Selasa, 22 Juli 2014

DIA

Dia melewati malam dengan mata yang terbelalak
Tangannya kusam penuh noda-noda kelelahan
Mulutnya tak bertutur melawan badai cacian
Kata-kata pun lantas urung membalas

Dia berjalan menuju keabadian
Merapihkan rambutnya yang tak teratur
Dalam genggamnya ada sebuah surat
Goresan pena itu cerita kehidupan

Sejarah itu tak lagi muncul geloranya
Namanya kemudian usang tak tau dimana
Oh bulan, lindungilah terang jalannya
Karena ada cinta yang dalam di hati yang pekat itu
Yang belum di ucapkan

Rabu, 02 Juli 2014

CERMIN III

Stefany mulai berjalan menuju area Gereja bersejarah itu. Kepalanya tertutup kupluk cokelat dan terlihat menunduk. Seperti sudah menjadi kebiasaan, tangan kanan dan kirinya sengaja ia masukan ke dalam kantung celana. Jeans biru dan jaket hitam tebal seolah membuat wanita bertubuh kurus itu terlihat menjadi gemuk. Percaya atau tidak, penampilannya saat itu benar-benar misterius.

Russia mungkin mulai siap menyambut musim dingin kala itu. Hembusan nafas Stefany mengeluarkan asap putih bak orang yang sedang merokok. Pria dan wanita di sekeliling Stefany, dari mulai anak-anak hingga orang tua, begitu rapih menggunakan jas panjang khas penduduk negeri dongeng.

"kemana ya dia?"

Stefany kemudian memilih bersandar dan tak melanjutkan perjalanannya. Dia mengistirahatkan punggunggnya tepat di tengah pembatas jembatan berwarna hitam. Beberapa kali dia terlihat menghentakan kakinya yang mulai gelisah. Mulutnya pun tak bisa diam, berulang kali dia mengumpat dengan mengatakan "Хуй тебе!" (brengsek kamu).

"hey sudahlah, jangan marah-marah terus!"
"diam saja kamu, jangan ikut campur"

Tiba-tiba saja suara kecil muncul dari balik kantung belakang celananya. Tangan kiri Stefany dengan sigap meraih benda kecil yang bisa berbicara itu.

"mau kamu apa?" Stefany terlihat begitu kesal, ia angkat barang berupa cermin itu tepat di hadapan wajahnya.
"kamu itu, pergi jauh dari rumah hanya untuk menemukan dirimu yang marah. Percuma saja!"
"lalu aku harus apa menurutmu?"
"hey hey, bodohnya dirimu bertanya, ku kira kamu telah memilih tempat yang tepat untuk berhenti. Dari jembatan ini setidaknya kamu bisa menenangkan pikiranmu dengan menatap Christ The Saviour Catherdal yang begitu megah. Temboknya yang putih dan kubahnya yang emas sejatinya mampu menghentikan amarahmu"
"hah gedung ini?" Sambil merentangkan tangannya mengarah ke Gereja Christ the Saviour Stefany bicara. "kamu pikir tujuanku kemari untuk melihat-lihat gedung tua ini"
"ya, kupikir begitu, setidaknya kamu bisa memahami bagaimana gedung ini dibangun pada awalnya untuk merayakan kekalahan Napoleon"
"ah bosan, jangan merasa lebih tahu segalanya daripada aku"

http://amazingplacestosee.com/wp-content/uploads/2013/09/Cathedral-of-Christ-the-Saviour.-RussiaMoscow.jpg

Stefany mulai hilang kesabaran. Kupluk cokelatnya dia lepas dan dia masukan kedalam kantong jaketnya. Kaki kirinya dia angkat sedikit dengan posisi telapak mengarah ke belakang.

"gereja ini dulunya termasuk dalam bagian Seven Sisters yang dicanangkan Stalin juga"
"oh, sayang sekali, akupun sudah tahu hal itu"
"ya baguslah"
"hingga pada akhirnya Yuri Lushkov yang pada tahun 1997 menjabat walikota Moskow membangun dan merapihan gereja ini kembali"
"sudahlah hentikan pembicaraan soal gereja ini"

Stefany memalingkan wajahnya dari cermin kecil. Dia semakin muak dengan cermin yang kadang bicara tak tepat waktu.

"kamu kenapa?"

Dengan memasang wajah lesu, bayangan Stefany yang ada di cermin mulai bertanya perlahan. Pantulan wajah itu mulai merasa tak kerasan. Dia mungkin mengira bahwa dia telah melakukan kesalahan yang membuat Stefany marah terhadapnya.

"tidak, aku tidak apa-apa"
"yang benar?"
"iya"
"aku lihat sepertinya kau begitu kecewa"
"mungkin, tapi itupun hanya sedikit"
"sudahlah, jangan kecewa lagi, kecewa itu hanya akan membuat harapanmu semakin jauh dari dirimu"
"darimana kau tahu aku berharap?"
"dari rasa kecewamu karena kecewa itu muncul oleh sebab adanya suatu harapan, yang kemudian kamu tahu harapan itu tidak menjadi kenyataan"
"benar, aku telah berharap bertemu dengannya hari ini, disini, ditempat dimana kita biasa membagi perasaan dan menikmati pemandangan"
"betul kan, sudahlah Stef, jangan mengharapkan dia yang telah jauh meninggalkanmu"
"kenapa?"
"karena kamu hanya akan terus menerus hidup dalam kenyataan yang palsu, lebih baik kamu perbaiki dirimu dan memulai sesuatu yang baru"
"kamu harus memberiku alasan"

Cermin itu mendadak keheranan, kepalanya dia tarik kebelakang.

"alasan untuk apa?"
"alasan untuk aku kenapa harus berhenti berharap?"
"ya, dia yang meninggalkanmu adalah dia yang selama ini nyatanya tidak benar-benar tulus mencintaimu. Dia tidak pernah menggunakan seluruh kesabarannya untuk menerima penjelasan dari kecerobohanmu. Dia tidak pernah menyediakan kata maafnya yang banyak untuk kesalahan-kesalahanmu. Dia juga tidak pernah berhenti menuntutmu untuk menjadi seperti yang dia mau. Itukah yang kau mau Stef?"
"ya, mungkin itu sudah cukup bagiku untuk mencari yang lain"
"tapi percayalah Stef, hubungan kekasih itu bukan hubungan saling menguntungkan, tetapi hubungan kekasih itu adalah hubungan yang saling menguatkan, dimana kelemahanmu dia tutupi dengan kelebihanmu, begitupun sebaliknya. Kalian saling merawat dan berjanji untuk sama-sama bisa saling melengkapi, bukan seenaknya sendiri"
"hm begitu ya"
"maukah kau kutunjukan bagaimana caranya mengatasi kekecewaan itu?"
"mau, memang bagaimana?"
"cukup hanya dengan kamu ingat dan percaya bahwa apa yang telah ditentukan menjadi milikmu tidak akan pernah menjadi milik orang lain"

Obrolan antara yang nyata dan yang tak nyata ini terus berlanjut hingga larut malam. Keduanya mulai menemukan porsinya masing-masing. Yang satu sepertinya mulai sepekat sebagai pemilik masalah, dan satunya lagi adalah air yang datang untuk menyejukan lawan bicaranya dari masalah.

"begitu indah ya gereja Christ The Saviour ini, kubahnya emas dan temboknya putih bersih"
"iya, lebih indah lagi kalau kita segera pulang, karena malam ini telah larut"
"tapi sebelumnya aku ingin kau berjanji?"
"untuk apa Stef?"
"untuk selalu menyisakan senyum terbaikmu dikala aku sedih"