Senin, 30 Juni 2014

CERMIN II

"hey, hey, hey, mau kemana kau?"
"ada sedikit keperluan yang harus ku selesaikan"
"bukan bersamanya kan?"
"hmm entahlah?"
"bukankah kalian telah berjanji untuk tidak lagi saling mengenal?"
"iya itu benar, dan rasanya kamu mulai lebih tau daripada aku"

Stefany, wanita cantik bermata tipis dengan bibir merekah itu, tengah sibuk berdandan. Gerak-gerik tangannya begitu lincah. Sesekali dia diam, tubuhnya kemudian diputar ke kanan dan ke kiri untuk kemudian memuji dirinya sendiri.

"kalau diliat-liat aku cantik juga ya"
"iya, semua yang diciptakan Tuhan memang selalu sempurna, laki-laki itu tampan dan wanita itu cantik"
"terseralah, aku sedang malas mendengar kata-katamu yang sok bijak itu"

Seperti seekor kucing dan anjing, seperti itu pulalah Stefany dan cerminnya. Mereka tidak pernah saling menyetujui satu dengan lainya. Hmmm tidak juga sih, kadang-kadang malah Stefany harus kalah dan kembali mengamini apa yang dikatakan oleh cerminnya.

Matahari Russia pada saat itu sudah lama terbenam. Cahayanya kini digantikan oleh lampion-lampion kecil dan gemerlap bulan yang begitu terang kala purnama.

"selain ke perpustakaan nasional, memangnya ada tempat yang indah lagi di Leningard ini?"
"hey, pertama aku harus koreksi dulu kata-katamu, Kota ini sudah melupakan Lenin dan sekarang berganti nama menjadi Sankt-Peterburg, lalu yang kedua malam ini aku ingin pergi ke Istana Petrodvorets"
"oh Stefany, kau mau mengunjungi istana yang penuh air mancur itu"
"iya, musim panas ini air mancurnya begitu romantis"

Stefany kemudian tiba-tiba saja memilih duduk. Badanya yang semula lincah dan gemulai kini menjadi lesu tak bertenaga. Dia seperti dipatuki sejuta kenangan ketika harus menyebutkan air mancur dan istana Petrodvorets.

"ah ini salahmu"
"mengapa?"
"menyebutkan tempat itu sama seperti menyebutkan kembali namanya dalam ingatanku"
"bukankah memang pada awalnya kau hendak kesana? bahkan sebelum aku bertanya tentang tujuanmu"
"iya memang benar sih"
"berangkat saja lah, nikmati pemandangan-pemandangan indah itu"

Tangan kangan Stefany mengankat tinggi. Telunjuknya dia gunakan untuk menyeka mulut.

"sst, jangan berisik"
"kenapa?"
"aku jadi merindukannya malam ini, aku kangen dengan dia"
"ah kau ini, kupikir ada apa"
"aku ingin berjalan bersamanya menyusuri Arbat, melihat para seniman-seniman yang asik dan menghibur. Atau mungkin melihat hamparan hijau di Suzdal. Menyenangkan ya"
"ya, memang menyenangkan"

Stefany mengangkat wajahnya tinggi, dia tersenyum-senyum kecil berimajinasi tentang kisah-kasihnya.

"tapi lagi-lagi kau harus menerima kenyataan"
"ya"
"kau dengan dia sudah sama-sama berjanji untuk saling melupakan dan kembali ke masa-masa dimana kalian belum saling mengenal"
"apa yang harus kulakukan?"
"belajarlah untuk menerima kenyataan itu, berusahalah untuk menghargai masa depanmu yang sebentar lagi, cepat atau lambat akan menghampirimu"
"aku selalu tidak pernah menangkap ucapanmu dengan baik"
"ya, dia yang hidup dimasa lalumu mungkin suatu saat akan kembali, mungkin pula akan pergi untuk selama-lamanya. Tetapi, yang pasti harus kau lakukan adalah memulai hidupmu yang baru, hidupmu yang lepas dari bayang-bayang kerinduanmu tentangnya"

Stefany rasanya mulai tidak setuju, cerminan wajahnya membuatnya bingung tujuh keliling.

"tetapi apakah kenangan itu harus semuanya dilupakan?"
"bukan begitu stefany, kenangan adalah sesuatu yang menjadi bagian hidupmu. Seberapa keraspun kamu mencoba melupakannya, kenangan itu akan hadir dan menghantui kembali sewaktu-waktu"
"maksudnya?"
"mkasudnya, akan sia-sia hidupmu jika kehidupanmu itu kau gunakan hanya untuk mengurusi dan memikirkan bagaimana caranya membuat kenangan itu sesuai dengan keinginanmu, karena hal itu tidak mungkin"

Cermin itu sejenak terdiam, dia kemudian melanjutkan kata-katanya.

"kenangan itu alangkah baiknya kau jadikan sebagai pelajaran, sebagai suatu panduan sikap agar kau bisa berhati-hati dan bertingkah laku lebih baik lagi"
"tujuannya untuk apa wahai cermin?"
"tujuannya agar kau kelak bisa tersenyum dan bahagia, karena kau telah memiliki kenangan yang sempurna, kenangan yang sesuai dengan harapanmu"
"semuanya kembali menjadi kenangan?"
"ya, memang itulah kehidupan, kita diciptakan dari sisa-sisa kerinduan yang berawal dari sebuah kenangan"

Stefany pun tersenyum lebar. Dia mengambil satu buah bolpoin dan kertas berwarna cokelat buram dari laci meja riasnya. Dengan perasaan gembira dia tuliskan "kita diciptakan dari sisa-sisa kerinduan yang berawal dari sebuah kenangan". Setelah selesai menulis, Stefany kembali berdiri dan bersiap untuk pergi menikmati air mancur di Istana Petrodvorats.

"baiklah, selamat tinggal cermin, aku jalan dulu"

ESENSI HUKUM


[KOLOM WACANA RADAR CIREBON, 25 Juni 2014]

Tulisan ini berangkat dari adigium klasik “dimana ada manusia, maka disitu ada hukum”. Tidak seperti pendapat awam pada umumnya, Cicero seolah ingin menjelaskan bahwa hukum dilahirkan bukan sesuatu yang lahir terlebih dahulu. Atas dasar itu pula kemudian muncul pendapat tentang apa yang dilahirkan oleh manusia, apabila tidak untuk kebaikan manusia, maka tinggalkan.

*

Hukum adalah seperangkat aturan yang apabila dilanggar akan mendapatkan suatu sanksi. John Austin kemudian dalam bukunya The Province of Jurispudence Determined mendefinisikan kalimat itu secara lebih luas. Hukum tidak cukup sebagai aturan, tetapi hukum juga dilegitimasi oleh kekuasaan atau ada suatu kesepakatan (commands and sovereign). Tidak selesai sampai disitu, hukum juga bisa berlaku apabila ada suatu komunitas atau minimalnya dua orang yang menaatinya (habit of obedience). Barulah setelah ditemukan subjek dan objeknya, hukum bisa memutuskan dan memberikan sanksi yang jelas (sanctions).

Mengapa kemudian kalimat itu harus dijabarkan lebih luas? Tujuannya adalah agar kita dapat menemukan perbedaan antara hukum dan ancaman. Sebagai contoh, seorang penodong membuat aturan kepada yang ditodong untuk memberikan sejumlah uang. Penodong pun dengan siap memberikan sanksi kepada yang ditodong. Ancaman itu berupa sanksi dia akan membunuh mangsanya apabila tidak memberikan keinginannya. Fakta tentang penodong tadi tidak bisa disebut hukum sekalipun memenuhi rumusan kalimat hukum.

**

CERMIN I

https://www.plaidforwomen.com/wp-content/uploads/2014/01/Sad-Woman-in-Mirror.jpg

"tik tok tik tok"

Hujan datang tanpa diundang. Rintiknya begitu kecil, jatuh membasahi genting dan dedaunan. Bau tanah yang khas tersiram air pun semerbak memanjakan hidung. Suasana sejuk dan syahdu tersaji malam hari itu.

"Tapi, mungkin lebih tepatnya ini hanya perasaanku saja"
"iya, aku pikir juga begitu"
"apakah aku harus menyesal?"
"tidak perlu, karena kamu telah sungguh-sungguh berusaha yang terbaik. Dan hasil dari usahamu tidak pantas kau nikmati dengan hati yang bersedih, cukuplah kau yakin bahwa akan ada yang lebih baik di depan sana yang sedang menunggumu"
"haha kamu memang selalu bisa membuatku tersenyum"

Seorang wanita muda bergaun putih terlihat sedang asik menatap kaca. Mulutnya yang tipis naik turun tanpa henti. Matanya begitu sipit, namun cukup sigap untuk memandangi wajahnya di hadapan cermin.

Malam itu, di tengah guyuran gerimis, Dia berlagak bak orang gila. Mungkin dia kesepian, mungkin juga dia tidak punya teman yang mendengarkan keluh kesahnya, yang pasti dia berbicara sendiri dengan gambar wajahnya yang muncul dari cermin.

"lalu setelah ini aku harus bagaimana?"
"ambilah hikmah dan pelajaran dari setiap hal yang telah kau lalui, karena hanya itu tugasmu"
"Aku sudah bosan dengan hikmah-hikmah itu, nyatanya sampai saat ini kumpulan hikmah-hikmah yang kau maksud itu tidak bisa membuatku berubah"
"iya, memang kumpulan hikmah itu hanyalah barang usang yang kau bahkan perlu memungutnya dengan susah payah. Percayalah, suatu saat nanti, kamu akan tau seberapa besar hikmah itu bisa merubah kehidupanmu"
"jadi aku harus kembali bersabar dan kembali pula aku harus menyalahkan diriku sendiri?"
"hikmah datang bukan dari hati yang terpaksa, tetapi dari kelapangan dan kebijaksanaan dalam menilai sesuatu"
"maksudmu?"

Dahi wanita itu dikerutkan sedikit, alisnya mengangkat naik.

"apakah kamu tega menyalahkan dirinya yang katanya kamu cintai?"
"hmmm"

Pertanyaan itu seketika membuatnya kebingungan. Rambutnya yang pirang dan tipis dielusnya-elusnya dengan keras.

"kamu menjebaku"
"tidak, aku tidak menjebakmu"

Bayangan wajah di cermin dengan tegas merontokan tulang-tulang cetakan asli di hadapannya. Senyum dari bibirnya yang kecil muncul begitu congkak.

"lalu?"
"kamu mencintainya berbeda dengan kamu mencintaimu. Kamu mencintainya adalah kamu mencintai dia dengan segala kekurangannya, dengan segala penolakannya, dengan segala sikap yang kau tak mau lihat darinya"
"hah!"
"terkadang kamu mengatakan kamu mencintainya padahal kamu mencintai dirimu yang dia digunakan sebagai pemuas kebahagiaanmu. Kamu menyuruhnya untuk menyenangkan hatimu, kamu menyuruhnya menjadi seperti yang kau mau agar dirimu gembira, kau menyuruhnya ini itu karena hal itu adalah yang mampu membuatmu terpesona"
"berarti kamu menyuruhku untuk tidak memaksannya? lalu bagaimana kesadarannya muncul agar kita bisa saling melengkapi?"
"itu hanya perkara waktu, perkara bagaimana keberhasilanmu meluluhkan sikap angkuh dan egoisnya"
"jika memang begitu lalu aku harus bagaimana?"
"senangkanlah saja dia, berusahalah untuk menjadi dirimu yang baik dan berteguh hati untuk menjaganya. Bukankah cinta yang datang dengan sendirinya itu lebih indah daripada cinta yang datang karena dipaksa?"
"iya benar, jadi selama ini aku salah?"
"aku tidak tahu, tapi itulah hikmah yang kau perlu pelajari untuk saat ini"

Bersambung..................