Pada suatu hari, ketika Rasulullah SAW sedang duduk dan menikmati gersangnya
padang pasir, tiba-tiba orang Quraisy, Yahudi dan Kristiani datang menemuinya.
Dengan wajah gelisah, penuh tanda tanya dan menerka-nerka mereka
bergerombol membawa satu pertanyaan yang sama. Pertanyaan itu cukup menyentil
memberikan makna yang begitu besar, pertanyaan itu berisi tentang “Tuhan
seperti apa yang disembah oleh Rasulullah?”. Posisi duduk Rasulullah SAW pun
bergeser, sejenak menghela nafas kemudian dia mendengarkan kembali lanjutan
pertanyaan para penggelisah, “Apakah Tuhanmu itu sebuah patung, terbuat dari
emas, batu atau apa?”. Maka Rasulullah SAW menjawab melalui surat yang diturunkanya pada saat itu, yaitu Surat Al-Ikhlas.
Perlu kita ketahui, bahwasanya Surat Al-Ikhlas ini konon adalah surat ke 19
yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad diantara banyaknya surat-surat dalam
Al-Qur’an. Surat yang terdiri dari empat ayat ini adalah surat pertama yang
memberikan penjelasan tentang Tuhan, dimana surat-surat sebelumnya tidak pernah
dijelaskan mengenai Tuhan, hanya sekedar rabbuka atau Tuhanmu. Penerimaan surat
ini bisa dikatakan sebagai pledoi atau pembelaan Nabi dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang disebutkan di atas. Lalu mengapa disurat-surat
sebelumnya tidak pernah dijelaskan mengenai Tuhan, bukankah kelahiran agama
adalah membawa pesan Tuhan. Menurut Imam Al-Ghazali, jawabanya adalah, ketika
pada saat itu kaum-kaum peragu itu pun juga telah menyembah Tuhan.
Bismillah hirokhman nirokhim (dengan menyebut nama Allah yang maha
pengasih dan penyayang), ya kami juga pun juga mengatakan itu, kata mereka.
Lalu yang kau sebut Rabbuka atau Tuhan-mu berkali kali itu sebenarnya
siapa?. Mereka bertambah bingung dan semakin mencoba menkonfrontasi Muhammad
dengan keraguan mereka untuk menjadi ragu. Tuhan yang dibawa Muhammad menurut
mereka begitu abstrak, mereka tahu dan melihat Muhammad menyembah tetapi
dihadapanya kosong, mereka tahu Muhammad berdoa tapi dihadapanya pun sunyi.
Sedangkan Tuhan dalam pandangan mereka, atau menurut awang-awang kaum Quraisy, Yahudi dan Kristiani adalah Tuhan yang mempunyai bentuk, ada patung, ada bebatuan kramat dan berbagai macam
lainya.
Hadirnya Islam pada saat itu, selain bertujuan untuk membentuk suatu
masyarakat yang beradab adalah untuk meluruskan pemahaman tentang Tuhan. Oleh
karena itu maka surat yang sering disebut surat aman, surat keindahan, suratun
nisbah ini dinamakan dengan surat Al-Ikhlas. Kata Ikhlas diambil
untuk memberikan suatu definisi menyingkirkan segala sesuatu (sesembahan,
patung, batu, pohon) yang “tidak berhubungan” dengan Tuhan, sehingga yang
tersisa hanyalah gambaran Tuhan. Lagi-lagi ini adalah bentuk suatu ke tawadhu
an dimana Tuhan akan menjelaskan dirinya ketika pertanyaan muncul, ketika
para kaum-kaum sebelum Islam itu mulai tertarik. Menunggu pertanyaan adalah suatu momen tepat, artinya umat-umat yang bertanya itu ingin tahu, sesuai prinsip dakwah maka disitulah waktu yang tepat menunjukan jalan yang lurus.
Ketika itu gambaran mengenai Tuhan bermacam-macam dan semua dinegasikan oleh Surat Al-Ikhlas. Sebagian kaum ada yang beranggapan
bahwa Tuhan itu memiliki anak, segeralah disingkirkan dengan lam yalid walam yulad.
Lalu meraka mengatakan bahwa Tuhan itu tidak Esa maka dijawablah melalui ayat qul
huwa Allahu ahad. Ada juga yang merasa bahwa Tuhan itu memiliki sekutu
dimana dia tidak tegak sendiri, dijelaskanlah kembali lewat walam yakul lahu
kufuwan ahad. Dan perisai kepercayaan pada Tuhan mereka adalah Tuhan memiliki
tempat dimana disitu dengan seserahan Tuhan akan datang mengambilnya, secara tegas
Al-Qur’an kemudian menolak anggapan itu dan memberikan pencerahan dengan Allahu
‘s-samad. Inilah bentuk surat yang menyingkirkan segala sesuatu yang tidak
ada hubungan sama sekali dengan Tuhan itu.
Bila dipahami pada ayat pertama dikatakan disana bahwa kul huwallah hu
ahad artinya “katakanlah Dia”, Dia itu siapa? dan artinya Dia itu sudah ada
sebelumnya. Inilah jawaban mengapa di surat-surat lain diawal tidak sebutkan
kata Allah, antara lain disebabkan karena kaum lain pun percaya pada Allah,
akan tetapi kepercayaan mereka berbeda dengan Islam. Bila kaum musyrik
mengatakan bahwa Allah memiliki anak dalam Islam Allah itu Esa. Oleh karena itu
disurat pertama digunakan rabbuka, Tuhanmu wahai Muhammad. Tuhan yang berbeda
atau keTuhanan yang tauhid, Tuhan yang telah meningkirkan segala hal
tentangnya.
Lalu kemudian huwa, huwa itu pun sungguh
universal karena tidak pernah disebutkan siapa huwa (dia) itu?. Kemudian
keliaran berpikir ini membawa pengkajian kita beranggapan bahwa huwa itu
nama Tuhan. Beberapa ahli tassawuf seperti Al-Junaid Al-Baghdadi, Yazid Al-Bustami dan Al-Hallaj mengatakan bahwa nama Tuhan
itu unik, karena kalaupun dihapus satu hurufnya akan selalu berujung
padaNya. Alif lam lam ha, coba kita hapus alif maka tetap lillah
masih mengarahkan pada Allah. Hapus kemudian lam, maka lahu, sekarang
persingkat hapus lagi lam maka hu dan hasil penyingkatan hu “ah”.
Disini kita temukan suatu jawaban dari ungkapan keluhan ah, diseluruh
dunia ini baik Eropa, Asia, Africa, America dan Australia apabila mengeluh
pasti berkata ah. Siapa yang mereka panggil ah?Secara tidak sadar
inilah keunikanya, tanpa disadari bahwa ketika mengeluh yang hadir dalam benak
kita adalah Allah.
Pendapat kedua, adalah menurut Quraish Shibah,
yang mengatakan huwa, bahwa hu dalam surat ini untuk
menggambarkan kehadiran dan keagungan. Dia yang ada dibenak semua orang, yang
sadar atau tidak sadar adalah Allah Ahad. Ahad berarti Esa dan pertanyaan yang
kemudian datang adalah "Esa itu apa?". Ada dua kata yang sedikit
memiliki arti sama yaitu Ahad dan Wahid. Bila dikatakan tidak seorang yang datang?
Bisa tidak dalam kata ini kita beranggapan atau berpikir bahwa bisa dua,
tiga yang bicara, tentu bisa. Namun apabila saya katakan bahwa “tidak ada
seorang-pun yang bicara?” maka artinya tidak ada sama sekali. Wahid itu
memberikan gambaran yang berkemungkinan ada yang lainya, sedangkan Ahad absolut
hanya satu tidak ada yang lain. Dan satu-satunya kata Ahad yang dijadikan kata
sifat hanya sekali disebutkan yaitu pada ayat ini saja.
Secara redaksi, surat Al-Ikhlas ini sudah menggenggam
begitu jelas tentang makna Tuhan yang dipegang teguh oleh Umat Muhammad,
Rasulullah. Tuhan yang tidak beranak pinak, Tuhan yang tidak membutuhkan segala
hal diluar darinya, Tuhan yang tidak direpresentasikan oleh apapun bahkan Tuhan
yang tidak perlu dibela. Oleh karena itu maka, meninggikan Tuhan adalah mencoba
untuk tidak pernah mengambil alih tugas Tuhan dengan ucapan yang mendahului
kehendaknya ataupun tindakan main hakim sendiri. Dalam surat Al-Kafirun
diperkuatlah segala hal larangan menghakimi itu dengan lakum dinuqum
waliyadin atau bagiku agamaku dan bagimu agamamu. wallahu a'lam bishawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar