{Kolom Sastra Radar Cirebon, 9 Agustus 2014}

Oleh : Bakhrul
Amal
Without words,
without writing and without books there would be no history, there could be no
concept of humanity. (Tanpa
kata-kata, tanpa menulis dan tanpa buku tidak akan ada sejarah, tidak mungkin
ada konsep kemanusiaan). - Hermann Hesse
Masuklah kita pada
minggu kedua di bulan Agustus. Matahari terus menyengat, deras hujan belum
turun dan padi tak kunjung cepat kemuning. Suasana yang sama dengan niat janji
pemerintah yang tak pernah sampai pada aliran darah rakyatnya.
Hari ini, tepat pada
tanggal 9 Agustus (1962), 52 tahun yang lalu, Hermann Hesse meninggal. Peraih nobel
sastra pada tahun 1946 itu menghembuskan nafas terakhirnya di Mentegluna,
Swiss. Bunga-bunga dikabarkan banyak mengguyur pemakamannya.
Seperti seorang
sastrawan lainya, dia mungkin telah kehilangan jasadnya, namun roh dalam
tulisannya akan tetap hidup. Roh itu menyemai dan menghantui pikiran-pikiran
masa lalu yang terkadang masih relevan hingga saat ini.
Dari sekian banyak
karyanya yang berserakan, mungkin Der Steppenwolf adalah yang paling
fenomenal. Novel yang terbit di tahun 1927 ini bahkan pernah diabadikan dalam
sebuah film, yang diberi judul sama. Untuk mengenang Hesse, maka menggelorakan
ulang karyanya adalah suatu penghargaan yang paling elok.
Der Steppenwolf memiliki satu
orang tokoh bernama Heller. Diceritakan bahwa Heller adalah seorang paruh baya
yang menganggap bahwa pendidikan itu tak
lebih dari apa yang ia dapatkan sebelum umur lima puluh tahun. Dia
digambarkan seperti orang yang menurut Marx mengalami alienasi. Muram dan penuh
dengan keheranan yang mendalam.
Dalam perjanalan
hidupnya, Heller kemudian bertemu dengan seorang pelacur di sebuah restoran.
Pelacur itu bernama Hermine. Lambat laun kedekatan itu membuat Hermine menjadi
guru tak sadar bagi Heller. Ada dua hal yang diajarkan Hermine pada Heller
yaitu menari dan tertawa (Du brauchst mich, um zu tanzen lernen, Lachen zu lernen,
leben zu lernen : Hesse
(1927), S.127).
Hesse muda dikenal sebagai penggemar Nietzsche, tidak heran bila banyak
orang menganggap pesan menari dan tawanya itu dipengaruhi oleh buku Zarathustra
karya Nietzsche. Tertawa adalah bentuk sentral dari Thus Zhara, begitupun dengan
menari. Keduanya adalah ketrampilan yang sangat penting untuk mencapai tujuan
menjadi Ubermensch (manusia sempurna dalam imaji Nietzsche).
Dalam era modern saat ini, kita mungkin berpikir bahwa kesusksesan
adalah apa yang kita telah raih dalam bentuknya yang materiil. Kita kemudian
meninggalkan tarian dan tawa untuk mengejar hal-hal duniawi. Heller berbeda, Heller justru mendekati
penderitaan hidup, mencicipi siksaan dan neraka batin sebagai prasyarat untuk
kita dapat tertawa, bukan memperoleh yang lainya.
Jigme
Singye Wangchuk adalah raja keempat
Buthan. Dia memiliki satu ide yang menggemparkan dunia. Ide itu adalah merubah
standar kesejahteraan yang semula diukur oleh ekonomi, menjadi tertawa/kebahagiaan
yang disebut dengan Gross Happiness National (GHN). Dan sulit dipercaya, ekonom PBB mengatakan
bahwa pada tahun 2015 Bhutan dapat menjadi
Millennium Development
Goals, melihat pendapatan per kapita Buthan di tahun 2012 telah mencapai
$2,000.
Dalam
menempuh suatu kesejahteraan diperlukan suatu keseimbangan antara yang materiil
dan spiritual. Tsheetim (Komisi Sekretaris GNH) mengungkapkan bahwasanya akhir
dari tujuan hidup manusia adalah menjalani kehidupan yang bermakna (...what people want from life is to live a
meaningful life). Jigme
Singye Wangchuk mungkin tidak mengenal
Hermann Hesse, namun tujuan final dari esensi kebahagiaan manusianya sama
dengan gagasan Hesse.
Itulah air seni yang diguyurkan Hesse kepada dunia. Meskipun ada yang
beranggapan karya Hesse menyesatkan pembacanya seperti menurut Ganang Dwi
Kartika, tetapi nyatanya banyak hal positif dalam beberapa hal pemaknaan.
Bayangkan, jika dalam setiap pembangunan Indonesia, pemerintah kemudian
menggunakan standar GHN warga negaranya, maka bukan tidak mungkin kebahagiaan
bersama dari akhir penderitaan itu bisa tercapai. Kebahagiaan bersama itu
dicirikan seperti apa yang diinginkan Herman Hesse dalam novelnya Der
Steppenwolf, adalah
dengan menari dan tertawa.
-http://booksonline.ie/wp-content/uploads/2012/11/hesse.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar