
Seorang kakek tua tiba-tiba saja datang dan
menglemparkan sajadah di hadapan lelaki muda yang sedang asik berdoa. Tubuhnya
yang ringkih tertutup halus oleh sarung dan koko yang nampak kebesaran. Sesaat,
setelah dia memperbaiki posisi kopeahnya yang lusuh, dia memulai sholat.
Anak muda itu menghentikan doanya. Dia memperhatikan
kakek tua itu, dari ujung kaki hingga kepala. Tak beranjak, tak gusar dan tak
ingin rasanya dia pergi menghindar. Dia tetap saja menerawang dan mencermati
kakek itu secara serius dari belakang.
Sepuluh menit berlalu.
Anak muda itu kemudian nampak melotot. Matanya
terbelalak meski hanya tampak barisan punggung yang duduk. Koko hijau dan
sarung putih itu rasanya kini menjadi tembus pandang baginya.
“mengapa kau terus memandangiku anak muda?”
Jedug, jantungnya berdegup kencang. Tangannya
langsung meraih tas seperti orang hendak pergi. Rasanya, tidak ada perasaan
yang lebih malu dibandingkan diri yang ketahuan mengintai.
“ee engga pak”
“oh, tidak ada yang ingin ditanyakan?”
“eee, ada pak, bapak tidak kah bapak berdoa setelah
selesai sholat?”
Kakek tua itu masih enggan menatap kebelakang.
Matanya masih saja terpejam dan menunduk. Tidak tahu juga, apa yang sebenarnya
dia pikirkan di dalam hatinya.
“berdoa”
“doa bapak apa? Bisakah aku memintanya, agar aku
mampu mendapatkan kekhusuan seperti bapak?”
“bisa”
“apa pak?”
“berdoalah, minta kepadanya untuk tetap disediakan
air mata. Rasa syukurku, sedih dan suka citaku karena Tuhan masih memberiku air
mata. Bagiku, tidak ada hadiah terindah yang tuhan berikan kepadaku selain air
mata”
“mengapa bapak begitu menyukai air mata?”
“air mata adalah ungkapan kesanggupan dan
ketaksanggupan. Kau sedih tanpa menumpahkan air mata, sedihmu tak berujung. Kau
gembira tanpa menumpahkan air mata, gembiramu semu. Dan ketika kau telah merasa
tak membutuhkan lagi air mata, kesadaranmu telah pergi meninggalkanmu”
“bukankah air mata itu tanda cengeng bapak?”
“air mata adalah tanda keberanian, tanda terakhir
darimana kau tumpukan segala kesabaranmu. Tanda puncak dari kebahagiaanmu.
Karena sesudah air mata, kau akan lebih kuat, kau akan lebih berusaha lagi. Air
mata pertama menuntutmu untuk lebih sabar lagi, untuk mendapatkan air mata
kedua. Air mata pertama menuntutmu untuk berusaha lagi, agar muncul air mata
kedua”
“lalu?”
“mereka yang tidak menitikan air matanya, mereka
adalah orang yang bertindak tanpa menyertai hati dan jiwanya. Percayalah, dan
kamu harus jujur akan hatimu. Kapan turunnya air mata tidak mungkin tanpa
diawali oleh sentuhan hati dan jiwa”
“aku menyimpan sesak didada akan persoalan ini pak”
“tumpahkanlah”
“tidak bisa pak?”
“itu karena kau merasa dirimu lemah, kau mulai
membawa egomu untuk membalas, kau mulai membawa egomu untuk kebanggaanmu”
“aku benar-benar sulit pak”
“tahan lagi amarahmu, tahan lagi kegembiraanmu,
jangan pernah kau ungkapkan, tahan disini, didalam hati dan jiwamu”
“aku coba pak”
“sadarlah, bahwa yang kau hadapi juga manusia, yang
mereka pun tidak akan pernah mungkin tidak melibatkan hati dan pikirannya dalam
bertindak”
“iya pak”
“air mata adalah bahasa yang kau teteskan dalam
bentuknya yang paling indah”
Pemuda itu seketika menitikan air matanya. Dia,
sebelumnya ingin sekali marah kepada orang-orang yang menghinanya, kepada dunia
yang tidak adil kepadanya, tetapi hatinya kemudian tersentuh. Dia mulai sadar
bahwa air mata yang menghentikan keinginannya memaki, air mata yang
menghentikannya untuk terlalu semangat membalas dendam dan air mata telah
menumbuhkannya dewasa.
“pak, kemana kau pak?”
Tanpa sadar, kakek tua itu mulai hilang dari
pandangannya. Kepalanya yang sejenak tertunduk ternyata menghapus semua semu
tentang bayangan kakek tua dihadapannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar