Senin, 18 November 2013

Tauhid dan Ke-ESA-an Allah (Telaah Surat Al-Ikhlas)





Pada suatu hari, ketika Rasulullah SAW sedang duduk dan menikmati gersangnya padang pasir, tiba-tiba orang Quraisy, Yahudi dan Kristiani datang menemuinya. Dengan wajah gelisah, penuh tanda tanya dan menerka-nerka  mereka bergerombol membawa satu pertanyaan yang sama. Pertanyaan itu cukup menyentil memberikan makna yang begitu besar, pertanyaan itu berisi tentang “Tuhan seperti apa yang disembah oleh Rasulullah?”. Posisi duduk Rasulullah SAW pun bergeser, sejenak menghela nafas kemudian dia mendengarkan kembali lanjutan pertanyaan para penggelisah, “Apakah Tuhanmu itu sebuah patung, terbuat dari emas, batu atau apa?”. Maka Rasulullah SAW menjawab melalui surat yang diturunkanya pada saat itu, yaitu Surat Al-Ikhlas.

Perlu kita ketahui, bahwasanya Surat Al-Ikhlas ini konon adalah surat ke 19 yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad diantara banyaknya surat-surat dalam Al-Qur’an. Surat yang terdiri dari empat ayat ini adalah surat pertama yang memberikan penjelasan tentang Tuhan, dimana surat-surat sebelumnya tidak pernah dijelaskan mengenai Tuhan, hanya sekedar rabbuka atau Tuhanmu. Penerimaan surat ini bisa dikatakan sebagai pledoi atau pembelaan Nabi dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disebutkan di atas. Lalu mengapa disurat-surat sebelumnya tidak pernah dijelaskan mengenai Tuhan, bukankah kelahiran agama adalah membawa pesan Tuhan. Menurut Imam Al-Ghazali, jawabanya adalah, ketika pada saat itu kaum-kaum peragu itu pun juga telah menyembah Tuhan.

Bismillah hirokhman nirokhim (dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan penyayang), ya kami juga pun juga mengatakan itu, kata mereka. Lalu yang kau sebut  Rabbuka atau Tuhan-mu berkali kali itu sebenarnya siapa?. Mereka bertambah bingung dan semakin mencoba menkonfrontasi Muhammad dengan keraguan mereka untuk menjadi ragu. Tuhan yang dibawa Muhammad menurut mereka begitu abstrak, mereka tahu dan melihat Muhammad menyembah tetapi dihadapanya kosong, mereka tahu Muhammad berdoa tapi dihadapanya pun sunyi. Sedangkan Tuhan dalam pandangan mereka, atau menurut awang-awang kaum Quraisy, Yahudi dan Kristiani  adalah Tuhan yang mempunyai bentuk, ada patung, ada bebatuan kramat dan berbagai macam lainya.

Hadirnya Islam pada saat itu, selain bertujuan untuk membentuk suatu masyarakat yang beradab adalah untuk meluruskan pemahaman tentang Tuhan. Oleh karena itu maka surat yang sering disebut surat aman, surat keindahan, suratun nisbah ini dinamakan dengan surat Al-Ikhlas.  Kata Ikhlas diambil untuk memberikan suatu definisi  menyingkirkan segala sesuatu (sesembahan, patung, batu, pohon) yang “tidak berhubungan” dengan Tuhan, sehingga yang tersisa hanyalah gambaran Tuhan. Lagi-lagi ini adalah bentuk suatu ke tawadhu an dimana Tuhan akan menjelaskan dirinya ketika pertanyaan muncul, ketika para kaum-kaum sebelum Islam itu mulai tertarik. Menunggu pertanyaan adalah suatu momen tepat, artinya umat-umat yang bertanya itu ingin tahu, sesuai prinsip dakwah maka disitulah waktu yang tepat menunjukan jalan yang lurus.

Ketika itu gambaran mengenai Tuhan bermacam-macam dan semua dinegasikan oleh Surat Al-Ikhlas. Sebagian kaum ada yang beranggapan bahwa Tuhan itu memiliki anak, segeralah disingkirkan dengan lam yalid walam yulad. Lalu meraka mengatakan bahwa Tuhan itu tidak Esa maka dijawablah melalui ayat qul huwa Allahu ahad. Ada juga yang merasa bahwa Tuhan itu memiliki sekutu dimana dia tidak tegak sendiri, dijelaskanlah kembali lewat walam yakul lahu kufuwan ahad. Dan perisai kepercayaan pada Tuhan mereka adalah Tuhan memiliki tempat dimana disitu dengan seserahan Tuhan akan datang mengambilnya, secara tegas Al-Qur’an kemudian menolak anggapan itu dan memberikan pencerahan dengan Allahu ‘s-samad. Inilah bentuk surat yang menyingkirkan segala sesuatu yang tidak ada hubungan sama sekali dengan Tuhan itu.

Bila dipahami pada ayat pertama dikatakan disana bahwa kul huwallah hu ahad artinya “katakanlah Dia”, Dia itu siapa? dan artinya Dia itu sudah ada sebelumnya. Inilah jawaban mengapa di surat-surat lain diawal tidak sebutkan kata Allah, antara lain disebabkan karena kaum lain pun percaya pada Allah, akan tetapi kepercayaan mereka berbeda dengan Islam. Bila kaum musyrik mengatakan bahwa Allah memiliki anak dalam Islam Allah itu Esa. Oleh karena itu disurat pertama digunakan rabbuka, Tuhanmu wahai Muhammad. Tuhan yang berbeda atau keTuhanan yang tauhid, Tuhan yang telah meningkirkan segala hal tentangnya.

Lalu kemudian huwa, huwa itu pun sungguh universal karena tidak pernah disebutkan siapa huwa (dia) itu?. Kemudian keliaran berpikir ini membawa pengkajian kita beranggapan bahwa huwa itu nama Tuhan.  Beberapa ahli tassawuf  seperti Al-Junaid Al-Baghdadi, Yazid Al-Bustami dan Al-Hallaj mengatakan bahwa nama Tuhan itu unik, karena kalaupun dihapus satu hurufnya akan selalu berujung padaNya.  Alif lam lam ha, coba kita hapus alif maka tetap lillah masih mengarahkan pada Allah. Hapus kemudian lam, maka lahu, sekarang persingkat hapus lagi lam maka hu dan hasil penyingkatan hu “ah”. Disini kita temukan suatu jawaban dari ungkapan keluhan ah, diseluruh dunia ini baik Eropa, Asia, Africa, America dan Australia apabila mengeluh pasti berkata ah. Siapa yang mereka panggil ah?Secara tidak sadar inilah keunikanya, tanpa disadari bahwa ketika mengeluh yang hadir dalam benak kita adalah Allah.

Pendapat kedua, adalah menurut Quraish Shibah, yang mengatakan huwa, bahwa hu dalam surat ini untuk menggambarkan kehadiran dan keagungan. Dia yang ada dibenak semua orang, yang sadar atau tidak sadar adalah Allah Ahad. Ahad berarti Esa dan pertanyaan yang kemudian datang adalah "Esa itu apa?". Ada dua kata yang sedikit memiliki arti sama yaitu Ahad dan Wahid. Bila dikatakan tidak seorang yang datang? Bisa tidak dalam kata ini kita beranggapan atau berpikir bahwa bisa dua, tiga yang bicara, tentu bisa. Namun apabila saya katakan bahwa “tidak ada seorang-pun yang bicara?” maka artinya tidak ada sama sekali. Wahid itu memberikan gambaran yang berkemungkinan ada yang lainya, sedangkan Ahad absolut hanya satu tidak ada yang lain. Dan satu-satunya kata Ahad yang dijadikan kata sifat hanya sekali disebutkan yaitu pada ayat ini saja.

Secara redaksi, surat Al-Ikhlas ini sudah menggenggam begitu jelas tentang makna Tuhan yang dipegang teguh oleh Umat Muhammad, Rasulullah. Tuhan yang tidak beranak pinak, Tuhan yang tidak membutuhkan segala hal diluar darinya, Tuhan yang tidak direpresentasikan oleh apapun bahkan Tuhan yang tidak perlu dibela. Oleh karena itu maka, meninggikan Tuhan adalah mencoba untuk tidak pernah mengambil alih tugas Tuhan dengan ucapan yang mendahului kehendaknya ataupun tindakan main hakim sendiri. Dalam surat Al-Kafirun diperkuatlah segala hal larangan menghakimi itu dengan lakum dinuqum waliyadin atau bagiku agamaku dan bagimu agamamu. wallahu a'lam bishawab


Tidak ada komentar:

Posting Komentar