Selain tampan, salah satu ciri khas Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) adalah ucapan nada mengeluh “saya prihatin”. Saya
prihatin seolah menjadi sebuah kalimat yang mewakili segala hal. Terkejut,
berduka dan mungkin meminta belas kasihan atas apa yang dialaminya. Sebagai
seorang manusia hal itu bukanlah suatu yang mengherankan, justuru sangat wajar,
mengingat manusia memiliki segala kekurangan yang niscaya. Tidak salah pula,
apabila kemudian ucapan yang dimulai oleh SBY ini menjadi tren dalam kehidupan
masyarakat Indonesia.
Baru-baru ini, dunia pengetahuan sedang menemukan
titik ejakulasinya. Secara tiba-tiba rombongan kiri (atau lebih tepatnya secara pribadi) yang diwakili Martin Suryajaya
dengan gagah berani menelanjangi Goenawan Mohamad yang (dituduhnya) liberal.
Bukti-bukti pun disuguhkan oleh Martin, dari mulai transkrip hingga acuan teks yang
mengambang menjadi sebuah justifikasi. Goenawan pun meradang, tidak menunggu
waktu lama, segala hal yang menyudutkan dirinya dijawab dengan sebuah cerita
pendek. Cerita itu menggambarkan secara jelas mengenai kehidupan yang menjadi
alasan mengapa itu (hal yang dituduhkan Martin) terjadi.
Dalam tulisan ini saya tidak hendak menceritakan
secara detail tuduhan-tuduhan Martin, akan tetapi saya mencoba mendongkrak
mobil yang menjadi jawaban Goenawan Mohamad.
Sekali lagi, secara spontan dan dengan alur yang
sama Goenawan menjawab cercaan Martin. Dengan membawa gaya dan mungkin tradisi
menulisnya, Goenawan seperti melunak tetapi tak melunak. Jawabanya diawali
dengan sebuah sapaan manja yang tak memiliki substansi “Kita ketemu lagi,
Martin. Dan mungkin ini bukan pertemuan terakhir. Sangat boleh jadi
akan ada pertemuan berikutnya, selama anda anggap Goenawan Mohamad demikian
penting (dan demikian “evil”) hingga harus ada usaha terus menerus untuk
meringkusnya”. Jawaban yang seolah menghilangkan Goenawan dari Goenawan dan
hendak mengatakan “saya prihatin”.
Yang menarik dari kalimat itu adalah adanya sebuah
persepsi yang diwakili oleh “anda anggap”. Kalimat “anda anggap” yang dipilih
Goenawan bukanlah kalimat remeh yang lemah, tetapi pukulan keras yang justru
memukul penulis dari kalimat tersebut. Secara jelas, dalam tulisan ini Goenawan
Mohamad mencoba menjadi the other terhadap dirinya sendiri. Saya yakin Dia
tidak sedang bergurau, menginggau atau mungkin tertawa ketika menuliskan
kalimat itu, dia serius !. Dan keseriusan Goenawan sama seriusnya dengan Martin
yang rela bersusah payah mencari belang Goenawan Mohamad. Memang Martin mungkin
menganggap Goenawan penting, tetapi bukan pada diri Goenawan yang manusia, akan
tetapi pada Goenawan yang sering kali bersembunyi dibalik teks dan pemikiran.
Kata “anda anggap” pun sesungguhnya mencoba menakar
tulisan Martin terhadapnya yang (menggunakan kata-kata Goenawan) dianggap
bertendensi kebencian. Selain tulisan Martin yang kemudian dikaburkan,
identitas dan pribadi Martin yang berdasar anggapan dimunculkan. Tidak
tanggung-tanggung, anggapanya adalah Martin membencinya. Seolah-olah Dia
menempatkan keprihatinan pada dirinya dan menyuruh orang lain mengikutinya.
Bila boleh saya “anggap”, maka saya “anggap” ini sebagai sebuah kefatalan
terstruktur pertama Goenawan.
Bila Goenawan berani, seharusnya ungkapan itu tidak
perlu Dia ucapkan, mengingat tuduhan Martin untuk “penting” nya Goenawan cukup
jelas. Hal itu tertera pada poin tiga berlanjut empat teks Marti yang
menyebutkan bahwa Goenawan “memiliki peran sebagai makelar kebudayaan dalam
membentuk selera intelektual Indonesia, dan juga tentang Dia yang (menurut
Martin) memperlihatkan kaitannya dengan konsolidasi kapitalisme di Indonesia
pasca 1965”. Hal ini sudah cukup mengasikan ucapan Goenawan yang menyebut
“dirinya penting bahkan evil”. Dia sudah tahu tetapi seolah-olah membawa
pembaca untuk tidak perlu tahu.
Jawaban Goenawan pada prolog suratnya kepada Martin
seperti ingin menghilangkan tuduhan Martin dengan “memprihatinkan” Dirinya.
Satu hal, dalam pembicaraan yang tidak mungkin, dimana keduanya belum pernah
terlibat secara empat mata (karena saya tidak tahu), apakah etis menyebut
Martin sebagai pembenci? Selain upaya pengaburan tuduhan (bila dilihat dari
epilog yang dituliskannya), Goenawan secara sadar mencoba untuk melabeli Martin
sebagai seorang pembenci. Label ini (mungkin dipersiapkan Goenawan) yang
nantinya menjadi modal pembaca pledoi-nya untuk menghakimi Martin.
Surat Goenawan yang pertama seperti sebuah surat
untuk mengantar pembaca pada kesimpulan pertama, Martin pembenci dan Goenawan
dibenci. Dalam hal ini Goenawan tidak hanya sedang berpolitik pencitraan dalam
teks, tetapi pula mencoba menjauhkan pembaca esainya dari pemikiran Martin.
Bila ditelisik secara luas, mungkin saja upaya untuk ini pun digunakan untuk
menunjukan bagaimana wajah kaum kiri dan kaum kanan. Mengapa hal ini menjadi
mungkin? Karena Goenawan paham betul bahwa pertarunganya bukan sekedar Dia dan
Martin, tetapi pertarungan kaum kiri dan kanan. Itupun secara jelas seperti
yang dituduhkan Martin, bahwa Goenawan adalah makelar liberalisme Indonesia
dengan bayaran $50. (marxisme dan liberalisme)
Surat Goenawan, bila hendak kita melucutinya secara
satu persatu maka hanya akan menemukan isi pada bagian pembuka dan penutup.
Bagian tengah yang dituliskanya secara lebar isinya hanya bercerita, sebuah
dongeng tentang hidupnya (yang meskipun salah apabila dilewatkan) tetapi
benar-benar tak mengungkap apapun. Dia justru menantang Martin untuk berpikir ulang dan mencoba menganalisa
kembali bahwa yang memiliki kaitan dengan Kats dan karya Camus, bukan hanya
Dia. Klimaks dari surat Goenawan kepada Martin adalah sebuah paragraf ejekan
perihal kecerobohan Martin, yang Dia kemas dengan kata ungkapan yang pura-pura
lupa “Oh, ya, satu lagi” kemudian dilanjutkan “setelah dengan panjang lebar
memaparkan soal — dalam bahasa Martin– “liberalisme borongan: cicilan $50″
sebagai upah dari Kats untuk menerjemahkan Camus, Martin malah mengabaikan
fakta sederhana sekaligus benderang: saya tak pernah menerjemahkan karya Albert
Camus.”
Goenawan mungkin juga menganggap perlu menceritakan
kehidupanya bersama Kats serta kawan kompatriotnya. Tetapi rasanya keperluan
itu hanya sebatas bumbu yang menggiring pembaca untuk merenung “betapa
romantisnya kaum liberal" (berkaca pada tuduhan Martin). Tubuh-tubuh teks
yang diuraikan panjang itu seolah menjadi hiasan indah rumah argumentasinya,
dimana “kebencian” Martin menjadi seperti salah alamat. Setelah digiring oleh
persepsi, kemudian pembaca diajak untuk menikmati betapa indahnya persahabatan
liberal yang damai dan saling berbagi ilmu.
Dalam hal ini hentakan Goenawan berhasil, apalagi
diakhir suratnya Dia katakan “oh ya satu lagi”, padahal secara jelas itu adalah
bagian pertama suratnya. Bila kita cermati, sesungguhnya kalimat ini mewakili
semua surat Goenawan dari awal dan akhir. Tidak perlu ada fakta sejarah yang
diperjelas atau mungkin keromantisanya bersama Kats. Satu paragraf ini sudah
mampu membuat Martin pergi bersama dengan tulisan-tulisanya. Yang menjadi soal
adalah, mengapa cerita-cerita sejarah yang sekalipun itu tidak perlu tetapi
tetap dituliskan?
Apa yang dituliskan dalam jawaban Goenawan intinya
meruntuhkan tuduhan Martin dan menyingkap setidaknya dua pesan. Yang pertama
Goenawan perlu membawa pembaca yakin bahwa Martin “pembenci” dengan cerita
sejarahnya dengan Kats. Cerita romantismenya bersama Kats adalah upaya memalingkan
wajah pembaca dari Martin, dan meyakinkan label yang Dia berikan. Setelah
pembaca terbuai dan sepakat dengan tulisanya yang dibuka dengan nada “saya
prihatin”. Secara (lagi-lagi) sadar, Goenawan kemudian mencoba untuk menagajak
pembacanya menertawakan Martin dengan “Oh ya, ternyata dek Martin itu keliru”.
Kesimpulanya adalah satu surat sebagai upaya label yang ditanamkan Goenawan,
dalam hal ini sangat-sangat berhasil.
Yang menjadi soal adalah, label pembenci yang Dia
tanamkan seolah dan tidak hanya Dia tanamkan untuk Martin, tetapi pula untuk
kaum kiri. Meskipun (lagi-lagi mungkin) hal ini tidak diakui oleh Goenawan
tetapi bagi pembaca yang jeli sudah sepatutnya harus teliti. Selain itu harus
pula mencoba menakar substansi agar nantinya label ini tidak menjadi panjang
dan menyeluruh. Dalam sebuah perang teks, meskipun dalam hal ini Goenawan lebih
lihai, tetapi tetap saja hal itu tidaklah etis. Jangan sampai karena tulisan
Goenawan ini kemudian berujung kesimpulan sesungghunya kaum kiri itu pembenci dan
kaum kanan penyabar.
Sumber :
http://goenawanmohamad.com/2013/12/10/jawaban-untuk-martin-bagian-pertama/#more-869
http://indoprogress.com/logika/?p=437
Tidak ada komentar:
Posting Komentar