Jumat, 06 Desember 2013

FILSAFAT dan POTRET KRITIK MODERN





Stanley  J. Grenz suatu ketika pernah diberi satu pertanyaan oleh Tom Hawkes dari lembaga Leighton Ford Ministres, “Maukah Anda datang dan menjadi salah seorang dari belasan peserta dalam suatu think tank (kelompok penasihat, penyumbang gagasan, dan lainya) bagi pelayanan kepada “baby busters” (generasi post modernisme)?”.  Dengan lugas dan tanpa basa-basi Grenz menjawab “anda menemui orang yang salah, saya seorang akademisi bukan praktisi”. Namun Hawkes bersikukuh “justu itu, alasan Anda berada disana adalah untuk membantu kami memahami apa sesungguhnya postmodernisme”. Dialog itu tanpa kelanjutan, tetapi berakhir pada menyerahnya Granz yang akhirnya memilih ikut dengan keingan Hawkes, untuk menemui dimensi yang baru yang Dia namakan pendekatan.

Ada suasana fleksibel, ada kesan terbuka, namun tetap tidak menghilangkan suatu kehormatan pada pendirian yang mungkin bagi sebagian orang terkesan angkuh. Cerita Granz adalah sedikit dari banyak cerita lainya yang mungkin bergerak sama. Maksudnya adalah, idealisme yang lunak, yang tidak terlalu memaksa dan ora iya ora mbuh. Keputusan Granz pun mengingatkan saya tentang banyak hal yang (mungkin) saya amati. Dimana biasanya, setiap individu yang sudah “berbenteng” cenderung menutup diri dan memilih beradu ide dengan cara satu arah.


Keputusan yang Saya ambil ketika memuat dialog Granz mungkin adalah keputusan yang terburu-buru dan mungkin terkesan ambigu. Akan tetapi, membaca kilasan teks Granz seolah membangkitkan batin saya untuk memaksa menuliskan cerita ini. Tidak sedikit, namun banyak, para pemikir yang tidak setuju akan pemikiran lawan bicara kemudian menyerang secara serampangan tanpa gelem ngrasani. Sikap kritisnya pun kadang menjadi liar dan berubah menjadi benci, setelah itu kemudian melabeli haram pada objek tak bersalah. Kehidupan pribadi si lawan di lucuti dan segala hal yang kira-kira membuat orang lain setuju akan sikapnya membenci dipaksakan hadir dalam pola mencari kebenaran.

Sebelumnya Saya ingin menjelaskan sedikit mengenai beberapa hal mengenai filsafat, sebelum kemudian terbang jauh menyelami sikap akan peperangan semu itu. Filsafat adalah suatu arena bepikir yang memiliki arti cinta kebijaksanaan, cinta pada hal-hal yang sifatnya mungkin harus rela menyakiti dirinya sendiri. Asumsi saya mengambil tema filsafat dari dua pemikiran adalah bahwa segala hal yang sifatnya pemikiran datang dan bemuara dari filsafat. Oleh karena itu, segala hal yang mampu menjelaskan bagaimana kritik itu hadir, harus sesuai dengan jalur filsafat.

Dalam kamus pribahasa Indonesia dituliskan, makin tinggi padi makin merunduk, arti dari pribahasa itu (yang setidaknya saya dapatkan oleh guru saya semasa SD) adalah makin tinggi ilmu sesorang justru semestinya harus semakin bijaksana dan merendah. Bijaksana adalah sesuatu yang dicintai oleh filosof, namun  yang kemudian menjadi soal adalah, cinta seperti apa yang dimiliki oleh filosof dalam pandangannya akan kebijaksanaan?. Pentingnya definisi cinta ini yang kemudian akan mengantarkan kita pada (setidaknya) hipotesis tentang bagai bersikap melawan ketidak seimanan pemikiran.

Filsafat berasal dari bahasa Yunani, maka mendefinisikan cintanya pun harus dengan pemahaman cinta kaum Yunani. Cinta dalam filsafat adalah cinta philia atau cinta kelas dua yang berada diantara eros dan agape. Dimulai dari eros, secara singkat eros adalah cinta yang egois, dimana cintanya masih memiliki paksaan pada apa yang dicintainya untuk berbuat seperti apa yang ada dikepalanya, oleh karena itu tidak jarang muncul sindiran cinta eros adalah cinta monyet. Kemudian agape, agape merujuk pada satu kesimpulan tentang cinta yang tulus dan pure, tanpa embel-embel, cinta yang melihat aku ada padamu dan kamu ada padaku, sehingga mencintaimu dengan segala hal yang ingin kamu lakukan adalah kewajiban.

Sebagai cinta yang berada ditengah-tengah gamblangnya keputusan cinta eros dan agape, cinta philia tentunya memiliki gradasi berbeda. Cinta philia adalah cinta yang secara eksplisit memberikan pujian pada keunikan-keunikan yang dimiliki indvidu. Cinta yang selalu berusaha melihat sisi baik orang lain dan mementingkan relasi yang terjaga tanpa cacat. Cinta philia atau yang lebih terkenal dengan cinta layaknya indvidu dengan sahabat ini, adalah cinta yang kemudian mewakili kata cinta untuk dikawinkan dengan filsafat. Artinya cinta ini normal atau manusiawi, namun proses penggapainnya hampir sesulit cinta agape. Mungkin hal itu pula yang kemudian menjadi alasan mengapa harus filsafat, karena untuk membangun hubungan manusia yang baik haruslah memiliki keinginan untuk bijaksana, tapi keinginan itu bukan hanya sekedar keinginan namun wajib dicintai.

Mungkin Granz hanyalah sekeping dari cerita bagaimana harusnya seorang yang berilmu bersikap. Yang lebih besar dari Granz dalam kisah kontemporer mungkin adalah almarhum Nelson Mandela. Mandela yang begitu disakiti oleh sesama manusia memilih membunuh rasa bencinya demi terjalinya hubungan yang harmonis. Bahkan dalam satu kesempatan dikatakan olehnya “andaikan kebencian dalam diriku tak segera ku bunuh, mungkin hingga ajal menjemputku, tempat terbaik  bagiku hanyalah penjara”. Itulah sesungguhnya esensi dari filsafat yang digaungkan oleh pemikir, filsafat bervariasi, akan tetapi responya terhadap hal yang sifatnya tidak setuju harus mementingkan hubungan yang harmonis.

Kembali pada sikap yang ditentukan oleh Saya untuk menghindari keadaan yang rumit itu. Kecenderungan untuk menghindar dari filsafat ada, akan tetapi hal itu sungguh ketidakmungkinan. Atas dasar itu maka saya lebih suka menjadi nelayan yang menangkap ikan tanpa memilih ikan mana yang nantinya akan saya bawa pulang. Perkara ikan itu nantinya akan saya jual, makan atau bahkan saya buang itu adalah perkara di darat. Artinya adalah, saya suka kepada segala hal tanpa memaksa ini lebih baik itu lebih buruk tapi memang ada kritisi untuk itu, namun sebatas kritisi tanpa tendensi benci. Itupun karena alasan saya yang memilih sebagai nelayan yang penjelajah.

Keinginan untuk menghindari hal-hal yang jauh dari pokok masalah sebenarnya bukan sikap yang harusnya menjadi klaim Saya, tetapi klaim bagi seluruh pencinta pemikiran. Atas dasar alasan untuk tidak mengkhinati makna filsafat, maka segala hal itu sesegara mungkin dilenyapkan. Atau mungkin bila pada akhirnya ternyata tidak menemukan makna seharusnya bagaimana kritik tanpa pertemuan itu dilontarkan, maka solusinya adalah melepas baju filsafat dan bertemu dengan arahan emosi. Hal itu lebih baik ketimbang kritik tanpa dasar, penuh dengan kebencian yang bersembunyi dibalik kata-kata dan refleksi yang merujuk pada cinta kebijaksanaan. Intinya untuk menemukan jawaban dari apa yang ada dikepala masing-masing orang tidak bisa diselesaikan dengan persepsi dan kritik bernada benci yang satu arah.

Sikap Granz adalah contoh terbaik dari filsuf yang berbalut baju akademisi. Ketidak setujuanya tidak membuatnya mengkhianati bapak pemikiran yang terdiri dari philia dan sofis itu. Dan Granz sebagai role model adalah sedikit contoh (sekalipun mungkin tidak tepat dan terkesan padu ngrasani) keberanian dari seorang yang mengaku pemikir yang tidak boros tenaga untuk terus menghakimi orang dengan persepsi. Dalam Islam kejadian dewasa pemikiran ini disebut tabayun. Dan akhirnya, semoga tidak ada lagi hal miris yang timbul karena melihat masih adanya sikap untuk masuk dan memulai dengan label kritik, yang hampir pasti pemikiran dan ujungnya adalah berfilsafat tetapi bersikeras untuk tetap menyelipkan kebencian dalam bait-bait ke-Aku-nya.

Segala hal akan selesai, segala hal telah selesai dan segala hal pasti selesai. Begitupun tulisan ini yang beranjak dari akan, telah dan pasti. Kepastian itu berujung pangkal dari teguhnya diri untuk tidak mengkhianati apa yang telah dan mungkin dimulai dengan macam-macam pertanyaan yang jujur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar