Selasa, 27 Mei 2014

Terima Kasih Air Mata



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjDZpKeFvrB6yFNgIsk7j7_Bqd5zMZvnQzsfc2urPXWK6lOoG-YAZp_1qjt2MMEm2q28EmKeiw3n3otD1EU2KV-r8GIyR7LNuuD8KGJEa4fYG9Htt1Z9a7F4D9jZDjtpPA72pBCV2pBGjDO/s1600/578068_445397818868794_540260240_n.jpg

Seorang kakek tua tiba-tiba saja datang dan menglemparkan sajadah di hadapan lelaki muda yang sedang asik berdoa. Tubuhnya yang ringkih tertutup halus oleh sarung dan koko yang nampak kebesaran. Sesaat, setelah dia memperbaiki posisi kopeahnya yang lusuh, dia memulai sholat.

Anak muda itu menghentikan doanya. Dia memperhatikan kakek tua itu, dari ujung kaki hingga kepala. Tak beranjak, tak gusar dan tak ingin rasanya dia pergi menghindar. Dia tetap saja menerawang dan mencermati kakek itu secara serius dari belakang.

Sepuluh menit berlalu.

Senin, 05 Mei 2014

Hasil Pemilu Dalam Takaran Effect


OPINI RADAR CIREBON (5 Mei 2014)

Oleh : Bakhrul Amal

Ibarat pohon besar yang melupakan akarnya, pemilu tahun ini begitu dipenuhi oleh analisa effect. Otomatis, nama-nama  yang sering lalu lalang ditelevisi, seolah menjadi penentu hasil daripada perolehan suara partai saat ini. Bagi yang berhasil mengangkat suara partai, mereka diagungkan secepat kilat, diangkat setinggi bintang-bintang yang berkelap-kelip ditengah malam dan dimahkotai julukan-julukan yang melegenda. Sementara mereka yang menjungkalkan harapan suara partai, dianggap tidak pantas lagi untuk sekedar menjadi juru kampanye.
Memang, untuk sebagian kasus, tokoh-tokoh yang wajahnya familiar di tengah-tengah masyarakat, mungkin bisa menjadi penentu kenaikan atau penurunan suara partai. Akan tetapi, seperti apa yang dikatakan oleh Yudi Latif, bahwasanya pertarungan suara partai yang sesungguhnya adalah pertarungan diakar rumput. Caleg-caleg yang notabene lebih sering bertemu dan bertukar pikir dengan pemilih, menurut Yudi Latif adalah effect utama dari segala effect yang mempengaruhi suara partai. Merekalah kunci dari bagaimana suara-suara itu pada akhirnya menjadi perhitungan yang final.
Bertebarannya effect ini kemudian menjadi opini tersendiri yang mengaburkan akar-akar yang justru menegakan pohon. Oleh karena itu, tidak jarang, politisipun kemudian menjadi terganggu dan bahkan terpengaruh oleh konten yang disediakan oleh media. Salah dua contohnya adalah, ada partai yang secara mengejutkan menghakimi kaum lain sebagai dalang konspirasi korupsi ketua umum partainya. Yang tentu, kasus itu membuat suara partai tersebut merosot. Adapula partai yang bingung memilih calon presiden atau wakilnya karena juru kampanye partai tersebut dinilai sama-sama memiliki effect di bidangnya masing-masing. Jurkam yang pertama bergerak di bidang musik, lalu selanjutnya di bidang hukum dan yang terakhir dari bidang politik.
Kedua hal itu, bisa menjadi suatu indikasi akibat dari sulitnya menakar effect yang begitu abstrak, sehingga keputusan yang dibuatpun tidak mampu memberikan kebahagiaan bersama dalam lingkup internal. Apabila dalam lingkup internal saja sudah mengalami kesulitan dalam hal kesepakatan, bagaimana mungkin bisa serius menghidupi yang sifatnya eksternal.
Pertarungan pemilu legislatif pada dasarnya bukanlah pertarungan calon presiden dan wakilnya. Pemilu yang dilaksanakan bulan April kemarin pun bukan pertarungan nama besar melawan nama besar melalui konvensi. Secara kasat mata, dari nama yang menjadi pemilihan, sudah jelas, legislatiflah yang menjadi penentu seseorang untuk memilih partai mana yang akan beri amanah. Argument ini pun sudah cukup menegasikan opini effect yang terlanjur lahir di masyarakat.
Oleh karenanya, fallacy of dramatic instance analisa media ini harus segera diperbaiki. Apabila kemudian tetap dilanjutkan, maka yang ada hanyalah kesan bahwa partai berupaya menjual kredibilitas pada perorangan. Artinya, kerja partai saat ini tidak lebih seperti orang yang memohon wangsit di bawah pohon besar dengan sesajen. Meskipun secara sadar mereka bekerja, mereka lebih meyakini dan percaya bahwa effect lah yang mendongkrak mereka. Sehingga tidak salah juga apabila kerja mereka tidak lagi fokus pada pengkaderan politik yang membangun manusia politik, tetapi pengkaderan rasa ketergantungan pada satu yang ‘mistik’.
Selain daripada itu, masyarakatpun kemudian tidak lagi diberikan kecerdasan politik, utamanya dalam analisa dan memandang suatu masalah. Fenomena effect ini secara jelas, telah membawa kesimpulan mereka bahwa “sebelum ada tokoh ini partai ini biasa saja, semenjak hadirnya tokoh ini partai itu naik suaranya, tokoh ini artinya membawa keberuntungan”. Jangan heran, apabila kemudian post hoc ergo propter hoc ini terus dipelihara, maka wajah dan rezim presiden dalam stiker “isih penak jamanku” itu menjadi suatu yang memang benar-benar dirindukan dan begitulah adanya.
Pemilu memang telah berlalu, tetapi, selama effect masih dijadikan patokan murah sebagai konsumsi publik, maka kekakuan logika ini akan tetap berlanjut, tetap bergerak, menyemai dan mengotori pikiran.

*Penulis adalah tukang sapu di Satjipto Rahadrjo