(Tentang toko buku jelek yang letaknya di Jln, KarangJalak, Primkopkartika. Depan Kampus 1 Unswagati, Cirebon.)
Dalam kaidah bahasa cirebonan, 'langka' itu berarti tidak ada. Jika 'langka' itu kemudian kita kaitkan dengan judul artikel di atas, maka artinya bisa menjadi 'tidak ada toko buku'. Untungnya 'langka' yang dimaksud adalah 'langka' yang dalam KBBI berarti 'jarang ditemukan'. Sehingga dapat disimpulkan bahwa toko buku yang hendak dibahas adalah toko buku yang memiliki keunikan daripada toko buku yang lainya.
Teriknya matahari di Kota Cirebon agaknya lebih mengerikan daripada kota-kota lain. Wanita-wanita sosialita mengibaratkannya dengan 'neraka bocor'. Bayangkan, dalam Al-Qur'an dijelaskan jika api neraka itu melebihi panas matahari, sudah tentu kan kalimat 'neraka bocor' itu menggambarkan bahwa sumub di Kota Wali tersebut luar biasa menyengat. Oleh karenanya, mencari tempat berteduh adalah solusi terbaik.
Waktu itu pukul dua belas siang (perkiraan waktu berdasarkan adzan Dzuhur). Saya memutari kota dengan motor matic yang belum pernah saya mencucinya sendiri seumur hidup. Debu-debu jalanan berterbangan, lalu lalang kendaran membuat pusing, tidak ada satupun warung yang saya liat sekiranya mampu menghentikan laju motor saya. Di tengah kebimbangan itu, saya memilih untuk "sudahlah menepi saja di toko buku milik kawan saya".
Nama toko buku teman saya itu adalah Bookmarks. Letaknya di jalan depan kampus Universitas yang menggunakan nama Wali di belakangnya. Jangan pernah dipikirkan kaitannya karena tidak akan pernah ketemu. Bookmarks itu ya bookmarks, Universitas nama wali ya Universitas nama wali. Tidak ada konspirasi atau kongkalikong, cuma, kalau berbagi pasar 'rasa haus' intelektual mungkin, itu pun terjadi seperti apa yang dikatakan Jacques Lacan dengan unconscious (tanpa sadar) atau tanpa rencana.
"mendi bae, suwe beli deleng" (kemana aja, lama tidak kelihatan)
"biasa, akeh tugas" (biasa, banyak tugas)
Saya disapa dengan jabatan tangannya yang cukup khas. Topi caping yang menutupi rambut hitam di kepalanya masih dia jadikan brand. Namanya Alam Darusalam, kalau di twitter dia mengubah namanya menjadi judul lagu Chrisye yang terkenal itu, Merepih Alam. Entahlah, mungkin jika orang tuanya tahu bahwa dia berlaku seperti itu, maka duit untuk nikahnya akan dihabiskan guna keperluan syukuran "tumpengan" mengganti nama.
Toko buku kecilnya itu tidak aneh-aneh. Bentuknya sama seperti toko buku 'liar' yang biasa kita temukan di Palasari (Bandung) atau Stadion (Semarang). Ketika saya masuk pun, tempat duduk ngelesehnya cukup hanya untuk dua orang. Jadilah, saya dan si Alam itu duduk bersenggol dengkul.
"ada isu apa yang terbaru?"
Saya selalu memulai pertanyaan itu taktala bertemu dengannya. Kacamatanya membuat saya selalu berimajinasi jika dia adalah seorang ilmuan ahli pikir yang handal.
"mbuh, bbm bae stoke entok, antrian sing maue biasa jadi dawa" (tidak tahu, bbm aja tuh stoknya habis, antrian yang dulunya biasa jadi panjang sekarang)
Seperti biasa, tidak pernah tidak, dia akan menjawab pertanyaan saya yang dinamis dengan persoalan lokal yang ada di depan mata.
Jika Albert Camus, Sartre dan seorang wanita bernama Simone lahir dan besar karena nongkrong di cafe-cafe keren Prancis. Saya dan Alam mungkin sedikit dikenal karena toko buku yang bentuknya remeh di pinggiran jalan Karang Jalak, Cirebon itu. Semoga saja kalimat ini menjadi doa yang diamini oleh malaikat yang setia mengikuti manusia di pundak kiri dan kanan. Amin.
Obrolan pun berlanjut ke tahap-tahap yang serius. Konflik Ciremai bahkan persoalan lingkungan pun tak kelewatan menjadi bahasan. Kadang-kadang kita sok-sokan menjadi filsuf yang mencoba mencari makna dari seluruh fenomena yang dibahas.
Saya jadi teringat buku The Sublime Object of Ideology karya Slavoj Zizek. Dalam buku itu Zizek menarik inti dari pikiran Alfred Sohn-Rhetel tentang analisis rinci (series of detailed analysis). Zizek katakan "sebelum pikiran tiba dalam abstraksi murni, abstraksi itu sudah bekerja sendiri dalam ruang sosial". Meskipun yang dibahas adalah soal ekonomi, tapi rasanya kesimpulan itu pun cukup mewakili kenyataan yang lainya yang bukan ekonomi. Misalnya realitas komunikasi dan sosial masyarakat di lapangan yang sedang di bahas oleh saya dan Alam.
Titik-titik itulah yang menjadikan toko buku kecil Alam mendapat julukan unik dari saya. Sebelumnya, bahkan ketika SD, saya selalu berhalusinasi tentang 'keseraman' toko-toko buku. Pikiran yang muncul dalam benak saya adalah "orang yang bersahabat dengan buku itu kaku dan dipenuhi oleh teori-teori rumit, yang bahkan kadang teoritikus itu sendiri tak mengerti apa yang dia bicarakan". Belakangan saya mulai merevisi sendiri berdasar pengalaman dan kontemplasi pribadi, Bookmarks lah yang menjadi 'rumah kecil' pembrontakan itu.
Jean Paul-Sartre punya jargon menolak FAKTISITAS (beberapa fakta di masa lalu tidak dapat kita ubah, seperti misal tempat dan tanggal lahir). Perlawanan itu ditujukan bagi orang-orang yang beranggapan bahwa masa lalu itu mempengaruhi seseorang di masa depan. Padahal nyatanya, kata Sartre, tidak ada patokan kenyataan itu menyebabkan apa yang kita lakukan sekarang. Rasanya keadaan saya pada saat ini (ketika berada di Bookmarks) sedang setuju dengan Sartre. Masa kecil saya yang mengonotasikan negatif toko buku sudah tak berlaku lagi.
Peristiwa besar di tahun 1998 mungkin menjadi penyumbang terbesar kebebasan berdiskusi itu. Toko buku Alam berada tepat di depan markas TNI. Jika saja yang kita lakukan berdua itu pada masa kejayaan Orde Baru, tidak tahulah, sudah dibuang kemana kita ini.
Bincang-bincang ala kadarnya itu terus berlanjut. Semula serius menjadi biasa, kadang juga berubah tema menyentuh hal-hal yang humor. Setelahnya menjadi seperti sebuah kebiasaan saja yang tidak lagi direncanakan. Orang kata mah mengalir aja kaya air.
Berhubung itu toko buku dan bukan rumah, saya harus tahu diri menentukan waktu kapan saya pulang. Mau nginep bingung karena tempat tidurnya amatlah sempit, mau lama-lama juga kasian, Alam harus berdagang dan menunggui tokonya. Setelah tiga jam perbincangan, saya memilih untuk melanjutkan perjalanan.
Sebelum meninggalkan 'toko buku' yang dia sebut 'kios' itu, saya sempat melontarkan sedikit mimpi 'nakal' tentang bagaimana toko buku kedepannya. Saya pernah membaca satu artikel dari Elon University menyoal "fifteen benefits of discussion". Dari lima belas itu, setidaknya ada empat yang penting dan dibutuhkan saat ini. Pertama, membantu mengeksplorasi keragaman perspektif (It helps students explore a diversity of perspectives). Kedua, menghargai dan melanjutkan apresiasi terhadap perbedaan (develops new appreciation for continuing differences). Ketiga, meningkatkan kemampuan intelektual (increases intellectual agility). Keempat, membentuk kebiasaan yang meningkatkan pembelajaran berkolaborasi (develops habits of collaborative learning). Bisa kita lihat sendiri kan, jikalau saja semua toko buku memulai inisiatifnya dan setiap penjaga toko lebih pro-aktif kepada konsumen, yang terjadi bukan hanya transaksi kapital (jual beli buku) tetapi juga pengetahuan dengan model dialektika.
Makasih lam, diskonannya.
- gambarnya ngambil dari twitter @bookmarksAffair
Tidak ada komentar:
Posting Komentar