ibu-ibu itu tidak dia percayai. Pokoknya keukeuh, harus antre bu !!!

Saya hanya memandangi keduanya dengan biasa. Saya tidak bisa menilai yang benar yang mana. Saya hanya yakin, bapak itu telah melakukan Fallacy of dramatic instance. Bapak itu menggeneralisir satu peristiwa menjadi hal yang umum. Kelakuan ibu itu yang belum bisa dikatakan benar atau salah, sudah diberi hukuman bahwa itu bisa membuat negara kacau.

“ari bensin kuh duwe rakyat, aja dipersulit”
“iya bener kih, bengkeng” (iya bener nih, bikin emosi)

Belum selesai adegan penuh amarah itu, seorang yang lain nyeletuk menanggapi kejadian langka malam itu. Dari hasil penalarannya, dia mengambil proposisi yang mengundang opini baru. Premis yang diajukan tanpa sadar menjadi konklusi bersama.

PENUTUP

Seru sekali memang malam itu. Tidak dapat dipungkiri saya ikut larut menikmatinya. Tertawa, berteriak-teriak dan terkadang terburu-buru memajukan motor. Menyenangkan memang dan tidak bisa dilupakan.

Bahasa-bahasa dari cara berpikir mereka jauh lebih lugas. Penerimaan antara satu dengan lainnya juga menunjukan keaslian sikap yang benar-benar langka bagi kalangan yang terbiasa berkutat dalam dunia akademisi.

Belum selesai sampai mengisi bensin, tiba-tiba poster bertuliskan “bensin habis” dimajukan. Motor-motor beserta tuannya menyingkir. Mobil-mobil juga pergi.

pak pribeeeen iki” (pak gimana ini)
wah di bom bae wis” (wah di bom aja udah)
wis ngantri-ngatri eh malah entok” (udah mengantre eh taunya habis)

Macam-macam ekspresi kekecewaan muncul. Semuanya tergantung dari bagaimana menyikapi kegiatannya. Paul Ekman mengungkapkan jika kesedihan adalah salah satu dari enam ekspresi kekecewaan. Menurut Lacan ekspresi kekecewaan itu dibiarkan saja muncul, terkadang, keluhan kecewa itu bisa membuat rasa tidak puas malah hilang tanpa sadar.

Drama panjang antrean yang menjadi trending topic masyarakat Kota Cirebon itu ditutup dengan teriakan keras penuh canda tawa seorang lelaki tua. Saya tidak mengenalnya, namun bisa membaca gambaran wajahnya jika dia orangnya periang.

bensine entoook, Alhamduuuuuuuuu.......?”

Seluruh pengantre yang tidak kebagian pun menjawab tanpa sungkan.

“lillllllllaaaaaaaaah”

Semuanya kemudian berpencar mengobati kelelahan raga dan jiwa. Gegap gempita menghilang seketika. Itulah Indonesia kecil dalam bingkai keragaman celoteh masyarakat Kota Cirebon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar