Minggu, 17 November 2013

Sekedar Minum





Urip iku mung numpang ngombe tok

Kalimat itu diucapkan oleh seorang kakek tua, disebuah warung sederhana di Kota Semarang.  Tidak bermaksud menyindir, menyakiti atau bahkan menyerang orang lain, hanya sebatas ucapan yang keluar secara spontan dalam obrolan warung kopi. Bila dilihat dari pilihan kata-kata yang digunakan, mungkin kalimat itu bisa kita persepsikan sebagai sebuah candaan. Atau bahkan kalimat itu hanya sekedar  ucapan remeh yang tak berdasar dan jelas maksudnya apa. Akan tetapi bila diresapi secara filosofis, maka akan begitu luas dan besar maknanya.

Dua kata awal yang dipilih kakek itu cukup dilematis, urip iku yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti hidup itu. Jelas ini bukan perkara remeh, ini ungkapan yang seharusnya bisa dipertanggung jawabkan karena mengartikan sebuah perjalanan. Perjalanan panjang umat manusia yang mungkin sudah sering lalu lalang melewati jembatan hitam dan putih. Bahkan dalam buku hantu-hantu Marx karya Jacques Derrida dikatakan bahwa hanya orang mati yang boleh mendefinisikan kata-kata itu.

Hidup itu, ya hidup itu, seolah-olah ada sebuah kesimpulan yang sudah ditarik, yang cukup jauh bahkan melewati suatu proses perenungan panjang. Ketika kata-kata awal itu terhenti, maka mengartikanya bisa secara serampangan dan kontruktivis mengikuti pengalaman masing-masing individu. Tetapi kemudian kakek tua berbaju koko, bersarung biru dan berpeci putih itu menambahkan mung numpang ngombe tok atau sekedar numpang minum saja. Belum selesai pada siapa pemilik hak paten pengucap makna hidup, kita sudah dipertemukan dengan kata “sekedar”.

Mungkin pembicaraan dan deskripsi ini hanya mewakili ketelatenan satu kepala saja tetapi cukup menarik untuk disimak lebih lanjut. Sekedar memiliki arti yang sepakat kita sebut dengan cuma main-main atau hanya sebatas, sebatas melongok, mencicipi, merasakan dsb. Sekedar tidak berarti hanya yang tanpa sebatas atau hanya yang berarti tidak ada yang lain selain liyane. Sekedar minum, begitu simple dan sederhana, tidak terlalu serius tidak terlalu ingin tetapi dilakukan. Dan pekerjaan yang disekedarkan itu adalah minum.

Dalam kesedaran minum itu lalu kita dibawanya semakin jauh pada pilihan yang individu. Minum apa? Air putih, teh, kopi atau apa?. Ada pertanyaan yang begitu keras yang dipilih, artinya apabila yang sekedar diminum itu racun tentu kita mati, apabila air putih sehat dan mungkin juga kopi yang membuat kita kemudian tidak bisa tidur. Atau minum yang memang sudah disediakan sendiri tanpa kita perlu untuk memesanya dan merasakan dengan ikhlas akibatnya. Dilematis dan penuh dengan tanda tanya besar untuk mengungkapkan suatu kalimat sederhana ini.

Lalu kita mencoba untuk mendefinisikan hidup dari minum yang diantara dua pilihan itu. Pilihan minuman yang kita pilih sendiri dan minuman yang kemungkinan sudah disediakan lalu kita secara bebas langsung meminumnya. Dua hal ini adalah tindak lanjut dari diaspora kesederhanaan kata-kata yang melambung jauh melewati batasnya. Tugas kita saat ini adalah mencoba menyatukan kembali kertas-kertas yang terlanjur berserakan itu.

Dalam konsep Islam dikenal dengan dua hal, yang mungkin kata-kata ini pernah kita dengar di surau-surau atau langgar ketika kecil dahulu. Dimana dikatakan bahwa ada hal yang tidak bisa kita rubah yang kita sebut dengan takdir. Namun ada hal yang kita bisa mengupayakanya untuk lari dari hal itu dengan jalan bekerja keras, yang kemudian dikenal bernama nasib. Antara takdir dan nasib pun seringkali orang masih salah mengartikanya, kadang-kadang nasib yang dibiarkan dan tidak diperjuangkan disebut juga takdir.

yang pertama yang dimana kita bisa memilih adalah kita meminum nasib. Meminum hal-hal yang kita racik atau mungkin kita pesankan untuk dibuatkan. Minuman itu bukan orang lain yang meminta tetapi kehendak kita yang menuntun sendiri untuk itu. Jika kita berusaha lebih, maka banyak varian rasa yang kita nikmati dengan uang yang lebih mahal pula. Bila kita berpangku tangan maka mungkin kita hanya meminum air pemberian yang bisa enak bisa juga tidak.

Dari yang pertama ini kita dituntut untuk menjadi ubermancsh bila kita mau yang terbaik. Dalam buku yang yang menyoal Nietzsche dengan bahasan yang sederhana, Sunardi mengartikan manusia super itu dengan manusia yang berusaha dan bersusah payah untuk dirinya tanpa mengandalkan orang lain, alam lain atau planet lain. Semua dilakukan dengan kemaksimalan kemampuan yang pantang menyerah, banting tulang untuk dirinya. Meminum nasib artinya memilih sendiri apa yang hendak kita hidangkan untuk diri kita.

Sementara dikenyataan yang kedua, kita dituntut untuk minum apa yang telah disediakan. Kita tidak berhak memilih minuman itu, tidak berhak pula marah karena seberapa kuatpun kita melawan tidak akan bisa diganti dengan sesuai keinginan kita. Dalam Islam, memahami hal yang kedua ini kita perlu istiqomah dan ikhlas, menjalani sepahit apapun itu karena pasti dilewati. Doa pun hanya akan menjadi pemanis atau obat penenang dari kegelisahan yang berkeringat itu. Air itu harus melewati tenggorokan kita tanpa kita pernah tau efek apa yang diakibatkan oleh air itu.

Begitu menggodanya kata-kata dari kakek tua itu sehingga membawa larut pada penilaian secara individu. Yang bahkan enak tidak enaknya kemudian ditentukan oleh perseprsi perkenalan pengalaman. Atau yang Foucalt sebut dengan the symbolic, segala hal yang telah ditentukan ini bagus tau buruknya oleh label. Jadi definisi filosofis dari urip mung numpang ngombe tok bertemu pada satu titik yang disebut dengan keihlasan. Kepasrahan kita ngombe yang kita sendiri satu keadaan memilihnya dan keadaan lain dipilihkan.

Lalu bagaimana dengan orang yang menolak untuk ngombe artinya dia tidak hidup? Atau dia melarikan diri dari hidup. Mungkin yang menolak ngombe adalah mereka yang kemudian memilih kehabisan cairan dan mati. Represtasi dari menolak ngombe adalah kematian yang mengenaskan, bunuh diri dan merebut gelas-gelas hak orang lain. Yang menolak ngombe adalah yang hanya melamuni gelas-gelas dan menu-menu yang disediakan. Yang menolak untuk beresiko dan menolak untuk berusaha ngombe, padahal kebutuhan dasar manusia adalah air. 

Yang perlu untuk tidak kita lupakan dari arti dan makna hidup yang minum itu adalah adanya kata numpang. Kita bisa menentukan segala halnya namun kita bukan pemilik, kita hanya orang yang diberikan kesempatan menempati. Bila dalam realita modern artinya kita hanya in de kost, hanya numpang. Dalam kesadaran orang numpang kita perlu siap-siap, bahwa kapan saja kita bisa diusir bahkan sebelum kita meminum-minuman yang telah disediakan dan kita buat sendiri. Itu semua resiko dari kenumpangan kita, yang menuntut kita untuk memegang teguh prinsip kesadardirian dan keikhlasan.

Namun lagi-lagi seperti yang dikemukakan diawal, bahwa yang boleh mengatakan hidup itu hanya mereka yang sudah pernah hidup dan bertemu dengan akhir hidup yaitu kematian. Selama belum bertemu dengan akhir hidup artinya mereka masih berproses, menjalani dan menikmati sepoi-sepoi udara. Masih hidup artinya masih bisa atau bahkan belum tahu memilih minuman apa untuk dijadikan efek pada hidupnya. Jadilah benar bahwa Jacques Derrida mengatakan itu tetapi tidak menjadi salah pula kakek tua itu bila sebatas kelakar untuk berkontemplasi. Wallahu A'lam Bishawab


Tidak ada komentar:

Posting Komentar