Selasa, 26 Agustus 2014

Rudi dan Gurunya (Feodalisme Diri)

http://31.media.tumblr.com/035b0a37464bdf6d20698101f0e9b91f/tumblr_mop1uowCp71rqxfgxo1_1280.jpg




Semenjak Soekarno dibangkitkan kembali ruh nya pada kampanye Pilpres 2014, kehidupan masyarakat di Indonesia mendadak serba ideologis. Gedung walikota, baju anggota dewan bahkan mungkin nanti bentuk toilet pun dipersoalkan ideologisnya. Berhubung isu itu sedang seksi, maka kejadian si Rudi dan Gurunya pun ingin saya kaji secara ideologis.
  
Di“cie-ciein” sama temen sendiri itu masih mending. Jika kita sedang baik, paling kita balas “cie-ciein” juga. Kalau takut malu, kita tinggal marahin aja temen kita yang “cie-ciein” itu. Seandainya sudah keterlaluan, ya apa boleh buat, berantem juga bisa dilakukan lah. Namanya juga sama temen, segalanya masih dalam batas yang seimbang.

Alangkah sedihnya si Rudi, dia sepertinya sedang kebagian sial. Siapapun pasti tidak ingin mengalami apa yang Rudi alami. Siang itu, Rudi di“cie-ciein” oleh gurunya sendiri.

Apa yang hendak dikata, Rudi bingung tujuh keliling. Dia seperti disandra oleh ujian berat yang menuntutnya pasrah. Dia ingin membalas “cie-ciein” gurunya itu, namun takut timbul fitnah yang merusak rumah tangga orang. Mau marah tapi dia urungkan, dia tidak ingin nilai ulangannya tiba-tiba jeblok tanpa sebab. Pilihan yang terakhir, berantem, rasanya bukan pilihan yang bagus. Dari fisik Rudi sudah pasti kalah, kemampuan bertarung pun tidak mumpuni. Yang lebih menakutkan adalah kalau gurunya yang iseng itu ternyata masih honorer. Bisa-bisa niat Rudi membalas gurunya itu malah jadi bahan pelampiasan emosi karena gaji yang telat dibayar.

Jadilah Rudi diam saja. Otomatis, gurunya yang merasa menang itu terus memojokinya.

“cieeee, cieeee, pacaran cieeee, cieeee”

Teman wanitanya mulai terlihat malu. Genggaman tangan yang semula erat dan tak terpisahkan terpaksa harus dilepas.

Rudi masih saja diam. Padahal menurut UUD 1945 pasal 28E, negara menjamin hak bagi wargannya untuk berbicara dan menyatakan pendapat. Tidak peduli mau anak-anak, dewasa, orang tua bahkan sepuh pun diberikan kesempatan melakukan hal itu. Apalagi ini menyangkut harga dirinya, menyangkut kepemilikan juga. Pacarnya bisa saja 'minta putus' karena malu atas kejadian itu.

Apakah mungkin saat ini Rudi sudah bergabung dengan ISIS? Suatu komunitas masyarakat besar yang menghendaki daulah islamiyyah itu. Mungkinkah konsep bernegara yang berbeda dengan Pancasila kemudian menjadi alasan Rudi tidak mempercayai UUD? Karenanya kebebasan mengutarakan isi hati yang diatur UUD 45 itu tidak dia lakukan.

Pertanyaan itu bolak-bolik, mutar-muter kaya strikaan rusak. Otak pun menjadi panas karenanya. Ah, tapi tidak mungkin deh, yakin. Rudi itu kemarin pas waktu sholat ashar aja ditinggal main PS sampe isya. Kalau dia memang ISIS, dia pasti sudah dipecut oleh Khalifah Abu Bakar Al Baghdadi, imam besar ISIS itu.

“cieeeee, cieeeee, ihiiir cieeeee”

Sudah tahu diejek, masih saja Rudi tidak pergi dari taman sekolah itu. Gurunya makin menjadi-jadi, kan. Tangan guru itu kini menggebrak-gebrak meja, kakinya naik ke kursi, mulutnya ngakak, giginya ikutan nongol.

Rudi mungkin ingin melakukan suatu perlawanan yang heroik tapi dia bingung. Ingin melapor ke Komnas HAM, dia tidak mengerti caranya. Ingin meminta perlindungan Komnas Anak, dia juga tidak tahu nomer handphone Kak Seto. Daripada berlarut-larut, dia lebih memilih menjadi orang sabar saja.

“marah dong say?”

Kekasihnya memberi isyarat. Wanita dengan jilbab yang rambutnya keluar-keluar itu menyemangati Rudi untuk melawan.

“diem aja ah”
“ah, payah kamu”
“udah diem, tau apa kamu”

Semut kecil yang berada di sekitar keduanya tak mungkin mendengar percakapan itu. Bisik-bisiknya amatlah kecil, kecil sekali, pokoknya kecil.

Indonesia memang tempatnya salah dan lupa. Peristiwa macam ini saja bisa dikait-kaitkan dengan istilah feodalisme, itu pun dengan artinya yang salah. Dimana feodalisme yang seharusnya berkonotasi politik mempersoalkan ‘tuan tanah’, di Indonesia bisa bermakna ‘selalu ingin menang’, ‘ingin dihormati’, ‘kolot’ dan sebangsanya. Jadilah dengan mudah saja orang kita mengatakan, guru itu feodal.

Katanya Indonesia sudah sepakat untuk tidak lagi menerapkan sistem (feodal) itu. Undang-undangnya pun sudah mengatur untuk tidak berlaku begitu. Tetapi, fakta Rudi memberikan pandangan baru bahwa hal itu belum selesai dan masih ada. Demokrasi artinya sama dengan 1 dikurangi 1 dong, hasilnya telor mata sapi alias nol (0).

“ah rud, sudah ah, kasian kamu. Bapak bercanda kok, jangan diambil hati ya rud”
“iya pak, hehehe”
“hehehe, maaf juga ya neng”
“jangan gitu lagi pak, gak baik, saya laporin kepala sekolah nanti”

Guru yang mengejeknya kini telah pergi. Salam tanda maaf juga sudah ditunaikan. Rudi bisa kembali tenang dan berbincang mesra bersama kekasihnya.

“kamu napa sih gak melawan?”
“eh, aku bingung yang, karena biasanya kalau melawan sama guru itu nilainya jelek”
“ya itu tapi kan dia salah”
“iya dia salah, tapi dia juga orang tua. Nanti aku dikira gak sopan melawan orang tua”
“ah kamu itu”
“iya yang”
“sudahlah lupakan aja, kita makan es krim yuk”

Ternyata gaya-gaya kolonial itu belum hilang sepenuhnya di Bumi Pertiwi. Sistem mungkin tidak lagi mengaturnya. Memang, sikap bak ‘raja’ itu dulu datangnya karena paksaan dari luar, tapi kini sikap itu telah datang dari dalam dirinya sendiri. Ketakutan Rudi yang tanpa alasan, kegelesihannya akan hal-hal yang mengerikan, menunjukan jelas bahwa ‘feodalisme’ itu kini membatin hingga kita sendiri tak sadar akan hal itu.

Sampai disini saja, kalau terlalu jauh nanti lupa arah jalan pulang. Semoga saja dua buah es krim bisa mendinginkan hati kedua pasangan muda itu. Amin.

- http://31.media.tumblr.com/035b0a37464bdf6d20698101f0e9b91f/tumblr_mop1uowCp71rqxfgxo1_1280.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar