Urip
iku mung numpang ngombe tok
Kalimat itu diucapkan oleh seorang kakek tua,
disebuah warung sederhana di Kota Semarang. Tidak bermaksud menyindir, menyakiti atau
bahkan menyerang orang lain, hanya sebatas ucapan yang keluar secara spontan
dalam obrolan warung kopi. Bila dilihat dari pilihan kata-kata yang digunakan,
mungkin kalimat itu bisa kita persepsikan sebagai sebuah candaan. Atau bahkan
kalimat itu hanya sekedar ucapan remeh
yang tak berdasar dan jelas maksudnya apa. Akan tetapi bila diresapi secara
filosofis, maka akan begitu luas dan besar maknanya.
Dua kata awal yang dipilih kakek itu cukup
dilematis, urip iku yang dalam bahasa
Indonesia memiliki arti hidup itu. Jelas ini bukan perkara remeh, ini ungkapan
yang seharusnya bisa dipertanggung jawabkan karena mengartikan sebuah
perjalanan. Perjalanan panjang umat manusia yang mungkin sudah sering lalu
lalang melewati jembatan hitam dan putih. Bahkan dalam buku hantu-hantu Marx
karya Jacques Derrida dikatakan bahwa hanya orang mati yang boleh
mendefinisikan kata-kata itu.
Hidup itu, ya hidup itu, seolah-olah ada sebuah
kesimpulan yang sudah ditarik, yang cukup jauh bahkan melewati suatu proses
perenungan panjang. Ketika kata-kata awal itu terhenti, maka mengartikanya bisa
secara serampangan dan kontruktivis mengikuti pengalaman masing-masing
individu. Tetapi kemudian kakek tua berbaju koko, bersarung biru dan berpeci
putih itu menambahkan mung numpang ngombe
tok atau sekedar numpang minum saja. Belum selesai pada siapa pemilik hak
paten pengucap makna hidup, kita sudah dipertemukan dengan kata “sekedar”.
Mungkin pembicaraan dan deskripsi ini hanya mewakili
ketelatenan satu kepala saja tetapi cukup menarik untuk disimak lebih lanjut. Sekedar
memiliki arti yang sepakat kita sebut dengan cuma main-main atau hanya sebatas,
sebatas melongok, mencicipi, merasakan dsb. Sekedar tidak berarti hanya yang
tanpa sebatas atau hanya yang berarti tidak ada yang lain selain liyane. Sekedar minum, begitu simple dan
sederhana, tidak terlalu serius tidak terlalu ingin tetapi dilakukan. Dan pekerjaan
yang disekedarkan itu adalah minum.
Dalam kesedaran minum itu lalu kita dibawanya
semakin jauh pada pilihan yang individu. Minum apa? Air putih, teh, kopi atau
apa?. Ada pertanyaan yang begitu keras yang dipilih, artinya apabila yang
sekedar diminum itu racun tentu kita mati, apabila air putih sehat dan mungkin
juga kopi yang membuat kita kemudian tidak bisa tidur. Atau minum yang memang
sudah disediakan sendiri tanpa kita perlu untuk memesanya dan merasakan dengan
ikhlas akibatnya. Dilematis dan penuh dengan tanda tanya besar untuk
mengungkapkan suatu kalimat sederhana ini.
Lalu kita mencoba untuk mendefinisikan hidup dari
minum yang diantara dua pilihan itu. Pilihan minuman yang kita pilih sendiri
dan minuman yang kemungkinan sudah disediakan lalu kita secara bebas langsung
meminumnya. Dua hal ini adalah tindak lanjut dari diaspora kesederhanaan
kata-kata yang melambung jauh melewati batasnya. Tugas kita saat ini adalah
mencoba menyatukan kembali kertas-kertas yang terlanjur berserakan itu.
Dalam konsep Islam dikenal dengan dua hal, yang
mungkin kata-kata ini pernah kita dengar di surau-surau atau langgar ketika
kecil dahulu. Dimana dikatakan bahwa ada hal yang tidak bisa kita rubah yang
kita sebut dengan takdir. Namun ada hal yang kita bisa mengupayakanya untuk
lari dari hal itu dengan jalan bekerja keras, yang kemudian dikenal bernama
nasib. Antara takdir dan nasib pun seringkali orang masih salah mengartikanya,
kadang-kadang nasib yang dibiarkan dan tidak diperjuangkan disebut juga takdir.
yang pertama yang dimana kita bisa memilih
adalah kita meminum nasib. Meminum hal-hal yang kita racik atau mungkin kita
pesankan untuk dibuatkan. Minuman itu bukan orang lain yang meminta tetapi
kehendak kita yang menuntun sendiri untuk itu. Jika kita berusaha lebih, maka
banyak varian rasa yang kita nikmati dengan uang yang lebih mahal pula. Bila kita
berpangku tangan maka mungkin kita hanya meminum air pemberian yang bisa enak
bisa juga tidak.
Dari yang pertama ini kita dituntut untuk menjadi ubermancsh bila kita mau yang terbaik. Dalam
buku yang yang menyoal Nietzsche dengan bahasan yang sederhana, Sunardi
mengartikan manusia super itu dengan manusia yang berusaha dan bersusah payah
untuk dirinya tanpa mengandalkan orang lain, alam lain atau planet lain. Semua dilakukan
dengan kemaksimalan kemampuan yang pantang menyerah, banting tulang untuk
dirinya. Meminum nasib artinya memilih sendiri apa yang hendak kita hidangkan
untuk diri kita.
Sementara dikenyataan yang kedua, kita dituntut
untuk minum apa yang telah disediakan. Kita tidak berhak memilih minuman itu,
tidak berhak pula marah karena seberapa kuatpun kita melawan tidak akan bisa
diganti dengan sesuai keinginan kita. Dalam Islam, memahami hal yang kedua ini
kita perlu istiqomah dan ikhlas, menjalani sepahit apapun itu karena pasti
dilewati. Doa pun hanya akan menjadi pemanis atau obat penenang dari
kegelisahan yang berkeringat itu. Air itu harus melewati tenggorokan kita tanpa
kita pernah tau efek apa yang diakibatkan oleh air itu.
Begitu menggodanya kata-kata dari kakek tua itu
sehingga membawa larut pada penilaian secara individu. Yang bahkan enak tidak
enaknya kemudian ditentukan oleh perseprsi perkenalan pengalaman. Atau yang
Foucalt sebut dengan the symbolic, segala hal yang telah ditentukan ini bagus
tau buruknya oleh label. Jadi definisi filosofis dari urip mung numpang ngombe tok bertemu pada satu titik yang disebut
dengan keihlasan. Kepasrahan kita ngombe yang
kita sendiri satu keadaan memilihnya dan keadaan lain dipilihkan.
Lalu bagaimana dengan orang yang menolak untuk ngombe artinya dia tidak hidup? Atau dia
melarikan diri dari hidup. Mungkin yang menolak ngombe adalah mereka yang kemudian
memilih kehabisan cairan dan mati. Represtasi dari menolak ngombe adalah kematian yang mengenaskan, bunuh diri dan merebut
gelas-gelas hak orang lain. Yang menolak ngombe
adalah yang hanya melamuni gelas-gelas dan menu-menu yang disediakan. Yang menolak
untuk beresiko dan menolak untuk berusaha ngombe,
padahal kebutuhan dasar manusia adalah air.
Yang perlu untuk tidak kita lupakan dari arti dan makna hidup yang minum itu adalah adanya kata numpang. Kita bisa menentukan segala halnya namun kita bukan pemilik, kita hanya orang yang diberikan kesempatan menempati. Bila dalam realita modern artinya kita hanya in de kost, hanya numpang. Dalam kesadaran orang numpang kita perlu siap-siap, bahwa kapan saja kita bisa diusir bahkan sebelum kita meminum-minuman yang telah disediakan dan kita buat sendiri. Itu semua resiko dari kenumpangan kita, yang menuntut kita untuk memegang teguh prinsip kesadardirian dan keikhlasan.
Namun lagi-lagi seperti yang dikemukakan diawal,
bahwa yang boleh mengatakan hidup itu hanya mereka yang sudah pernah hidup dan
bertemu dengan akhir hidup yaitu kematian. Selama belum bertemu dengan akhir
hidup artinya mereka masih berproses, menjalani dan menikmati sepoi-sepoi
udara. Masih hidup artinya masih bisa atau bahkan belum tahu memilih minuman
apa untuk dijadikan efek pada hidupnya. Jadilah benar bahwa Jacques Derrida
mengatakan itu tetapi tidak menjadi salah pula kakek tua itu bila sebatas
kelakar untuk berkontemplasi. Wallahu A'lam Bishawab