Senin, 30 Juni 2014

ESENSI HUKUM


[KOLOM WACANA RADAR CIREBON, 25 Juni 2014]

Tulisan ini berangkat dari adigium klasik “dimana ada manusia, maka disitu ada hukum”. Tidak seperti pendapat awam pada umumnya, Cicero seolah ingin menjelaskan bahwa hukum dilahirkan bukan sesuatu yang lahir terlebih dahulu. Atas dasar itu pula kemudian muncul pendapat tentang apa yang dilahirkan oleh manusia, apabila tidak untuk kebaikan manusia, maka tinggalkan.

*

Hukum adalah seperangkat aturan yang apabila dilanggar akan mendapatkan suatu sanksi. John Austin kemudian dalam bukunya The Province of Jurispudence Determined mendefinisikan kalimat itu secara lebih luas. Hukum tidak cukup sebagai aturan, tetapi hukum juga dilegitimasi oleh kekuasaan atau ada suatu kesepakatan (commands and sovereign). Tidak selesai sampai disitu, hukum juga bisa berlaku apabila ada suatu komunitas atau minimalnya dua orang yang menaatinya (habit of obedience). Barulah setelah ditemukan subjek dan objeknya, hukum bisa memutuskan dan memberikan sanksi yang jelas (sanctions).

Mengapa kemudian kalimat itu harus dijabarkan lebih luas? Tujuannya adalah agar kita dapat menemukan perbedaan antara hukum dan ancaman. Sebagai contoh, seorang penodong membuat aturan kepada yang ditodong untuk memberikan sejumlah uang. Penodong pun dengan siap memberikan sanksi kepada yang ditodong. Ancaman itu berupa sanksi dia akan membunuh mangsanya apabila tidak memberikan keinginannya. Fakta tentang penodong tadi tidak bisa disebut hukum sekalipun memenuhi rumusan kalimat hukum.

**


Manusia adalah makhluk yang menurut Al-Qur’an paling sempurna diantara makhluk lainya. Manusia diberikan akal untuk berpikir dan hati untuk merasakan. Manusia juga adalah makhluk sosial yang tidak bisa lepas dari ketergantungan hidup dengan manusia lainya. Kehidupan bersama yang tentram, saling melengkapi dan mendukung adalah cita-cita luhur manusia.

Manusia pun memiliki kodrat yang negatif, seperti yang dijelaskan oleh Jean Paul Sarte bahwasanya manusia –pada dasarnya mempunyai keinginan untuk –menguasai manusia lain. Inilah yang menurut Karl Marx adanya distingsi universalitas antara numerik dan kualitatif. Kamenka menyimpulkannya dengan “nafsu memiliki bertemu dengan nafsu memiliki, kerakusan bertemu dengan kerakusan...”. Kenyataan ini sama seperti dengan kenyataan di paragraf sebelumnya, tidak dapat dipungkiri.
***

BERTEMUNYA HUKUM DAN MANUSIA

Jikalau semua kehidupan itu baik dan tidak ada noda kejahatan yang melumurinya, maka ketika itu pula hukum telah selesai.

Argumen di atas adalah rangka-rangka penggabungan bagaimana sesungguhnya hukum menjadi suatu kebutuhan. Hukum adalah kebutuhan untuk menuju cita-cita kehidupan ke arah yang lebih baik. Nafsu, kerakusan dan keinginan menguasai orang lain dibatasi dengan kehadiran hukum. Tidak salah apabila pujangga Romawi kemudian berujar “sekalipun langit runtuh maka hukum harus tetap ditegakan”.

Dari segi ekonomi, dimana seorang manusia cenderung ingin memiliki wilayah yang luas dan kekuasaan ekonomi yang besar, hukum membatasinya dengan kepemilikan harus juga memperhatikan fungsi sosial (eigentum verplichtet). Dari segi politik, manusia semuanya ingin menjadi raja yang abadi bak fir’aun, hukum hadir untuk menyamaratakan kedudukan (equality before the law) dan aturan tenggang waktu jabatan presiden (constitutional law).

Catatan kecil itu seolah mengiyakan jikalau hukum adalah tiang penyangga bahkan detak jantung yang tanpanya maka manusia seperti menggali kuburannya hidup-hidup. Hubungan keduanya bukan hubungan Yin dan Yang bukan pula hubungan kebaikan dan keburukan, tetapi hubungan yang membentuk kesadaran (pada yang harus dan tak harus) layaknya tanda P yang dicoret kemudian orang tidak menghentikan mobilnya disekitaran tanda itu.

CUKUPKAH ITU?

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, cukupkah semua definisi di atas? Jika memang sudah cukup, lalu mengapa saat ini hukum justru seperti tak memiliki kendali? Mengapa pula hukum justru terkesan menjadi alat penindas yang menyengsarakan dan tidak memberikan kesejahteraan pada manusia?

Semua yang diawali oleh pertanyaan maka akan akhiri dengan pertanyaan-pertanyaan pula. Itulah yang dinamakan dengan paradoks yang melahirkan metamorfosis untuk terus dan terus mencari bentuk ideal. Tidak terkecuali persoalan tentang ke-ideal-an hukum bagi manusia, akan terus dan terus menimbulkan pertanyaan.

Saat ini, saat dimana hukum justru diciptakan oleh aspirasi rakyat melalui legislatif yang dipilih langsung, hukum justru terkesan kehilangan tajinya. Hukum tidak jarang mencekik leher si kecil dan menyegarkan nafas bagi si besar. Setidaknya ada hal pokok yang membuat hukum lemah, pertama pandangan terhadap hukum dan penegakan akan hukum tersebut.

Yang pertama, hukum bukanlah suatu benda ataupun alat yang meng–kaku–kan behavior manusia. Hukum justru selaras denga moralitas deliberatif Habermas dalam tugasnya sebagai The Art of Values, seni untuk mempertahankan nilai-nilai. Hukum yang seringkali kita lihat di layar kaca, di koran-koran adalah hukum yang citranya hanya dimaknai dari sudut pandang normatifnya saja. Imbasnya, hukum kemudian identik pada kekuasaan yang menuntut lemahnya kelas-kelas bawah.

Yang kedua, tidak ada keseriusan hukum membuat hukum hanya menjadi pagar yang kapanpun bisa dipanjat sesuka hati. Celah-celah hukum dicari dan dijadikan kebanggan ketika berhasil merobeknya. Hukum dipaksakan menghukum orang-orang yang tak bersalah. Air-air deras ketidakadilan berhamburan keluar dan kemudian menyebabkan air bah yang mengotori keadilan.

Kedua hal itu terjadi oleh karena hukum kehilangan nyawanya yang kita kenal dengan sebutan moral. Hukum tidak sekedar mengikat dan mengatur lalu membubuhi sanksi, tetapi hukum pula, sebagai anak yang lahir dari kehidupan sosial manusia, harus mampu menjadi tameng yang menjaga nilai moral. Artinya hukum menurut Bernard L Tanya wajib mengedepankan akal sehat perihal nilai positif (baik, benar dan layak) bagi manusia (baik secara individu maupun kelompok).

PENUTUP : HUKUM YANG BERMORAL

Bahaya hukum tanpa moral tidak hanya menciptakan suasana gaduh seperti yang dideskripsikan di atas. Hukum tanpa moral juga hanya akan menghadirkan aturan Hitler tentang pembunuhan Yahudi. Hukum minus kekuatan moral bisa melahirkan kembali politik Apartheid di Afrika. Hukum tidak menghadirkan moral, bisa menciptakan pembunuhan a la kaum Spartan terhadap pemuda-pemuda daerahnya yang lemah.

Lalu contoh dari munculnya moral dalam berhukum bisa kita lihat dimana?

Hidupnya nilai moral dalam selimut hukum dapat kita lihat dalam kasus Mbo Minah di Purwokerto beberapa tahun silam. Nenek tua itu dituduh mencuri tiga buah kakao oleh salah satu perusahaan besar. Dalam hukum yang normatif, sejatinya pasal 365 KUHP telah cukup untuk menjadi acuan menghukum tindakan Minah. Tetapi tanpa diduga, hakim justru membebaskan Mbo Minah atas keadlian.

Sementara di dunia, contoh hukum yang bermoral bisa kita saksikan dalam kasus kebijaksanaan Mandela mengakhiri politik Apharteid. Magna Charta, yang memberikan keadilan dan kasih sayang. Deklarasi Djuanda tentang batas negara yang mencerminkan pemenuhan hak terhadap suatu negara. DUHAM beserta tiga covenant-nya dan banyak lagi yang berkaitan dengan anti penyikasaan.

Dalam kasus itulah, hukum sebagai moral berdiri menjadi garda terdepan yang melindungi dan memberikan rasa aman bagi keadilan. Hukum wajib memanusiakan manusia. Hukum tidak hanya memenuhi tiga syarat Radbuch tentang keadlian, kepatutan dan kepastian. Hukum juga menjadi cita-cita ide Prof Satjipto Rahardjo sebagai pemberi kasih sayang bagi umat manusia.

Urgensi tentang pemahaman dan keterkaitan antara hukum dan manusia ini menjadi begitu penting saat ini. Mengingat, dari segi universitas hingga pengadilan hukum saat ini, manusia hanya sebatas diberikan pemahaman bahwa hukum itu undang-undang bukan esensi dari keadilan. Apabila moral dalam hukum sebagai esensi dari keadilan tidak segera dimunculkan kembali, maka tidak heran apabila fakta yang diungakpan Spence tentang “pengadilan bukan lagi menjadi rumah keadilan, melainkan rumah undang-undang dan prosedur”, benar adanya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar