
Selamat malam puan. Kau pasti masih ingatkan, seperti apa bentuk wajahku jika sedang menyapamu.
Puan, mungkin jika aku tumpukan menjadi satu berkas yang tersusun rapih, tingginya akan mampu menyendul langit ke tujuh. Setiap sisi awan tersentuh daripadanya. Begitulah sekiranya rinduku padamu malam ini.
Aku bukan tidak tahu, bukan pula buta akan keberadaanmu. Aku hanya memilih untuk tidak mau tahu lagi segala hal menyangkut dirimu. Itulah kata-kata terakhirmu yang kau inginkan dariku. Menyakitkan memang, tetapi lebih menyakitkan lagi bila ternyata aku tahu bahwa aku gagal menerima kenyataan.
Sampai saat ini. Ya, tepatnya saat aku menuliskan kalimat-kalimat awal paragraf ketigaku, wajahmu masih saja terbayang. Garis-garis kecil diantara lekukan bibirmu ketika kau tersenyum. Alis hitam yang meninggi taktala kau heran dengan tingkahku. Cara khasmu menyeka hidung pada saat mencium sesuatu yang baru. Aku masih hafal betul. Maafkan aku jikalau kau tak berkenan ku kenangi.
Banyak hal telah kulewati. Banyak petualangan juga yang telah kutamatkan. Semuanya tidak bisa merubahku, semuanya tetap tertuju pada satu hal yang sama. Aku terus saja berharap bahwa pintu yang kubuka, ruas-ruas jalan yang kulalui, berakhir di bandara cinta yang mempertemukan kita.
Kau tau puan. Boneka kecil pemberianmu selalu ku kecupi tiap malam. Aku bahkan tak pernah memperkenalkannya pada tukang loundry. Aku mencucinya sendiri layaknya mencuci tubuhmu yang berkeringat. Boneka itu puan, bagiku adalah bayangmu dalam bentuknya yang diam.
Kemarin aku mampir ke warung soto Pak Sobari, langganan kita itu loh. Dia bilang padaku katanya beberapa saat lalu kau berjungjung ke tempatnya. Kau menggandeng laki-laki tampan, yang kata Pak Sobari, kau memperkenalkannya sebagai tunanganmu.
Aku sempat diam sebentar mendengar pernyataan Pak Sobari. Aku pikir Pak Sobari bercanda, tetapi asistennya kemudian meyakinkanku bahwa yang dikatakan bosnya itu benar.
Aku tidak jadi makan malam itu, puan. Aku memilih pulang dengan membawa kata-kata kawan kostku jika "dunia itu tidak adil". Aku bingung, aku harus percaya atau aku harus menafikannya. Angin kencang yang berhembus bersamaan dengan laju cepat motorku pun tak memberikan solusi.
Puan, kebimbanganku bukan karena aku tidak setuju. Sama sekali bukan karena itu puan. Apalagi kau kan tau puan, aku akan melakukan apapun agar kau bahagia. Rasa bimbangku hanya didasari oleh rindu yang mengundang temannya yang kita kenal dengan cemburu. Entahlah, bagaimana itu bisa terjadi tetapi memang perasaan itu tidak bisa diprediksi.
Saat ini aku sedang membaca ulang janjiku padamu puan. Ya, janjiku yang kemudian jadi janji kita itu.
Dulu kita pernah berencana untuk terbang bersama ke eropa. Kita membeli jaket yang sama dengan model dan warna yang harus mirip. Kita ingin semua orang tahu kalau aku milikmu dan kau pun miliku. Kita begitu bangga dengan perasaan itu.
Perjalanan jauh itu tentunya membuat kita lelah. Kau kemudian berpikir bahwa ada baiknya kita beristirahat. Kau memintaku untuk menyediakan pahaku memangku kepalamu. Kau lalu memaksaku untuk mengusap kecil rambutmu sambil kita pandangi danau-danau bersama.
Dalam keharmonisan itu, kau bercerita padaku juga tentang sebuah nama. Kau memilih bulan untuk anak perempuanmu, nanti. Aku menentukan nama matahari bagi bayi laki-laki. Kita dalam frekuensi yang sama memandang nama itu. Kita berimajinasi jika suatu saat ketika langit dirundung awan gelap, kita masih punya satu bulan dan satu matahari yang menerangi kita di rumah.
Oh iya puan, rumah di atas awan yang telah kita bangun pun kini mungkin tinggal puing. Aku bahkan belum mengecatnya menjadi warna putih karena kau keburu pergi. Aku hanya menaruh kursi kecil saja di halamannya. Aku berkhayal duduk disitu dan menunggumu siapa tau besok-besok kau kembali. Nyatanya tidak puan.
Indah, teramat indah untuk ku coret satu persatu. Aku tidak sampai hati menggerakan tanganku untuk menghapus seluruhnya. Biarkan sajalah, gurauan-guraun kecil itu berbicara sendiri menyaksikan kekonyolan kita dahulu.
Ya puan, semuanya kini hanya tinggal goresan saja. Yang apabila tidak kita jaga secara rapih maka akan lapuk dengan sendirinya. Waktumu sudah semakin dekat. Kau harus mengikatkan dirimu pada dirinya yang aku sendiri tidak mengenalnya betul. Kau kini berada sepenuhnya dalam kekuasaan orang lain. Aku berdoa semoga kau bahagia, puan.
Pada saatnya akan tiba, baik cepat ataupun lambat. Permintaanku tidak sulit puan. Aku memiliki keinginan, suatu saat nanti ketika kita bertemu, kau masih mau menggerakan tanganmu ke wajahku. Aku berharap, kau menjadi orang pertama yang mengusap buliran air yang keluar dari mataku. Aku yakin hanya kau yang tau alasan mengapa hal itu terjadi dan kau pun tau bagaimana mengobatinya. Kau mau kan puan?
Terima kasih telah mengajariku tentang kenyataan. Terima kasih telah menemaniku tumbuh dewasa. Lebih penting dari itu, terima kasih puan karena kau pernah mencintaiku.
Dari yang merindukanmu.
Lucky.
- https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4CcTNvQVL_8YW2nlUPttlbsi16WVHrzZb3-9HkoWRGKXkidf84Tk468827jMI5pggsnB5vSyTCLiJ5LskSvABVJfi09pTY57fR-dJgFL5esMm8lTgkFruD3Y5VJ-7l_D6PMFGwGa24V21/s640/tumblr_m0f1k8FGY71rp32b4o1_500.png
Wohooooo! Loved ♥
BalasHapus