
Saya kira dulu yang dinamakan dengan kebebasan berbicara itu hanya ada di televisi. Bayangannya pun tentang sebuah revolusi yang berkaitan dengan politik. Belakangan saya tahu dan melihat sendiri, bahwa kehendak dan rasa nyaman dalam berekpresi tidak cuma berkutat pada hal-hal itu saja. Adalah kehabisan bensin yang menyadarkannya.
Kebetulan kampung saya
letaknya di Kasepuhan, Cirebon. Tidak begitu jauh dari Pom bensin Cangkol yang
fenomenal itu. Ya fenomenal, karena di tengah gempuran kapitalisasi, Pom bensin Cangkol dari dulu hingga sekarang tidak pernah menambah salurannya. Tetap dua
dan pagawainya pun itu-itu saja. Ada apa di balik itu, saya tidak tahu.
Sabtu kemarin, tepatnya
pukul tujuh petang waktu Cirebon, saya keluar dari rumah. Wajarlah anak muda,
malam minggu gak nongkrong kan gak gaul.
Saya bukan tidak tahu,
tapi sangat-sangat paham betul kalau bensin yang ada di dalam tangki motor saya
habis. Sebelum berangkat menuju tempat yang direncanakan, saya memiliki sedikit
inisiatif untuk mengisi bensin terlebih dahulu. Biasa, orang Indonesia kan
sukanya ndadakan.
Kawan-kawan yang
kebetulan menjadi bagian dari kerisauan malam itu mungkin tau. Saya kaget
ketika mendapati Pom bensin yang menjadi langganan saya begitu ramai. Antreannya
juga sangat panjang hingga mencapai setengah kilometer.
CELOTEH
dan LOGIKA
“pak ana apa sih? sukiki bbm manek tah?”
saya bertanya dengan polos kepada bapak-bapak yang juga ikut mengantre. Apakah
besok bbm akan naik ya?
“entok cung Pom bensine, kabeh ning endi-endi get pada bae. Biasalah adate get presiden anyar” apa yang dikatakan bapak itu kurang lebih adalah penjelasan mengenai bensin habis. Dia juga menyiratkan satu pesan bahwa dimana-mana, Pom bensin di Kota Cirebon, semuanya ramai seperti ini. Bukan bagian dari rakyat bila tak mengeluh, dalam penutupnya bapak tua dengan topi putih itu bilang “bensin habis karena effect presiden baru”.
Dalam ilmu logika,
kalimat penutup bapak itu masuk dalam kategori post hoc ergo propter hoc. Dimana dua hal kebetulan yang datang
bersamaan, kemudian dianggap menjadi saling berkaitan. Tidak apalah, namanya
juga belum tahu. Pusing juga saya kalau harus berdebat soal yang kita sendiri
belum tahu betul kebenarannya. Yang ada malah ribut nanti.
Bapak itu kemudian
memajukan sedikit motornya. Saya mengikuti dari belakang. Saya tidak berani
lagi berpisah dari antrean. Saya berpikir bahwa jikalau di tempat lain ramai,
mending saya mengantre disini saja, toh tidak perlu mengulang mengantre.
Saya berangkat dari
penalaran deduktif yang teramat sederhana. Jika semua Pom bensin habis, maka
ketika premium, pertamax dan
kawan-kawannya itu datang, seluruh Pom bensin akan terjadi antrean. Hari itu
semua POM bensin di Cirebon kehabisan pasokan, oleh karenanya semua Pom bensin
pasti dipadati kendaraan bermotor begitu stok tersedia malam itu.
Diantara sekitar 100
motor yang mengantre, mungkin saya ada dibarisan ke sembilan puluh sembilan.
Logo pertamina belum dapat saya lihat. Petugas yang ramah dengan khas “mulai
dari nol ya pak” juga belum saya dengar suaranya. Terbayangkan, seberapa jauh
dan ramainya barisan panjang itu.
“pak gage ngisie deuh !!, wis kari sat-set bae kah angel-angel pisan!!!”
(pak cepat dong mengisinya (bensin), tinggal lakukan aja tuh susah banget)
Seorang ibu-ibu yang
menunggangi motor matic berteriak lantang. Kuping saya hampir saja pecah
jikalau tidak memakai helm. Belum lagi sorak sorai pengendara lainnya yang
menyambut orasi ibu-ibu itu. Riuh sekali tepuk tangannya, mengantre serasa
menonton konser.
Jika mengikuti standard
bicara dengan argumentum ad populum
maka boleh saja kita anggap apa yang dikatakan ibu itu benar. Hampir semua yang
mengantre sependapat dengan pikirannya waktu itu. Akan tetapi, tidak bisa kita
kemudian menarik kesimpulan hanya karena persetujuan yang banyak itu. Petugas
Pom bensin sama seperti orang-orang yang sibuk antre juga. Dia adalah manusia
yang memiliki dua tangan dan kaki. Dia bisa lelah, bisa emosi dan bisa pula
buyar konsentrasinya, apalagi harus menghadapi keadaan yang belum biasa
ditemui. Dia pasti kesulitan.
“bu aja bulit, ngantre”
“iya
pak, motore iki bensine entok”
“ya
mbuh priben carae aja nyalip barisan, enak bae ari mengkonon!! Ana sepuluh
uwong kaya ibu negara bisa rusuh!!” (ya gak tau pokoknya
gimana caranya jangan menyalip, enak aja kalau begitu!!. Ada sepuluh orang
seperti ibu, negara bisa chaos!!)
Seorang nenek yang
umurnya kira-kira mau menginjak enam puluh tahun melintas. Di tangannya
digenggam satu botol besar air mineral kosong. Dia menyelinap diantara
wajah-wajah lelah penunggang motor. Dia berusaha sesegera mungkin mendapatkan bensin.
Bapak-bapak dengan
motor lawas memerahi tingkahnya itu. Dia merasa jerih
payahnya hanya menjadi kekosongan ketika tahu bahwa ada orang yang bisa cepat
mendapat bensin hanya dengan bermodal botol kosong. Alasan “motor mogok” dari
ibu-ibu itu tidak dia percayai. Pokoknya keukeuh,
harus antre bu !!!
Saya hanya memandangi
keduanya dengan biasa. Saya tidak bisa menilai yang benar yang mana. Saya hanya
yakin, bapak itu telah melakukan Fallacy
of dramatic instance. Bapak itu menggeneralisir satu peristiwa menjadi hal
yang umum. Kelakuan ibu itu yang belum bisa dikatakan benar atau salah, sudah
diberi hukuman bahwa itu bisa membuat negara kacau.
“ari
bensin kuh duwe rakyat, aja dipersulit”
“iya
bener kih, bengkeng” (iya bener nih, bikin emosi)
Belum selesai adegan
penuh amarah itu, seorang yang lain nyeletuk
menanggapi kejadian langka malam itu. Dari hasil penalarannya, dia mengambil
proposisi yang mengundang opini baru. Premis yang diajukan tanpa sadar menjadi
konklusi bersama.
PENUTUP
Seru sekali memang
malam itu. Tidak dapat dipungkiri saya ikut larut menikmatinya. Tertawa,
berteriak-teriak dan terkadang terburu-buru memajukan motor. Menyenangkan
memang dan tidak bisa dilupakan.
Bahasa-bahasa dari cara
berpikir mereka jauh lebih lugas. Penerimaan antara satu dengan lainnya juga
menunjukan keaslian sikap yang benar-benar langka bagi kalangan yang terbiasa
berkutat dalam dunia akademisi.
Belum selesai sampai
mengisi bensin, tiba-tiba poster bertuliskan “bensin habis” dimajukan.
Motor-motor beserta tuannya menyingkir. Mobil-mobil juga pergi.
“pak pribeeeen iki” (pak gimana ini)
“wah di bom bae wis” (wah di bom aja udah)
“wis ngantri-ngatri eh malah entok” (udah mengantre eh taunya habis)
Macam-macam ekspresi
kekecewaan muncul. Semuanya tergantung dari bagaimana menyikapi kegiatannya.
Paul Ekman mengungkapkan jika kesedihan adalah salah satu dari enam ekspresi
kekecewaan. Menurut Lacan ekspresi kekecewaan itu dibiarkan saja muncul,
terkadang, keluhan kecewa itu bisa membuat rasa tidak puas malah hilang tanpa
sadar.
Drama panjang antrean
yang menjadi trending topic masyarakat
Kota Cirebon itu ditutup dengan teriakan keras penuh canda tawa seorang lelaki
tua. Saya tidak mengenalnya, namun bisa membaca gambaran wajahnya jika dia
orangnya periang.
“bensine entoook, Alhamduuuuuuuuu.......?”
Seluruh pengantre yang
tidak kebagian pun menjawab tanpa sungkan.
“lillllllllaaaaaaaaah”
Semuanya kemudian
berpencar mengobati kelelahan raga dan jiwa. Gegap gempita menghilang seketika.
Itulah Indonesia kecil dalam bingkai keragaman celoteh masyarakat Kota Cirebon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar