Rabu, 18 Desember 2013

Jawaban GM dan Upaya Melabeli Kaum Kiri





Selain tampan, salah satu ciri khas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah ucapan nada mengeluh “saya prihatin”. Saya prihatin seolah menjadi sebuah kalimat yang mewakili segala hal. Terkejut, berduka dan mungkin meminta belas kasihan atas apa yang dialaminya. Sebagai seorang manusia hal itu bukanlah suatu yang mengherankan, justuru sangat wajar, mengingat manusia memiliki segala kekurangan yang niscaya. Tidak salah pula, apabila kemudian ucapan yang dimulai oleh SBY ini menjadi tren dalam kehidupan masyarakat Indonesia.


Baru-baru ini, dunia pengetahuan sedang menemukan titik ejakulasinya. Secara tiba-tiba rombongan kiri (atau lebih tepatnya secara pribadi) yang diwakili Martin Suryajaya dengan gagah berani menelanjangi Goenawan Mohamad yang (dituduhnya) liberal. Bukti-bukti pun disuguhkan oleh Martin, dari mulai transkrip hingga acuan teks yang mengambang menjadi sebuah justifikasi. Goenawan pun meradang, tidak menunggu waktu lama, segala hal yang menyudutkan dirinya dijawab dengan sebuah cerita pendek. Cerita itu menggambarkan secara jelas mengenai kehidupan yang menjadi alasan mengapa itu (hal yang dituduhkan Martin) terjadi.
 
Dalam tulisan ini saya tidak hendak menceritakan secara detail tuduhan-tuduhan Martin, akan tetapi saya mencoba mendongkrak mobil yang menjadi jawaban Goenawan Mohamad.


Sekali lagi, secara spontan dan dengan alur yang sama Goenawan menjawab cercaan Martin. Dengan membawa gaya dan mungkin tradisi menulisnya, Goenawan seperti melunak tetapi tak melunak. Jawabanya diawali dengan sebuah sapaan manja yang tak memiliki substansi “Kita ketemu lagi, Martin.  Dan mungkin ini  bukan pertemuan terakhir. Sangat boleh jadi akan ada pertemuan berikutnya, selama anda anggap Goenawan Mohamad demikian penting (dan demikian “evil”) hingga harus ada usaha terus menerus untuk meringkusnya”. Jawaban yang seolah menghilangkan Goenawan dari Goenawan dan hendak mengatakan “saya prihatin”.


Yang menarik dari kalimat itu adalah adanya sebuah persepsi yang diwakili oleh “anda anggap”. Kalimat “anda anggap” yang dipilih Goenawan bukanlah kalimat remeh yang lemah, tetapi pukulan keras yang justru memukul penulis dari kalimat tersebut. Secara jelas, dalam tulisan ini Goenawan Mohamad mencoba menjadi the other terhadap dirinya sendiri. Saya yakin Dia tidak sedang bergurau, menginggau atau mungkin tertawa ketika menuliskan kalimat itu, dia serius !. Dan keseriusan Goenawan sama seriusnya dengan Martin yang rela bersusah payah mencari belang Goenawan Mohamad. Memang Martin mungkin menganggap Goenawan penting, tetapi bukan pada diri Goenawan yang manusia, akan tetapi pada Goenawan yang sering kali bersembunyi dibalik teks dan pemikiran.


Kata “anda anggap” pun sesungguhnya mencoba menakar tulisan Martin terhadapnya yang (menggunakan kata-kata Goenawan) dianggap bertendensi kebencian. Selain tulisan Martin yang kemudian dikaburkan, identitas dan pribadi Martin yang berdasar anggapan dimunculkan. Tidak tanggung-tanggung, anggapanya adalah Martin membencinya. Seolah-olah Dia menempatkan keprihatinan pada dirinya dan menyuruh orang lain mengikutinya. Bila boleh saya “anggap”, maka saya “anggap” ini sebagai sebuah kefatalan terstruktur pertama Goenawan.


Bila Goenawan berani, seharusnya ungkapan itu tidak perlu Dia ucapkan, mengingat tuduhan Martin untuk “penting” nya Goenawan cukup jelas. Hal itu tertera pada poin tiga berlanjut empat teks Marti yang menyebutkan bahwa Goenawan “memiliki peran sebagai makelar kebudayaan dalam membentuk selera intelektual Indonesia, dan juga tentang Dia yang (menurut Martin) memperlihatkan kaitannya dengan konsolidasi kapitalisme di Indonesia pasca 1965”. Hal ini sudah cukup mengasikan ucapan Goenawan yang menyebut “dirinya penting bahkan evil”. Dia sudah tahu tetapi seolah-olah membawa pembaca untuk tidak perlu tahu.


Jawaban Goenawan pada prolog suratnya kepada Martin seperti ingin menghilangkan tuduhan Martin dengan “memprihatinkan” Dirinya. Satu hal, dalam pembicaraan yang tidak mungkin, dimana keduanya belum pernah terlibat secara empat mata (karena saya tidak tahu), apakah etis menyebut Martin sebagai pembenci? Selain upaya pengaburan tuduhan (bila dilihat dari epilog yang dituliskannya), Goenawan secara sadar mencoba untuk melabeli Martin sebagai seorang pembenci. Label ini (mungkin dipersiapkan Goenawan) yang nantinya menjadi modal pembaca pledoi-nya untuk menghakimi Martin.


Surat Goenawan yang pertama seperti sebuah surat untuk mengantar pembaca pada kesimpulan pertama, Martin pembenci dan Goenawan dibenci. Dalam hal ini Goenawan tidak hanya sedang berpolitik pencitraan dalam teks, tetapi pula mencoba menjauhkan pembaca esainya dari pemikiran Martin. Bila ditelisik secara luas, mungkin saja upaya untuk ini pun digunakan untuk menunjukan bagaimana wajah kaum kiri dan kaum kanan. Mengapa hal ini menjadi mungkin? Karena Goenawan paham betul bahwa pertarunganya bukan sekedar Dia dan Martin, tetapi pertarungan kaum kiri dan kanan. Itupun secara jelas seperti yang dituduhkan Martin, bahwa Goenawan adalah makelar liberalisme Indonesia dengan bayaran $50. (marxisme dan liberalisme)


Surat Goenawan, bila hendak kita melucutinya secara satu persatu maka hanya akan menemukan isi pada bagian pembuka dan penutup. Bagian tengah yang dituliskanya secara lebar isinya hanya bercerita, sebuah dongeng tentang hidupnya (yang meskipun salah apabila dilewatkan) tetapi benar-benar tak mengungkap apapun. Dia justru menantang Martin untuk  berpikir ulang dan mencoba menganalisa kembali bahwa yang memiliki kaitan dengan Kats dan karya Camus, bukan hanya Dia. Klimaks dari surat Goenawan kepada Martin adalah sebuah paragraf ejekan perihal kecerobohan Martin, yang Dia kemas dengan kata ungkapan yang pura-pura lupa “Oh, ya, satu lagi” kemudian dilanjutkan “setelah dengan panjang lebar memaparkan soal — dalam bahasa Martin– “liberalisme borongan: cicilan $50″ sebagai upah dari Kats untuk menerjemahkan Camus, Martin malah mengabaikan fakta sederhana sekaligus benderang: saya tak pernah menerjemahkan karya Albert Camus.”


Goenawan mungkin juga menganggap perlu menceritakan kehidupanya bersama Kats serta kawan kompatriotnya. Tetapi rasanya keperluan itu hanya sebatas bumbu yang menggiring pembaca untuk merenung “betapa romantisnya kaum liberal" (berkaca pada tuduhan Martin). Tubuh-tubuh teks yang diuraikan panjang itu seolah menjadi hiasan indah rumah argumentasinya, dimana “kebencian” Martin menjadi seperti salah alamat. Setelah digiring oleh persepsi, kemudian pembaca diajak untuk menikmati betapa indahnya persahabatan liberal yang damai dan saling berbagi ilmu.


Dalam hal ini hentakan Goenawan berhasil, apalagi diakhir suratnya Dia katakan “oh ya satu lagi”, padahal secara jelas itu adalah bagian pertama suratnya. Bila kita cermati, sesungguhnya kalimat ini mewakili semua surat Goenawan dari awal dan akhir. Tidak perlu ada fakta sejarah yang diperjelas atau mungkin keromantisanya bersama Kats. Satu paragraf ini sudah mampu membuat Martin pergi bersama dengan tulisan-tulisanya. Yang menjadi soal adalah, mengapa cerita-cerita sejarah yang sekalipun itu tidak perlu tetapi tetap dituliskan?


Apa yang dituliskan dalam jawaban Goenawan intinya meruntuhkan tuduhan Martin dan menyingkap setidaknya dua pesan. Yang pertama Goenawan perlu membawa pembaca yakin bahwa Martin “pembenci” dengan cerita sejarahnya dengan Kats. Cerita romantismenya bersama Kats adalah upaya memalingkan wajah pembaca dari Martin, dan meyakinkan label yang Dia berikan. Setelah pembaca terbuai dan sepakat dengan tulisanya yang dibuka dengan nada “saya prihatin”. Secara (lagi-lagi) sadar, Goenawan kemudian mencoba untuk menagajak pembacanya menertawakan Martin dengan “Oh ya, ternyata dek Martin itu keliru”. Kesimpulanya adalah satu surat sebagai upaya label yang ditanamkan Goenawan, dalam hal ini sangat-sangat berhasil.


Yang menjadi soal adalah, label pembenci yang Dia tanamkan seolah dan tidak hanya Dia tanamkan untuk Martin, tetapi pula untuk kaum kiri. Meskipun (lagi-lagi mungkin) hal ini tidak diakui oleh Goenawan tetapi bagi pembaca yang jeli sudah sepatutnya harus teliti. Selain itu harus pula mencoba menakar substansi agar nantinya label ini tidak menjadi panjang dan menyeluruh. Dalam sebuah perang teks, meskipun dalam hal ini Goenawan lebih lihai, tetapi tetap saja hal itu tidaklah etis. Jangan sampai karena tulisan Goenawan ini kemudian berujung kesimpulan sesungghunya kaum kiri itu pembenci dan kaum kanan penyabar.



Sumber :


http://goenawanmohamad.com/2013/12/10/jawaban-untuk-martin-bagian-pertama/#more-869


http://indoprogress.com/logika/?p=437

Tidak ada komentar:

Posting Komentar