
Di suatu malam di tengah kebisingan perayaan.
I do everything I think possible or acceptable to escape from this trap.
Derrida mungkin sedang tertawa ketika menuliskan ini. Dia membayangkan kata-katanya terditeksi dan kemudian didekontruksi menjadi sebuah lelucon. Mungkin juga, Dia secara mengalir menuliskanya. Dia membayangkan begitu banyak hal di dunia ini kemudian ter-inspirasi. Hal ini kemudian kontradiksi dengan kata-katanya di buku yang di tuliskan oleh Muhammad Al Fayyadl Commenfons par l'impossible atau "marilah kita mulai dengan yang tak mungkin". Aku kemudian menjadi bingung, seperti berada disebuah jembatan diantara yang mungkin dan tidak mungkin.
Begitulah manusia, manusia selalu memiliki jalan-jalan dimana mereka harus memilih dan pilihan itu kadang-kadang harus melukai dirinya sendiri. Seorang Derrida pun, yang orang mengenalnya dengan bapak dekontruksi bisa berada dalam situasi ini. Dia seolah mungkin dari mungkin tapi mungkin pula dari yang tidak mungkin. Tujuanya satu, Dia sebagai manusia merasa jujur bahwa tidak bisa lepas dari keadaan yang kemungkinan.
Lalu harus bagaimana kita menghadapi begitu banyaknya kemungkinan itu? Apakah inkonsistensi pada jati diri atau konsisten dalam etika kedhaifan?
Pram dalam buku Bumi Manusia pernah menyelipkan suatu kalimat menarik untuk meminimalisir keadaan ini. Lewat mulut Jean Marais, Pram berdiskusi dengan diri dengan mengatakan "Soerang terpelajar harus jujur pada dirinya sendiri semenjak dalam pikiran". Saya tidak begitu hafal kata-katanya, Saya juga begitu malas untuk taat pada keabsolutan ketika saya menuliskan kata-kata ini. Yang pasti Saya yakin, sekalipun ada sedikit kesalahan, substansinya tidak hilang. Jean sebagai representasi Pram menginginkan kejujuran, yang bukan hanya kejujuran baik dan benar tetapi kejujuran pada hal-hal yang sebenarnya ingin kita lakukan. Mengapa bukan baik dan benar? karena pelajar adalah stempel dari diri yang sesungguhnya yaitu manusia.
Manusia, dinukil dari buku 20 Karya Filsafat Terbesar hasil tulisan James Garvey, menurut Aristoteles memiliki dua kemungkinan dalam menghadapi ketidakmungkinan itu. Yang pertama adalah menjadi pengecut dan kemudian berselimut rasa takut. Lalu yang kedua menjadi gegabah dan serampangan menghadapi hidup. Diantara dua jalan itu Aristoteles menawarkan satu jalan lagi yang dia sebuat dengan jalan tengah. Dia menjelaskan secara terang benderang dalam bukunya Etika Nikomachea, jalan tengah yang Dia maksud adalah 'keberanian'. Dia juga memberi jalan tengah pada kerendahan dan kesombongan, jalan tengah itu berupa kejujuran.
Saat ini coba Kita bayangkan, Kita sedang melajukan sepeda motor menuju tempat yang Kita sukai. Kita sesungguhnya atau kadang kala berpikir, Kita sampai pada tempat itu atau Kita kecelakaan di jalan. Lalu apa yang menyebabkan Kita tetap berada menuju kesana? Tentu bukan ketakutan, tentu pula bukan gegabah tetapi karena keberanian. Dan yang membuat kita berani tetap menuju kesana bukan karena sombong ataupun merendahkan diri kita, akan tetapi kejujuran langkah kita menuju kesana.
Dari sini mulailah terpikir, bahwa jalan-jalan itu tentu sudah ada sesuatu yang menentukan, dan yang menentukan itu adalah yang maha menentukan. Kita adalah alat yang sudah ditentukan, oleh karena itu etika kedaifan kemudian menjadi relevan dalam hal ini. Dan jalan tengah itu bukanlah jalan menentukan kebenaran dan kesalahan tetapi jalan yang Kita pilih untuk sama-sama bahagia. Hal ini pun kemudian menjadi luas, dimana Kita sering kebingungan melakukan perlawanan terhadap kedzaliman.
Kita seolah egois dan kalah terhadap tujuan yang Kita pegang. Mengambil contoh, ketika seorang yang meyakini suatu hal kemudian bergerak dengan mengikuti cara-cara tertentu yang diajarkan hal yang diyakini. Mempelajari hal tanpa mengamati tujuan, sudah barang tentu pasti bias dan justru memperburuk suatu keadaan. Dari semua hal yang, baik itu teologi, pemikiran dan gagasan, semua tertuju pada satu hal yaitu kebaikan untuk seluruh umat manusia. Jalan apapun, apabila kemudian ketika diterapkan mengganggu perinsip kebaikan untuk semua, yang harus ditinggalkan adalah cara-caranya dan yang diutamakan adalahh tujuanya.
"Survival in the conventional sense of the term means to continue to live, but also to live after death"
Derrida secara sengaja ataupun tidak menyelipkan tujuanya atau bahkan mungkin tujuan seluruh umat yang diamatinya dengan teks. Seorang arif pernah berkata bahwa "yang benar belum tentu baik". Dia secara sadar menjelaskan suatu persoalan, yang amat rumit dan menyiksa. Kita mungkin benar ketika kita disakiti kemudian membalas, tetapi apakah membalas itu suatu kebaikan ketika Kita tahu secara pasti hal itu pun kemudian akan dibalas. Kemudian adapula yang mengalami hal yang sama tetapi tidak membalas karena alasan kebaikan. Kebaikan itu berupa keinginan memberikan kesadaran bahwa "uwis weru ditabok iku lara makae aja nabok" (udah tau memukul salah makanya jangan memukul). Mungkinkah, hal itu kemudian dianggap pengecut? bagi Nabi Muhammad S.A.W justru itulah keberanian dan kejujuran dari pikiran.
"While I was growing up, I was regularly taken to a synagogue in Algiers, and there were aspects of Judaism I loved -- the music, for instance. Nonetheless, I started resisting religion as a young adolescent, not in the name of atheism, but because I found religion as it was practiced within my family to be fraught with misunderstanding. It struck me as thoughtless, just blind repetitions, and there was one thing in particular I found unacceptable: that was the way honors were dispersed. The honor of carrying and reading the Torah was auctioned off in the synagogue, and I found that terrible. Then when I was 13, I read Nietzsche for the first time, and though I didn't understand him completely, he made a big impression on me. The diary I kept then was filled with quotations from Nietzsche and Rousseau, who was my other god at the time. Nietzsche objected violently to Rousseau, but I loved them both and wondered, how can I reconcile them both in me?" "The three ages of Jacques Derrida." (Interview with Kristine McKenna) in: LA Weekly. November 8-14, 2002.
Dalam perjalanan hidupnya pun Derrida selalu mengalami dualisme, dan itu menyebabkan mungkin dan tak mungkin baginya, bagi sikapnya. Dia kadang berada diantara dua hal yang Dia suka, tetapi Dia sadari dan hal yang Dia pilih adalah prinsipnya yaitu dengan how can I reconcile them both in me?. Suatu ketika bahwa yang tak mungkin itu adalah suatu kemungkinan, dan yang mungkin disaat yang lain pun kadangkala di jauhkan untuk menjadi tak mungkin.
Dualisme sikap ini kadang bagi yang belum terlalu memahami mungkin akan mencerca dan mencaci maki. Islam mengajarkan umatnya untuk menolak segala macam kemungkaran. Kita lalu menyaksikan adegan pemukulan dan kekerasan yang dilaukan oleh FPI. Melihat dari kacamata ini, Apakah salah kemudian tindakan FPI/? tentu tidak bukan. Tetapi orang lain kemudian tidak sedikit yang menilai hal itu salah. Tidak tanggung-tanggung, Al-Ghazalilah yang menyangkalnya. Mereka benar, tetapi cara mereka bukanlah cara kebaikan. Al-Ghazali mengatakan bahwa dalam menumpas kemungkaran maka kita harus menggunakan cara-cara yang ma'ruf bukan malah menimbulkan kemungkaran baru.
Itulah jalan, dimana yang tidak mungkin dan mungkin memiliki tempat yang sama untuk suatu tujuan. Derrida di satu sisi kita anggap melakukan beberapa kesalahan tetapi disisi lain, dengan kacamata yang lain pula hal itu bisa menjadi benar. Cukup sederhana Dia merunutkan hal itu, tetapi cukup rumit bagi Kita memahaminya. Semua tokoh besar selalu mencermati keadaan ini dan membaca sejarah bukan untuk mengulangi kesalahan tetapi untuk memperbaiki kesalahan. Atas dasar ketidak mungkinan maka mungkin dan tak mungkin menjadi alasan untuk meninggikan tujuan atau prinsip. Maka kemudia Derrida pun pernah mengatakan "consciousness offers itself to thought only as self-presence, as the perception of self in presence"
Catatan : Sebagian besar kutipan Derrida diambil dari quotes-quotesnya yang berserakan di dunia maya dan buku How to Read Derrida karya Penelope Deutscher
Tidak ada komentar:
Posting Komentar