Minggu, 24 Agustus 2014

AIR (DARI) SENI HERMANN HESSE : MENARI dan TERTAWA



{Kolom Sastra Radar Cirebon, 9 Agustus 2014} 
http://booksonline.ie/wp-content/uploads/2012/11/hesse.jpg

Oleh : Bakhrul Amal

Without words, without writing and without books there would be no history, there could be no concept of humanity. (Tanpa kata-kata, tanpa menulis dan tanpa buku tidak akan ada sejarah, tidak mungkin ada konsep kemanusiaan). - Hermann Hesse

Masuklah kita pada minggu kedua di bulan Agustus. Matahari terus menyengat, deras hujan belum turun dan padi tak kunjung cepat kemuning. Suasana yang sama dengan niat janji pemerintah yang tak pernah sampai pada aliran darah rakyatnya.

Hari ini, tepat pada tanggal 9 Agustus (1962), 52 tahun yang lalu, Hermann Hesse meninggal. Peraih nobel sastra pada tahun 1946 itu menghembuskan nafas terakhirnya di Mentegluna, Swiss. Bunga-bunga dikabarkan banyak mengguyur pemakamannya.

Seperti seorang sastrawan lainya, dia mungkin telah kehilangan jasadnya, namun roh dalam tulisannya akan tetap hidup. Roh itu menyemai dan menghantui pikiran-pikiran masa lalu yang terkadang masih relevan hingga saat ini.

Dari sekian banyak karyanya yang berserakan, mungkin Der Steppenwolf adalah yang paling fenomenal. Novel yang terbit di tahun 1927 ini bahkan pernah diabadikan dalam sebuah film, yang diberi judul sama. Untuk mengenang Hesse, maka menggelorakan ulang karyanya adalah suatu penghargaan yang paling elok.

Der Steppenwolf memiliki satu orang tokoh bernama Heller. Diceritakan bahwa Heller adalah seorang paruh baya yang menganggap bahwa pendidikan itu tak  lebih dari apa yang ia dapatkan sebelum umur lima puluh tahun. Dia digambarkan seperti orang yang menurut Marx mengalami alienasi. Muram dan penuh dengan keheranan yang mendalam.

Dalam perjanalan hidupnya, Heller kemudian bertemu dengan seorang pelacur di sebuah restoran. Pelacur itu bernama Hermine. Lambat laun kedekatan itu membuat Hermine menjadi guru tak sadar bagi Heller. Ada dua hal yang diajarkan Hermine pada Heller yaitu menari dan tertawa (Du brauchst mich, um zu tanzen lernen, Lachen zu lernen, leben zu lernen : Hesse (1927), S.127).

Hesse muda dikenal sebagai penggemar Nietzsche, tidak heran bila banyak orang menganggap pesan menari dan tawanya itu dipengaruhi oleh buku Zarathustra karya Nietzsche. Tertawa adalah bentuk sentral dari Thus Zhara, begitupun dengan menari. Keduanya adalah ketrampilan yang sangat penting untuk mencapai tujuan menjadi Ubermensch (manusia sempurna dalam imaji Nietzsche).

Dalam era modern saat ini, kita mungkin berpikir bahwa kesusksesan adalah apa yang kita telah raih dalam bentuknya yang materiil. Kita kemudian meninggalkan tarian dan tawa untuk mengejar hal-hal duniawi.  Heller berbeda, Heller justru mendekati penderitaan hidup, mencicipi siksaan dan neraka batin sebagai prasyarat untuk kita dapat tertawa, bukan memperoleh yang lainya.

Jigme Singye Wangchuk adalah raja keempat Buthan. Dia memiliki satu ide yang menggemparkan dunia. Ide itu adalah merubah standar kesejahteraan yang semula diukur oleh ekonomi, menjadi tertawa/kebahagiaan yang disebut dengan Gross Happiness National (GHN).  Dan sulit dipercaya, ekonom PBB mengatakan bahwa pada tahun 2015 Bhutan dapat menjadi  Millennium Development Goals, melihat pendapatan per kapita Buthan di tahun 2012 telah mencapai $2,000.

Dalam menempuh suatu kesejahteraan diperlukan suatu keseimbangan antara yang materiil dan spiritual. Tsheetim (Komisi Sekretaris GNH) mengungkapkan bahwasanya akhir dari tujuan hidup manusia adalah menjalani kehidupan yang bermakna (...what people want from life is to live a meaningful life).  Jigme Singye Wangchuk mungkin tidak mengenal Hermann Hesse, namun tujuan final dari esensi kebahagiaan manusianya sama dengan gagasan Hesse.

Itulah air seni yang diguyurkan Hesse kepada dunia. Meskipun ada yang beranggapan karya Hesse menyesatkan pembacanya seperti menurut Ganang Dwi Kartika, tetapi nyatanya banyak hal positif dalam beberapa hal pemaknaan. Bayangkan, jika dalam setiap pembangunan Indonesia, pemerintah kemudian menggunakan standar GHN warga negaranya, maka bukan tidak mungkin kebahagiaan bersama dari akhir penderitaan itu bisa tercapai. Kebahagiaan bersama itu dicirikan seperti apa yang diinginkan Herman Hesse dalam novelnya Der Steppenwolf, adalah dengan menari dan tertawa.

-http://booksonline.ie/wp-content/uploads/2012/11/hesse.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar