[KOLOM WACANA RADAR CIREBON, 25 Juni 2014]
Tulisan
ini berangkat dari adigium klasik “dimana ada manusia, maka disitu ada hukum”.
Tidak seperti pendapat awam pada umumnya, Cicero seolah ingin menjelaskan bahwa
hukum dilahirkan bukan sesuatu yang lahir terlebih dahulu. Atas dasar itu pula
kemudian muncul pendapat tentang apa yang dilahirkan oleh manusia, apabila tidak
untuk kebaikan manusia, maka tinggalkan.
*
Hukum
adalah seperangkat aturan yang apabila dilanggar akan mendapatkan suatu sanksi.
John Austin kemudian dalam bukunya The
Province of Jurispudence Determined mendefinisikan kalimat itu secara lebih
luas. Hukum tidak cukup sebagai aturan, tetapi hukum juga dilegitimasi oleh
kekuasaan atau ada suatu kesepakatan (commands
and sovereign). Tidak selesai sampai disitu, hukum juga bisa berlaku
apabila ada suatu komunitas atau minimalnya dua orang yang menaatinya (habit of obedience). Barulah setelah
ditemukan subjek dan objeknya, hukum bisa memutuskan dan memberikan sanksi yang
jelas (sanctions).
Mengapa
kemudian kalimat itu harus dijabarkan lebih luas? Tujuannya adalah agar kita
dapat menemukan perbedaan antara hukum dan ancaman. Sebagai contoh, seorang
penodong membuat aturan kepada yang ditodong untuk memberikan sejumlah uang.
Penodong pun dengan siap memberikan sanksi kepada yang ditodong. Ancaman itu
berupa sanksi dia akan membunuh mangsanya apabila tidak memberikan
keinginannya. Fakta tentang penodong tadi tidak bisa disebut hukum sekalipun
memenuhi rumusan kalimat hukum.
**
Manusia
adalah makhluk yang menurut Al-Qur’an paling sempurna diantara makhluk lainya.
Manusia diberikan akal untuk berpikir dan hati untuk merasakan. Manusia juga
adalah makhluk sosial yang tidak bisa lepas dari ketergantungan hidup dengan
manusia lainya. Kehidupan bersama yang tentram, saling melengkapi dan mendukung
adalah cita-cita luhur manusia.
Manusia
pun memiliki kodrat yang negatif, seperti yang dijelaskan oleh Jean Paul Sarte
bahwasanya manusia –pada dasarnya mempunyai keinginan untuk –menguasai manusia
lain. Inilah yang menurut Karl Marx adanya distingsi universalitas antara
numerik dan kualitatif. Kamenka menyimpulkannya dengan “nafsu memiliki bertemu
dengan nafsu memiliki, kerakusan bertemu dengan kerakusan...”. Kenyataan ini
sama seperti dengan kenyataan di paragraf sebelumnya, tidak dapat dipungkiri.
***
BERTEMUNYA
HUKUM DAN MANUSIA
Jikalau
semua kehidupan itu baik dan tidak ada noda kejahatan yang melumurinya, maka
ketika itu pula hukum telah selesai.
Argumen
di atas adalah rangka-rangka penggabungan bagaimana sesungguhnya hukum menjadi
suatu kebutuhan. Hukum adalah kebutuhan untuk menuju cita-cita kehidupan ke
arah yang lebih baik. Nafsu, kerakusan dan keinginan menguasai orang lain
dibatasi dengan kehadiran hukum. Tidak salah apabila pujangga Romawi kemudian
berujar “sekalipun langit runtuh maka hukum harus tetap ditegakan”.
Dari
segi ekonomi, dimana seorang manusia cenderung ingin memiliki wilayah yang luas
dan kekuasaan ekonomi yang besar, hukum membatasinya dengan kepemilikan harus
juga memperhatikan fungsi sosial (eigentum
verplichtet). Dari segi politik, manusia semuanya ingin menjadi raja yang
abadi bak fir’aun, hukum hadir untuk menyamaratakan kedudukan (equality before the law) dan aturan
tenggang waktu jabatan presiden (constitutional
law).
Catatan
kecil itu seolah mengiyakan jikalau hukum adalah tiang penyangga bahkan detak
jantung yang tanpanya maka manusia seperti menggali kuburannya hidup-hidup.
Hubungan keduanya bukan hubungan Yin dan Yang bukan pula hubungan kebaikan dan
keburukan, tetapi hubungan yang membentuk kesadaran (pada yang harus dan tak
harus) layaknya tanda P yang dicoret kemudian orang tidak menghentikan mobilnya
disekitaran tanda itu.
CUKUPKAH
ITU?
Yang
menjadi pertanyaan kemudian adalah, cukupkah semua definisi di atas? Jika
memang sudah cukup, lalu mengapa saat ini hukum justru seperti tak memiliki
kendali? Mengapa pula hukum justru terkesan menjadi alat penindas yang
menyengsarakan dan tidak memberikan kesejahteraan pada manusia?
Semua
yang diawali oleh pertanyaan maka akan akhiri dengan pertanyaan-pertanyaan
pula. Itulah yang dinamakan dengan paradoks yang melahirkan metamorfosis untuk
terus dan terus mencari bentuk ideal. Tidak terkecuali persoalan tentang
ke-ideal-an hukum bagi manusia, akan terus dan terus menimbulkan pertanyaan.
Saat
ini, saat dimana hukum justru diciptakan oleh aspirasi rakyat melalui
legislatif yang dipilih langsung, hukum justru terkesan kehilangan tajinya.
Hukum tidak jarang mencekik leher si kecil dan menyegarkan nafas bagi si besar.
Setidaknya ada hal pokok yang membuat hukum lemah, pertama pandangan terhadap
hukum dan penegakan akan hukum tersebut.
Yang
pertama, hukum bukanlah suatu benda ataupun alat yang meng–kaku–kan behavior manusia. Hukum justru selaras
denga moralitas deliberatif Habermas dalam tugasnya sebagai The Art of Values, seni untuk
mempertahankan nilai-nilai. Hukum yang seringkali kita lihat di layar kaca, di
koran-koran adalah hukum yang citranya hanya dimaknai dari sudut pandang
normatifnya saja. Imbasnya, hukum kemudian identik pada kekuasaan yang menuntut
lemahnya kelas-kelas bawah.
Yang
kedua, tidak ada keseriusan hukum membuat hukum hanya menjadi pagar yang
kapanpun bisa dipanjat sesuka hati. Celah-celah hukum dicari dan dijadikan
kebanggan ketika berhasil merobeknya. Hukum dipaksakan menghukum orang-orang
yang tak bersalah. Air-air deras ketidakadilan berhamburan keluar dan kemudian
menyebabkan air bah yang mengotori keadilan.
Kedua
hal itu terjadi oleh karena hukum kehilangan nyawanya yang kita kenal dengan
sebutan moral. Hukum tidak sekedar mengikat dan mengatur lalu membubuhi sanksi,
tetapi hukum pula, sebagai anak yang lahir dari kehidupan sosial manusia, harus
mampu menjadi tameng yang menjaga nilai moral. Artinya hukum menurut Bernard L
Tanya wajib mengedepankan akal sehat perihal nilai positif (baik, benar dan layak)
bagi manusia (baik secara individu maupun kelompok).
PENUTUP
: HUKUM YANG BERMORAL
Bahaya
hukum tanpa moral tidak hanya menciptakan suasana gaduh seperti yang
dideskripsikan di atas. Hukum tanpa moral juga hanya akan menghadirkan aturan
Hitler tentang pembunuhan Yahudi. Hukum minus kekuatan moral bisa melahirkan
kembali politik Apartheid di Afrika. Hukum tidak menghadirkan moral, bisa
menciptakan pembunuhan a la kaum
Spartan terhadap pemuda-pemuda daerahnya yang lemah.
Lalu
contoh dari munculnya moral dalam berhukum bisa kita lihat dimana?
Hidupnya
nilai moral dalam selimut hukum dapat kita lihat dalam kasus Mbo Minah di
Purwokerto beberapa tahun silam. Nenek tua itu dituduh mencuri tiga buah kakao
oleh salah satu perusahaan besar. Dalam hukum yang normatif, sejatinya pasal
365 KUHP telah cukup untuk menjadi acuan menghukum tindakan Minah. Tetapi tanpa
diduga, hakim justru membebaskan Mbo Minah atas keadlian.
Sementara
di dunia, contoh hukum yang bermoral bisa kita saksikan dalam kasus
kebijaksanaan Mandela mengakhiri politik Apharteid. Magna Charta, yang memberikan keadilan dan kasih sayang. Deklarasi
Djuanda tentang batas negara yang mencerminkan pemenuhan hak terhadap suatu
negara. DUHAM beserta tiga covenant-nya
dan banyak lagi yang berkaitan dengan anti penyikasaan.
Dalam
kasus itulah, hukum sebagai moral berdiri menjadi garda terdepan yang
melindungi dan memberikan rasa aman bagi keadilan. Hukum wajib memanusiakan
manusia. Hukum tidak hanya memenuhi tiga syarat Radbuch tentang keadlian,
kepatutan dan kepastian. Hukum juga menjadi cita-cita ide Prof Satjipto
Rahardjo sebagai pemberi kasih sayang bagi umat manusia.
Urgensi
tentang pemahaman dan keterkaitan antara hukum dan manusia ini menjadi begitu
penting saat ini. Mengingat, dari segi universitas hingga pengadilan hukum saat
ini, manusia hanya sebatas diberikan pemahaman bahwa hukum itu undang-undang
bukan esensi dari keadilan. Apabila moral dalam hukum sebagai esensi dari
keadilan tidak segera dimunculkan kembali, maka tidak heran apabila fakta yang
diungakpan Spence tentang “pengadilan bukan lagi menjadi rumah keadilan,
melainkan rumah undang-undang dan prosedur”, benar adanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar