OPINI RADAR CIREBON (5 Mei 2014)
Oleh : Bakhrul Amal
Ibarat
pohon besar yang melupakan akarnya, pemilu tahun ini begitu dipenuhi oleh
analisa effect. Otomatis,
nama-nama yang sering lalu lalang
ditelevisi, seolah menjadi penentu hasil daripada perolehan suara partai saat
ini. Bagi yang berhasil mengangkat suara partai, mereka diagungkan secepat
kilat, diangkat setinggi bintang-bintang yang berkelap-kelip ditengah malam dan
dimahkotai julukan-julukan yang melegenda. Sementara mereka yang menjungkalkan
harapan suara partai, dianggap tidak pantas lagi untuk sekedar menjadi juru
kampanye.
Memang,
untuk sebagian kasus, tokoh-tokoh yang wajahnya familiar di tengah-tengah masyarakat, mungkin bisa menjadi penentu
kenaikan atau penurunan suara partai. Akan tetapi, seperti apa yang dikatakan
oleh Yudi Latif, bahwasanya pertarungan suara partai yang sesungguhnya adalah
pertarungan diakar rumput. Caleg-caleg yang notabene lebih sering bertemu dan
bertukar pikir dengan pemilih, menurut Yudi Latif adalah effect utama dari segala effect
yang mempengaruhi suara partai. Merekalah kunci dari bagaimana suara-suara
itu pada akhirnya menjadi perhitungan yang final.
Bertebarannya
effect ini kemudian menjadi opini
tersendiri yang mengaburkan akar-akar yang justru menegakan pohon. Oleh karena
itu, tidak jarang, politisipun kemudian menjadi terganggu dan bahkan
terpengaruh oleh konten yang disediakan oleh media. Salah dua contohnya adalah,
ada partai yang secara mengejutkan menghakimi kaum lain sebagai dalang
konspirasi korupsi ketua umum partainya. Yang tentu, kasus itu membuat suara
partai tersebut merosot. Adapula partai yang bingung memilih calon presiden
atau wakilnya karena juru kampanye partai tersebut dinilai sama-sama memiliki effect di bidangnya masing-masing. Jurkam
yang pertama bergerak di bidang musik, lalu selanjutnya di bidang hukum dan
yang terakhir dari bidang politik.
Kedua
hal itu, bisa menjadi suatu indikasi akibat dari sulitnya menakar effect yang begitu abstrak, sehingga
keputusan yang dibuatpun tidak mampu memberikan kebahagiaan bersama dalam
lingkup internal. Apabila dalam lingkup internal saja sudah mengalami kesulitan
dalam hal kesepakatan, bagaimana mungkin bisa serius menghidupi yang sifatnya
eksternal.
Pertarungan
pemilu legislatif pada dasarnya bukanlah pertarungan calon presiden dan
wakilnya. Pemilu yang dilaksanakan bulan April kemarin pun bukan pertarungan
nama besar melawan nama besar melalui konvensi. Secara kasat mata, dari nama
yang menjadi pemilihan, sudah jelas, legislatiflah yang menjadi penentu
seseorang untuk memilih partai mana yang akan beri amanah. Argument ini pun
sudah cukup menegasikan opini effect yang
terlanjur lahir di masyarakat.
Oleh
karenanya, fallacy of dramatic instance analisa media ini harus segera
diperbaiki. Apabila kemudian tetap dilanjutkan, maka yang ada hanyalah kesan
bahwa partai berupaya menjual kredibilitas pada perorangan. Artinya, kerja
partai saat ini tidak lebih seperti orang yang memohon wangsit di bawah pohon besar dengan sesajen. Meskipun secara sadar
mereka bekerja, mereka lebih meyakini dan percaya bahwa effect lah yang mendongkrak mereka. Sehingga tidak salah juga
apabila kerja mereka tidak lagi fokus pada pengkaderan politik yang membangun
manusia politik, tetapi pengkaderan rasa ketergantungan pada satu yang
‘mistik’.
Selain
daripada itu, masyarakatpun kemudian tidak lagi diberikan kecerdasan politik,
utamanya dalam analisa dan memandang suatu masalah. Fenomena effect ini secara jelas, telah membawa
kesimpulan mereka bahwa “sebelum ada tokoh ini partai ini biasa saja, semenjak
hadirnya tokoh ini partai itu naik suaranya, tokoh ini artinya membawa
keberuntungan”. Jangan heran, apabila kemudian post hoc ergo propter hoc ini terus dipelihara, maka wajah dan
rezim presiden dalam stiker “isih penak jamanku” itu menjadi suatu yang memang
benar-benar dirindukan dan begitulah adanya.
Pemilu
memang telah berlalu, tetapi, selama effect
masih dijadikan patokan murah sebagai konsumsi publik, maka kekakuan logika
ini akan tetap berlanjut, tetap bergerak, menyemai dan mengotori pikiran.
*Penulis adalah tukang sapu di Satjipto
Rahadrjo