
Semenjak
Soekarno dibangkitkan kembali ruh nya
pada kampanye Pilpres 2014, kehidupan masyarakat di Indonesia mendadak serba
ideologis. Gedung walikota, baju anggota dewan bahkan mungkin nanti bentuk
toilet pun dipersoalkan ideologisnya. Berhubung isu itu sedang seksi, maka kejadian si Rudi dan
Gurunya pun ingin saya kaji secara ideologis.
Di“cie-ciein” sama temen sendiri itu masih mending. Jika kita sedang baik, paling kita balas “cie-ciein” juga. Kalau takut malu, kita tinggal marahin aja temen kita yang “cie-ciein” itu. Seandainya sudah keterlaluan, ya apa boleh buat, berantem juga bisa dilakukan lah. Namanya juga sama temen, segalanya masih dalam batas yang seimbang.
Alangkah sedihnya si Rudi, dia sepertinya sedang kebagian
sial. Siapapun pasti tidak ingin mengalami apa yang Rudi alami. Siang itu, Rudi
di“cie-ciein” oleh gurunya sendiri.
Apa yang hendak dikata, Rudi bingung tujuh keliling. Dia
seperti disandra oleh ujian berat yang menuntutnya pasrah. Dia ingin membalas
“cie-ciein” gurunya itu, namun takut timbul fitnah yang merusak rumah tangga
orang. Mau marah tapi dia urungkan, dia tidak ingin nilai ulangannya tiba-tiba
jeblok tanpa sebab. Pilihan yang terakhir, berantem, rasanya bukan pilihan yang
bagus. Dari fisik Rudi sudah pasti kalah, kemampuan bertarung pun tidak
mumpuni. Yang lebih menakutkan adalah kalau gurunya yang iseng itu ternyata
masih honorer. Bisa-bisa niat Rudi membalas gurunya itu malah jadi bahan
pelampiasan emosi karena gaji yang telat dibayar.
Jadilah Rudi diam saja. Otomatis, gurunya yang merasa menang
itu terus memojokinya.
“cieeee, cieeee, pacaran cieeee, cieeee”
Teman wanitanya mulai terlihat malu. Genggaman tangan yang semula
erat dan tak terpisahkan terpaksa harus dilepas.
Rudi masih saja diam. Padahal menurut UUD 1945 pasal 28E, negara
menjamin hak bagi wargannya untuk berbicara dan menyatakan pendapat. Tidak peduli
mau anak-anak, dewasa, orang tua bahkan sepuh pun diberikan kesempatan
melakukan hal itu. Apalagi ini menyangkut harga dirinya, menyangkut kepemilikan
juga. Pacarnya bisa saja 'minta putus' karena malu atas kejadian itu.
Apakah mungkin saat ini Rudi sudah bergabung dengan ISIS? Suatu
komunitas masyarakat besar yang menghendaki daulah
islamiyyah itu. Mungkinkah konsep bernegara yang berbeda dengan Pancasila kemudian
menjadi alasan Rudi tidak mempercayai UUD? Karenanya kebebasan mengutarakan isi
hati yang diatur UUD 45 itu tidak dia lakukan.
Pertanyaan itu bolak-bolik, mutar-muter kaya strikaan rusak.
Otak pun menjadi panas karenanya. Ah, tapi tidak mungkin deh, yakin. Rudi itu
kemarin pas waktu sholat ashar aja ditinggal main PS sampe isya. Kalau dia
memang ISIS, dia pasti sudah dipecut oleh Khalifah Abu Bakar Al Baghdadi, imam
besar ISIS itu.
“cieeeee, cieeeee, ihiiir cieeeee”
Sudah tahu diejek, masih saja Rudi tidak pergi dari taman
sekolah itu. Gurunya makin menjadi-jadi, kan.
Tangan guru itu kini menggebrak-gebrak meja, kakinya naik ke kursi,
mulutnya ngakak, giginya ikutan nongol.
Rudi mungkin ingin melakukan suatu perlawanan yang heroik
tapi dia bingung. Ingin melapor ke Komnas HAM, dia tidak mengerti caranya.
Ingin meminta perlindungan Komnas Anak, dia juga tidak tahu nomer handphone Kak Seto. Daripada berlarut-larut, dia lebih memilih menjadi orang sabar saja.
“marah dong say?”
Kekasihnya memberi isyarat. Wanita dengan jilbab yang
rambutnya keluar-keluar itu menyemangati Rudi untuk melawan.
“diem aja ah”
“ah, payah kamu”
“udah diem, tau apa kamu”
Semut kecil yang berada di sekitar keduanya tak mungkin
mendengar percakapan itu. Bisik-bisiknya amatlah kecil, kecil sekali, pokoknya
kecil.
Indonesia memang tempatnya salah dan lupa. Peristiwa macam
ini saja bisa dikait-kaitkan dengan istilah feodalisme, itu pun dengan artinya
yang salah. Dimana feodalisme yang
seharusnya berkonotasi politik mempersoalkan ‘tuan tanah’, di Indonesia bisa
bermakna ‘selalu ingin menang’, ‘ingin dihormati’, ‘kolot’ dan sebangsanya. Jadilah
dengan mudah saja orang kita mengatakan, guru itu feodal.
Katanya Indonesia sudah sepakat untuk tidak lagi menerapkan
sistem (feodal) itu. Undang-undangnya pun sudah mengatur untuk tidak berlaku
begitu. Tetapi, fakta Rudi memberikan pandangan baru bahwa hal itu belum
selesai dan masih ada. Demokrasi artinya sama dengan 1 dikurangi 1 dong, hasilnya telor mata sapi alias nol (0).
“ah rud, sudah ah, kasian kamu. Bapak bercanda kok, jangan
diambil hati ya rud”
“iya pak, hehehe”
“hehehe, maaf juga ya neng”
“jangan gitu lagi pak, gak baik, saya laporin kepala sekolah
nanti”
Guru yang mengejeknya kini telah pergi. Salam tanda maaf
juga sudah ditunaikan. Rudi bisa kembali tenang dan berbincang mesra bersama
kekasihnya.
“kamu napa sih gak melawan?”
“eh, aku bingung yang, karena biasanya kalau melawan sama
guru itu nilainya jelek”
“ya itu tapi kan dia salah”
“iya dia salah, tapi dia juga orang tua. Nanti aku dikira
gak sopan melawan orang tua”
“ah kamu itu”
“iya yang”
“sudahlah lupakan aja, kita makan es krim yuk”
Ternyata gaya-gaya kolonial itu belum hilang sepenuhnya di Bumi Pertiwi. Sistem mungkin tidak lagi mengaturnya. Memang, sikap bak ‘raja’
itu dulu datangnya karena paksaan dari luar, tapi kini sikap itu telah datang
dari dalam dirinya sendiri. Ketakutan Rudi yang tanpa alasan, kegelesihannya
akan hal-hal yang mengerikan, menunjukan jelas bahwa ‘feodalisme’ itu kini membatin hingga kita sendiri tak sadar akan
hal itu.
Sampai disini saja, kalau terlalu jauh nanti lupa arah jalan
pulang. Semoga saja dua buah es krim bisa mendinginkan hati kedua pasangan muda
itu. Amin.
- http://31.media.tumblr.com/035b0a37464bdf6d20698101f0e9b91f/tumblr_mop1uowCp71rqxfgxo1_1280.jpg
- http://31.media.tumblr.com/035b0a37464bdf6d20698101f0e9b91f/tumblr_mop1uowCp71rqxfgxo1_1280.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar