Malam ini malam Rabu,
malam yang apabila bertepatan dengan tanggal kliwon maka akan menjadi baik
apabila mengaji, setidaknya itu yang di tulis di dalam primbon jawa. Cuaca kali
ini berbeda dari hari kemarin yang turun hujan semalaman. Hari ini lebih bersahabat
dengan sinar bulan dan taburan bintang. Penuh keindahan dan memancarkan nuansa
kasih sayang yang begitu dalam, itupun masih menurut primbon.
Di waktu dan suasana
yang saya nilai tepat ini maka saya menanggapi tulisan sahabat saya Faris
Pramadhani Wali. Tulisan yang sesungguhnya sudah saya terima sejak bulan
Februari lalu. Secara singkat saya dapat menangkap dan memahami tulisan yang
dia kirimkan memiliki makna kegelisahan. Berawal dari kinerja ilmuan yang
terkesan tidak mencirikan ilmuan hingga kritiknya terhadap beberapa kebijakan
pemerintah.
Saya tentunya tidak
memiliki kapasitas untuk mengoreksi apalagi memperbaiki karena saya bukan dosen
ataupun korektor. Selain itu saya menilai bahwa tulisan itu adalah bentuk
pemikiran apapun isinya. Karena sebuah pemikiran maka kita harus menyikapinya
dengan lapang yaitu kita harus menghargai satu sama lainya.
Is,
membaca tulisanmu saya jadi teringat akan isi pidato pengukahan Prof. Iriyanto
Widisuseno bulan Februari lalu. Diawal dia mengatakan bahwa, andai saja ilmu
pengetahuan dan tekhnologi menepati janjinya maka tidak mungkin terjadi kritik
yang tajam seperti saat ini. Ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang berkembang
200 tahun lalu sesungguhnya memiliki misi untuk kesejahteraan manusia.
Saat
ini, jauh dari abad ke 18 M, ilmu pengetahuan semakin berkembang namun yang
terjadi manusia justru semakin jauh dari kesejahteraan. Ilmu pengetahuan yang
di komersilkan, ilmu pengatahuan yang di gunakan untuk menipu bahkan yang
paling parah untuk membunuh. Hal ini jelas jauh dari komitmen dan cita-cita
awal rencana di kembangkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Tetapi
menanggapi suatu hal dengan menanamkan kesan negatif terlebih dahulu tentunya
akan mampu mengurangi objektifitas. Yang pertama soal bab II pasal 2 Kepmen No
232/U/2000, dimana secara tekstual tidak ditemukanya kata “penciptaan”. Tetapi
bila kita mau jeli maka ditemukan kata “mengembangkan”, pengembangan tidak
bersifat statis melainkan dinamis. Tidak hanya sekedar memperbarui sesuatu yang
sudah ada akan tetapi menciptakan apa dari yang sudah ada sebelumnya.
Ini
mungkin menjadi persoalan, dimana setiap manusia memiliki persepsi dan cara
reaksi sendiri dalam menanggapi sesuatu. Bisa jadi saya yang salah tetapi
intinya hanya sebuah penawaran baru dalam memahami bahasa. Intinya tidak ada eigenrichting
yang kemudian berujung siapa yang salah dan siapa yang benar. Tentunya
itupun akan menyalahi etika ilmuan yang di banggakan oleh Ais.
Lalu
kemudian dalam kaitanya oleh pemberdayaan budaya lokal yang secara perlahan
mulai terkikis. Padahal banyak pelajaran yang bisa diambil dari budaya lokal
yang apabila kita mau mengungkapnya. Seperti contoh-contoh tulisan yang di
sebutkan Ais. Penilaian pun kemudian di jatuhkan pada keseriusan pemerintah
dalam mempertahkan hal ini.
Pemerintah
sesungguhnya telah memberikan kebebasan pada tiap-tiap daerah melalui UU No 32
tahun 2004 tentang otonomi darah. UU itu meliputi banyak hal yang bahkan
memberikan kewenangan bagi daerah untuk menentukan kebijakanya sendiri. Intinya
adalah hukum di tentukan oleh faktor penal
dan non penal, mungkin yang
menjadi tidak sesuainya harapan Ais adalah faktor pelaku hukumnya.
Untuk
masalah database tanahpun begitu, tidak adanya sinkronisasi data antara satu
instansi dan instansi lain. Saya sangat sepakat. Tentunya kita tahu,
kepentinganya adalah satu yaitu komersialisi tanah. Dimana yang kecil di
besar-besarkan agar mendapat masukan yang besar. Bagian pajak dan BPN tentunya
harus bijak menyikapi hal ini.
Di
akhir tulisan yang saya kira cukup singkat dan tidak mewakili semua hal, saya
ingin memberikan tambahan. Bahwasanya kita terlalu asik berada di zona nyaman.
Hal ini kemudian yang menyebabkan keinginan untuk mencipta dan mengembangkan kreatifitas menjadi
berkurang. Kita terlalu asik menikmati diri sebagai konsumen dan lupa akan tanggung
jawab kita sebagai khalifah tuhan, yang
mempunyai tanggung jawab akan peradaban.
Tulisan
Ais cukup menarik dan memiliki substansi yang baik. Menarik untuk ditindak
lanjuti dan dijadikan koreksi bagi kita bersama. Seperti apa yang Al-Ghazali
katakan bahwa manusia yang gelisah adalah manusia yang sedang mencoba
mendapatkan ilmu. Tidak ada ilmu tanpa kegelisahan dan tidak ada hal yang lebih
baik untuk memperbaharui ilmu selain diawali oleh kegelisahan.
Semoga
malam ini indah, salam kopi dan tumpukan tugas. Intinya menciptakan masyarakat
baru akan selalu di iringi oleh sikap-sikap yang mana menuntun kita untuk
menyesuaikan diri, tujuanya satu, agar di terima oleh perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar