"hey, hey, hey, mau kemana kau?"
"ada sedikit keperluan yang harus ku selesaikan"
"bukan bersamanya kan?"
"hmm entahlah?"
"bukankah kalian telah berjanji untuk tidak lagi saling mengenal?"
"iya itu benar, dan rasanya kamu mulai lebih tau daripada aku"
Stefany, wanita cantik bermata tipis dengan bibir merekah itu, tengah sibuk berdandan. Gerak-gerik tangannya begitu lincah. Sesekali dia diam, tubuhnya kemudian diputar ke kanan dan ke kiri untuk kemudian memuji dirinya sendiri.
"kalau diliat-liat aku cantik juga ya"
"iya, semua yang diciptakan Tuhan memang selalu sempurna, laki-laki itu tampan dan wanita itu cantik"
"terseralah, aku sedang malas mendengar kata-katamu yang sok bijak itu"
Seperti seekor kucing dan anjing, seperti itu pulalah Stefany dan cerminnya. Mereka tidak pernah saling menyetujui satu dengan lainya. Hmmm tidak juga sih, kadang-kadang malah Stefany harus kalah dan kembali mengamini apa yang dikatakan oleh cerminnya.
Matahari Russia pada saat itu sudah lama terbenam. Cahayanya kini digantikan oleh lampion-lampion kecil dan gemerlap bulan yang begitu terang kala purnama.
"selain ke perpustakaan nasional, memangnya ada tempat yang indah lagi di Leningard ini?"
"hey, pertama aku harus koreksi dulu kata-katamu, Kota ini sudah melupakan Lenin dan sekarang berganti nama menjadi Sankt-Peterburg, lalu yang kedua malam ini aku ingin pergi ke Istana Petrodvorets"
"oh Stefany, kau mau mengunjungi istana yang penuh air mancur itu"
"iya, musim panas ini air mancurnya begitu romantis"
Stefany kemudian tiba-tiba saja memilih duduk. Badanya yang semula lincah dan gemulai kini menjadi lesu tak bertenaga. Dia seperti dipatuki sejuta kenangan ketika harus menyebutkan air mancur dan istana Petrodvorets.
"ah ini salahmu"
"mengapa?"
"menyebutkan tempat itu sama seperti menyebutkan kembali namanya dalam ingatanku"
"bukankah memang pada awalnya kau hendak kesana? bahkan sebelum aku bertanya tentang tujuanmu"
"iya memang benar sih"
"berangkat saja lah, nikmati pemandangan-pemandangan indah itu"
Tangan kangan Stefany mengankat tinggi. Telunjuknya dia gunakan untuk menyeka mulut.
"sst, jangan berisik"
"kenapa?"
"aku jadi merindukannya malam ini, aku kangen dengan dia"
"ah kau ini, kupikir ada apa"
"aku ingin berjalan bersamanya menyusuri Arbat, melihat para seniman-seniman yang asik dan menghibur. Atau mungkin melihat hamparan hijau di Suzdal. Menyenangkan ya"
"ya, memang menyenangkan"
Stefany mengangkat wajahnya tinggi, dia tersenyum-senyum kecil berimajinasi tentang kisah-kasihnya.
"tapi lagi-lagi kau harus menerima kenyataan"
"ya"
"kau dengan dia sudah sama-sama berjanji untuk saling melupakan dan kembali ke masa-masa dimana kalian belum saling mengenal"
"apa yang harus kulakukan?"
"belajarlah untuk menerima kenyataan itu, berusahalah untuk menghargai masa depanmu yang sebentar lagi, cepat atau lambat akan menghampirimu"
"aku selalu tidak pernah menangkap ucapanmu dengan baik"
"ya, dia yang hidup dimasa lalumu mungkin suatu saat akan kembali, mungkin pula akan pergi untuk selama-lamanya. Tetapi, yang pasti harus kau lakukan adalah memulai hidupmu yang baru, hidupmu yang lepas dari bayang-bayang kerinduanmu tentangnya"
Stefany rasanya mulai tidak setuju, cerminan wajahnya membuatnya bingung tujuh keliling.
"tetapi apakah kenangan itu harus semuanya dilupakan?"
"bukan begitu stefany, kenangan adalah sesuatu yang menjadi bagian hidupmu. Seberapa keraspun kamu mencoba melupakannya, kenangan itu akan hadir dan menghantui kembali sewaktu-waktu"
"maksudnya?"
"mkasudnya, akan sia-sia hidupmu jika kehidupanmu itu kau gunakan hanya untuk mengurusi dan memikirkan bagaimana caranya membuat kenangan itu sesuai dengan keinginanmu, karena hal itu tidak mungkin"
Cermin itu sejenak terdiam, dia kemudian melanjutkan kata-katanya.
"kenangan itu alangkah baiknya kau jadikan sebagai pelajaran, sebagai suatu panduan sikap agar kau bisa berhati-hati dan bertingkah laku lebih baik lagi"
"tujuannya untuk apa wahai cermin?"
"tujuannya agar kau kelak bisa tersenyum dan bahagia, karena kau telah memiliki kenangan yang sempurna, kenangan yang sesuai dengan harapanmu"
"semuanya kembali menjadi kenangan?"
"ya, memang itulah kehidupan, kita diciptakan dari sisa-sisa kerinduan yang berawal dari sebuah kenangan"
Stefany pun tersenyum lebar. Dia mengambil satu buah bolpoin dan kertas berwarna cokelat buram dari laci meja riasnya. Dengan perasaan gembira dia tuliskan "kita diciptakan dari sisa-sisa kerinduan yang berawal dari sebuah kenangan". Setelah selesai menulis, Stefany kembali berdiri dan bersiap untuk pergi menikmati air mancur di Istana Petrodvorats.
"baiklah, selamat tinggal cermin, aku jalan dulu"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar