Sabtu, 12 April 2014

Ketika

Ketika
Kau jungkarbalikan gumpalan merah maroon
Kau terjunkan daging remeh dalam kegelapan
Kau jadikan serpihan yang semula besar
Kau sebarkan abjad dalam pintu-pintu rumah besar

Hanya ada sepi
Sekilas suara kenari yang riang
Pepohonan yang mendesir menerbangkan plastik
Dan ludah-ludah menjadi arak yang menggiurkan

Haruskah ada air yang terjun
Lalu, kemudian lampu-lampu itu datang
Atau bila mungkin hanya memancing kunang-kunang
Sama saja, butuh terang, butuh yang jelas benderang

Semuanya terserah dan kembali pada pemiliknya
Semuanya menjadi remeh dalam goresan pena
Yang merubah
Yang menggetarkan meja, memecehkan gelas

Senin, 07 April 2014

Menerapkan Nilai Pesantren Dalam Kehidupan Bermasyarakat (Pesan Politik Untuk Calon Legislatif)


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEga1i1_-reO-fjInRMqBKe4piCow05jBdt15NRAJFyo9FgRFaY8vhnE0is_lMXy0rm4FDj_sMR0SueFDY2j32_pSOvniNhiefbJ34BomojHH-rCZYBJUAKdgc3hqmglE-Kb9ECY3oEVDZtW/s1600/IMG_0121.JPG

Sejarah panjang kemerdekaan bangsa Indonesia tidak dapat lepas dari pengaruh dan perjuangan Pesantren. Dari mulai kesabaran melakukan edukasi yang sifatnya menggerakan kemampuan intelektual, sampai pergolakan berdarah melawan penjajah. Adalah tragedi 10 November di Surabaya sebagai magnum opus dari pembuktian bagaimana intelektualitas dan jiwa-jiwa ke Indonesia-an pesantren itu amatlah tinggi. Dengan keyakinan yang besar, pesantren bukan hanya berhasil mengusir secara fisik, pesantren melalui perjuangan intelektual santri dan kyainya juga berhasil membuat Belanda mengucapkan “kata menyerah”. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila kita menyebut pesantren adalah bagian terbesar dari Indonesia. 

Namun, life style pesantren yang amat melegenda itu belakang ini mulai sedikit ditinggalkan oleh masyarakat. Ciri dari ditinggalkanya spirit pesantren dalam kehidupan masyarakat dapat kita lihat melalui beberapa hal, yang salah satunya, masyarakat saat ini mulai pragmatis. Masyarakat masa kini mulai mencari dan melakukan hal yang sifatnya cepat dirasakan. Masyarakat mulai tidak lagi secara istiqomah mendirikan bangunanya, bahkan yang lebih parah adalah, masyarakat meminta untuk dibangunkan bangunanya (bangunan kehidupan). Strata yang terakhir disebutkan adalah strata terburuk yang artinya, masyarakat sudah mulai tidak percaya pada kemampuanya.

Minggu, 06 April 2014

MANUSIA TANPA IDENTITAS (IMPACT OF GLOBALIZATION)



 
Bung Hatta, sekitar 60 tahun yang lalu, pernah mengatakan kepada kita, bahwasanya negara ini bisa hancur apabila dikelola oleh sindikat-sindikat yang memikirkan dirinya sendiri. Bung Hatta mungkin, sedang memikirkan suatu keadaan yang memilukan, penuh kelaparan dan perbudakan. Bagaiamana tidak, apabila sudah ada satu kekuatan berkuasa di atas dan menjarah, artinya harus ada satu yang lainya lapar dan berada di bawah. Menurut Duncan Kennedy, seorang professor hukum di Harvard Law School, keadaan itu adalah hukum pasti dimana ada penguasa maka secara tidak langsung ada yang dikuasai.

Pada era ini, era dimana semua memiliki segala kebebasan melakukan apapun, sindikat-sindikat besar itu mulai muncul. Mereka tidak hanya nampak berupa kekuatan modal, tetapi mereka juga hadir sebagai prototipe. Mereka yang menggunakan kekuatan modal mungkin masih bisa terditeksi, yaitu dengan bentuk gedung dan kekayaan. Akan tetapi, sindikalisme yang menguasai melalui prototipe sangat sulit atau tidak bisa sama sekali dicirikan. Mereka lebih rapih, menghancurkan dan menindas ruang-ruang kebebasan itu sendiri.