
Dari namanya saja sudah menyeramkan, apalagi kalau kita berkunjung dan menyeruput kopi di situ. Tidak bisa dibayangkan, hiih jangan-jangan salah bicara kita hilang dan apabila ada tingkah laku yang tak berkenan maka senapan AK-47 siap membredel kepala kita.
Denger-denger nongkrong itu ada jam malammnya. Begitu langit-langit mulai gelap, bulan terang benderang, kita diwajibkan pulang. Kita tidak boleh berkumpul apalagi ngobrolin politik, haram hukumnya. Kecuali, mungkin, kalau kita keluar menggunakan baju binatang dan bertingkah layaknya binatang. Kita bisa sedikit mengelabui para petugas yang lalu lalang tiap malam. Itu pun tetap saja, kita jadi binatang yang sendiri tidak boleh bergerombol.
Saya kemudian mencoba untuk menguji kebenaran dari buku yang saya baca itu. Kata Comte kan kajian sosiologis itu dibentuk dari pengamatan dan tidak pada tindakan spekulasi keadaan.
Akhirnya dingin-dingin pada suatu malam saya keluar dari rumah. Saya sengaja tidak memakai jaket karena kebetulan tempatnya dekat. Seperti dari stasiun gambir menuju monas lah jaraknya, tapi jalan kaki loh bukan naik kendaraan. Kalau naik kendaraan sekalipun saya bilang deket maka waktu tempuhnya berbeda. Dua setengah menit kemudian saya akhirnya sampai di sebuah warung kopi di alun-alun Kasepuhan.
Saya telah duduk di warung tersebut. Warung itu dijuluki dengan "warung ORBA". Memang jika ada yang bilang anak muda itu pikirannya pendek, benar juga. Julukan ORBA muncul perkara spanduk penutup panas dari warung kopi yang bertuliskan "awas bahaya laten ORBA".
Waktu itu, di warung tersebut, ada sekitar empat bapak-bapak. Semunya merokok tapi gelas kopinya cuma dua, mungkin barengan. Saya memilih tempat mengistirahatkan pantat di bagian pojok kursi, di depan para suami-suami yang lupa pulang itu.
"pesen apa lay?" (pesen apa bro?)
"kopi bae siji" (kopi aja satu)
Pedagang kopi, lengkap dengan kumis dan jenggotnya, menodong saya untuk memesan. Pertanyaannya mau tidak mau harus dijawab dengan uang.
Umum ya, iya umum sekali. Dimana-mana, mau di Kuba, mau di Prancis, di negaranya Nelson Mandela yang Afrika pun, pria yang nongkrong di warung menunya hampir pasti kopi. Mereka yang memesan lain itu kalau tidak diabetes, ya, paling kata ustad Arifin Ilham mah belum dapat hidayah dari Allah. Lah, orang kaya Che Guevara, Sartre sampe yang lokal macam Soekarno aja kalau begadang malem-malem minumnya kopi.
Mata saya kemudian menatap tajam penuh gelisah, persis seperti Israel Defense Force (IDF) Sniper Team yang siap memburu marinir Amerika di Irak. Kopi emang sudah di atas meja tapi untuk nyruputnya itu harus dengan keberanian. Kopi itu kan membikin kantuk hilang, otomatis kita akan melek terus semaleman. Nah, kalau sudah begitu namanya saya akan melanggar jam malam. Saya harus waspada, siapa tahu ada yang mau menciduk bisa lari duluan.
"aduuh gimana sih ini, parah-parah, politikus brengsek"
"iya, dulu janjinya jalan tanah itu dirubah mau direlokasi jadi jalan aspal"
"renovasi ed bukan relokasi"
"ya itu lah pokoke" (ya itulah pokoknya)
Bahaya sekali bapak-bapak itu. Ngobrolin politik tengah malam. Apa gak pada takut ditangkep polisi ya.
Bohong nih kayaknya buku. Katanya rezim otoriter, fasis, milisteristik dan apalah itu namanya anti kritik, tapi nyatanya apa yang saya lihat itu bebas berpendapat dilegalkan. Mana polisi-polisi, mana om cepak berbaju loreng hijau yang siap memberangus rakyat-rakyat yang sok-sokan berpolitik itu. Tidak muncul senjatanya, sebatas desahan nafasnya pun gak kerasa. Saya coba menenangkan diri, apa saya yang salah lihat ya? bisa saja mereka itu Anggota dewan yang memang punya Hak Imunitas untuk menyatakan pendapat baik lisan maupun tertulis. Sudahlah, saya kembalikan kebenaran itu pada buku yang saya baca, lagi.
Saya masih bersyukur sih, Indonesia aturan jam malamnya tidak seaneh di Swiss. Tidak boleh berkumpul di jam malam mungkin bisa diatasi dengan menghabiskan waktu bersama keluarga, nonton tv dirumah atau sholat. Di Swiss, diantara eleven weird laws yang ditulis situs newlyswissed.com, aturan jam malammnya tidak memberbolehkan laki-laki kencing berdiri selepas jam 10 malam. Bagaimana para lelaki bisa melakukan itu? cobalah sendiri.
Kopi sudah mulai diminum dan keadaan telah membaur dengan sendirinya. Saya ikut berbincang masalah negara dengan para senior tadi. Saya pikir sudahlah, jikalaupun ditanya-tanya sama petugas nanti, saya bisa bilang kalau dipaksa suruh ikut ngobrol. Anak-anak itu bisa salah tetapi anak-anak itu jarang sekali bohong, kalimat itu menjadi pledoi saya malam itu.
Namanya era globalisasi ya, semuanya serba canggih dan modern. Orang tua tidak lagi berkeliling atau meminjam speaker masjid untuk mencari anaknya. Cukup cari kontak dan pencet tombol hijau di handphone, semunya beres. Itu jugalah yang dilakukan orang tua saya.
"tttuttutututut"
"iya halo brad"
"dimana kamu?"
"eh bu, maaf. Iya ana apa? lagi di warung" (eh bu maaf, iya ada apa? sedang di warung nih)
"pulang cepet, sudah malam"
Tidak banyak alasan saya langsung pulang. Malin kundang sudah menjadi batu. Di Dusun Sigambal, Labuhan Batu Selatan seorang anak dikutuk jadi ular kepala anjing. Daripada mengambil resiko memancing marah orang tua, terus dikutuk jadi ga ganteng lagi, mending nurut ajadeh. Lagipula dapat pahala juga kan kata (lagi-lagi) ustad Arifin Ilham.
Pulang-pulang saya langsung masuk kamar. Penasaran juga saya dengan buku yang telah dibaca. Jika memang salah kan bisa saya laporkan bahwa penulis itu telah melakukan penipuan akademik. Katanya warung tidak boleh jadi tempat berkumpul, ternyata nongkrong bahkan menghina politikus bebas-bebas aja.
Dan ternyata, saya yang keliru, buku yang saya baca itu terbitan tahun 70an. Pantes saja, sekarang sudah tahun 2014. Zaman telah berubah dan reformasi mulai dijalankan. Manusia sudah bebas sebebas-bebasnya, mau berpendapat, mau berkumpul, mau ngadain reunian SMA bahkan acara penulis Pidi Baiq boleh-boleh saja, cuma hak untuk kencing saja yang mungkin melekat tapi harus bayar.
Dan kebebasan pun tetap harus mendapatkan catatan, bila perlu cetak miring dan tampak tebal sekalian. Jangan pernah menggunakan kebebasan yang kita miliki untuk mengganggu kebebasan orang lain. Jangan gunakan kebebasan kita juga, untuk alasan menyakiti orang lain.
http://www.newlyswissed.com/11-weird-swiss-laws/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar