Stanley J.
Grenz suatu ketika pernah diberi satu pertanyaan oleh Tom Hawkes dari lembaga
Leighton Ford Ministres, “Maukah Anda datang dan menjadi salah seorang dari
belasan peserta dalam suatu think tank (kelompok penasihat, penyumbang gagasan,
dan lainya) bagi pelayanan kepada “baby busters” (generasi post modernisme)?”. Dengan lugas dan tanpa basa-basi Grenz
menjawab “anda menemui orang yang salah, saya seorang akademisi bukan praktisi”.
Namun Hawkes bersikukuh “justu itu, alasan Anda berada disana adalah untuk
membantu kami memahami apa sesungguhnya postmodernisme”. Dialog itu tanpa
kelanjutan, tetapi berakhir pada menyerahnya Granz yang akhirnya memilih ikut dengan keingan Hawkes,
untuk menemui dimensi yang baru yang Dia namakan pendekatan.
Ada suasana fleksibel, ada kesan terbuka, namun
tetap tidak menghilangkan suatu kehormatan pada pendirian yang mungkin bagi
sebagian orang terkesan angkuh. Cerita Granz adalah sedikit dari banyak cerita
lainya yang mungkin bergerak sama. Maksudnya adalah, idealisme yang lunak, yang
tidak terlalu memaksa dan ora iya ora
mbuh. Keputusan Granz pun mengingatkan saya tentang banyak hal yang
(mungkin) saya amati. Dimana biasanya, setiap individu yang sudah “berbenteng”
cenderung menutup diri dan memilih beradu ide dengan cara satu arah.
Keputusan yang Saya ambil ketika memuat dialog Granz
mungkin adalah keputusan yang terburu-buru dan mungkin terkesan ambigu. Akan tetapi,
membaca kilasan teks Granz seolah membangkitkan batin saya untuk memaksa
menuliskan cerita ini. Tidak sedikit, namun banyak, para pemikir yang tidak
setuju akan pemikiran lawan bicara kemudian menyerang secara serampangan tanpa gelem ngrasani. Sikap kritisnya pun
kadang menjadi liar dan berubah menjadi benci, setelah itu kemudian melabeli
haram pada objek tak bersalah. Kehidupan pribadi si lawan di lucuti dan segala
hal yang kira-kira membuat orang lain setuju akan sikapnya membenci dipaksakan
hadir dalam pola mencari kebenaran.
Sebelumnya Saya ingin menjelaskan sedikit mengenai
beberapa hal mengenai filsafat, sebelum kemudian terbang jauh menyelami sikap
akan peperangan semu itu. Filsafat adalah suatu arena bepikir yang memiliki
arti cinta kebijaksanaan, cinta pada hal-hal yang sifatnya mungkin harus rela
menyakiti dirinya sendiri. Asumsi saya mengambil tema filsafat dari dua
pemikiran adalah bahwa segala hal yang sifatnya pemikiran datang dan bemuara
dari filsafat. Oleh karena itu, segala hal yang mampu menjelaskan bagaimana
kritik itu hadir, harus sesuai dengan jalur filsafat.
Dalam kamus pribahasa Indonesia dituliskan, makin tinggi padi makin merunduk, arti dari
pribahasa itu (yang setidaknya saya dapatkan oleh guru saya semasa SD) adalah
makin tinggi ilmu sesorang justru semestinya harus semakin bijaksana dan merendah. Bijaksana adalah sesuatu yang
dicintai oleh filosof, namun yang
kemudian menjadi soal adalah, cinta seperti apa yang dimiliki oleh filosof
dalam pandangannya akan kebijaksanaan?. Pentingnya definisi cinta ini yang
kemudian akan mengantarkan kita pada (setidaknya) hipotesis tentang bagai
bersikap melawan ketidak seimanan pemikiran.
Filsafat berasal dari bahasa Yunani, maka
mendefinisikan cintanya pun harus dengan pemahaman cinta kaum Yunani. Cinta dalam
filsafat adalah cinta philia atau
cinta kelas dua yang berada diantara eros
dan agape. Dimulai dari eros,
secara singkat eros adalah cinta yang egois, dimana cintanya masih memiliki
paksaan pada apa yang dicintainya untuk berbuat seperti apa yang ada
dikepalanya, oleh karena itu tidak jarang muncul sindiran cinta eros adalah
cinta monyet. Kemudian agape, agape merujuk pada satu kesimpulan tentang cinta
yang tulus dan pure, tanpa
embel-embel, cinta yang melihat aku ada padamu dan kamu ada padaku, sehingga
mencintaimu dengan segala hal yang ingin kamu lakukan adalah kewajiban.
Sebagai cinta yang berada ditengah-tengah
gamblangnya keputusan cinta eros dan agape, cinta philia tentunya memiliki gradasi berbeda. Cinta philia adalah cinta yang secara
eksplisit memberikan pujian pada keunikan-keunikan yang dimiliki indvidu. Cinta
yang selalu berusaha melihat sisi baik orang lain dan mementingkan relasi yang
terjaga tanpa cacat. Cinta philia atau yang lebih terkenal dengan cinta layaknya
indvidu dengan sahabat ini, adalah cinta yang kemudian mewakili kata cinta
untuk dikawinkan dengan filsafat. Artinya cinta ini normal atau manusiawi,
namun proses penggapainnya hampir sesulit cinta agape. Mungkin hal itu pula
yang kemudian menjadi alasan mengapa harus filsafat,
karena untuk membangun hubungan manusia yang baik haruslah memiliki
keinginan untuk bijaksana, tapi keinginan itu bukan hanya sekedar keinginan
namun wajib dicintai.
Mungkin Granz hanyalah sekeping dari cerita
bagaimana harusnya seorang yang berilmu bersikap. Yang lebih besar dari Granz
dalam kisah kontemporer mungkin adalah almarhum Nelson Mandela. Mandela yang
begitu disakiti oleh sesama manusia memilih membunuh rasa bencinya demi
terjalinya hubungan yang harmonis. Bahkan dalam satu kesempatan dikatakan
olehnya “andaikan kebencian dalam diriku tak segera ku bunuh, mungkin hingga
ajal menjemputku, tempat terbaik bagiku
hanyalah penjara”. Itulah sesungguhnya esensi dari filsafat yang digaungkan
oleh pemikir, filsafat bervariasi, akan tetapi responya terhadap hal yang
sifatnya tidak setuju harus mementingkan hubungan yang harmonis.
Kembali pada sikap yang ditentukan oleh Saya untuk
menghindari keadaan yang rumit itu. Kecenderungan untuk menghindar dari
filsafat ada, akan tetapi hal itu sungguh ketidakmungkinan. Atas dasar itu maka
saya lebih suka menjadi nelayan yang menangkap ikan tanpa memilih ikan mana
yang nantinya akan saya bawa pulang. Perkara ikan itu nantinya akan saya jual,
makan atau bahkan saya buang itu adalah perkara di darat. Artinya adalah, saya
suka kepada segala hal tanpa memaksa ini lebih baik itu lebih buruk tapi memang
ada kritisi untuk itu, namun sebatas kritisi tanpa tendensi benci. Itupun karena
alasan saya yang memilih sebagai nelayan yang penjelajah.
Keinginan untuk menghindari hal-hal yang jauh dari pokok masalah sebenarnya bukan sikap
yang harusnya menjadi klaim Saya, tetapi klaim bagi seluruh pencinta pemikiran.
Atas dasar alasan untuk tidak mengkhinati makna filsafat, maka segala hal itu
sesegara mungkin dilenyapkan. Atau mungkin bila pada akhirnya ternyata tidak
menemukan makna seharusnya bagaimana kritik tanpa pertemuan itu dilontarkan,
maka solusinya adalah melepas baju filsafat dan bertemu dengan arahan emosi. Hal
itu lebih baik ketimbang kritik tanpa dasar, penuh dengan kebencian yang
bersembunyi dibalik kata-kata dan refleksi yang merujuk pada cinta
kebijaksanaan. Intinya untuk menemukan jawaban dari apa yang ada dikepala
masing-masing orang tidak bisa diselesaikan dengan persepsi dan kritik bernada
benci yang satu arah.
Sikap Granz adalah contoh terbaik dari filsuf yang
berbalut baju akademisi. Ketidak setujuanya tidak membuatnya mengkhianati bapak
pemikiran yang terdiri dari philia dan
sofis itu. Dan Granz sebagai role model adalah sedikit contoh (sekalipun
mungkin tidak tepat dan terkesan padu
ngrasani) keberanian dari seorang yang mengaku pemikir yang tidak boros tenaga
untuk terus menghakimi orang dengan persepsi. Dalam Islam kejadian dewasa
pemikiran ini disebut tabayun. Dan
akhirnya, semoga tidak ada lagi hal miris yang timbul karena melihat masih
adanya sikap untuk masuk dan memulai dengan label kritik, yang hampir pasti
pemikiran dan ujungnya adalah berfilsafat tetapi bersikeras untuk tetap
menyelipkan kebencian dalam bait-bait ke-Aku-nya.
Segala hal akan selesai, segala hal telah selesai
dan segala hal pasti selesai. Begitupun tulisan ini yang beranjak dari akan,
telah dan pasti. Kepastian itu berujung pangkal dari teguhnya diri untuk tidak
mengkhianati apa yang telah dan mungkin dimulai dengan macam-macam pertanyaan
yang jujur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar