Sabtu, 14 Desember 2013

Mencari Sosok Ideal (Dalam Kaitanya dengan Demokrasi Deliberatif)

SOSOK PEMIMPIN MASA LAMPAU

Leviathan, sekilas adalah sosok remeh yang hanya bisa kita lihat dalam gambar kenangan masa kecil. Dulu, kita seringkali melihatnya di antara tumpukan buku-buku komik dan terkesan usang. Tinggi besar diantara kecilnya perkotaan, sama sekali tidak menarik. Ya, Leviathan, tetapi begitulah Dia, tetap tegar meskipun remeh, tetap gagah meskipun lusuh. Pedang ditangan kanannya menunjukan kekuatan, sementara tongkat dengan (sekilas) gambar obor api menunjukan kekuatan. Akan tetapi, tahukah kita, bahwa itulah sosok pemimpin masa lalu, kuat disatu sisi dan memiliki nuansa gaib disisi lainya.

Dulu hingga kini, sosok layaknya Leviathan memang selalu diagungkan, entah itu darimana datangnya, yang pasti manusia kemudian berbondong-bondong merepresentasikan harapan padanya. Tidak tahu, apakah karena budaya atau karena memang sosok seperti itulah yang dinilai cocok, yang pasti sosok Leviathan masih berjaya kharismanya. Sebut saja Eyang Subur, yang dengan sesekali kasar kemudian menunjukan kegaibanya, orang kemudian lemah dan menuruti inginnya. Lambat laun, hal ini dimanfaatkan untuk mensejahterakan diri, meskipun pada akhirnya dia menerima boomerang dan digulingkan anak buahnya di masa lalu (Adi bing Slamet).


Selain daripada sisi kanan pedang dan sisi kiri tongkat gaib, Leviathan juga memiliki satu tipe yaitu sosok. Sosok itu mungkin bisa kita temukan dimana Leviathan digambarkan tinggi besar, dan gagah. Sosok itu saat ini kemudian bagai bongkahan es yang runtuh, seperti itu pula Malcolm Gladwell meruntuhkan anggapan itu. Dalam bukunya yang berjudul Blink, Malcolm mengambil sampel Warren Harding, sosok tegap dan gagah yang kemudian menjadi presiden Amerika, akhirnya mengecewakan dan masuk dalam kategori pemimpin terburuk di Amerika. Dimana pada kesimpulan yang Gladwell temukan, ternyata kepmimpinan yang hanya bermodal sosok seperti itu (Leviathan), cepat atau lambat akan menemukan kehancuranya.

PEMIMPIN IDEAL, KOMBINASI FOUCALT DAN RHENALD KASALI

Masyarakat kekinian (tidak hanya Adi bing Slamet) kemudian sadar, bahwa bukan seperti itulah pemimpin seharunsya. Mungkin Adi bing Slamet adalah kasus besar yang mampu menggambarkan bagaimanaya runyamnya kepemimpinan fana tersebut. Sesungguhnya hal itu telah terjadi di banyak tempat dan masuk ke tempat paling dalam dari tubuh kita yaitu hati. Kita pun mulai memasukan hati itu pada pikiran, dan munculah statment secara pribadi, kita harus cari yang ideal. Diwakili Foucault, sosok ideal itu kemudian muncul yaitu "Ilmu pengetahuan adalah kekuasaan", ya penguasa haruslah cerdas.

Tidak selesai pada ungkapan Foucault, cerdas (dalam kateogri ilmu pengetahuan) itupun kemudian di crack dan dirumuskan dalam teori-teori dalam teks. Dalam satu kesempatan, Rhenald Kasali, guru besar Fakultas Ekonomi UI pernah mengatakan, orang yang cerdas itu tidak hanya sekedar mengandalkan formal logic, akan tetapi dia juga menggunakan intuitif listening. Cerdas yang semula selesai pada kacamata akademis ternyata berangsur berubah menuju kemasalah hati, ihbatul qulub (terbuka hatinya). Menurutnya, kebiasan bergulat pada hal formal itu tidaklah cukup, karena kadang-kadang hal formal itu merusak juga, dalam pengambilan keputusan haruslah mengandalkan intuitif listening.

PEMIMPIN DALAM PANDANGAN PLATO DAN ARISTOTELES (PERSETUJUAN DEMOKRASI DELIBERATIF)

Pemimpin itu kemudian dicari dan ditentukan, rakyat kemudian diberi kesempatan memilih. Tetapi ternyata itu tidak cukup, pemimpin yang telah dipilih melalui demokrasi agregatif ini-pun pada akhirnya sama, yaitu mengecewakan. Bingung dan pusing tujuh keliling, harus bagaimana lagi, haruskah hujan mengakhiri kekejaman barulah daun-daun hijau kehidupan tumbuh. Dalam kegamangan menentukan pemimpin, kemudian teori klasik muncul, teori itu datang dari empunya filosof yaitu Plato, sang bahu lebar. Plato dikenal sebagai filosof bijaksana dan dihargai di Athena pada masa kejayaan Yunani.

Plato memberikan suatu gambaran manis tentang pemimpin. Menurutnya, tidak hanya cerdas tetapi perlu pula pemimpin itu memiliki visi. Ingin kemana dan bagaimana nanti yang dipimpinya. Dia membagi kategori pemimpin itu menjadi tiga, yaitu Filosof, Ksatria dan Rakyat. Dimana disitu dia memilih filosoflah sebagai pemimpin yang ideal. Setidaknya hal itu diungkapkan melalui kata-katanya, bahwa "pemimpin yang ideal adalah seorang filosof, filosoflah yang pantas memimpin suatu komunitas besar".

Bila digambarkan dalam sebuah garis vertikal, pemimpin yang dipilih dari demokrasi hanya mencapai pada satu garis ujung horizontal. Lain dan jauh dari itu, pemimpin tirani (filosof dalam hal ini) menulang tinggi melewati garis itu. Pemimpin tiran itu, bukan pemimpin tiran yang kejam tetapi pemimpin tiran yang punya tujuan. Bila di ere masa kini, pemimpin tiran itu mungkin kita mengenalnya sebagai sosok, Hugo Chavez. Pasca kematianya, berita tentang kempemimpinanya begitu minim, akan tetapi ternyata, Venezuela, negara yang dipimpinya ternyata adalah negara pengekspor minyak terbesar dan sekolah disana gratis. Ituloh sosok pemimpin tiran yang memiliki tujuan dan itu kemudian yang dianggap oleh Plato ideal.

Kita tentu tahu, saat ini kita sedang menikmati sistem Demokrasi. Dimana segalanya, bahkan pemimpin pun dibeli dengan uang (money politics). Hal ini kemudian yang menjadikan tujuan pemimpin itu habis pada harapan mencapai presiden, tidak sampai pada menjalankan visi. Oleh karena itu filosof yang diberikan kewenangan tiran (dalam hal ini demokrasi radikal dalam demokrasi deliberatif) lebih tahu kemana tujuanya. Tidak memikirkan bagaimana mengembalikan modal tetapi bagaimana tujuan bisa dia wujudkan sampai pada stasiun-nya. Ini terkesan memaksa tetapi setidaknya itulah yang bisa simpulkan dari maksud diaspora Plato.

Mungkin sejarah memang mencatat hal-hal indah mengenai konsep Plato, tetapi bagaimana pun jenisnya, konsep yang ditawarkan Plato tidak akan pernah lepas dari persetujuan. Setiap pemimpin selalu menuntut persetujuan dari yang dipimpinnya, tanpa hal ini semua adalah ketidak mungkinan. Oleh karena itu, untuk memberikan persetujuan akan ide Plato, Habermas menawarkan suatu konsep yang diberi nama dengan demokrasi delibarif. Dimana pemimpin, dipilih berdasarkan suatu musyawarah, suatu kesepakatan yang duduk bersama, diwakili oleh yang terbaik untuk memilih yang terbaik. Perbedaanya adalah, pemimpin demokrasi agregatif hanyalah menjedi representatif karena berdasarkan voting. Sementara pemimpin ala Habermas condong bersifat presentatif, karena musyawarah bersama sehingga tidak ada tuntutan untuk mengharapkan imbalan legitimasi.

Berbeda dengan Plato, muridnya, yaitu Aristoteles, merumuskan hal yang lain. Aristoteles dalam hal ini memilih pemimpin pada garis kesatria. Dimana Kesatria menurutnya, mampu menampung saran filosof dan mendengar aspirasi rakyat, karena dia berada di tengah. Atau dalam teori Hobes dikenal dengan Intersubjektifitas dimana "aku mencoba memahaminya dengan kemunikasi". Pemimpin yang digadang oleh Aristoteles pun kemudian lahir. Terbukti mashur memang, karena kita tahum pemimpin itu adalah Alexander Agung yang dalam Islam kemudian di kaitkan dengan Sultan Iskandar Muda.

Aristoteles dalam hal ini mungkin lupa, bahwasanya seringkali tuntutan masyarakat tidaklah sesuai dengan kapastitas pemimpin. Hal ini yang kemudian menyebabkan kerapuhan kepemimpinan dan kehancuran pada batas ruang antara pemimpin dan rakyatnya. Meskipun terdengar sebagai suatu bangunan yang utuh, tangan tidak pernah dapat bertindak tanpa intruksi kepala begitupun

PENUTUP

Bagaimanapun bentuk sistemnya, sosok atau figur memang selalu diutamakan, dan sosok seolah menjadi tolak ukur paling vital bagaimana nantinya harapan kita tersampaikan. Dari Leviathan, Hugo Chavez dan Iskandar Muda (susanan sesuai dengan kreteria kategori) semua memiliki zaman dicintainya rakyatnya. Adapun kemudian pemahaman itu bergeser sedikit demi sedikit, itu adalah tanda suatu kemajuan. Bukankah Marx pernah berkata "dalam suatu rencana membangun masyarakat baru, kita secara tidak langsung menyesuaikan diri kita agar bisa diterima oleh masyarakat baru itu". Artinya selain keberanian, kecerdasan, pemimpin pun harus memiliki kemampuan dalam membaca situasi, karena kemampuan membaca situasi ini adalah hal yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainya.

Di akhir tulisan ini setidaknya saya sepakat pada satu hal, bahwa setiap sistem membutuhkan penggerak yang berani untuk membawa menyelesaikan keinginan sampai pada tujuanya. Dan segala kebutuhan itu hanya akan dapat dipenuhi oleh pemimpin yang tidak hanya cerdas dan mampu membaca situasi, tetapi juga memiliki visi dan keyakinan yang kuat. Karena menurut Alan Badiou "pada saatnya keyakinan akan bertemu dengan peristiwa". Seperti Soekarno yang dari awal tekadnya melihat Indonesia merdeka, meskipun kemudian di penjara dan orang-orang menasehatinya "karno, jangan kau ulangi lagi, nanti kau bisa dipenjara lagi". Akan tetapi dengan tekad dan kejelasan tujuan dia menjawab "Aku adalah Soekarno, aku masuk penjara untuk Indonesia merdeka dan aku keluar penjara untuk Indonesia merdeka". Akhirnya keyakinan Soekarno yang dipegang teguh kemudian bertemu dengan  peristiwa, yaitu peristiwa KEMERDEKAAN INDONESIA !!!!!!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar