Sabtu, 01 Desember 2012

Refleksi Desember



Desember, akhir tahun yang terasa begitu cepat tetapi gerak langkah kaki masih saja terasa melabat. Diawali nyanyian burung dan sayup-sayup suara lantunan adzan di kampung sebelah. Seperti biasa, tiga puluh hari menjelang bergantinya tahun selalu menyisakan wajah yang murung. Kesempatan yang gagal di manfaatkan, serta lubang yang masih menganga karena tak kunjung di tutup.

Suatu saat ibu pernah bilang “Mal, kamu harus mampu membedakan mana yng di sebut nasib dan takdir”. Sambil menghela nafas beliau melanjutkan “Kamu menjadi seorang laki-laki itulah takdir dan tidak dapat di rubah, tetapi kegagalan adalah nasib dan itu bisa dirubah asalkan kamu mau berusaha”. Setelah memberikan sedikit wejangan, beliau kemudian pergi sambil menepuk pundaku.

Aku merenung dan kemudian berpikir sambil mengatakan apa yang menurut Jonathan Creaghan sebagai reaksi dari pikiran sadar “aha”. Bagaimana tidak, nyatanya kata di awal tahun 2012 itu telah membuatku begitu bersemangat. Berlari dengan percaya diri, menuangkan berbagai ide dan menyelesaikan keadaan rumit. Walaupun harus di pancing terlebih dahulu tetapi itulah suatu pergerakan.

Tentunya, kegiatan di tahun 2012 akan di bahas pada tulisan akhir tahun nanti. Di tulisan kali ini, aku akan sedikit menjelaskan bagaimana sebuah keadaan bisa merubah segalanya, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Tidak jarang kita melihat sesorang yang bisa bangkit dari keterpurukan dan di keadaan lain justru berbeda, keterpurukan justru di buang oleh kata-kata makian dan penyesalan mendalam.

Selalu ada benang merah di setiap perjalanan orang yang bisa kita sebut dengan berhasil. Baik Steve Jobs maupun Koichiro Honda sama-sama memiliki masa sulit. Steve Jobs harus rela pada keadaan yang begitu pahit, tinggal dan besar oleh orang tua asuh, bukan oleh orang tua kandung. Lalu Honda, jatuh bangun pabriknya di masa perang dunia kedua sempat melenyapkan mimpinya memiliki perusahaan otomotif yang murah dan besar. Tetapi tentunya saat ini kit tahu dan bisa melihat sendiri karya besar mereka. Benang merah di antara keduanya adalah kemauan untuk merubahah keadaan.

Tidak ada yang bisa mengatakan bahwa kita telah gagal hanya karena suatu keadaan. Yang ada hanyalah, kita masih berjuang namun hasilnya saja belum maksimal. Thomas Alva Edison adalah anak yang di kenal bodoh ketika masa kanak-kanak. Dari mulai tidak naik kelas, mengeram telor ayam, hingga membakar kandang ternak. Tetapi dewasa ini kita berpikir ulang, seandainya tidak ada Thomas Alva Edison, begitu gelapnya dunia ini.

Di situlah muncul apa yang kemudian oleh Tan Malaka di sebut dengan tempo. Tempo mengubah Edison, Steve Jobs dan Honda yang terpuruk menjadi super hebat. Mereka tidaklah pesimistis oleh keadaan dan bangkit untuk terus mencoba. Mereka berpikir seperti apa yang Ipho Santosa sebut dengan ‘think outside the box’. Bayangkan, bagaimana jadinya apabila mereka meratapi dan tidak yakin, maka hukum tempo tidaklah berlaku.

Tan Malaka merinci dengan lebih jelas :

““titik” jika ditarik terus maka akan menjadi garis dan garis ditarik terus akan menjadi bidang lalu bidang yang ditarik terus akan menjadi badan. Semua pekerjaan ini memakai tempo. Kita perlu memakai tempo buat mengubah titik menjadi garis atau garis menjadi bidang dan akhirnya bidang jadi badan. Kalau sudah cukup memakai tempo, kita bisa menjawab mana titik mana garis, mana garis dan mana bidang, mana bidang dan mana banda. Tetapi pada saat dimana titik belum menjadi garis, garis belum menjadi bidang dan sebagainya, kita tidak bisa jawab apakah ini titik atau garis dan seterusnya. garis atau bidang”

Kita tidak bisa menilai bila keadaan saat ini adalah selamanya kita. Apabila kita meyakini itu ya artinya selamanya kita seperti itu (ana idza dzhoni abdibi). Semua memiliki fase yang di sebut dengan perubahan karena dengan adanya perubahanlah berarti kita dianggap hidup. Dalam teori tempo pun di sebutkan saat dimana titik belum menjadi garis, garis belum menjadi bidang dan sebagainya, kita tidak bisa jawab apakah ini titik atau garis dan seterusnya. garis atau bidang. Mungkin saat ini kita barulah titik, jauh belum menjadi bidang.

Keadaan, bagaimanapun macamnya pastilah selalu di awali oleh apa yang kita kenal dengan ‘sebab’. Yang perlu kita lakukan adalah terus berusaha dan percaya akan perubahan. Selama itu tidak bersifat takdir maka mestilah itu nasib. Sesuai dengan ajaran agama, bahwa nasib dapatlah berubah. Pertnyaanya adalah, mau atau tidak (kita berubah)? Semangat awal Desember, semangat perubahan, semangat memaknai tempo, refleksi diri dan meyakini bahwa nasib dapat di rubah apabila kita mau mempelajari ‘sebab’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar