Sabtu, 29 Desember 2012

UMK dan Ancaman Eksistensi Middle Class


APINDO kembali memanaskan suasana, setidaknya itulah yang akan di tulis media sepakbola apabila APINDO adalah sebuah klub sepakbola. Akan tetapi ternyata tidak begitu karena APINDO bukanlah tim sepakbola, bahkan sekedar tim olahraga saja bukan. APINDO adalah kependekan dari Asosiasi Pengusaha Indonesia. Baru-baru ini, APINDO mengeluarkan statement yang cukup menarik, yang mungkin ada kaitanya dengan kenaikan UMK di berbagai daerah, statementnya sederhana “akan ada satu juta pegawai di PHK”.

Ini bukan kali pertama, ini juga bukan sekedar gertakan tetapi mungkin ini adalah fakta. Kita tentunya tahu, Indonesia saat ini telah masuk kategori Efeciency Driven Ekonomi dengan penghasilan 3200 GDP. Dengan alasan itu maka masuklah Indonesia pada bagian Negara layak Investasi. Euphoria ini patut di apresiasi karena sebagian besar sumbangsih kenaikan GDP itu di akibatkan oleh majunya industry kelas menengah. Yang menjadi pertanyaan, siapkah kemudian UMP itu dinaikan?

Empat minggu kemarin, sepertinya, saya baru saja mendengar, barometer Negara Indonesia, Kota Jakarta secara resmi menaikan UMK sebesar 2,1 Juta perbulan. Tidak ayal, hal ini kemudian membuat iri sebagian pekerja di Kota-kota lain. Dimulailah aksi turun kejalan dari para buruh, mereka berbondong-bondong mogok kerja bahkan rela ‘memboikot’ perusahaan. Efeknya tidak tanggung-tanggung, sebagian perusahaan mengalami kerugian hingga bermilyar-milyar.

Kemudian dengan alasan itu munculah statement akan terjadi PHK hingga 1 juta pegawai di tahun 2013. Ini bukan tidak masuk akal, bayangkan saja usaha kecil yang memiliki profit tidak lebih dari 15 juta dengan 5 karyawan. Setidaknya mereka harus rela mengeluarkan uang 10 juta untuk sekedar membiyai pegawai, belum lagi di kurangi biaya produksi serta listrik dan tetek bengek lainya. Mungkin setelah di pangkas-pangkas apabila irit, perusahaan itu hanya akan mampu mendapatkan profit 1 juta atau bahkan defisit. Apabila telah kolaps, jalan satu-satunya mestilah PHK.

Kenaikan UMK apabila di kacamatakan perusahaan yang sudah besar dan mapan mungkin bukanlah menjadi suatu masalah besar. Yang perlu di catat dan di pertimbangkan kemudian adalah Middle Class, yang baru memulai usaha dan masih kebingungan kemudian di terapkan aturan yang sama. Analoginya sederhana, anak singa yang kecil tidak mungkin di berikan rusa besar sama seperti singa yang telah gagah bertarung. Dan di Indonesia, anak singa yang kecil itu lebih banyak dari singa besar.

Artinya kemudian, apabila pemerintah ingin tetap concern pada program pemberdayaan Middle class, janganlah membunuh kelas menengah tersebut. Pemerintah harus memiliki insting dan ‘zhe’ atau yang dalam ajaran Konficius diartikan sebagai kebijaksanaan. Tidak salah memang apabila maksudnya memacu semangat kelas menengah untuk meningkatkan produksi dan mampu bersaing, tetapi caranya tidak dengan UMK karena itu dinilai terlalu berat. Maka perlulah pembagian aturan UMK untuk kategori usaha kelas atas dan kelas menengah.

Saya termasuk yang setuju dengan UUD 45 pasal 28  tentang kesejahteraan rakyat, namun apakah cara UMK ini adalah jalan satu-satunya yang justru terkesan membuat pemerintah lepas tangan. Disaat semangat naik lalu pemerintah memanfaatkan kebangkitan role model entrepreneur ini sebagai solusi cepat peningkatan kesejahteraan. Yang di takutkan kemudian adalah PHK besar-besaran tadi tidak sekedar isapan jempol dan justru menjadi dilema yang baru.

Hal yang perlu di perhatikan lagi adalah teknik pelarian yang dilakukan perusahaan. Daripada mengambil pusing maka mereka konsentasi pada bidang kompetensinya. Contohnya Bank konsen dengan kompetensinya di bidang-bidang keuangan saja dan UMK untuk pegawai keungan saja. Tentunya kita tahu, sisanya mereka limpahkan pada pengadaan jasa outsourcing yang tentu biayanya tidak lebih mahal. Inilah yang nantinya menimbulkan urusan yang baru, outsorcing menuntut kesejahteraan, akhirnya terjadilah tumpang tindih aturan.

Ini menjadi PR kita bersama untuk mengatasi problem besar yang sedang menanti kita di depan, di penghujung 2012. Formulasi aturan yang tepat yang tidak memberatkan dan tidak juga terlalu lemah adalah sangat teramat penting. Intinya satu, agar middle class tetap bisa bersaing dan maju melangkahkan Indonesia ke jagat lima besar perekonomian dunia. APINDO pun harus mampu memberikan solusi pada pemerintah sebagai penyelesaian yang bijak. Apabila tidak segera di temukan solusinya, ya selamat jalan, mereka (investor asing) pergi ke Negara lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar