SOSOK PEMIMPIN MASA LAMPAU
Leviathan, sekilas adalah sosok remeh yang hanya bisa kita lihat dalam gambar
kenangan masa kecil. Dulu, kita seringkali melihatnya di antara tumpukan
buku-buku komik dan terkesan usang. Tinggi besar diantara kecilnya perkotaan, sama
sekali tidak menarik. Ya, Leviathan, tetapi begitulah Dia, tetap tegar meskipun
remeh, tetap gagah meskipun lusuh. Pedang ditangan kanannya menunjukan
kekuatan, sementara tongkat dengan (sekilas) gambar obor api menunjukan
kekuatan. Akan tetapi, tahukah kita, bahwa itulah sosok pemimpin masa lalu,
kuat disatu sisi dan memiliki nuansa gaib disisi lainya.
Dulu hingga kini, sosok layaknya Leviathan memang selalu diagungkan, entah itu
darimana datangnya, yang pasti manusia kemudian berbondong-bondong merepresentasikan
harapan padanya. Tidak tahu, apakah karena budaya atau karena memang sosok
seperti itulah yang dinilai cocok, yang pasti sosok Leviathan masih berjaya
kharismanya. Sebut saja Eyang Subur, yang dengan sesekali kasar kemudian
menunjukan kegaibanya, orang kemudian lemah dan menuruti inginnya. Lambat laun,
hal ini dimanfaatkan untuk mensejahterakan diri, meskipun pada akhirnya dia
menerima boomerang dan digulingkan anak buahnya di masa lalu (Adi bing Slamet).
Selain daripada sisi kanan pedang dan sisi kiri tongkat gaib, Leviathan juga memiliki satu tipe yaitu sosok. Sosok itu mungkin bisa kita temukan dimana Leviathan digambarkan tinggi besar, dan gagah. Sosok itu saat ini kemudian bagai bongkahan es yang runtuh, seperti itu pula Malcolm Gladwell meruntuhkan anggapan itu. Dalam bukunya yang berjudul Blink, Malcolm mengambil sampel Warren Harding, sosok tegap dan gagah yang kemudian menjadi presiden Amerika, akhirnya mengecewakan dan masuk dalam kategori pemimpin terburuk di Amerika. Dimana pada kesimpulan yang Gladwell temukan, ternyata kepmimpinan yang hanya bermodal sosok seperti itu (Leviathan), cepat atau lambat akan menemukan kehancuranya.
PEMIMPIN IDEAL, KOMBINASI FOUCALT DAN RHENALD KASALI
Masyarakat kekinian (tidak hanya Adi bing Slamet) kemudian sadar, bahwa bukan
seperti itulah pemimpin seharunsya. Mungkin Adi bing Slamet adalah kasus besar
yang mampu menggambarkan bagaimanaya runyamnya kepemimpinan fana tersebut.
Sesungguhnya hal itu telah terjadi di banyak tempat dan masuk ke tempat paling
dalam dari tubuh kita yaitu hati. Kita pun mulai memasukan hati itu pada
pikiran, dan munculah statment secara pribadi, kita harus cari yang ideal.
Diwakili Foucault, sosok ideal itu kemudian muncul yaitu "Ilmu pengetahuan
adalah kekuasaan", ya penguasa haruslah cerdas.
Tidak selesai pada ungkapan Foucault, cerdas (dalam kateogri ilmu pengetahuan)
itupun kemudian di crack dan dirumuskan dalam teori-teori dalam teks.
Dalam satu kesempatan, Rhenald Kasali, guru besar Fakultas Ekonomi UI pernah
mengatakan, orang yang cerdas itu tidak hanya sekedar mengandalkan formal
logic, akan tetapi dia juga menggunakan intuitif listening. Cerdas
yang semula selesai pada kacamata akademis ternyata berangsur berubah menuju
kemasalah hati, ihbatul qulub (terbuka hatinya). Menurutnya, kebiasan
bergulat pada hal formal itu tidaklah cukup, karena kadang-kadang hal formal
itu merusak juga, dalam pengambilan keputusan haruslah mengandalkan intuitif
listening.
PEMIMPIN DALAM PANDANGAN PLATO DAN ARISTOTELES (PERSETUJUAN DEMOKRASI
DELIBERATIF)
Pemimpin itu kemudian dicari dan ditentukan, rakyat kemudian diberi kesempatan
memilih. Tetapi ternyata itu tidak cukup, pemimpin yang telah dipilih melalui
demokrasi agregatif ini-pun pada akhirnya sama, yaitu mengecewakan. Bingung dan
pusing tujuh keliling, harus bagaimana lagi, haruskah hujan mengakhiri
kekejaman barulah daun-daun hijau kehidupan tumbuh. Dalam kegamangan menentukan
pemimpin, kemudian teori klasik muncul, teori itu datang dari empunya filosof
yaitu Plato, sang bahu lebar. Plato dikenal sebagai filosof bijaksana dan
dihargai di Athena pada masa kejayaan Yunani.
Plato memberikan suatu gambaran manis tentang pemimpin. Menurutnya, tidak hanya
cerdas tetapi perlu pula pemimpin itu memiliki visi. Ingin kemana dan bagaimana
nanti yang dipimpinya. Dia membagi kategori pemimpin itu menjadi tiga, yaitu
Filosof, Ksatria dan Rakyat. Dimana disitu dia memilih filosoflah sebagai pemimpin
yang ideal. Setidaknya hal itu diungkapkan melalui kata-katanya, bahwa
"pemimpin yang ideal adalah seorang filosof, filosoflah yang pantas
memimpin suatu komunitas besar".
Bila digambarkan dalam sebuah garis vertikal, pemimpin yang dipilih dari demokrasi
hanya mencapai pada satu garis ujung horizontal. Lain dan jauh dari itu,
pemimpin tirani (filosof dalam hal ini) menulang tinggi melewati garis itu.
Pemimpin tiran itu, bukan pemimpin tiran yang kejam tetapi pemimpin tiran yang
punya tujuan. Bila di ere masa kini, pemimpin tiran itu mungkin kita
mengenalnya sebagai sosok, Hugo Chavez. Pasca kematianya, berita tentang
kempemimpinanya begitu minim, akan tetapi ternyata, Venezuela, negara yang
dipimpinya ternyata adalah negara pengekspor minyak terbesar dan sekolah disana
gratis. Ituloh sosok pemimpin tiran yang memiliki tujuan dan itu kemudian yang dianggap oleh Plato
ideal.
Kita tentu tahu, saat ini kita sedang menikmati sistem Demokrasi. Dimana
segalanya, bahkan pemimpin pun dibeli dengan uang (money politics). Hal
ini kemudian yang menjadikan tujuan pemimpin itu habis pada harapan mencapai
presiden, tidak sampai pada menjalankan visi. Oleh karena itu filosof yang
diberikan kewenangan tiran (dalam hal ini demokrasi radikal dalam demokrasi
deliberatif) lebih tahu kemana tujuanya. Tidak memikirkan bagaimana
mengembalikan modal tetapi bagaimana tujuan bisa dia wujudkan sampai pada stasiun-nya.
Ini terkesan memaksa tetapi setidaknya itulah yang bisa simpulkan dari
maksud diaspora Plato.
Mungkin sejarah memang mencatat hal-hal indah mengenai konsep Plato, tetapi
bagaimana pun jenisnya, konsep yang ditawarkan Plato tidak akan pernah lepas
dari persetujuan. Setiap pemimpin selalu menuntut persetujuan dari yang
dipimpinnya, tanpa hal ini semua adalah ketidak mungkinan. Oleh karena itu, untuk
memberikan persetujuan akan ide Plato, Habermas menawarkan suatu konsep yang
diberi nama dengan demokrasi delibarif. Dimana pemimpin, dipilih berdasarkan
suatu musyawarah, suatu kesepakatan yang duduk bersama, diwakili oleh yang
terbaik untuk memilih yang terbaik. Perbedaanya adalah, pemimpin demokrasi
agregatif hanyalah menjedi representatif karena berdasarkan voting. Sementara
pemimpin ala Habermas condong bersifat presentatif, karena musyawarah bersama
sehingga tidak ada tuntutan untuk mengharapkan imbalan legitimasi.
Berbeda dengan Plato, muridnya, yaitu Aristoteles, merumuskan hal yang lain.
Aristoteles dalam hal ini memilih pemimpin pada garis kesatria. Dimana Kesatria
menurutnya, mampu menampung saran filosof dan mendengar aspirasi rakyat, karena
dia berada di tengah. Atau dalam teori Hobes dikenal dengan Intersubjektifitas
dimana "aku mencoba memahaminya dengan kemunikasi". Pemimpin yang
digadang oleh Aristoteles pun kemudian lahir. Terbukti mashur memang, karena
kita tahum pemimpin itu adalah Alexander Agung yang dalam Islam kemudian di
kaitkan dengan Sultan Iskandar Muda.
Aristoteles dalam hal ini mungkin lupa, bahwasanya seringkali tuntutan
masyarakat tidaklah sesuai dengan kapastitas pemimpin. Hal ini yang kemudian
menyebabkan kerapuhan kepemimpinan dan kehancuran pada batas ruang antara
pemimpin dan rakyatnya. Meskipun terdengar sebagai suatu bangunan yang utuh,
tangan tidak pernah dapat bertindak tanpa intruksi kepala begitupun
PENUTUP
Bagaimanapun bentuk sistemnya, sosok atau figur memang selalu diutamakan, dan
sosok seolah menjadi tolak ukur paling vital bagaimana nantinya harapan kita
tersampaikan. Dari Leviathan, Hugo Chavez dan Iskandar Muda (susanan sesuai
dengan kreteria kategori) semua memiliki zaman dicintainya rakyatnya. Adapun
kemudian pemahaman itu bergeser sedikit demi sedikit, itu adalah tanda suatu
kemajuan. Bukankah Marx pernah berkata "dalam suatu rencana membangun
masyarakat baru, kita secara tidak langsung menyesuaikan diri kita agar bisa
diterima oleh masyarakat baru itu". Artinya selain keberanian, kecerdasan,
pemimpin pun harus memiliki kemampuan dalam membaca situasi, karena kemampuan
membaca situasi ini adalah hal yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainya.
Di akhir tulisan ini setidaknya saya sepakat pada satu hal, bahwa setiap sistem
membutuhkan penggerak yang berani untuk membawa menyelesaikan keinginan sampai
pada tujuanya. Dan segala kebutuhan itu hanya akan dapat dipenuhi oleh pemimpin
yang tidak hanya cerdas dan mampu membaca situasi, tetapi juga memiliki visi
dan keyakinan yang kuat. Karena menurut Alan Badiou "pada saatnya
keyakinan akan bertemu dengan peristiwa". Seperti Soekarno yang dari
awal tekadnya melihat Indonesia merdeka, meskipun kemudian di penjara dan
orang-orang menasehatinya "karno, jangan kau ulangi lagi, nanti kau
bisa dipenjara lagi". Akan tetapi dengan tekad dan kejelasan tujuan
dia menjawab "Aku adalah Soekarno, aku masuk penjara untuk Indonesia
merdeka dan aku keluar penjara untuk Indonesia merdeka". Akhirnya
keyakinan Soekarno yang dipegang teguh kemudian bertemu dengan peristiwa,
yaitu peristiwa KEMERDEKAAN INDONESIA !!!!!!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar