Jumat, 27 Desember 2013

Geger Menjemput Satu Hal Yaitu Percakapan Tentang Waktu

 http://25.media.tumblr.com/tumblr_mawpacokkY1r7zi49o1_500.jpg

Diabadikan menjadi sebuah nama jalan di Paris van Java.

Terlalu sedikit dan curang untuk dianggap sebagai suatu catatan penghujung tahun.

Geger, dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan riuh, ramai bahkan heboh. Sementara Kalong, Kalong adalah kekelawar, sejenis burung yang hidupnya dimalam hari sementara ketika siang binatang itu memilih tidur.


Kamis, 26 Desember 2013

Memahami Derrida Tentang Mungkin dan Yang Tak Mungkin


 http://www.yourbest100.com/pic/people/philosophers/jaques-derrida.jpg


Di suatu malam di tengah kebisingan perayaan.


I do everything I think possible or acceptable to escape from this trap.


Derrida mungkin sedang tertawa ketika menuliskan ini. Dia membayangkan kata-katanya terditeksi dan kemudian didekontruksi menjadi sebuah lelucon. Mungkin juga, Dia secara mengalir menuliskanya. Dia membayangkan begitu banyak hal di dunia ini kemudian ter-inspirasi. Hal ini kemudian kontradiksi dengan kata-katanya di buku yang di tuliskan oleh Muhammad Al Fayyadl Commenfons par l'impossible atau "marilah kita mulai dengan yang tak mungkin". Aku kemudian menjadi bingung, seperti berada disebuah jembatan diantara yang mungkin dan tidak mungkin.

Begitulah manusia, manusia selalu memiliki jalan-jalan dimana mereka harus memilih dan pilihan itu kadang-kadang harus melukai dirinya sendiri. Seorang Derrida pun, yang orang mengenalnya dengan bapak dekontruksi bisa berada dalam situasi ini. Dia seolah mungkin dari mungkin tapi mungkin pula dari yang tidak mungkin. Tujuanya satu, Dia sebagai manusia merasa jujur bahwa tidak bisa lepas dari keadaan yang kemungkinan.


Selasa, 24 Desember 2013

PERDA MIRAS : ANTARA EKSISTENSI DAN KRITIK (REFLEKSI AKHIR TAHUN)



Sebuah Kota, kata Aristoteles, layaknya bergerak dengan menampung dan menjalankan aspirasi masyarakatnya. Kemudian dirumuskanlah gagasan liar, dia berbeda jalan dengan Plato yang memilih filsuf sebagai sosok pemimpin yang cocok, Dia lebih memilih kesatria sebagai representasi kepemimpinan yang pas. Digemblengleh seorang Alexander Agung hingga menjadi pemimpin yang masyhur di Athena. Rasanya rasional, karena menurutnya, kesatria yang berada di antara rakyat dan filsuf nantinya mampu bijaksana, menampung aspirasi masyarakat dan menggali pendapat sang bijaksana (filosof).

Lanjutan bisa dibaca di Radar Cirebon edisi 31 Desember 2013. tks

Rabu, 18 Desember 2013

Jawaban GM dan Upaya Melabeli Kaum Kiri





Selain tampan, salah satu ciri khas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah ucapan nada mengeluh “saya prihatin”. Saya prihatin seolah menjadi sebuah kalimat yang mewakili segala hal. Terkejut, berduka dan mungkin meminta belas kasihan atas apa yang dialaminya. Sebagai seorang manusia hal itu bukanlah suatu yang mengherankan, justuru sangat wajar, mengingat manusia memiliki segala kekurangan yang niscaya. Tidak salah pula, apabila kemudian ucapan yang dimulai oleh SBY ini menjadi tren dalam kehidupan masyarakat Indonesia.


Baru-baru ini, dunia pengetahuan sedang menemukan titik ejakulasinya. Secara tiba-tiba rombongan kiri (atau lebih tepatnya secara pribadi) yang diwakili Martin Suryajaya dengan gagah berani menelanjangi Goenawan Mohamad yang (dituduhnya) liberal. Bukti-bukti pun disuguhkan oleh Martin, dari mulai transkrip hingga acuan teks yang mengambang menjadi sebuah justifikasi. Goenawan pun meradang, tidak menunggu waktu lama, segala hal yang menyudutkan dirinya dijawab dengan sebuah cerita pendek. Cerita itu menggambarkan secara jelas mengenai kehidupan yang menjadi alasan mengapa itu (hal yang dituduhkan Martin) terjadi.
 

Sabtu, 14 Desember 2013

Mencari Sosok Ideal (Dalam Kaitanya dengan Demokrasi Deliberatif)

SOSOK PEMIMPIN MASA LAMPAU

Leviathan, sekilas adalah sosok remeh yang hanya bisa kita lihat dalam gambar kenangan masa kecil. Dulu, kita seringkali melihatnya di antara tumpukan buku-buku komik dan terkesan usang. Tinggi besar diantara kecilnya perkotaan, sama sekali tidak menarik. Ya, Leviathan, tetapi begitulah Dia, tetap tegar meskipun remeh, tetap gagah meskipun lusuh. Pedang ditangan kanannya menunjukan kekuatan, sementara tongkat dengan (sekilas) gambar obor api menunjukan kekuatan. Akan tetapi, tahukah kita, bahwa itulah sosok pemimpin masa lalu, kuat disatu sisi dan memiliki nuansa gaib disisi lainya.

Dulu hingga kini, sosok layaknya Leviathan memang selalu diagungkan, entah itu darimana datangnya, yang pasti manusia kemudian berbondong-bondong merepresentasikan harapan padanya. Tidak tahu, apakah karena budaya atau karena memang sosok seperti itulah yang dinilai cocok, yang pasti sosok Leviathan masih berjaya kharismanya. Sebut saja Eyang Subur, yang dengan sesekali kasar kemudian menunjukan kegaibanya, orang kemudian lemah dan menuruti inginnya. Lambat laun, hal ini dimanfaatkan untuk mensejahterakan diri, meskipun pada akhirnya dia menerima boomerang dan digulingkan anak buahnya di masa lalu (Adi bing Slamet).

Rabu, 11 Desember 2013

NU dan Pengembangan Diri




Ada dua hal yang menjadi konsistensi dan ciri khas warga nahdliyin, yang pertama moderat dan kedua adalah percaya pada hal yang tidak mungkin. Di lihat dari dua sisi di atas tentunya kita sepakat bahwa Nahdlatul Ulama (NU) tidak hanya berdiri di depan akan tetapi melampaui zamanya. Ketika semua berbicara tentang demokrasi dan kebebasan, NU telah lebih dulu menerapkanya secara eklusif di dunia pesantren. Dan pada saat dunia sibuk menghadapi era ekonomi global, sikap NU ini kemudian menjadi acuan dari banyak motivator namun dengan cara yang berbeda.

Tentu kita pernah mendengar bahwasanya hal yang utama yang perlu kita lakukan dalam menghadapi sebuah perubahan adalah memperbaharui sikap. Sikap-sikap itu kemudian di susun secara rapih Oleh John C Maxwell dalam bukunya 360 leaders, yang pada intinya mengutamakan pemikiran progresif. Menurut Maxwell, untuk melakukan suatu perubahan tidak melulu harus berada diatas tetapi secara equalpun asal kita memiliki komitmen kita mampu menjadipemimpin. Secara tidak langsung, pemikiran Maxwell ini ternyata telah didahului bahkan di transformasi oleh organisasi Islam terbesar di dunia yaitu NU dengan sikap moderatnya.



Senin, 09 Desember 2013

Tampilan Baru

Semoga tampilan baru ini dapat menambah kenyamanan dalam membaca dan menikmati segala fitur baru yang tersedia di blog ini. Mengerjakan dan mendekorasi segala hal yang ada di blog ini memang bukanlah suatu proses yang mudah, tetapi niat untuk memberikan yang terbaik kepada pembaca ternyata mampu mengalahkan kesulitan-kesulitan itu. Adapun mungkin hasilnya masih tetap jauh dari harapan, kritik dan saranya bisa disampaikan kepada saya. Tks.

Jumat, 06 Desember 2013

FILSAFAT dan POTRET KRITIK MODERN





Stanley  J. Grenz suatu ketika pernah diberi satu pertanyaan oleh Tom Hawkes dari lembaga Leighton Ford Ministres, “Maukah Anda datang dan menjadi salah seorang dari belasan peserta dalam suatu think tank (kelompok penasihat, penyumbang gagasan, dan lainya) bagi pelayanan kepada “baby busters” (generasi post modernisme)?”.  Dengan lugas dan tanpa basa-basi Grenz menjawab “anda menemui orang yang salah, saya seorang akademisi bukan praktisi”. Namun Hawkes bersikukuh “justu itu, alasan Anda berada disana adalah untuk membantu kami memahami apa sesungguhnya postmodernisme”. Dialog itu tanpa kelanjutan, tetapi berakhir pada menyerahnya Granz yang akhirnya memilih ikut dengan keingan Hawkes, untuk menemui dimensi yang baru yang Dia namakan pendekatan.

Ada suasana fleksibel, ada kesan terbuka, namun tetap tidak menghilangkan suatu kehormatan pada pendirian yang mungkin bagi sebagian orang terkesan angkuh. Cerita Granz adalah sedikit dari banyak cerita lainya yang mungkin bergerak sama. Maksudnya adalah, idealisme yang lunak, yang tidak terlalu memaksa dan ora iya ora mbuh. Keputusan Granz pun mengingatkan saya tentang banyak hal yang (mungkin) saya amati. Dimana biasanya, setiap individu yang sudah “berbenteng” cenderung menutup diri dan memilih beradu ide dengan cara satu arah.

Selasa, 19 November 2013

Chavez, Chomsky dan Hegemoni Amerika

Saat itu, sidang PBB tiba-tiba bergemuruh, pria berbadan besar, berparas tampan dan berpenampilan parlente secara spontan mengeluarkan buku dipertengahan pidatonya. Pria itu adalah Hugo Chavez, Presiden dari Negara Sosialis Venezuela dan buku yang ia coba tunjukan adalah buku Chomsky yang bertema besar tentang Hegemoni or Survival.  Epilog dari pidatonya mungkin terlalu melankolis, lebih melankolis daripada keinginanya untuk membawa Pemimpin-pemimpin dunia membaca buku Chomsky. Di akhir pidatonya Dia katakan bahwa “bila ada satu hal yang harus saya sesali, maka saya menyesal karena selama ini saya belum pernah bertemu dengan Noam Chomsky”.

Chavez mungkin boleh saja menaruh sesal yang begitu dalam, akan tetapi kesadaranya tidak pernah menjangkau kemungkinan, bahwa pada saat dia berpidato mungkin saja Chomsky sedang menyaksikanya. Tetapi itu tidak begitu penting pula, karena pada akhirnya kedua tokoh penentang Amerika ini toh bertemu juga di kisaran tahun 2009 sebelum kematian menjemput Chavez.  Meskipun berasal dari rumpun dan suku yang berbeda, keduanya bertemu oleh karena satu kesamaan dasar, yaitu menentang Amerika sebagai representasi Kapitalisme. Pertemuan keduanya pun mengingatkan saya akan kata-kata Badiou, yang beranggapan bahwa keyakinan itu pada saatnya akan bertemu dengan peristiwa.

Senin, 18 November 2013

Tauhid dan Ke-ESA-an Allah (Telaah Surat Al-Ikhlas)





Pada suatu hari, ketika Rasulullah SAW sedang duduk dan menikmati gersangnya padang pasir, tiba-tiba orang Quraisy, Yahudi dan Kristiani datang menemuinya. Dengan wajah gelisah, penuh tanda tanya dan menerka-nerka  mereka bergerombol membawa satu pertanyaan yang sama. Pertanyaan itu cukup menyentil memberikan makna yang begitu besar, pertanyaan itu berisi tentang “Tuhan seperti apa yang disembah oleh Rasulullah?”. Posisi duduk Rasulullah SAW pun bergeser, sejenak menghela nafas kemudian dia mendengarkan kembali lanjutan pertanyaan para penggelisah, “Apakah Tuhanmu itu sebuah patung, terbuat dari emas, batu atau apa?”. Maka Rasulullah SAW menjawab melalui surat yang diturunkanya pada saat itu, yaitu Surat Al-Ikhlas.

Perlu kita ketahui, bahwasanya Surat Al-Ikhlas ini konon adalah surat ke 19 yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad diantara banyaknya surat-surat dalam Al-Qur’an. Surat yang terdiri dari empat ayat ini adalah surat pertama yang memberikan penjelasan tentang Tuhan, dimana surat-surat sebelumnya tidak pernah dijelaskan mengenai Tuhan, hanya sekedar rabbuka atau Tuhanmu. Penerimaan surat ini bisa dikatakan sebagai pledoi atau pembelaan Nabi dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disebutkan di atas. Lalu mengapa disurat-surat sebelumnya tidak pernah dijelaskan mengenai Tuhan, bukankah kelahiran agama adalah membawa pesan Tuhan. Menurut Imam Al-Ghazali, jawabanya adalah, ketika pada saat itu kaum-kaum peragu itu pun juga telah menyembah Tuhan.

Bismillah hirokhman nirokhim (dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan penyayang), ya kami juga pun juga mengatakan itu, kata mereka. Lalu yang kau sebut  Rabbuka atau Tuhan-mu berkali kali itu sebenarnya siapa?. Mereka bertambah bingung dan semakin mencoba menkonfrontasi Muhammad dengan keraguan mereka untuk menjadi ragu. Tuhan yang dibawa Muhammad menurut mereka begitu abstrak, mereka tahu dan melihat Muhammad menyembah tetapi dihadapanya kosong, mereka tahu Muhammad berdoa tapi dihadapanya pun sunyi. Sedangkan Tuhan dalam pandangan mereka, atau menurut awang-awang kaum Quraisy, Yahudi dan Kristiani  adalah Tuhan yang mempunyai bentuk, ada patung, ada bebatuan kramat dan berbagai macam lainya.

Hadirnya Islam pada saat itu, selain bertujuan untuk membentuk suatu masyarakat yang beradab adalah untuk meluruskan pemahaman tentang Tuhan. Oleh karena itu maka surat yang sering disebut surat aman, surat keindahan, suratun nisbah ini dinamakan dengan surat Al-Ikhlas.  Kata Ikhlas diambil untuk memberikan suatu definisi  menyingkirkan segala sesuatu (sesembahan, patung, batu, pohon) yang “tidak berhubungan” dengan Tuhan, sehingga yang tersisa hanyalah gambaran Tuhan. Lagi-lagi ini adalah bentuk suatu ke tawadhu an dimana Tuhan akan menjelaskan dirinya ketika pertanyaan muncul, ketika para kaum-kaum sebelum Islam itu mulai tertarik. Menunggu pertanyaan adalah suatu momen tepat, artinya umat-umat yang bertanya itu ingin tahu, sesuai prinsip dakwah maka disitulah waktu yang tepat menunjukan jalan yang lurus.

Ketika itu gambaran mengenai Tuhan bermacam-macam dan semua dinegasikan oleh Surat Al-Ikhlas. Sebagian kaum ada yang beranggapan bahwa Tuhan itu memiliki anak, segeralah disingkirkan dengan lam yalid walam yulad. Lalu meraka mengatakan bahwa Tuhan itu tidak Esa maka dijawablah melalui ayat qul huwa Allahu ahad. Ada juga yang merasa bahwa Tuhan itu memiliki sekutu dimana dia tidak tegak sendiri, dijelaskanlah kembali lewat walam yakul lahu kufuwan ahad. Dan perisai kepercayaan pada Tuhan mereka adalah Tuhan memiliki tempat dimana disitu dengan seserahan Tuhan akan datang mengambilnya, secara tegas Al-Qur’an kemudian menolak anggapan itu dan memberikan pencerahan dengan Allahu ‘s-samad. Inilah bentuk surat yang menyingkirkan segala sesuatu yang tidak ada hubungan sama sekali dengan Tuhan itu.

Bila dipahami pada ayat pertama dikatakan disana bahwa kul huwallah hu ahad artinya “katakanlah Dia”, Dia itu siapa? dan artinya Dia itu sudah ada sebelumnya. Inilah jawaban mengapa di surat-surat lain diawal tidak sebutkan kata Allah, antara lain disebabkan karena kaum lain pun percaya pada Allah, akan tetapi kepercayaan mereka berbeda dengan Islam. Bila kaum musyrik mengatakan bahwa Allah memiliki anak dalam Islam Allah itu Esa. Oleh karena itu disurat pertama digunakan rabbuka, Tuhanmu wahai Muhammad. Tuhan yang berbeda atau keTuhanan yang tauhid, Tuhan yang telah meningkirkan segala hal tentangnya.

Lalu kemudian huwa, huwa itu pun sungguh universal karena tidak pernah disebutkan siapa huwa (dia) itu?. Kemudian keliaran berpikir ini membawa pengkajian kita beranggapan bahwa huwa itu nama Tuhan.  Beberapa ahli tassawuf  seperti Al-Junaid Al-Baghdadi, Yazid Al-Bustami dan Al-Hallaj mengatakan bahwa nama Tuhan itu unik, karena kalaupun dihapus satu hurufnya akan selalu berujung padaNya.  Alif lam lam ha, coba kita hapus alif maka tetap lillah masih mengarahkan pada Allah. Hapus kemudian lam, maka lahu, sekarang persingkat hapus lagi lam maka hu dan hasil penyingkatan hu “ah”. Disini kita temukan suatu jawaban dari ungkapan keluhan ah, diseluruh dunia ini baik Eropa, Asia, Africa, America dan Australia apabila mengeluh pasti berkata ah. Siapa yang mereka panggil ah?Secara tidak sadar inilah keunikanya, tanpa disadari bahwa ketika mengeluh yang hadir dalam benak kita adalah Allah.

Pendapat kedua, adalah menurut Quraish Shibah, yang mengatakan huwa, bahwa hu dalam surat ini untuk menggambarkan kehadiran dan keagungan. Dia yang ada dibenak semua orang, yang sadar atau tidak sadar adalah Allah Ahad. Ahad berarti Esa dan pertanyaan yang kemudian datang adalah "Esa itu apa?". Ada dua kata yang sedikit memiliki arti sama yaitu Ahad dan Wahid. Bila dikatakan tidak seorang yang datang? Bisa tidak dalam kata ini kita beranggapan atau berpikir bahwa bisa dua, tiga yang bicara, tentu bisa. Namun apabila saya katakan bahwa “tidak ada seorang-pun yang bicara?” maka artinya tidak ada sama sekali. Wahid itu memberikan gambaran yang berkemungkinan ada yang lainya, sedangkan Ahad absolut hanya satu tidak ada yang lain. Dan satu-satunya kata Ahad yang dijadikan kata sifat hanya sekali disebutkan yaitu pada ayat ini saja.

Secara redaksi, surat Al-Ikhlas ini sudah menggenggam begitu jelas tentang makna Tuhan yang dipegang teguh oleh Umat Muhammad, Rasulullah. Tuhan yang tidak beranak pinak, Tuhan yang tidak membutuhkan segala hal diluar darinya, Tuhan yang tidak direpresentasikan oleh apapun bahkan Tuhan yang tidak perlu dibela. Oleh karena itu maka, meninggikan Tuhan adalah mencoba untuk tidak pernah mengambil alih tugas Tuhan dengan ucapan yang mendahului kehendaknya ataupun tindakan main hakim sendiri. Dalam surat Al-Kafirun diperkuatlah segala hal larangan menghakimi itu dengan lakum dinuqum waliyadin atau bagiku agamaku dan bagimu agamamu. wallahu a'lam bishawab


Minggu, 17 November 2013

Sekedar Minum





Urip iku mung numpang ngombe tok

Kalimat itu diucapkan oleh seorang kakek tua, disebuah warung sederhana di Kota Semarang.  Tidak bermaksud menyindir, menyakiti atau bahkan menyerang orang lain, hanya sebatas ucapan yang keluar secara spontan dalam obrolan warung kopi. Bila dilihat dari pilihan kata-kata yang digunakan, mungkin kalimat itu bisa kita persepsikan sebagai sebuah candaan. Atau bahkan kalimat itu hanya sekedar  ucapan remeh yang tak berdasar dan jelas maksudnya apa. Akan tetapi bila diresapi secara filosofis, maka akan begitu luas dan besar maknanya.

Dua kata awal yang dipilih kakek itu cukup dilematis, urip iku yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti hidup itu. Jelas ini bukan perkara remeh, ini ungkapan yang seharusnya bisa dipertanggung jawabkan karena mengartikan sebuah perjalanan. Perjalanan panjang umat manusia yang mungkin sudah sering lalu lalang melewati jembatan hitam dan putih. Bahkan dalam buku hantu-hantu Marx karya Jacques Derrida dikatakan bahwa hanya orang mati yang boleh mendefinisikan kata-kata itu.

Hidup itu, ya hidup itu, seolah-olah ada sebuah kesimpulan yang sudah ditarik, yang cukup jauh bahkan melewati suatu proses perenungan panjang. Ketika kata-kata awal itu terhenti, maka mengartikanya bisa secara serampangan dan kontruktivis mengikuti pengalaman masing-masing individu. Tetapi kemudian kakek tua berbaju koko, bersarung biru dan berpeci putih itu menambahkan mung numpang ngombe tok atau sekedar numpang minum saja. Belum selesai pada siapa pemilik hak paten pengucap makna hidup, kita sudah dipertemukan dengan kata “sekedar”.

Mungkin pembicaraan dan deskripsi ini hanya mewakili ketelatenan satu kepala saja tetapi cukup menarik untuk disimak lebih lanjut. Sekedar memiliki arti yang sepakat kita sebut dengan cuma main-main atau hanya sebatas, sebatas melongok, mencicipi, merasakan dsb. Sekedar tidak berarti hanya yang tanpa sebatas atau hanya yang berarti tidak ada yang lain selain liyane. Sekedar minum, begitu simple dan sederhana, tidak terlalu serius tidak terlalu ingin tetapi dilakukan. Dan pekerjaan yang disekedarkan itu adalah minum.

Dalam kesedaran minum itu lalu kita dibawanya semakin jauh pada pilihan yang individu. Minum apa? Air putih, teh, kopi atau apa?. Ada pertanyaan yang begitu keras yang dipilih, artinya apabila yang sekedar diminum itu racun tentu kita mati, apabila air putih sehat dan mungkin juga kopi yang membuat kita kemudian tidak bisa tidur. Atau minum yang memang sudah disediakan sendiri tanpa kita perlu untuk memesanya dan merasakan dengan ikhlas akibatnya. Dilematis dan penuh dengan tanda tanya besar untuk mengungkapkan suatu kalimat sederhana ini.

Lalu kita mencoba untuk mendefinisikan hidup dari minum yang diantara dua pilihan itu. Pilihan minuman yang kita pilih sendiri dan minuman yang kemungkinan sudah disediakan lalu kita secara bebas langsung meminumnya. Dua hal ini adalah tindak lanjut dari diaspora kesederhanaan kata-kata yang melambung jauh melewati batasnya. Tugas kita saat ini adalah mencoba menyatukan kembali kertas-kertas yang terlanjur berserakan itu.

Dalam konsep Islam dikenal dengan dua hal, yang mungkin kata-kata ini pernah kita dengar di surau-surau atau langgar ketika kecil dahulu. Dimana dikatakan bahwa ada hal yang tidak bisa kita rubah yang kita sebut dengan takdir. Namun ada hal yang kita bisa mengupayakanya untuk lari dari hal itu dengan jalan bekerja keras, yang kemudian dikenal bernama nasib. Antara takdir dan nasib pun seringkali orang masih salah mengartikanya, kadang-kadang nasib yang dibiarkan dan tidak diperjuangkan disebut juga takdir.

yang pertama yang dimana kita bisa memilih adalah kita meminum nasib. Meminum hal-hal yang kita racik atau mungkin kita pesankan untuk dibuatkan. Minuman itu bukan orang lain yang meminta tetapi kehendak kita yang menuntun sendiri untuk itu. Jika kita berusaha lebih, maka banyak varian rasa yang kita nikmati dengan uang yang lebih mahal pula. Bila kita berpangku tangan maka mungkin kita hanya meminum air pemberian yang bisa enak bisa juga tidak.

Dari yang pertama ini kita dituntut untuk menjadi ubermancsh bila kita mau yang terbaik. Dalam buku yang yang menyoal Nietzsche dengan bahasan yang sederhana, Sunardi mengartikan manusia super itu dengan manusia yang berusaha dan bersusah payah untuk dirinya tanpa mengandalkan orang lain, alam lain atau planet lain. Semua dilakukan dengan kemaksimalan kemampuan yang pantang menyerah, banting tulang untuk dirinya. Meminum nasib artinya memilih sendiri apa yang hendak kita hidangkan untuk diri kita.

Sementara dikenyataan yang kedua, kita dituntut untuk minum apa yang telah disediakan. Kita tidak berhak memilih minuman itu, tidak berhak pula marah karena seberapa kuatpun kita melawan tidak akan bisa diganti dengan sesuai keinginan kita. Dalam Islam, memahami hal yang kedua ini kita perlu istiqomah dan ikhlas, menjalani sepahit apapun itu karena pasti dilewati. Doa pun hanya akan menjadi pemanis atau obat penenang dari kegelisahan yang berkeringat itu. Air itu harus melewati tenggorokan kita tanpa kita pernah tau efek apa yang diakibatkan oleh air itu.

Begitu menggodanya kata-kata dari kakek tua itu sehingga membawa larut pada penilaian secara individu. Yang bahkan enak tidak enaknya kemudian ditentukan oleh perseprsi perkenalan pengalaman. Atau yang Foucalt sebut dengan the symbolic, segala hal yang telah ditentukan ini bagus tau buruknya oleh label. Jadi definisi filosofis dari urip mung numpang ngombe tok bertemu pada satu titik yang disebut dengan keihlasan. Kepasrahan kita ngombe yang kita sendiri satu keadaan memilihnya dan keadaan lain dipilihkan.

Lalu bagaimana dengan orang yang menolak untuk ngombe artinya dia tidak hidup? Atau dia melarikan diri dari hidup. Mungkin yang menolak ngombe adalah mereka yang kemudian memilih kehabisan cairan dan mati. Represtasi dari menolak ngombe adalah kematian yang mengenaskan, bunuh diri dan merebut gelas-gelas hak orang lain. Yang menolak ngombe adalah yang hanya melamuni gelas-gelas dan menu-menu yang disediakan. Yang menolak untuk beresiko dan menolak untuk berusaha ngombe, padahal kebutuhan dasar manusia adalah air. 

Yang perlu untuk tidak kita lupakan dari arti dan makna hidup yang minum itu adalah adanya kata numpang. Kita bisa menentukan segala halnya namun kita bukan pemilik, kita hanya orang yang diberikan kesempatan menempati. Bila dalam realita modern artinya kita hanya in de kost, hanya numpang. Dalam kesadaran orang numpang kita perlu siap-siap, bahwa kapan saja kita bisa diusir bahkan sebelum kita meminum-minuman yang telah disediakan dan kita buat sendiri. Itu semua resiko dari kenumpangan kita, yang menuntut kita untuk memegang teguh prinsip kesadardirian dan keikhlasan.

Namun lagi-lagi seperti yang dikemukakan diawal, bahwa yang boleh mengatakan hidup itu hanya mereka yang sudah pernah hidup dan bertemu dengan akhir hidup yaitu kematian. Selama belum bertemu dengan akhir hidup artinya mereka masih berproses, menjalani dan menikmati sepoi-sepoi udara. Masih hidup artinya masih bisa atau bahkan belum tahu memilih minuman apa untuk dijadikan efek pada hidupnya. Jadilah benar bahwa Jacques Derrida mengatakan itu tetapi tidak menjadi salah pula kakek tua itu bila sebatas kelakar untuk berkontemplasi. Wallahu A'lam Bishawab